Tuesday, June 7, 2011

BALASAN CINTA-NYA

Jika aku tanya padamu secara personal, apa yang kau ingat dari arti kata cinta? Jujurlah kawan, apa yang terbesit di pikiranmu saat kau teringat pada cinta?

Kisah muda mudi yang penuh dengan bunga-bunga berwarna pink? Kisah erotis dewasa yang kadang membuat merinding bahkan muntah? Atau kisah sepasang orang tua dengan anaknya seperti penegasan peribahasa “Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan”?

Terserah padamu kawan, jawabannya tak lebih dari hasil tes psikologi yang tidak ada jawaban salah dan benar di dalamnya.

Dalam tulisan ini aku ingin membahas sedikit tentang cinta. Cinta yang baru aku reka-reka definisinya. Cinta yang menurutku, muncul dari sudut pandang yang berbeda. Cinta yang mungkin tak bisa dirasa jika hanya melihat awal atau akhirnya saja. Cinta hamba pada Tuhannya. Cinta yang dibalas cinta.

Hari ini, hari selasa tanggal 07 Juni 2011 sehari setelah ulang tahun ibuku yang ke-45 tahun, sekitar jam 11.15 WIB, aku kembali tertegun melihat sebuah fenomena dijadikan kumpulan scene dalam sebuah film berjudul “Emak Ingin Naik Haji”. Film lama memang, sampai pernah di putar di salah satu tv swasta. Tapi sayang sekali, aku baru menontonnya hari ini.

Seperti judulnya, film ini menceritakan seorang wanita tua yang ingin sekali naik haji. Lima tahun lamanya ia menabung, kurang dari sepuluh juta yang baru terkumpul. Suami dan anak sulungnya mati tenggelam saat melaut. Anak bungsunya seorang duda bernama Zen adalah seorang pelukis yang menjajakan lukisannya di pinggir jalan tepat di sebelah tukang bunga. Singkat kata, kehidupan mereka bisa dibilang jauh dari masyarakat status menengah keatas, bahkan mungkin menengah pun tidak.

Kontras dengan kehidupan Emak, entah keluarga apa mereka menyebutnya aku tak terlalu perhatian, yang jelas tetangga mereka adalah keluarga kaya yang kerap kali haji dan umroh se-keluarga hampir setiap tahunnya. Dan keluarga ini sudah dengan jelas dapat dikelompokkan kedalam masyarakat tingkat menengah keatas, bahkan mungkin menengah pun tidak.

Selain Emak dan tetangga hajinya, ada satu sisi kehidupan lagi yang tak kalah menarik. Kehidupan seorang politisi yang berambisi menjadi walikota. Ia berniat menunaikan ibadah haji tahun itu untuk menambah gelar pada namanya sehingga orang-orang mungkin akan percaya dengan jargon busuk pada pamphlet-pamflet siap edar miliknya : JUJUR dan BERDEDIKASI. Kau heran kenapa aku menyebut jargonnya busuk? Ada sekurang-kurangnya dua alasan. Pertama, ia menyumbang masjid namun dengan bangga mengundang wartawan, dalihnya supaya pengusaha lain bisa mengikuti jejak baik yang ia lakukan. Apakah itu ciri pemimpin yang baik? Kedua, apa yang jujur dari seorang suami yang mempunyai sekretaris teladan, berdedikasi untuk sebuah perselingkuhan, baru iya.

Hidup memang tak pernah mudah. Masalah demi masalah muncul sejak awal pembukaan film ini. Mantan istri Zen yang dulu meninggalkannya karena masalah keuangan lalu menikah dengan seorang lelaki berpekerjaan tetap itu mendatangi Zen yang baru saja tiba dengan sepeda bututnya. Wanita itu mengaku anak mereka sakit dan ia tak punya uang. Setelah mendapatkan uang dengan menjual lukisan kaligrafi Zen pada pemilik toko mas yang notabene non-muslim ia pulang dengan mudahnya. Aku tak ingin banyak membahas mengenai wanita ini kawan, yang jelas ia mata duitan atau “matre” begitu bahasa kerennya. Dan ia menjadi bagian dari masalah pelik dalam film ini.

