Thursday, December 25, 2014

Aalst, Belgium #8

Kami harus turun jam 8 lagi. Sesi ini dimulai segera setelah jam menunjukkan jam 8 pagi. Suasa sedikit berbeda karena beberapa koper sudah ada di depan ruangan. Saya rasa itu adalah koper Erik (tutor kami), Bianca dan juga Dominic (satu-satunya lelaki setelah kepulangan Giorgio ke Italia). Kami memulai materi dengan latihan membaca laporan hasil tes. Sungguh, lagi-lagi berasa kuliah psikodiagnostika. 

Latihan membaca laporan cenderung lama. Dengan demikian waktu tak terasa sudah menunjukkan istirahat makan siang. Kami bergegas pergi ke restoran, makan dengan cepat dan kembali ke ruangan. Kali itu saya tidak absen 10 menit untuk sholat karena sedang halangan. 

Makan siang kali itu agak aneh. Kami diberi sup paprika. Aneh rasanya, tapi karena saya sedang tidak enak badan, maka saya habiskan saja supnya untuk menghangatkan bada *alibi. 

Makan siang dengan makanan yang berbeda 180 derajat dengan makanan semalam itu membuat kami meninggalkan meja makan dengan segera. Sebagian dari peserta training pergi ke ruangan coffee break, sebagian yang lain sibuk dengan laptop mereka masing-masing. Ingat kan? Seluruh peserta adalah manager (kecuali saya pastinya). 

Saat mereka sibuk ketak ketik dengan laptop masing-masing, saya sibuk bbm-an dan Line-an dengan teman saya yang sudah kriyep-kriyep matanya. Di Indonesia sudah malam ternyata. Waktu istirahat habis, saatnya kami role play sebagai yang memberi feedback dan sebaliknya. Kami semua bergantian mencoba simulasi tersebut. Sialnya, saat saya menjadi orang yang memberi feedback, semua persiapan yang sudah saya tulis dengan rinci hilang sudah. Seperti asap rokok yang dikibas-kibas oleh hihid. Menghilang. Saya nervous jadi pusat perhatian seluruh manusia di ruangan itu. Kacau hahaha. 

"I've try to arrange everything, Erik. But when I try to implement my planning it was ppffffff....." kataku. 

Saat itu saya kecewa pada diri saya sendiri. Hiks hiks. 

Tapi entah beruntung entah apa, seluruh rekan saya 'ngupahan' alias menghibur saya dengan beragam kata dan alasan yang lebih banyak sepertinya mengada-ada, seperti saya masih harus perlu belajar lah, terlalu muda lah bahkan karena nervous. Saya memang nervous dan bingung dengan kata-kata yang bisa saya gunakan secara sopan untuk memberikan feedback kepada orang lain dengan bahasa Inggris. Padahal kemarin saya melakukan hal yang sama dengan kompetensi, kenapa giliran sekarang kacau balau galau merana ya? Hufft. 

Tapi hari itu cukup menarik untuk diingat dan dijadikan bahan evaluasi untuk diri saya sendiri. 

Peserta training meminta Erik mempraktekan pemberian feedback terhadap semua orang. Dan entah karena pengalamannya sudah terlalu lama atau bagaimana, cara menyampaikan feedbacknya asik banget. Gak agresif tapi persuasif dan asertif. Keren. Entah gimana caranya dan berapa tahun lamanya gue bisa sekeren itu. 

Waktu berlalu dan akhirnya sampailah pada penghujung acara. Setelah cipika cipiki tiga kali kepada setiap peserta, kami berpisah. Mereka pergi ke bandara dan gue pergi ke kamar. Siap-siap untuk jalan-jalan karena malam itu ada christmas market. Yeay. 

Yang unik adalah, tidak ada sesi foto bersama karena mereka pikir kita semua sudah puas berfoto bersama selama 5 hari ini. Gak seru ya? Hahaha. 

Hanya butuh waktu sekitar 15 menit, keramaian yang tadi menghiasi hotel tempat training mengurai. Entah kenapa saya tiba-tiba merasa sedih. Tapi waktu sedih-sedih ria tidak lama, karena saya dan partner saya akan keliling di christmas market! Horaaay!!!


