Saturday, May 25, 2013

GARA-GARA AL KAUTSAR



Pagi itu aku naik angkot dengan menggerutu. Dadaku sesak dengan rasa kesal yang tak menentu. Namun seketika bisa hilang karena tingkah polah bocah yang arif tiada dua. Ia menghafal surat Al-Kautsar dan mengulangnya berkali-kali. Awalnya aku tak memperdulikannya. Tapi anak itu terus mengulang hapalannya. Tiba-tiba hatiku terenyuh entah mengapa. Hapalan anak kecil itu menenangkan otakku yang berkutat dengan kemarahan. Tapi hingga kini, aku tak mengingat penyebab kemarahanku saat itu. Yang kuingat hanya celoteh hapalan surat Al-kautsar yang terdengar samar-samar dari anak kecil itu. Dik, semoga kau jadi anak yang sholeh ya. Terimakasih Tuhan, Kau sangat baik padaku.
Read More

TAK CUKUP DUA RIBU



Sore itu memang mengasyikkan. Kami menduga-duga interpretasi dari bercak-bercak tinta yang ada di depan kami. Kami sedang belajar tes kepribadian proyektif yang tersohor sulit untuk dipelajari. Namanya tes Rorscach alias Ro. Setiap jawaban ditransformasi menjadi kode-kode skoring tertentu dan sedikit banyak mencerminkan kepribadian orang tersebut. Sulit, namun mengasyikkan. Belajar tes-tes psikologi selalu membuatku merasa beruntung mempelajari teori-teori kepribadian dan teori-teori psikologi lainnya sebelumnya. Intinya, sore dimana kami belajar bersama dalam kelas Ro selalu menyenangkan.

Tapi yang akan kuceritakan bukan tentang interpretasi Ro ataupun administrasi tesnya. Tapi tentang dua orang teman dekatku di kelas itu, Eli dan Nisa. Eli biasa kupanggil Mamen karena kebiasaannya menambahkan kata itu dibelakang percakapan dalam bahasa inggris saat kami kursus bahasa Inggris di tingkat satu. Nisa sering kupanggil Teh Nisa karena penampilannya yang terlihat kalem dan lembut, padahal aslinya jauh dari penampilannya. Haha.

Singkat cerita, kelas Ro selesai 15 menit setelah adzan maghrib berkumandang. Kami bergegas untuk meninggalkan ruangan kelas. Entah mengapa rasanya ingin sekali kuperiksa keberadaan dompetku saat itu. Kucoba merogoh saku, yang kutemukan hanya uang dua ribu. Kucoba periksa semua sisi dalam tas ranselku. Hasilnya nihil. Sepertinya dompetku jatuh entah dimana.

Eli dan Nisa bertanya apa yang sedang kulakukan, aku menjawab apa adanya. Mereka kaget dan ikut kebingungan. Lucunya, saat ekspresi kaget dan bingung mereka muncul, mereka sama-sama mengecek saku dan dompet. Berusaha membantuku yang bodohnya hanya cengengesan tak punya solusi.

Mereka mengeluarkan uang yang ada di dalam dompet. Memisahkan beberapa lembar untuk ongkos pulang lalu memberikan sisanya kepadaku.

“Eli belum ambil uang di ATM, Ki,” kata Eli.
“Aku gak bawa dompet yang satu lagi, Ki. Adanya segini doang,” kata Nisa.

Sungguh aku tak pernah meminta mereka untuk meminjamkan uang padaku. Aku berceritapun memang karena hanya ingin bercerita saja. Kini aku kebingungan dan kaget karena tindakan mereka yang langsung patungan saat mendengar ceritaku.

“Cukup gak, Ki?” tanya mereka berbarengan.

Aku hanya tertawa. Kocak. 

Aku mengangguk dan berterimakasih kepada mereka karena berkat mereka aku bisa pulang ke rumah. Andai saja rumahku dekat dengan kampus dan hanya membutuhkan ongkos dua ribu, mungkin kejadian ini tak akan pernah terjadi. Beberapa hari setelah kejadian itu, mereka berdua kerap menanyaiku hal yang sama sebagai candaan : “Bawa dompet kan, Ki? Atau kita harus patungan lagi?”