Suatu hari, Yanti (mantan istri Zen) datang kerumah Emak dengan menangis tersedu-sedu mengadukan keadaan anaknya yang menderita hernia dan harus segera di operasi. Operasi yang membutuhkan dana sebesar lima juta rupiah. Dengan mudahnya Emak berkata “Besok Emak harus ke bank. Ngambil duit tabungan haji Emak.” Dan pastinya langsung di cegah oleh Zen yang baru tiba ke rumahnya.
Kebingungan antara operasi anaknya dan uang tabungan Emak untuk naik haji membuat Zen kembali teringat pada kumpulan kupon berhadiah paket naik haji dari sebuah mall untuk pembelian minimal seratus ribu rupiah yang dipungutnya selepas membantu keluarga haji berbelanja. 34 Kupon itu dibuang oleh nyonya keluarga haji namun dipungut kembali oleh Zen di tong sampah. Sayangnya, kupon itu masih ada di rumah keluarga haji.

Yang aku tebak dari fikiran Zen saat itu adalah, ia akan mengambil kupon tersebut dengan meminta bantuan pada Siti (pembantu keluarga haji yang naksir Zen) lalu meminjam uang Emak untuk biaya pengobatan anaknya. Ternyata tidak demikian. Zen nekat mendatangi rumah keluarga haji dengan mengendap-endap, kemudian mengambil kupon-kupon tersebut dan kembali ke rumah. Sesampainya di rumah ia menangis tersedu-sedu. Entah untuk apa. Untuk rasa bersalahnya atas tindakan yang ia lakukan tadi atau untuk rasa bersalahnya pada uang tabungan Emak yang harus direlakan menutupi biaya rumah sakit anaknya, atau mungkin untuk keduanya? Yang jelas itu adalah tindakan keputusan terakhir yang ia putuskan setelah berusaha kesana kemari menjual lukisannya.

Setelah mendapatkan kupon tersebut, keesokan harinya ia pergi ke mall yang mengadakan undian berhadiah dan mengisi semua data diri dengan identitas Emak.

Apakah itu bentuk kasih sayangnya pada Emak atau rasa tanggung jawabnya atas impian Emak yang tak pernah tercapai? Sekali lagi, entahlah.

Sejenak mari kita beralih ke keluarga haji. Sejak kejadian pencurian itu, Pak haji meminta keamanan di perketat dan hansip tidak bermain judi ketika berjaga malam. Ia tidak merasa ada sedikitpun barang yang hilang dari rumah itu. Apalah arti kupon undian naik haji bagi keluarga ini.

Suatu hari anak bungsu dari keluarga haji pulang sekolah bertepatan saat telepon di rumah berdering. Ternyata itu telepon dari biro haji yang mengurus keberangkatan umroh ke-9 (kalau aku tak salah mengingat) mereka yang kali ini bersama artis bernama Dude Herlino. Sayang, telepon itu mengabarkan bahwa artis tersebut tidak bisa ikut serta dalam umroh tahun ini. Nona kecil keluarga haji murka. Dengan berteriak ia memutuskan semua keluarganya batal ikut umroh yang diselenggarakan biro tersebut.

Benar-benar kontras. Yang satu sungguh-sungguh ingin naik haji karena rindunya pada tanah suci, yang satu lagi ingin umroh karena saat itu umroh bersama artis. Haha, alangkah lucunya umat Islam jaman ini.

Satu lagi tak ketinggalan, sang politisi juga tak kalah hebatnya. Kuota haji yang penuh bisa di-akal-I dengan membayar lebih supaya ia dapat pergi haji tahun ini. Bagusnya, sang sekretaris teladan-lah yang mengatur semuanya. Ia hanya minta imbalan sebuah butik atau restoran setelah majikannya sukses menjadi walikota. Naas, perselingkuhan mereka terungkap oleh istri politisi yang tak kalah bejatnya. Dari handphone sekretaris yang tertinggal di mobilnya, istri politisi tersebut memeras suaminya mengatas namakan orang lain dan meminta uang tutup mulut sebesar satu milyar atas foto-foto mesum suaminya dengan sekretaris teladan dari handphone tersebut.