Read More

Aalst, Beligum #7

Saya pikir bahasa Indonesia adalah bahasa termudah di dunia. Nyatanya teman-teman yang ikut training bersama saya kemarin cukup kewalahan, padahal hanya saya ajarkan bilang 'Selamat Pagi'. Mungkin itu juga yang ada di pikiran rekan saya yang berasal dari Italia. Sepanjang jalan saya belajar kalimat sopan santun seperti gracias, chaochao. Sisanya, kalimat yang terdiri dari dua atau lebih suku kata membuat lidah saya keriting tak karuan. Saya jadi ingat dulu saya pernah berbeda pendapat tentang pelafalan "Ich" dalam bahasa jerman dengan teman saya. Saat saya berhadapan dengan native speakernya, ternyata pendapat saya yang benar. Hahaha. Ich dibaca seperti Isy pake SYA!. Ini gak penting sih, baiklah kita skip. 

Sesampainya di hotel, kami langsung masuk ke restoran. Kami akan makan malam. Yeaay! Lapaaar. Saya lupa pastinya apa yang kami makan saat itu. Kalau tidak salah itu adalah sandwich yang hampir sama dengan makan siang kami di hari pertama. Yaaaaah, penonton kecewa. Eh iya, saya juga heran selama disana saya gak makan nasi dan saya merasa kenyang, tapi kalau di rumah gak makan nasi itu artinya belum makan. Kok bisa ya? Entahlah. 

Setelah makan, kami langsung masuk ke kamar masing-masing, sepertinya rekan-rekan saya itu absen dulu untuk clubbing malam ini. Baiklah, saatnya tidur karena sesi berikutnya akan dimulai sejam lebih pagi. 

Keesokan paginya, kami sudah duduk manis di ruangan sebelum jam 8 pagi. Beberapa diantara kami wajahnya kucel karena harus bangun lebih pagi. Termasuk saya. Haha. Padahal saya bangun jam setengah 5 pagi seperti biasanya (lalu tidur lagi sampai jam setengah tujuh)

Sesi ini agak membosankan tapi seru. Membosankan karena aksen Jerman tutor kami itu kental sekali dan intonasi suaranya sangat-sangat monoton. Seru karena tutor kami itu seorang psikolog dan Ph.D dari kampus di UK. Serasa belajar psikodiagnostika lagiiii. 

Di sesi ini, mayoritas metode yang digunakan adalah metode ceramah. Serasa ikut kuliah dosen favorit belasan bulan yang lalu. Tutor yang ini agak jutek tapi menyenangkan. Ia menjelaskan tahapan demi tahapan dengan jelas. Metode yang sama yang digunakan dosen saya tersebut saat kami belajar membaca hasil tes intelegensinya Weschler. Asik pisan. 

Selain itu, materi sesi ini menarik karena merupakan pembaharuan tes psikologi. Ah keren lah. Mungkin ilmu begini baru bisa saya dapat kalau nanti kuliah S2 atau mungkin S berapa tau. Alhamdulillah..alhamdulillah..

Meskipun serius, waktu berlalu dengan sangat-sangat cepat. Tiba-tiba sudah jam makan siang. Saya mendekati tutor kami tersebut dan bilang saya akan terlambat sekitar 10 menit setelah makan siang karena harus sholat. Ia bilang, "lakukan apa yang harus kamu lakukan."

Waktu berlalu, materi demi materi masuk ke telinga kami. Saya pribadi berharap materi tersebut tidak keluar lagi dari telingan lainnya. Saya juga heran ternyata bahasa Inggris (pasif) saya tidak terlalu parah yaaa. kalau bahasa Inggris aktifnya mah ya jangan tanya. Harus ditingkatkan lagi kemampuannya. 

Makan malam kali itu kami pergi ke sebuah restoran yang ada di dekat pusat kota Aalst. Seperti biasa saya tanya-tanya menu apa yang tidak menggunakan alkohol ataupun tidak berbahan babi dan halal. Mereka bilang baiknya saya pilih menu ikan Salmon. Aih, asa gaya euy orang kampung makan salmon. Wkwkwk. 

