Thursday, November 17, 2011

HUJAN JANGAN MARAH

Hujan, jangan kau marah…
Mungkin kau terlalu marah pada orang-orang yang mencaci dan memaki kedatanganmu. Kau dituduh mendatangkan banjir, padahal banjir terjadi karena ulah mereka yang membiarkan sampah bertebaran dimana-mana. Kau dituduh menyebarkan penyakit, padahal penyakit datang karena sebelum datangnya dirimu mereka sudah memamah biak bibit-bibit penyakit itu. Kau dituduh menghambat pekerjaan mereka, padahal sedikitpun kau tak pernah membuat mereka menunda pekerjaannya. Kau dituduh sebagai perusak jalan, padahal memang jalanan itu yang sudah ringkih dan sepertinya berbahan kualitas dua atau bahkan kualitas tiga. Kau dituduh membuat mereka lebih nyaman berleha-leha daripada bekerja keras untuk sesuatu yang lebih baik untuk hidup, padahal kau tak pernah ikut campur dalam kemalasan dan kejengahan mereka.
Hujan, jangan kau marah…
Aku tak pernah membencimu walau terkadang aku menghindar kuyup saat kau datang. Aku tak pernah ingin melenyapkanmu karena kutahu ada beberapa pihak yang sangat membutuhkanmu. Aku tak pernah ingin kau terpisah dari basahmu, karena terlalu ajaib untuk bisa memisahkannya darimu. Apalah artimu jika tak ada air yang kau tinggalkan. Apa namamu jika tak ada basah yang kau sebarkan. Apa arti hadirmu jika tak ada hawa segar dan damai setelah kau datang.


Hujan, jangan kau marah…
Aku tak pernah melihat anak-anak kecil seriang ini sebelumnya. Mereka menyambutmu dengan penuh suka cita. Seperti tak ada sedikitpun beban hidup yang mereka rasakan. Ah, aku lupa. Tahu apa mereka tentang beban hidup?
Tak apa, itu tak penting. Yang penting adalah, masih banyak orang yang bahagia karena hadirmu. Masih banyak kepala yang menanti adanya dirimu. Masih ada kenangan yang selalu datang beriringan dengan setiap rintik dari ribuan rintik yang turun dari langit.
Hujan, tolong sampaikan salamku pada Sang pencipta. Ia begitu bijaksana. Mengutusmu dengan cinta. Cinta Tuhan pada ummatnya.
Hujan, tolong sampaikan salamku pada petir dan kilat disana. Ajari aku tak takut pada mereka. Ajari aku agar bisa menikmati datangnya mereka seperti aku menikmati hadirnya dirimu.
Hujan, kau tahu?
Dulu aku sangat ingin menjadi bagian darimu. Kau apa adanya. Menumpahkan apa yang ada. Tak perlu tambahan. Tak perlu pengurangan. Kau begitu sempurna. Sempurna dalam menuangkan air ke seantero dunia.
Hujan, sungguh kupinta. Janganlah kau marah. Aku tak pernah ingin kau lenyap dari dunia.

Ditemani gemericik air saat hadirmu..
Edensorku, 17 November 2011


Read More

JEMBATAN BAMBU

Hari ini sama seperti kemarin. Aku menyusuri jalanan kampung untuk pergi ke tempatnya para intelek muda belajar, universitas, meskipun mungkin faktanya banyak intelek muda tak datang dari sini. Tak jarang mereka yang ada disana hanya bisa menggosip dan ketawa hahaha hihihi bagai tak ada beban yang dipikul masing-masing pribadi. Hah, sudahlah. Aku tak sedikitpun akan membahas tentang Universitas. 

Di jalanan itu, aku menemukan satu jembatan bambu ditengah banyaknya jembatan beton yang terlihat gagah dan kuat, walau tak jarang, banyak bopeng buruk penunjuk kerusakan sebagian dari mereka (jembatan beton).

Pikiranku mengelana. Seperti biasa, bertanya-tanya.


Mengapa hanya ada satu jembatan bambu?

Aku membayangkan bagaimana berjalan dan berdiri ditengah jembatan bambu. Takut. Aku membayangkan diriku ketakutan karena bunyi dan goncangan-goncangan yang terasa di setiap langkah kakiku. Aku takut tidak dapat berdiri tegak.

Berbeda bila aku bayangkan aku berjalan dan berdiri di tengah-tengah jembatan beton yang ada tak jauh dari jembatan bambu itu. Aku merasa aman, padahal aku tak pernah tahu kapan benda mati bernama jembatan itu akan rapuh dan membawaku jatuh. Tapi setidaknya, aku merasa lebih aman tanpa goncangan disetiap langkahku.

