Thursday, November 28, 2013

CERITA TENTANG DOKTER

Dokter demonstrasi, masyarakat sibuk memaki. Saya adalah salah satu orang yang sangat kagum dengan profesi satu ini. Saya juga sempat merasakan nikmatnya kuliah yang dipandu oleh seorang dokter berwawasan luas. Dokter dimata saya itu profesi yang luar biasa. Apalagi jika ditambah dengan pengetahuan agama yang mendalam. Menambah nilai plus dan kekaguman saya. Tapi bukan tentang kekaguman tulisan ini saya buat. Bukan pula untuk memanaskan suasana atau apalah namanya. Saya hanya ingin bercerita. Bercerita tentang pengalaman agak lucu yang saya alami saat saya berhadapan dengan dokter.

Siang itu, saya bersama seorang teman yang mendapat jadwal menemani anak kecil kontrol ke salah satu rumah sakit terkemuka di kota kami. Anak itu cukup malang, tak punya hidung dan rahang mulut bagian atas. Bagian tengah mukanya yang bolong itu ditutupi oleh sesuatu yang dipasang dokter saat pemeriksaan sebelumnya. Ia datang dari kotanya ke rumah sakit ini karena keluhan sakit batuk dan pilek. 

Menjelang jam 2 sore, teman saya izin pulang terlebih dahulu karena akan berangkat umroh (kalau saya tidak salah). Akhirnya, saya menemani anak itu beserta kakek dan neneknya untuk mengantri di poli anak. Singkat cerita kami masuk ke ruangan poli anak. Ada sekitar 3 atau empat dokter disana. Saya membayangkan kondisi di poli anak itu menyenangkan seperti di film-film yang saya tonton dan novel-novel fiksi yang saya baca. Sayang disayang, mungkin karena terlalu lelah dan banyaknya pasien, kesan ramah dan menyenangkan tak saya rasakan. Em, saya malah sedikit ketakutan karena ada salah satu dokter yang sedang marah-marah atas hilangnya stetoskop yang ia simpan di meja. Bagaimana itu bisa terjadi? entahlah. Kita saja sering kehilangan pulpen saat kita baru saja memegangnya bukan?

Singkat cerita, kami dipanggil untuk diperiksa. Kakek dari anak itu menunggu di luar, sedangkan saya dan neneknya masuk ke dalam. Itu pengalaman pertama saya mengantarkan orang berobat yang bukan keluarga saya sendiri. Saya sedikit nervous karena tidak terlalu mengikuti perkembangan bantuan kesehatan yang LSM kami lakukan untuk anak tersebut. 

Mungkin karena kondisi fisik yang sangat berbeda dari anak kebanyakan, anak yang kami bawa ini menjadi perhatian dokter anak yang sedang berjaga. Berbagai pertanyaan diberikan. Mungkin saya yang terlalu perasa, tapi kok rasanya seperti diinterogasi. hehe. Ya ya ya, namanya juga perasaan, sang dokter bisa saja tidak bermaksud demikian.

Lucunya, saat memeriksa kami ponsel dokter tersebut berdering. Ia mengangkatnya dan mengobrol dengan temannya. Saya dan nenek si anak bisa dengan jelas mendengar apa yang ia bicarakan karena ia tak menurunkan volume suaranya sedikitpun. Sekitar 10 menit kami menjadi kambing congek yang saling berbisik satu sama lain. Tanpa mengucap maaf atau berbasa-basi, ia memeriksa anak itu kembali. 