Hidangan pembukanya adalah udang dengan bumbu kari. Aselinaaa ini adalah makanan yang rasanya 'nendang' pertama selama di Aalst. Semua orang merasakan hal yang sama. Saat pelayan mengambil piring-piring 'bersih' kami, semua orang bilang, "thank you, this is very delicous". Saya juga ingin bilang, "Aselina ieu ngeunah pisaaaann!" 

Selanjutnya makanan utama, si salmon tea. Enak tauuu. Sungguhan ikannya lembut sekali. Berasa tiba-tiba jadi orang kaya. Hahaha. 

Rekan saya yang lain makan daging babi yang terlihat menggiurkan juga. Menu daging babi dilengkapi dengan kentang goreng. Sedangkan menu salmon dilengkapi dengan perkedel yang gak digoreng alias kentang yang dilembutkan. Katanya, bukan di Belgia kalau kentang goreng gak pakai mayones. Makan malam kali itu ada di kategori ENAK BANGET. 

Setelah makan, pelayan keliling dan menawarkan white wine dan red wine. Saya ingin iseng nyoba tapi gak jadi, ngeri deh ditolak 40 hari ibadahnya hanya karena iseng. Fufufu. 

Selanjutnya, makanan penutup. Perut saya yang karet ini sepertinya hanya mampu menaklukan seperempat makanan penutup yang nantinya akan disediakan oleh pelayan. Tapi karena penasaran dengan hidangan penutup dengan coklat dari perusahaan kami, maka kami putuskan untuk makan bersamaaaa. Satu porsi dessert untuk 3 orang. Yummy! 

Dessert tandas oleh kami semua. Kami berbincang selama hampir sejam. Lalu kami memutuskan untuk pulang. Selanjutnya bisa ditebak olehku bahwa rekan-rekanku memutuskan untuk clubbing di salah satu club yang direkomendasikan oleh pelayan yang membawa makanan-makanan enak tadi. Alamak, saya kenyang dan saya tak kuasa untuk tidak tidur cepat malam itu. 
Read More

Aalst, Belgium #6

Mau kemana kita? FIELD TRIP!!! Yeay!

Kami dijadwalkan untuk pergi ke Wieze, kota kecil dimana pabrik coklat terbesar dunia milik perusahaan kami berada. Asik asik jalan-jalan! Saya agak sedih saat tahu disini tidak bisa jalan-jalan malam karena seluruh toko kecuali diskotik dan beberapa restoran saja. Jam 6 sore, semua toko maupun supermarket tutup. Jadi harapan saya untuk jalan-jalan malam hari pupus sudah. Huhuhu. Tapi agak terhibur saat diajak mengunjungi pabrik kami di Wieze. Disana ada Chocolate Academy yang terkenal dengan inovasi coklat, kompetisi coklat dan beragam hal yang berkaitan dengan coklat di Belgia. Setahu saya, tempat ini juga sering mengadakan kompetisi bagi para koki percoklatan di dunia. Serius, hari itu terlalu menyenangkaaaan!

Kami berangkat menggunakan bus yang disediakan Bianca. Jumlah peserta yang ikut kurang lebih hanya 12 orang, karena beberapa ada yang keburu pulang ke negara masing-masing dan ada juga yang gak ikut kesana karena memang berasal dari Belgia dan Belanda yang notabene bisa didatengi pakai mobil mereka masing-masing.

Saat berangkat, saya baru tahu sisi kota yang unik dan belum sempat saya datangi. Di pusat kota Aalst sudah dipenuhi oleh lampu-lampu berbentuk bintang. Ah, jadi semakin penasaran dengan christmas market nanti. Perjalanan cukup lancar. Kabarnya Belgia dan Italia adalah negara termacet di Eropa Barat. Tapi mana macetnya ya? Hanya sempat mandeg sedikit di pertigaan. Bukan macet eta mah atuh. Heu. Sepanjang jalan cukup ramai. Saat itu kalau tidak salah jam empat sore. Baru kali itu saya melihat cukup banyak manusia berkeliaran di Aalst.  Uniknya, saat memasuki wilayah Wieze, saya baru tahu kalau Wieze itu kawasan industri disana. Persis seperti Dayeuhkolot dimana kantor dan pabrik dimana saya bekerja ada disana. Bedanya, disana penataan kotanya sangaaat sangaaat rapi. Saya juga baru tahu beberapa merk mobil karena melihat pabriknya disana. Selain itu, saya juga baru tahu Tupp*rware itu pabriknya di Wieze. Eh, memang saya tidak tahu apa-apa sebelumnya. Haha.