Tuhan, Kau selalu baik. Lagi-lagi mempertemukanku dengan orang-orang baik. Terimakasih.
Read More

TERIMAKASIH, DINA



Aku termasuk orang yang saat ini tak bisa dengan mudah menahan emosi negatif terutama marah. Ya, jikalau amarah bisa berubah menjadi uang, mungkin aku sudah menjadi orang terkaya sedunia karena terlalu sering marah-marah. Jeleknya, setiap marah pasti orang-orang yang ada disekitarku kena imbasnya. Nyolot sana, nyolot sini. Menyebalkan.

Umumnya, bila sedang marah, teman-temanku enggan mendekat karena malas kena semprotan yang panjang bukan main. Tapi berbeda dengan temanku satu itu. Dina.

Namanya Dina Hazadiyah, ia sering menuliskan kata “rainbowstar” diakhir nama depannya sebagai nama gaul di barang-barang miliknya termasuk berbagai akun sosial media yang ia punya. Dina termasuk orang tersabar dari segelintir orang yang sabar berinteraksi denganku. Ia orang yang pemalu, baik, ramah dan juga sabar.

Suatu hari entah karena apa, aku tak bisa menahan diri. Marah-marah tak jelas. Mengoceh tak tentu arah. Intinya, saat itu aku marah besar. Padahal aku sedang bergerombol dengan teman-temanku yang lain. Mereka diam saja tak menanggapiku yang mengoceh terus-terusan. Merasa tak didengar, akhirnya aku diam. Kesalku semakin bertambah. Teman macam apa mereka? Pikirku saat itu. Hahaha. Memang dasar orang egois tak ada tandingannya. Aku tak memikirkan betapa kesalnya mereka karena terus-terusan mendengar ocehanku.

Kami mampir disebuah warung pecel lele di pinggir jalan. Seperti biasa, setelah memesan makanan sang pemilik warung menyediakan satu gelas teh hangat untuk setiap pembeli. Semua mendapatkan minuman hangat mereka kecuali aku. Sang penjual salah menghitung jumlah pembelinya. Kesalkupun bertambah.

Tiba-tiba Dina menyodorkan gelas teh hangatnya kepadaku.

“Ini buat Kiki dulu, minum dulu biar tenang,” ujarnya.

Aku mengambil gelas itu tanpa berkata-kata. Tak lama kemudian pesanan makanan kami siap disantap. Dina lagi-lagi mengajakku berbincang.

“Mau kerupuk, Ki? Dina ambilin kalau mau,” tawarnya.

Bukannya mengangguk atau memberi jawaban pasti, aku malah menangis. Amarah yang hampir mengkristal di hatiku, seketika pecah berserak tak bersisa.

“Kenapa? Udah jangan nangis, makan yuk sekarang,” ajak Dina sambil menyerahkan kerupuk padaku.

Sialnya, air mataku malah bertambah deras. Sesaat kemudian aku mulai tenang. Menghentikan tangisku dan ikut makan seperti teman-temanku yang lain. Pastinya dengan kondisi lebih tenang dan tak merasa kesal lagi. Setengah jam berlalu, kami meninggalkan warung pecel lele itu.

Makasih Dina,” kataku.

Dina hanya tersenyum cengengesan seperti biasanya. Selalu, ia selalu tersenyum seperti itu sambil berkata, “Apa sih kamu, biasa aja.”

Rasanya baru kali itu ada orang yang tetap bersikap baik padaku walaupun aku sudah marah-marah padanya. Rasanya baru kali itu ada orang yang tetap tersenyum menawarkan bantuannya untukku saat aku kesal dan mengesalkan. Rasanya aku diperintahkan Tuhan belajar menjadi baik seperti Dina atau mungkin orang-orang baik lainnya. Ah, Tuhan.. Kau selalu tahu diri ini selalu bebal bila hanya mendengar nasehat-nasehat yang berseliweran indah di telinga.

Terimakasih Dina 
Read More

RAHASIA


Aku sedikit tak percaya dengan kata “rahasia”. Serahasia-rahasianya kata rahasia, pasti ada banyak yang orang tahu tentang hal itu. Ini yang membuat pikiranku rancu. Rahasia oh rahasia. Tak sedikit rahasia yang kuungkapkan. Tak sedikit pula rahasia yang kudengar. Tapi dimanakah letak rahasianya bila mereka juga tahu apa yang kita rahasiakan? Ya, bagiku rahasia hanyalah manipulasi manusia yang sok-sok-an  mempertahankan sesuatu yang sebenarnya ingin diketahui oleh orang lain.

Tiba-tiba terlintas dipikiranku. Mengapa Tuhan juga merahasiakan kiamat? 