"Ini anaknya, bu?" tanya sang dokter.
"Bukan ini cucu saya," jawab nenek anak itu.
"Kamu siapanya?" tanyanya pada saya.
"Saya emm.. saya dari LSM blablabla," jawab saya menjelaskan.
"LSM? isinya mahasiswa semua? dapat duit darimana ngobatin orang-orang?" tanyanya lagi dengan nada yang membuat saya berpikir ingin melayangkan tinju dan membuat giginya rontok. Ya ya ya, mungkin sang dokter tak bermaksud menyakiti dan hanya ingin memuaskan rasa ingin tahunya saja.
"Donatur pak, kita kan sering mengadakan penggalangan dana." (kalimat "dokter juga kalau mau bantu kami persilahkan" yang diusulkan oleh ketua kami saat saya ceritakan kejadian itu sayangnya tidak terpikirkan oleh saya saat itu).

Dan setelah itu saya lupa lagi bagaimana lanjutan kejadian ini. Setelah kejadian itu saya berpikir ulang tentang kekaguman berlebihan saya pada profesi ini. Mereka juga manusia dan tak bisa diharapkan secara berlebihan. Sebenarnya tidak ada kesimpulan yang cukup berarti dari cerita ini. Hanya saja, kejadian itu menjadi titik dimana saya menyadari, profesi dokter itu sama saja dengan profesi lainnya. 

Apa ada yang merasakan hal yang sama saat tidak dilayani dan diterima dengan baik oleh profesi lainnya? psikolog misalnya?

Kau tak mengerti? Ah, sudahlah. Saya hanya ingin menceritakan apa yang saya alami. :)
Read More

Saturday, November 16, 2013

ECOTECH GARDEN, TAMAN CANTIK MULTIFUNGSI

Ketersediaan air yang melimpah ruah terkadang membuat kita lupa masih banyaknya saudara jauh kita yang kondisinya bertolak belakang dengan kondisi 'makmur' yang kita alami. Ketersediaan air tak jarang membuat kita lupa memikirkan kondisi air yang kita buang ke lingkungan sekitar kita. Air yang penuh dengan kandungan detergen, pewangi, sabun, sampo dan juga kandungan-kandungan kimia lainnya, sedikit banyak dapat berkontribusi negatif pada kelestarian lingkungan kita. Air pembuangan non-kakus tersebut disebut dengan grey water. Berbeda dengan black water (buangan dari kakus) yang biasanya langsung diolah di septic tank, grey water biasanya dibuang begitu saja ke sungai dan selokan terdekat oleh warga. 

Grey water memang akan membahayakan masyarakat jika terus menerus dialirkan begitu saja ke sungai, danau, dan selokan karena zat-zat yang dibawanya bisa menjadi polutan yang merusak lingkungan. Tapi tidak untuk beberapa jenis tanaman. Grey water bisa dimanfaatkan sebagai pupuk berharga yang kemudian saat air 'dilepaskan' ke selokan atau aliran sungai dan danau, kandungan berbahaya yang ada di dalamnya bisa tereduksi.

Ecotech Garden: Filter Grey Water

Seperti yang dirilis oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Republik Indonesia, grey water menjadi bau karena terjadinya proses dekomposisi zat organik yang memerlukan oksigen terlarut dalam air limbah. Proses ini bisa dilihat dari warna air limbah yang kehitaman, berbusa dan berbau busuk. Filterisasi air limbah/ grey water inilah yang harus menjadi fokus kita sekarang. Salah satu solusi yang ditawarkan oleh lembaga pemerintahan ini berupa ecotech garden, yaitu teknologi alternatif pengolahan air selokan dengan menjadikan tanaman hias sebagai filter grey water. Cara ini efektif untuk membuat bakteri-bakteri dan berbagai zat yang terkandung dalam grey water tereduksi. Ecotech garden juga dapat menghilangkan bau dan menjernihkan air. Sebagaimana sebuah taman, ecotech garden juga meningkatkan estetika lingkungan. Kapan lagi kita bisa melihat sebuah filter air limbah dengan tampilan cantik berupa taman? Mengaplikasikan ecotech garden adalah jawabannya.