Diantara tumpukan kabar tak mengenakkan, kabar baik kembali tersiar. Salah satu nomor undian yang dimasukkan Zen ke kotak undian, keluar sebagai salah satu pemenang hadiah naik haji gratis. Zen sujud syukur saat itu juga. Ia berlari tunggang langgang tak bisa menahan kesenangan. Ia berlari menuju rumahnya, namun tak ada Emak disana. Dengan buru-buru ia tulis sebuah note singkat “Ada kejutan buat mak” kemudian berlari lagi entah kemana. Sampai akhirnya di sebuah jalan kecil melaju sebuah mobil dengan kecepatan cukup tinggi menghantam tubuh Zen yang tidak siap menghindar. Kecelakaanpun terjadi.

Kejutan buat Emak menjadi kejutan untuk semua sisi kehidupan yang ada dalam cerita ini. Kejutan bagi Emak karena kejutan itu adalah harus celaka serta dirawatnya Zen di rumah sakit selama beberapa hari dan Yanti yang tak lelah meminta ganti rugi lebih dari sang penabrak. Kejutan bagi keluarga haji yang ternyata saat Zen dilarikan ke rumah sakit, Lifah, anak tertua keluarga haji yang baru saja check up kehamilan melihat Zen dan membuat Lifah melahirkan saat itu juga. Kejutan bagi sang politisi karena ia lah yang menabrak Zen saat ia membongkar semua kedok istrinya dalam perjalanan ke kantor kepolisian terdekat namun istrinya mati di tempat kecelakaan itu.

Semua setting cerita dalam film ini terhubung dengan apik. Meski mungkin menurut pemerhati film lain yang lebih jeli banyak terdapat kejanggalan yang signifikan.

Kejutan buat Emak, tetap buat Emak. Keinginannya terkabul. Raganya yang dulu ia fikir takkan mungkin sampai di tanah suci kini telah terbantahkan. Raga Emak bisa mengikuti hatinya yang sudah lama ada disana. Ia bisa berangkat haji secara cuma-cuma karena semua kesabaran dan kekonsistenannya selama ini. Tuhan memberikan jalan melalui pemenuhan nadzar Lifah dan bayinya yang selamat setelah proses persalinan. Satu lagi bonus yang Ia berikan. Zen akan menemani Emak naik haji dengan biaya yang ditanggung oleh keluarga haji.

Indah bukan main skenario Tuhan disana. Cinta Emak dibalas dengan cinta-Nya. Tuhan hanya membuat perjalanan Emak sedikit berliku supaya indah pada waktunya. Namun, apakah mungkin semua ini akan terjadi bila Emak sendiri tidak konsisten dengan impiannya? Mungkin terjadi dan mungkin tidak. Balasan atas cinta hamba pada Tuhannya tak pernah sebanding dengan cinta Tuhan pada hamba-Nya.

Cinta Tuhan tak terbatas pada keelokan tubuh, kecantikan/ketampanan paras dan kesopansantunan perilaku yang dibuat-buat. Cinta Tuhan lebih dari sekedar materi yang hingga kini tak terhitung banyaknya.

Balasan cinta-Nya yang mengejutkan hanyalah sedikit bukti dari tumpukan nikmat yang tak bisa disebut satu persatu. Bahkan kita mampu menyebutkannya saja sudah bagian dari cinta-Nya. Satu yang masih kuyakini hingga kini, Tuhan itu Adil namun terkadang kebebalanku tak sanggup mengerti keadilan-Nya.

ditengah kebingungan mencari ilham penulisan laporan proses konseling

2 comments:

middie said...

dalemm pilem itu,.

mbak asma nadia emng kwerennn!!

Qeeya Aulia said...

ia midi...emang keren ^^

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)