Sekitar setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai di kawasan pabrik coklat terbesar di dunia. Kamtor Barry Callebaut lengkap dengan Chocolate Academy dan pabriknya tertata rapi. Sungguhan deh, rapi bangeeet. Seandainya di Dayeuhkolot juga serapi ini. Males pulang kayaknya saya.

So, kami langsung masuk menuju Chocolate Academy. Astagaaaa, banyaaaaaaakk sekali hiasan natal yang lucu dan semuanya terbuat dari COKLAT!! COKLAT LOH COKLAAT!! Berasa Willy Wonka. Haha.

Resepsionisnya ditata dengan sangat artistik. Lobi gedungnya persis seperti bar. Ciamik.

Karena sangat indah, kami sibuk foto-foto. Bule oge narsis geuningan. Wkwk

"Kalau disini masih boleh foto-foto. Jadi silakan foto sepuas Anda. Tapi tidak di kawasan pabrik," jelas Isabel.

Isabel itu lucu. Dia wanita energik yang paling menyenangkan selama di Wieze. Isabel adalah tour guide kami selama disana. Ia menjelaskan semua hal yang ia tahu dan menurutnya perlu kami tahu dengan penyampaian yang penuh passion. Menyenangkan. Selain itu, saya tebak dia berasal dari Perancis. Lucu banget sumpah! Aksennya aneh, selain itu dia juga sangat-sangat-sangat semangat menyampaikan banyak hal dan pastinya lengkap dengan gerakan-gerakan aneh yang kayak anak kecil. Kocaaak.

Kami semua menggunakan jas berbahan tisu dan penutup kepala sebelum masuk ke daerah pabrik.

"Kenapa kamu harus pake itu? Kan kepalanya sudah tertutup," tanya Bianca

"Gak tau, saya ikutin saja instruksinya. Tapi coba saya tanya dulu."

Saya tanya ke Isabel, katanya tetap harus pakai penutup kepala. Maka saya pakailah penutup kepala itu. Hahaha.

Big Bos HR di BC, Barbara, disuruh pakai safety shoes karena dia datang dengan high heels. Menurut saya sepatu itu lucu dan unik, tapi Barbara merasa kakinya terlihat aneh. Kok gue jadi ngerasa selera gue aneh ya? Wkwk.

Setelah foto-foto sebentar, akhirnya kami mulai berkeliling disana. Mulai dari masuk ke ruangan yang super duper panas hingga berjalan keluar menuju daerah pabrik lainnya tanpa jaket dengan udara yang sangat dingin kami lakukan. Harum coklat semerbak kemana-mana. Semua mesin yang ada sepertinya mirip dengan mesin yang kami punya di Bandung. Karena saya tukang intip CCTV, jadi kurang lebih situasinya sama dengan di Bandung.

Ada satu hal yang saya suka, truk pembawa coklat. Truknya cantiiikk. Coba googling deh truk coklat Barry Callebaut. Bagus loh. Disini sekitar 400 truk beroperasi setiap harinya berkeliling di Eropa Barat hingga utara. Keren!

Selesai keliling-keliling, kami duduk di bar kantor. Isabel dengan cekatan memberi kami semua minuman. Mulai dari orange juice hingga sparkling water alias air putih dengan bulukbuk-bulukbuk. Sekitar setengah jam kami ngobrol kesana kemari. Akhirnya Bianca mengajak kami untuk kembali ke hotel.

Kami turun dari bar, lalu mengambil mantel yang kami gantung di depan meja resepsionis. Tapi yang kami temukan adalah ruangan ini sudah dikunci dan dijaga security. Alamak, baru jam 6 sore kakaaak!