Ah sudahlah, otakku tak punya kapasitas mengkaji rahasia Tuhan. 

Masih tentang rahasia. Dulu aku pernah menceritakan sesuatu yang menurutku rahasia. Lalu teman yang menjadi teman berceritaku bilang, “Gue sih bisa berusaha semaksimal mungkin rahasia lo gak akan bocor kemana-mana. Tapi lo juga pegang kata-kata lo kalau ini rahasia. Jangan-jangan nanti lo sendiri yang membocorkan rahasia lo.”

Ya, terkadang apa yang kita gaungkan sebagai rahasia dibocorkan oleh diri kita sendiri. Rahasia oh rahasia. Rupanya begitu tak jelas. Wujudnya begitu bias dan terdengar begitu ‘panas’

Nah loh, bagaimana denganmu? 

Selamat menjaga rahasia yang kau anggap rahasia  ;)
Read More

PERTANYAAN



Aku pernah bercerita tentang senyum anak kecil yang membuatku merasa sore hari penuh warna. Aku juga pernah merasa tenang saat mendengar hapalan surat pendek seorang anak kecil di angkutan umum. Kini, lagi-lagi aku mendapatkan pelajaran berharga dari tingkah polah makhluk terjujur sedunia.

Siang itu, lagi-lagi aku salah jalan. Entah mengapa kesalahan selalu menghiasi hidupku. Mulai dari salah naik angkutan umum, salah kirim SMS, hingga salah alamat. Ah, terdengar seperti lagu dangdut saja.

Kembali ke ceritaku, siang itu aku hendak pergi ke suatu tempat. Namun naas, aku yang sangat sulit menghapal jalan ini lagi-lagi tersesat di kotaku sendiri. Aku memutuskan untuk berjalan. Beruntung, suhu udara di siang itu tak membuatku bercucuran keringat. Daerah tempatku tersesat pun penuh pohon rindang, sehingga aku dengan senang hati menikmati terbuangnya waktu karena tersesat.

Lelah berjalan, akhirnya kuputuskan untuk naik angkutan umum kembali. Angkutan umum yang kutumpangi hanya berisi seorang ibu dengan anak laki-lakinya.  Mereka sukses mencuri perhatianku. Anak itu berceloteh tanpa henti dan ibunya mendengarkan lalu merespon setiap celotehannya. Tanpa diminta, otakku bekerja merekam percakapan mereka dengan cukup baik.

“Ma, kenapa orang-orang meludah sembarangan di jalan?” tanya si anak.
“Iya, mereka gak  tahu itu bikin penyakit mereka menyebar ke orang lain,” jawab si ibu.
“Oh, kasihan ya Ma orang-orang yang nanti ketularan. Eh kok orang-orang juga suka merokok di tempat umum? Kata kakak itu gak boleh loh, Ma.”
“Iya, harusnya gak boleh gitu.”
“Em, berarti mereka jahat ya, Ma.”

Si ibu mengangguk dan aku tersenyum karena sopir angkot yang kami tumpangi sedang merokok sambil menyetir.

“Ma, semua speaker di mobil kayak gini gede semua ya, Ma?”
“Iya, kenapa?”
Kan kasihan orang-orang di dalam angkot, bisa-bisa nanti budeg. Hehe.”
“Ya enggak, orang-orang juga suka dengar musik.”

Si ibu terlihat melirik ke arah sopir angkot yang beberapa melirik anak laki-laki beserta ibunya itu melalui cermin. Aku? Apa yang aku lakukan? Aku sibuk menebak pertanyaan apalagi yang akan keluar dari anak laki-laki cerdas ini.

“Ma, itu isinya apa sih, kok bisa nyala kalau malam?” tanya anak itu sambil menunjuk ke arah billboard rokok yang terpampang di pinggir jalan.
“Lampu.”
“Sama gak dengan lampu yang ada di rumah kita?”
“Sama.”
“Kalau ayah bikin lampu yang kayak gitu di rumah, dipasangnya di kamar adik ya.”
“Oke.”
“Ma, itu kok yang naik motor jalan di tempat jalan kaki?” anak laki-laki itu menunjuk ke arah pengendaara motor yang sedang melaju di trotoar.
“Iya, seharusnya gak boleh seperti itu.”
“Kalau ada polisi, harus dihukum ya, Ma?”
“Iya.”
“Kasihan ya, Ma. Orang-orang jalan kaki jadi susah.”
“Iya.”
“Ma, temanku katanya pernah ke mall. Mall itu apa, Ma?”
“Kata teman adik apa?”
Gak tahu, nanti adik tanya dulu ya.”
“Nanti certain ke Mama ya.”
“Iya, Ma. Tapi mall itu apa dulu?”
“Tempat beli-beli barang. Waktu adik beli baju bola itu kan di mall.”
“Oh, tempat orang-orang jualan ya.”
“Iya.”
“Itu mall juga, Ma?” jari telunjuknya mengarah ke pedagang kaki lima yang berjejer di pinggir jalan.
“Bukan, kalau mall ada gedungnya.”
“Oh, yang kayak gitu?” si anak menunjuk gedung bertuliskan Riau Junction.
“Iya. Betul.”
….