Pembuatan Ecotech Garden

Jangan berpikir bahwa membuat taman filter ini sulit, karena itu tidaklah benar adanya. Perumahan Bumi Asri Padasuka sudah menerapkan sistem ramah lingkungan ini di setiap rumah mereka sejak tahun 2005 lalu. Mereka memanfaatkan pembuatan air selokan terbuka yang dialirkan ke halaman rumah. Selokan terbuka itu dibentuk model U dengan luas permukaan 2,06 m2 dan debit 0,07 L/det. Biaya pembuatan yang dibutuhkan untuk membuat ecotech garden adalah Rp. 300.000,- untuk 0,07 L/det limbah yang diolah. Biaya ini terdiri dari 40% biaya tanaman hias, dan 60% ongkos galian dan bahan. Biaya ini cenderung murah bila dibandingkan dengan di Pulau Miyako, Okinawa yang mencapai 797.538 US$ per L/det.

Tanaman Ecotech Garden

Ecotech garden dapat dihiasi dengan berbagai jenis tanaman air seperti melati air, arrowhead sagita japanica, cyperus papyrus, pisang brazil dan masih banyak lagi. Tanaman-tanaman tersebut dapat berdaya guna lebih optimal jika digunakan sebagai filter zat beracun dari grey water yang bisa merusak lingkungan

Peran Masyarakat dan Pemerintah dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan 

Pengelolaan air limbah rumah tangga atau grey water adalah salah satu bukti kepedulian kita terhadap lingkungan. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah diinformasikan oleh banyak pihak terutama pemerintah ini seyogyanya bisa dimanfaatkan dengan baik oleh semua kalangan. Adapun sosialisasi yang dilakukan pemerintah tidak bisa hanya dilakukan dengan media elektronik saja, perlu ada pelatihan yang bisa menyinergikan ide cemerlang pemerintah dengan tindakan yang tepat guna oleh masyarakat.

Dengan membuat ecotech garden, kita sudah melakukan pembuktian bahwa kita mencintai negeri ini. Keseimbangan alam yang kini sudah mulai tergoncang tak bisa hanya disikapi dengan diam dan berpangku tangan. Mari memulai tindakan cinta lingkungan dimulai dari lingkungan terdekat yaitu rumah kita.

Masih berpikir dua kali untuk membuat ecotech garden di rumah anda? Ayo bergerak!





Read More

JALAN: OBJEK TANGGUNGJAWAB BERSAMA

"Jalan tidak pernah berujung. Setiap jalan sambung menyambung menjadi satu sehingga manusia tidak akan pernah menemukan akhir jalan dalam artian filosifis maupun definitif. (unknown)"
Sore itu saya kembali terjebak di tengah kemacetan panjang. Alasannya sama dengan hari-hari lainnya: perbaikan jalan. Beberapa bulan yang lalu juga saya sempat terjebak hingga larut malam karena perbaikan jalan yang entah hingga kapan selesainya. Jalan desa, jalan kota, jalan kabupaten bahkan jalan provinsi  dab nasional tak luput dari kerusakan yang bisa berbuah petaka. Tak seluruh jalan di Indonesia seperti itu, banyak jalanan di Indonesia yang mulus bak sirkuit kompetisi mobil cepat ternama. Sayang, 'bopeng-bopeng' di jalan negeri ini  tak bisa diabaikan begitu saja. Ia bak 'bopeng-bopeng' di permukaan bulan nun jauh disana. Mengganggu mata manusia yang sedang menikmati keindahan Indonesia. 

Jalan yang sudah diperbaiki rasanya tak bertahan lama. Jalanan Pantura yang selalu dibenahi setiap tahunnya, jalanan desa yang entah kapan diaspal dan diperbaiki, jalan provinsi yang terkadang terlalu penuh dengan berbagai kendaraan beroda empat maupun dua. Ah, jalan membuat manusia yang berlama-lama disana menjadi keras.

Berbagai pihak saling menyalahkan satu sama lain atas penyelenggaraan jalan termasuk pemeliharaan dan pemanfaatannya. Lalu siapa yang sebenarnya bertanggungjawab atas pemeliharaan dan pemanfaatan jalan yang ada di Indonesia? 