Isabel bilang bahwa disana mereka menjaga profesionalitas, salah satunya dengan cara pulang tepat waktu. Seluruh ruangan akan dimatikan dan dikunci maksimal jam 6 sore. Aiihh, boleh pindah gak? Haha

Kami berpisah dengan tutor kompetensi yang saat itu harus pulang ke Jerman sedangkan kami harus kembali ke hotel. Setelah semuanya naik ke bus, kami melanjutkan perjalanan. Di perjalanan saya belajar bahasa Italia...

Read More

Sunday, December 14, 2014

Aalst, Belgium #5

Hari pertama semuanya berjalan lancar karena kami hanya belajar di ruangan dengan latihan yang masih bisa saya kuasai dengan baik. Hari kedua saya mulai 'garuk-garuk kepala' karena keterbatasan berbahasa yang membuat saya jadi kurang percaya diri.

Di hari kedua kami diminta untuk melakukan role play. Karena training ini sebetulnya training for trainer, jadi semua peserta yang ikut akan menjadi trainer di site masing-masing. Kami dibagi menjadi 4 kelompok kecil. Saya kebagian dengan 1 orang dari Afrika,1 orang dari Belgia, 1 orang dari Swiss dan 1 orang dari India tapi kerja di HO Swiss. Kebayangka hebatnya mereka saat presentasi? Ada yang bahas tentang kompetensi adalah 'bahasa', ada yang mengungkap pentingnya kompetensi dari segi bisnis, dll. Keren lah pokoknya. Saya gimana? Yah begitulah. Semua orang dalam kelompok tertawa karena kebegoan saya. Tapi saya senang mereka tetap ngasih support dan kritikan yang membangun. Ada satu kalimat yang selalu diulang-ulang oleh manusia dari Swiss yang kebetulan ganteng. Haha. 

"Take your time. Don't worry, Kiki."

Setelah sesi role play sebagai trainer selesai, selanjutnya dilakukan sesi pemberian feedback tentang kompetensi seseorang. Cara pemberian feedback baiknya menggunakan Sandwich approach, alias bagian yang kurang menyenangkan harus berada di tengah-tengah bagian menyenangkan. Jadi small talknya bukan sembarang small talk tapi membahas pencapaian-pencapaian individu dan kelebihannya, lalu baru deh disempilin kalimat-kalimat yang kurang mengenakkan yang berkaitan dengan keterbatasan seseorang dalam pengerjaan tugasnya ataupun keterbatasan kompetensinya. Diakhiri dengan saran-saran pengembangan dan juga pencapaian yang bisa didapatkan bila perbaikan itu dilakukan. Karena menurut tutor kami itu, siklus marah itu bermula dari perasaan kaget terhadap kenyataan ataupun pernyataan yang tidak sesuai dengan diinginkan. Semakin lama waktu berjalan, shock akan berubah menjadi marah dan kemudian berubah menjadi penerimaan atas hal yang tidak menyenangkan tersebut. Setiap orang membutuhkan waktu yang berbeda untuk perubahan marah ke penerimaan, maka tugas pemberi feedback adalah tetap menjaga perasaan nyaman dan aman orang yang diberi feedback. Karena feedback bisa lebih diterima jika penerima feedback tidak merasa diserang dan disalahkan. 

Ya ya ya, setiap manusia ingin dimanusiakan. 

Ini agak lebih sulit menurut saya, karena jujur saya agak sulit untuk asertif. Paling mentok jadinya agresif. Hahaha. Tapi sesi ini ternyata berjalan dengan cukup lancar. 

Nah hari ketiga adalah hari yang paling berkesan buat saya. Karena di hari itu saya berbicara bahasa Inggris sangat-sangat bannyak. Hahaha. Ya iyalah, sesinya itu tentang Competency Based Interview. Setelah diberi materi tentang tata caranya, kami diminta untuk berpasang-pasangan dan berperan menjadi interviewer dan interviewee. Lucu deh, serasa kuliah interview lagi. 