Jembatan bambu, jembatan dimana raga dengan mudahnya terombang ambing dalam sebuah perjalanan. Dimana semangat terseok-seok naik dan turun bak rentetan pelana kuda yang berjajar. Dimana rasa takut menelusup hampir disetiap udara terhirup.

Hidupku hari ini, seperti jembatan bambu. Terlalu takut untuk maju karena pikiran negatif dan kekalahan yang selalu aku bayangkan. Terlalu mudah terbawa arus pasang surutnya emosi yang hampir menguasai. Terlalu terlihat rentan padahal sebenarnya sama mampunya dengan orang lain yang terlihat seperti jembatan beton yang sama-sama tak tahu kapan rubuh dan membuat orang terjatuh.

Aku ingin tetap menjadi jembatan bambu. Tapi bukan jembatan bambu yang merasa rendah karena terkalahkan oleh pesona jembatan beton. Bukan jembatan bambu yang ringkih. Bukan jembatan bambu yang   hanya dinaiki oleh manusia. Jembatan bambuku harus lebih daripada itu! AKU MAMPU KARENA AKU YAKIN DAN TERUS BERUSAHA UNTUK MAMPU!  



Read More

Wednesday, November 16, 2011

BUNGA RUMPUT BIASA

Katanya, aku juga sama-sama bunga. Sama seperti mawar yang melambangkan tanda cinta. Sama dengan anggrek yang harumnya tak hilang hingga sebulan lamanya. Sama dengan bunga sepatu yang membuat orang mabuk kepayang karenanya. Aku sama dengan mereka. Hanya satu yang tak sama. mereka kadang lebih tinggi dari rumput hijau yang menghampar. Lebih dianggap anggun dan menyimpan sejuta makna  yang mendalam. Lebih mewah daripada bunga-bunga lainnya. Lebih mewah dibandingkan aku, lebih tepatnya.

Aku tak iri. Sama sekali tak iri. Karena mawar terlalu dipermasalahkan karena duri-duri tajamnya. Anggrek terlalu diburu karena harum dan uniknya. Kecubung terlalu memabukkan dan membuat beberapa manusia "tergila-tergila" karenanya.

Dan aku?

Aku bisa bebas menghirup udara segar. Tanpa takut diburu oleh banyak orang. Tanpa takut dijadikan bunga-bunga perlambangan rasa cinta dan kasih sayang. Tanpa takut menjadi hiasan ruangan. Tanpa takut membuat banyak kerusakan karena memabukkan.



Resiko hidupku hanya mati lalu layu atau mati muda terinjak manusia. Ya, karena aku hanya bunga rumput hijau yang sangat jarang diperhatikan orang. Lihat saja, kebanyakan dari mereka hanya memandang hamparan rumput hijaunya. Bahkan ilalangnya. Dan sangat jarang sekali tahu bahwa ada aku diantara mereka. Ada aku disana, si bunga rumput yang tak ada artinya.
Read More

Saturday, November 5, 2011

COKLAT KOIN EMAS

Beberapa hari yang lalu, aku bercanda dengan seorang teman tentang sebuah coklat yang masih bertahan "hidup" hingga saat ini. Berbagai bentuk dan merek coklat disebutkan. Sampai akhirnya, satu kalimat yang menggambarkan satu jenis coklat yang sejatinya tak pernah lekang dari ingatanku hingga detik ini. 

Coklat koin emas.

Kau pasti tahu, bagaimana bentuk coklat yang kumaksudkan disini. Yup, bentuknya biasanya bulat, dengan cetakan yang menonjol keluar dan serupa dengan tonjolan kertas emas yang membungkusnya. Seperti sebuah uang koin emas. Bentuknya sederhana, sangat sederhana. Tapi tak sesederhana itu maknanya bagiku. 


Bulatan berwarna kuning keemasan itu sempat mempunyai gradasi rasa yang berbeda. Awalnya rasa coklat ini seperti coklat biasa, seiring berjalannya waktu, rasanya bisa melebihi coklat terenak di dunia sekalipun.

Tapi sayang, gradasi rasa itu bak pelana kuda yang naik dan turun. Usai mencapai gradasi tertinggi dengan rasa terenak di dunia, coklat koin emas yang nikmat luar biasa itu kembali bergradasi menjadi coklat biasa yang rasanya sama seperti harganya. Murah. Biasa saja.

Kau tahu semua karena apa? karena ada orang istimewa saat aku memakannya. Istimewa yang juga bergradasi seperti coklat itu. Pertemanan yang bergradasi menjadi lebih dari sekedar teman, lalu bergradasi kembali menjadi pertemanan biasa.

Pahit? tidak!