Tanggungjawab siapa?

Saya pikir hal ini tidak pernah dibahas sebelumnya, ternyata saya salah. Kementerian Pekerjaan Umum nyatanya sudah menjabarkan bahwa penyelenggaraan jalan adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan pihak swasta dalam bentuk pedoman yang bisa diakses dengan mudah oleh siapapun melalui internet.  

Sebagian besar masyarakat selama ini merasa dirinya hanya menjadi objek dari sebuah kegiatan ataupun upaya peningkatan kesejahteraan yang dilakukan oleh pemerintah di Indonesia. Ini ditunjukkan dengan minimnya partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan, penggunaan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan jalan. Meskipun kita tidak bisa menutup mata dengan usaha beberapa orang yang meluangkan waktunya untuk memelihara jalan raya dari ranjau paku, serpihan kaca dan benda-benda membahayakan lainnya. Gerakan-gerakan kecil yang dilakukan oleh beberapa masyarakat menunjukkan kesadaran bahwa masyarakat bukan lagi hanya menjadi objek sebuah program pemerintah, namun menjadi subjek yang ikut menyukseskan program pemerintah. Dengan kesadaran itulah kita bisa mengerti tentang adanya objek bersama yang bisa digarap dengan pembagian peran yang sudah diupayakan oleh pemerintah yaitu jalan.

Berbagi peran

Pemerintah sebagai penyelenggara jalan sudah selayaknya mendapat dukungan dari masyarakat untuk mempercepat kemajuan negeri ini. Dalam pedoman yang disahkan setahun yang lalu ini menyebutkan bahwa masyarakat sebagai pemanfaat jalan (orang yang mendapatkan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung dari jalan untuk pemenuhan kepentingannya) dan pengguna jalan (orang yang menggunakan jalan baik perorangan, kelompok, maupun badan usaha) bisa banyak mengambil peran dalam setiap tahapan penyelenggaraan jalan (pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan). Inti peran masyarakat dalam setiap tahapan penyelenggaraan jalan adalah sebagai pemberi informasi, usulan mapun saran. Meskipun memang ada beberapa tambahan peran yang bisa dilakukan oleh masyarakat dalam tahapan-tahapan tertentu seperti memberi sumbangan finansial, material maupun pemikiran. 

Peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan juga membuka peluang bagi masyarakat untuk mensosialisasikan pengetahuan. Selain itu, masyarakat juga berpeluang untuk menggerakkan masyarakat lainnya untuk dapat berkontribusi secara positif terhadap penyelenggaraan jalan tersebut. 

Penyampaian aspirasi

Pemberian masukan positif bisa dengan mudah dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah. Berkaitan dengan penyampaian aspirasi masyarakat tentang penyelenggaraan jalan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terutama penyampaian aspirasi kepada pihak yang tepat agar bisa dengan cepat menyelesaikan keluhan ataupun aspirasi yang disampaikan. Untuk jalan nasional, penyelenggara jalan adalah Menteri Pekerjaan Umum dengan pelaksana penyelenggara jalan adalah Balai Besar/ Balai Pelaksana Jalan Nasional atas nama Direktur Jendral Bina Marga. Untuk jalan provinsi, penyelenggara jalan adalah Gubernur dengan pelaksana penyelenggara jalan adalah Kepala Dinas yang berwenang dalam Penyelenggaraan Jalan Provinsi. Untuk jalan kabupaten, penyelenggara jalan adalah Bupati dengan pelaksana penyelenggara jalan adalah Kepala Dinas yang berwenang dalam Penyelenggaraan Jalan Kabupaten. Untuk jalan kota, penyelenggara jalan adalah Walikota dengan pelaksana penyelenggara jalan adalah Kepala Dinas yang berwenang dalam  Penyelenggaraan Jalan Kota. Untuk jalan desa, penyelenggara jalan adalah Bupati dengan pelaksana penyelenggara jalan adalah Kepala Desa. Jadi, jangan sampai salah menyampaikan aspirasi anda sebagai social control dari pemerintah.