Sebelum jadi interviewee ataupun interviewer, saya bilang dulu ke orang Itali yang jadi partner saya di sesi itu kalau bahasa inggris saya kacau balau galau merana. Kata dia gak masalah yang penting dia lihat saya bisa komunikasi dengan bahasa inggris. Waaah, terharu. Hahaha

Saat jadi observer enak banget ngritik ini ngritik itu, eehh saat jadi interviewer ya ampun. Susah cyiiin. Apalagi kita harus fokus untuk menggali secara mendalam kompetensi yang menonjol karena harus menentukan level kompetensinya saat itu juga. Ditambah dengan memahami bahasa inggris dengan logat Italia kental itu bikin otak saya ngebul. Tapi seru seru seruuuu!

Sesi ini menjadi sulit karena ternyata lebih mudah bercerita daripada bertanya. Hahaha. Di hari inilah sesi terkahir kami bersama tutor kompetensi. Mereka (dua orang tutornya) harus kembali ke Jerman. Namun mereka pergi setelah kami semua pergi ke pabrik cokelat terbesar di dunia! Yeaaay! Waktunya field trip. Hahaha.

Read More

Aalst, Belgium #4

Hari pertama dimulai. Kebanyakan wajah-wajah Eropa yang memenuhi ruangan training tersebut. Mereka sibuk ber-hahaha-hihihi dan bertukar sapa satu sama lain. Saya dan partner saya cengok di awkward moment semacam ini. Untuk mencairkan suasana, saya juga mengenalkan diri. Awalnya saya ingin mengenalkan diri sebagai Arriz****. Namun karena komunikasi via email dari HR Director Asia Pasific menyebut saya Kiki, yasudahlah nama Kiki yang saya perkenalkan. Ngerti gak? Gak apa-apa kok gak ngerti juga, gak penting, Hahaha

Saya bertemu dengan Belgium HR Recruitment & Selection Manager yang ikut riweuh ngurusin konfirmasi booking hotel untuk urusan pembuatan VISA. Seperti yang sudah saya ketahui sebelumnya mereka semua spesialis, alias sudah expert di bidang masing-masing. Rata-rata yang ikut training ini adalah Talent Acquisition Specialist atau HR Manager dari setiap negara. Bahkan partner saya pun sudah berkutat dengan dunia rekrutmen lebih dari 5 tahun. Jadi, saya adalah peserta terunyu dan terpolos saat itu #tsah

Sempat ada yang bertanya kenapa saya bisa ikut pelatihan ini. Saya juga agak kaget sekaligus happy saat diberitahu akan ikut training tersebut, tapi setelah mengamati isi materi dan juga peserta training saya bisa menerka-nerka jawabannya. Yaitu karena saya HR Recruitment & Development di Bandung. Materi yang diberikan juga sekitar proses rekrutmen dan pengembangan karyawan lewat kompetensi. Selain itu juga ada pengggunaan tes psikometri online yang digunakan untuk keduanya. Jadi, diutuslah saya oleh atasan ke Belgia untuk training ini. Tapi saya masih belum tahu jawaban kenapa harus saya yang hanya rekrutmen di tingkat lokal, Yaaah, ini namanya hoki sodara sodaraaa. 

Hari pertama adalah pengenalan kompetensi. Isinya hampir mirip dengan apa yang saya pelajari di mata kuliah Assessment Centre. Terimakasih ibu-ibu dosen. Ilmunya bermanfaat sekali. 

Secara sederhana, kompetensi itu perilaku orang-orang yang punya kinerja diatas rata-rata, bisa karena pendekatannya yang berbeda dari orang-orang kebanyakan. Bisa juga karena perilakunya yang berbeda dari orang kebanyakan. Nah, perilaku orang-orang kompeten biasanya lebih efektif dan efisien dibandingkan orang-orang kebanyakan dengan posisi dan pekerjaan yang sama. 

Kebanyakan isi materinya lebih ke latihan dan diskusi kelompok. Seru deh pokoknya. Kami berdebat satu sama lain saat mengelompokkan tindakan kedalam kompetensi dan levelnya. Sayangnya, karena keterbatasan kemampuan bahasa saya tidak bisa terlalu aktif di forum itu. Untungnya, semua pertanyaan saya sudah ditanyakan oleh peserta lain. Jadi saya fokus mencatat semua informasi yang saya terima. Kayak kuliah deh rasanya. Mungkin gini ya rasanya kuliah di luar negeri.