Ibunya hanya tersenyum dan mengangguk. Tak lama kemudian anak beranak itu turun dari angkot hijau yang kami tumpangi. Sungguh, aku tak bisa membayangkan bagaimana bila aku menjadi ibu dari anak itu. Rasanya aku akan risih ditanya banyak hal yang menurutku remeh di tempat umum. Tapi ibu itu dengan sabar menjawab dan merespon semua pertanyaan dan ungkapan anaknya. Tanpa marah-marah dan terlihat kesal. Tanpa menyuruh anaknya diam karena terlalu banyak bertanya. Tanpa melarang anaknya bertanya kembali.
Tuhan, jika suatu saat nanti aku berkesempatan menjadi seorang ibu, mampukan aku mendengar dan merespon dengan baik apa yang disampaikan anakku. Tolong bantu aku meredam fluktuasi emosi yang membuatku mudah kesal dan merespon secara negatif apa yang menurutku tak penting. 

Bu, meskipun kita hanya bertemu saat itu dan aku tak ingat wajahmu dengan baik, izinkan aku mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya untukmu yang telah mengajarkanku secara langsung bagaimana bersikap. Pelajaran yang mudah didengar dan sulit dipraktekan.

Dik, semoga kau tetap bertanya dan terus bertanya tentang banyak hal. Kau pasti jadi anak yang hebat, semoga!

Siang itu lagi-lagi menjadi siang yang indah.
Read More

KATA YANG….


Sabar. Entah mengapa aku tak terlalu suka kata ini muncul dalam percakapanku terutama saat aku sedang marah. Aku selalu berusaha untuk sabar tapi nyatanya letupan-letupan kekesalan masih saja sulit untuk direduksi apalagi diredam adanya. Maka saat orang lain menenangkanku sambil berkata, “sabar Ki,” bukan menenangkanku malah sebaliknya. Membuatku kembali geram. Aneh ya? Aku juga merasa ini aneh. Stabilitas emosiku rasanya masih belum baik. Tapi benar kata pepatah yang mengatakan bahwa awal kemarahan adalah kegilaan dan akhirnya adalah penyesalan. Setiap kali marah, pasti akhirnya menyesal telah menancapkan beberapa paku tajam di hati orang-orang yang baik padaku.

Perjuangan. Tak ubahnya kata sabar bagiku, kata perjuangan juga terlalu istimewa penggunaannya. Bagi beberapa orang mungkin perjuangan adalah kata yang begitu menggairahkan. Bagiku, kata perjuangan membuatku bertanya-tanya kembali, apakah hal yang kulakukan atau mereka lakukan itu benar-benar perjuangan? Memperjuangkan siapa? Benarkah cara perjuangan itu? Entahlah, aku tak tahu. Dipikiranku yang kosong ini, perjuangan itu lebih layak disandingkan dengan usaha kemerdekaan para leluhur bangsa, usaha menyadarkan manusia oleh para nabi, usaha para pembela kebenaran. Ah ya, apalah arti kebenaran kini? Semua kebenaran subjektif yang diamini oleh banyak orang menjadi kebenaran objektif yang jadi panutan. 

Sebenarnya ketidaksukaanku terhadap penggunaan kata-kata itu juga tak beralasan kuat. Hanya dikarenakan subjektifitas yang menguasai otak dan persepsiku. Sebenarnya tak pernah ada alasan kuat untuk membenci, karena mungkin saja akan ada alasan kuat untuk mencintai hal yang sebelumnya kubenci. Bisa saja entah hari apa, purnama keberapa, di waktu seperti apa akhirnya aku bisa menerima pemahaman orang lain tentang dua kata yang tak kusukai ini. Kapan masa itu datang? Entahlah.
Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)