Penyampaian aspirasi akan menjadi lebih mudah jika kita menggunakan banyak media yang dimiliki oleh pemerintah. Sudah banyak sekali tokoh masyarakat maupun lembaga pemerintahan yang memiliki akun social media. Komunikasi di era digital ini sudah pasti lebih mudah dilakukan daripada terus menunggu kesempatan untuk bertatap muka dengan pihak-pihak terkait yang terkadang sangat sulit ditemui. Memanfaatkan teknologi akan membantu kita untuk dapat membantu pemerintah melakukan perbaikan terutama dalam pelayanan terhadap masyarakat.

Penutup

Menjadikan jalan sebagai objek tanggungjawab bersama tidak serta merta menjadikannya sebagai pemutar roda kehidupan. Menggunakan jalan atau trotoar untuk kebutuhan bisnis, bukan saja merugikan pemerintah yang sudah susah payah membuat jalan untuk kemudahan akses masyarakat. Hal itu juga merugikan masyarakat lainya sebagai pemanfaat dan pengguna jalan yang terhambat aktivitasnya hanya karena bertoleransi terhadap masyarakat lain yang tidak toleran terhadap sesamanya. 

Masihkah kita pantas menyalahkan pemerintah tanpa berkaca dan mengambil andil tanggungjawab yang kita emban?


Read More

Monday, November 11, 2013

Menikah

Menikah. Satu kata yang melahirkan begitu banyak persepsi bagi orang-orang yang membacanya. Kata yang menurutku merujuk pada keinginan tiada henti manusia yang merasa kebutuhannya harus terus menerus dipenuhi. Yang lajang ingin memiliki pasangan, yang memiliki pasangan terkadang ingin menjadi lajang, menambah pasangan atau bahkan melanjutkan hubungan mereka ke jenjang perkawinan. Yang sudah menikah ingin memiliki anak. Yang punya anak ingin anaknya cepat sekolah saat ibu dan ayahnya lupa dulu mereka sulit sekali menyelesaikan sekolah, dan selanjutnya dan selanjutnya. 

Nikah, kawin, sama saja. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun tak menjelaskan apa yang seharusnya dipakai karena keduanya sama lazimnya digunakan dalam percakapan sehari-hari maupun dalam tulisan ilmiah. Terserah tentang KBBI, aku tak akan membahas itu. 

Ada seseorang yang bilang padaku, nikah itu merujuk pada ikatan sakral yang biasanya ditandai dengan pengucapan ijab kabul dan sejenisnya. Sedangkan kawin itu adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh wanita dan pria. Mungkin orang yang berbicara padaku itu sering melihat hewan 'kawin' sehingga apa yang dianalogikannya menjadi cukup lucu bagiku. Terserah bagaimana bagimu.

Menikah itu menurutku awalnya hanya ide orang-orang saja yang dipertegas oleh hukum-hukum agama, norma sosial bahkan dianggap sebagai tugas perkembangan yang harus diselesaikan oleh seseorang pada fase pertumbuhan tertentu. 

Menikah akhir-akhir ini menjadi jalan keluar dari masalah-masalah yang ada di sekitar seseorang. Percaya atau tidak, hampir semua teman dekatku yang sudah menikah dan bercerita tentang alasan ia memutuskan menikah adalah untuk mengeluarkan dirinya dari masalah yang cukup lama digelutinya. Beberapa orang menikah karena merasa sudah umurnya dan ada tekanan yang halus dari lingkungan sekitar, orang tua, teman-teman, dll untuk menikah. Kalau menurut riset kecil-kecilan yang aku baca, alasan ini disebut konformitas. Mungkin aku salah mengerti dengan hasil riset yang kulakukan, jadi jangan jadikan tulisan ini sebagai pegangan. Ini hanya ceritaku saja. 