Karena sampai saat ini pun coklat itu masih manis seperti biasanya. Karena hingga saat ini pun, coklat koin emas, tetap jadi coklat yang istimewa terlepas dari berbagai goresan luka yang sempat tertoreh karenanya. terlepas dari semua bunga-bunga yang sempat hadir juga karenanya.




Read More

BERKURBAN UNTUK KEBERSAMAAN

Kurban itu lebih dari sebuah acara atau kegiatan menyembelih hewan kurban di hari Ied Adha yang mulia. Bukan juga ajang untuk memamerkan kemampuan untuk berbagi. Apalagi ajang untuk saling berlomba-lomba mengurbankan hewan termahal untuk kepentingan pribadi.

Dulu, orang-orang Mesir mengorbankan gadis-gadis tercantiknya untuk jadi kurban yang dipersembahkan untuk Dewi Sungai Nil. orang-orang yang tinggal di Kanada dan irak mengorbankan bayi-bayi lucu mereka untuk Dewa Matahari. Tak jauh berbeda dengan kondisi di Eropa Utara, Skandinavia, mereka mengorbankan para pemuka agama sebagai sesembahan untuk dengan Perang "Odin".

Keputusan Tuhan datang dengan perantara Ibrahim dan anaknya, Isma'il. yang diperintahkan-Nya untuk menjadi kurban, akhirnya digantikan binatang kurban. 

Kejadian ini penuh filosofi yang sangat bermakna dan mendalam. Yang harus dibunuh dalam diri manusia adalah sikap-sikap kebinatangan, seperti ambisius, rakus, suka menindas, suka menyerang, tidak mengenal peraturan dan norma yang berlaku dimana ia tinggal dan mengaktualisasikan dirinya. Bukan manusia yang harus dikorbankan untuk sesembahan demi kesejahteraan. Bukan pula pelestarian budaya penyembahan dengan menggunakan kurban.

Daging kurban yang seharusnya dibagikan ke orang-orang yang memiliki hak atasnya adalah sanggahan nyata dari pelestarian budaya penyembahan dengan menggunakan kurban seperti yang telah disampaikan sebelumnya.

"Daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhoan) Allah, tetapi ketakwaanlah yang dapat mencapainya" (Al-Aayah)

Kurban yang baik, sejatinya adalah kurban yang dengan ketakwaan kepada-Nya lah kita berkurban. Dengan kurban inilah kita dapat berbagi kebahagiaan, berbagi rizki yang telah Ia berikan. Kurban yang baik itu sejatinya pengorbanan untuk kebersamaan dalam kebaikan yang selalu diselimuti ketakwaan.

Masih berkurban karena gengsi? Apa kata dunia! :D


Selamat Hari Raya Idul Adha
Semoga setiap pengorbanan yang kita lakukan demi kebaikan diterima oleh-Nya, amin.
Read More

Wednesday, November 2, 2011

HUJAN ITU...

Hujan itu datang lagi. Tepat di tanggal satu bulan November ini. Sejuk memang, tapi mengapa terasa begitu menyesakkan? Apa karena aku yang terlalu sesak dengan berbagai urusan yang menyesakkan dada? atau karena aku yang terlalu bosan untuk berfikiran nyata dan apa adanya?

Hem, rumit. Sungguh rumit.

Afeksi tak pernah mudah dan tak berbelit. Sayangnya aku tak pernah mulus untuk berkelit. Paradoksk. Paradoks tak bernama dan tak ingin kuberi nama walau sekata.



Hujan itu datang lagi. Datang dengan semua tumpahan dengan puluhan barel air yang membasahi sana sini. Hingga kotaku sejuk lagi. Hingga aku kembali berfikir untuk bangun dan sadar kembali.

Tulisanku rasanya tak pernah serumit ini. Bingung mengungkapkan. Tak mampu ku merefleksikan. Baik konten maupun feeling. Semua kacau. Seperti hujan deras yang tak mampu tertampung oleh dangkalnya waduk dan kolam yang ada. Seperti luapan bah yang banyak menelusup dan memenuhi selokan.

Kacau. Kacau. Kacau.

Hujan itu membuatku kacau. Bukan tenang seperti biasanya. Bukan legang seperti hujan-hujan sebelumnya. Bukan senang seperti hujan-hujan yang lainnya.

Hujan yang lain? Kau bertanya apa itu hujan yang lain? Aku pun tak tau seperti apa yang kumaksud\. semuanya bergerak absurd. Abstrack dan aku tak tahu seperti apa bayang nyatanya.

Intinya, hujan ini membuatku ingin berdera seperti lonceng yang berbunyi dua belas kali.

Sehari setelah semuanya pergi.


Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)