Waktu istirahat makan siang datang. Kami duduk bersama dan bercakap-cakap satu sama lain. Saat makanan pembuka datang saya tanya apakah makanan tersebut halal atau tidak dan dijawab:

"Yes. We provide it especially for you."

Wihi..terharu. 

Selanjutnya adalah makanan utama yaitu sandwich. Alamak kenyang gak ya saya? Kata teman-teman saya, belum makan namanya kalau tidak makan nasi. Dan saya survive 'tidak makan' selama 7 hari. Mwhahahaha. Saya cuma makan roti, kentang goreng, telur, daging, dll. 

Makan siang selesai, selanjutnya sesi lanjutan yaitu latihan-latihan lagi. Tutor kami asyik bahasa Inggrisnya. Walaupun dia asli orang Jerman dan terkadang riweuh serta keceplosan bahasa Jerman, tapi tetap dapat dimengerti dengan mudah. 

Saya perhatikan rata-rata para peserta bisa bahasa Jerman maupun Perancis, baik sebagai bahasa ibu ataupun bahasa yang mereka pelajari sendiri. Sungguhan deh, bahasa itu jendela dunia. Belajar bahasa tidak pernah rugi barang sedetik pun.

Hari pertama berjalan dengan lancar. Ternyata training di luar negeri dengan peserta dari seluruh penjuru dunia selain Amerika itu biasa saja ya. Saya kira akan waw gimana gitu. Tapi memang sih insight yang didapat meluap. Banyak pisan. Seketika, saya merasa nyaman dan tidak terlalu mengkhawatirkan banyak hal. Tapi semua tidak selalu begitu di hari kedua dan seterusnya..
Read More

Saturday, December 13, 2014

Berpisah

Sebetulnya, saya kurang suka berteman dekat. Semakin dekat pertemanan, semakin sedih saat perpisahaan datang. Bukankah pertemuan selalu berakhir dengan perpisahan? Pun bukankah manusia selalu ditakdirkan untuk berpisah?

Rasanya setiap perpisahan yang saya lewati tak pernah sesedih ini. Hahaha. Jujur, saya tidak pernah menghayati pertemanan. Entah trauma apa di masa lalu, saya tak sadar penyebabnya. Bisa karena saya enggan berharap banyak pada orang lain. Bisa juga karena saya yang terlalu takut menjadi ketergantungan pada orang lain. Bisa karena apapun.

Ceritanya, seorang rekan saya di kantor sudah habis masa kontraknya. Memang sejak awal bergabung kedatangannya dimaksudkan untuk sementara saja. Tapi saat masa kontraknya habis, ketakutan pada datangnya rasa kehilangan tetap saja terasa.  Dia banyak membantu saya menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang pada awalnya membuat saya tak betah. Penuh orang-orang yang sudah memiliki pengalaman berlebih, membuat saya ragu dan malu untuk berteman lebih dekat dengan mereka. 

Tapi waktu berlalu dan hari pun mau tak mau bertambah satu persatu.  Saya tak suka berteman dekat karena selalu terasa terlalu sedih bila perpisahan sudah mendekat. Namun dekat bukan masalah pilihan, ia adalah bagian dari sebab dan akibat yang tak bisa dielakkan. Selain itu, perpisahan adalah suatu keniscayaan. Pergi dan kembangkan diri itu jadi kewajiban.


Baik-baik disana, kawan. Orang baik sepertimu tak pantas menjadi bagian dari ketidakbaikan. Sukses selalu J
Read More

Thursday, December 11, 2014

Aalst, Belgium #3

Sesampainya di hotel, saya bergegas membuka handphone dan menyambungkan handset saya itu dengan koneksi Wi-Fi hotel. Suara pangping dari BBM dan sosial media lainnya bersahutan. Serasa artis weh lah pokoknya mah. Saya bergegas mandi dan bersiap karena hari ini saya dan partner saya akan berjalan-jalan di sekitar hotel. Saya menggantungkan jaket kotor dan celana yang ampun bau tomatnya itu di kamar mandi. Norak saya keluar lagi. Saya cobain semua fasilitas hotel mulai dari bathtub, setrikaan celana sampai minibar yang ada di bawah TV.

