Thursday, June 24, 2010

‘EDENSOR’ku

Rumahku memang di Bandung. Tapi bukan di pusat kota yang terkenal dengan bermacam – macam jenis sandang,pangan dan papan, melainkan di sudut atau pedalaman kota Bandung yang jarang terjamah manusia – manusia metropolis hedonis. Jadi, meskipun kota Bandung diidentikkan dengan kota kembang, kota kuliner sampai kota hiburan, tidak berpengaruh besar pada masyarakat yang ada di desa seperti keluargaku.

Mungkin, bisa dibilang kampungku Edensorku ^^



Hal yang paling kusukai jika aku pulang ke rumah adalah menaiki becak dari jalan raya menuju rumahku yang dibuka dengan pemandangan khas pedesaan, yaitu hamparan sawah yang indah. Menurut masyarakat sekitar, sawah – sawah tersebut adalah milik beberapa pejabat kenamaan di kota Bandung. Terserah siapa yang memiliki sawah itu. Yang penting, aku suka sekali melihat indahnya pemandangan ini. Yang penting, aku senang menghirup udara sejuk yang diselingi oleh sapaan ramah angin pada setiap orang yang melewati jalan itu.

Seperti biasa, via becak aku meneruskan perjalanan pulangku yang belum tuntas. Becak berjalan perlahan. Sebelum memasuki daerah "Edensor-ku" aku memasukkan handphone kedalam tas. Maksudnya hanya satu, supaya aku bisa konsentrasi membayangkan apapun yang bisa kubayangkan bila melihat pemandangan indah itu. Tak lama, udara seakan berubah. Agak sejuk dari biasanya. Dan aku memulai rutinitasku. Membayangkan apapun yang bisa kubayangkan.

Imajinasiku berkembang seiring dengan semakin meluasnya sapuan mataku pada hamparan padi yang saat itu sedang hijau. Rasanya aku bisa menelisik setiap daunnya. Indah. Hanya itu yang bisa kukatakan.

Oom Andrea Hirata mungkin sudah menjadikan Edensor sebagai ikon keindahan alam versi Inggrisnya. Dan kini giliranku menjadikan kampungku sebagai "Edensor-ku". Terserah apa yang akan dikatakan orang – orang mengenai keindahan alam yang masih lumayan asri ini. Menurutku, tanaman hijau yang dikelompokkan menjadi banyak petak sawah ini terlihat indah dan sempurna.

Karena padi itu masih berwarna hijau, mataku rasanya mendapatkan terapi warna secara gratis.

Saat itu, ingin rasanya jika di seluruh dunia ini hanya ada padi yang masih hijau. Kelelahan karena perjalanan yang cukup jauh, kepenatan dari pelaksanaan rutinitas kampus, kebingungan dan kebimbangan hati, rasanya semua cukup terobati hanya dengan menikmati indahnya hamparan tanaman hijau di depanku.

Ingin rasanya mengundang semua angin sejuk itu ke rumahku (tapi takut semua orang di rumahku masuk angin, makanya kuurungkan niatan itu ^_^).

Teringat dulu sebelum kepindahanku ke daerah ini. Di benakku hanya ada rumah dekat sawah yang ada di pedesaan, jauh dari hingar bingar kota dan agak terlindung dari polusi udara, jauh kemana-mana, ahhh rasanya tidak asik! Enggan. Itulah kesimpulannya. Enggan bila tinggal di pedesaan.

Dipikiranku saat itu hanya rasa malu bila mejawab pertanyaan teman – teman yang menanyakan alamat rumah.

Tapi kini, pikiran itu terusir jauh dari benakku. Tergantikan oleh kenikmataan memuaskan diri dengan melihat indahnya alam ini jika dimanfaatkan sesuai kebutuhan manusia.

Meskipun demikian segala sesuatu pasti ada sisi negative dan sisi positifnya. Kerusakan moral masyarakat desa dan kota tidak jauh berbeda. Padahal dulu kukira masyarakat desa akan lebih ramah dan tidak hedonis. Ternyata tidak 100% yang terjadi sama seperti yang aku bayangkan dulu. Kini kemajuan teknologi mempengaruhi sikap kebanyakan manusia. Dan masyarakat desa termasuk salah satu dari beberapa elemen masyarakat yang terkena imbas perubahan tersebut.

Tak lama kemudian becakpun berhenti tepat di depan rumahku. Waktuku untuk turun dan melanjutkan kegiatanku dengan mengerjakan apapun yang bisa ku kerjakan di rumah. Kembali ke Edensorku dimana aku harus membangunnya supaya lebih maju, lebih baik dan lebih berpotensi. Amiin.

1 comments:

Olive said...

siiipp,,,setuju deh

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)