Beberapa yang lain menikah karena sudah muak dengan kondisi keluarga yang amburadul dan ada seseorang yang ingin menyelamatkan dirinya dari keamburadulan kelompok kecil terdekat bernama keluarga itu. Jadilah sang lelaki bak pangeran berkuda putih yang siap berperang di medan perang. #halah

Beberapa yang lain merasa sudah sangat siap dan memang sudah punya pasangan sebelumnya. Pasangan disini adalah pacar. Walaupun menurutku tidak ada hasil ilmiah apapun yang menunjukkan hubungan yang linier antara usia pernikahan dan usia pacaran. Ah sudahlah, abaikan asumsiku satu ini. 

Beda dengan yang lainnya, ada juga orang yang menjadikan menikah adalah sebagai cita-cita. Ya seperti cita-citaku menikah dengan dokter, mungkin. Sungguh, aku sempat mewawancarai seseorang yang merasa menikah adalah cita-citanya yang tercapai (kebetulan saat itu ia sudah menikah). 

Menikah bagiku tak jauh berbeda dengan yang lain. Mempercayakan kehidupan selanjutnya dengan orang yang tak jarang tidak kita kenal sebelumnya (entah kl sudah kenal). Ini cukup sulit. Percaya pada orang tua saja sulit, apalagi dengan orang lain yang akan selalu menghabiskan hari-harinya dengan kita. Aku pernah mendengar orang berkata, "sekarang kau akan bilang senang dan bahagia bila kau bertemu denganku setiap hari, bisa saja beberapa bulan lagi (dimana kau melihatku setiap hari) akan muak melihat wajah ini."

Bagaimana jika dikhianati atau mengkhianati? Bagaimana jika aku kecewa dan mengecewakan? Bagaimana jika menjauh perlahan atau dijauhi perlahan? Bagaimana jika...

Betapa rumit ikatan bernama pernikahan di otakku. Mungkin itu bisa terjadi karena hingga saat ini aku berpikir bahwa berhubungan dekat dalam jangka waktu yang cukup lama dengan intensitas bertemu yang amat tinggi cukup sulit. 

Tapi lagi-lagi pandanganku tentang pernikahan tidak stagnan pada suatu titik dimana aku merasa belum pantas untuk melakukannya. Pernah beberapa kali aku berpikir untuk menikah cepat dengan cara ta'aruf atau bagaimanalah. Toh aku tidak sedang mencintai siapapun (entah bila ada yg cinta, mungkin matanya sudah buta). Inginnya aku menikah dengan dokter yang kualitas otak, iman dan hatinya baik. Itu terjadi bila terkadang aku khilaf dan tak sadar diri. Mereka yang menurutku sempurna pasti mencari orang-orang yang sempurna juga di matanya. Terkadang aku menolak mentah-mentah gagasan nikah muda (menikah dibawah usia 24 tahun), terkadang aku juga ingin merasakannya (walaupun sekarang umurku menginjak 23 tahun lebih sekian bulan). Intinya, pandanganku tentang pernikahan tidak pernah tetap. 

Hingga saat ini aku masih berpikir bahwa pernikahan adalah 'ajang' (jeileh bahasanya) belajar dari orang lain yang sah secara hukum dan agama untuk selalu mendampingiku. 

Entahlah seperti apa pernikahanku nanti, dengan siapa aku menikah nanti, kapan aku menikah hingga dimana aku tinggal setelah menikah.. Siapa dan bagaimana anakku nanti? Sudikah mereka betah tinggal di rumah dengan makhluk semengerikan aku? haha. Semoga saja ada orang yang cukup waras dan tepat yang tersihir untuk datang ke rumahku. Sihir yang kumaksud disini yaitu daya tarikku (kau pasti tahu kalimat ini kutulis dengan bulu kuduk merinding karena terlalu menjijikkan). 

Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)