Setelah coba semuanya, saya keluar dari kamar dan telepon berdering seketika. Ternyata partner saya itu telepon untuk bertanya memastikan apakah kami akan keluar atau tidak sore itu. Saya katakan saya butuh waktu sekitar setengah jam untuk bersiap. Setengah jam kemudian kami turun dan mampir ke lobi hotel untuk bertanya harga laundry. Saya agak kecewa partner saya tidak mau menanggung biaya mencuci jaket tersebut. Akhirnya saya urungkan niat untuk mencucui jaket tersebut di laundry.

Walaupun kesal, saya masih menghormati partner saya itu. Secara dia orang yang expert dan berpengalaman di bidang yang saya tekuni sekarang.

Singkat cerita, kami berjalan-jalan di sekitar hotel. Kota ini sangat sangat sepi sodara-sodara. Orang yang kami temukan hanya hitungan jari. Sungguh sepi sekali. Tapi dari segi arsitektur kota ini asyik sekali. Seperti Braga di Bandung atau Kota Tua di Jakarta. Ah keren pokoknya mah. Kami dengar katanya akan ada Chrismas Market di akhir minggu ini. Jadi tak sabar bertemu hari Jumat! Haha.

Waktu berjalan cepat. Kami kelaparan. Setelah jajan waffle di pinggir sungai Denver, kami mampir ke kedai Turki di dekatnya. Saya memastikan apakah makanan tersebut halal dan penjualnya mengiyakan pertanyaan saya. Seperti selalu, saya ikut memesan pesanan yang dipesan oleh orang yang pergi bersama saya. Sayangnya, partner saya ini orang yang sangat tangguh dalam urusan beli membeli. Ia bertanya apapun yang ingin ia tanyakan. Intinya, ia harus tahu persis barang seperti apa yang akan dia beli. Dampak buruknya adalah saya menunggu cukup lama untuk menentukan makanan apa yang ingin dimakan. Haha. Kocak.

Selesai jajan-jajan dan jalan-jalan cantik, akhirnya kami kembali ke hotel.

Saya sukses tidak bisa tidur. Pasalnya, sebelum berangkat saya nengokin grup FB Backpacker Dunia yang sedang bahas tentang hantu di hotel luar negeri. Nyari mati kan ya saya? Hahaha. Sudah tahu penakut, eh malah ‘sok’ merasa tertantang baca cerita-cerita horor. Diantara cerita horor itu, ada salah seorang anggota grup BD yang merekomendasikan sebuah film, ah saya lupa judulnya. Intinya film tentang rumah tua yang penghuninya merasa ada yang mengganggunya dari dunia lain. Padahal oh padahal, dia adalah makhluk dari dunia lain dan ia sudah mengganggu penghuni baru rumah tersebut. Horor dah. Horor khasnya film barat. Nyeseknya sampai disini nih *nunjukdada.

Sepanjang malam, televisi di kamar saya nyalakan dan volumenya bikin saya (seharusnya tidak) mengantuk. Ditemani suara televisi yang membahana itulah saya bisa tidur. Hoho. Anehnya, pagi-pagi saat bangun televisi sudah mati. Uuulalaaa...

Semua itu terasa horor bagi saya. Tapi ternyata setelah berhari-hari tidur disana, saya baru sadar dan ngeuh kalau saya suka bangun tengah malam dan mematikan tv, mematikan lampu dan meninggikan suhu kamar. Hahaha. Saya takut hantu ternyata hantunya saya sendiri.

So, malam itu jadi malam pertama saya nginep dan melipir ke luar negeri. Gaya. Haha.

Mata saya mengerjap perlahan. Saya tengok jam di ponsel. Jam 04.30 CET. Wih, saya shubuh jam berapa ya? Segera saya googling jadwal sholat di Belgia. Ternyata jadwal shubuh adalah 06.30 CET. Biasanya saya berbahagia, tapi saat itu tidak karena artinya saya harus nunggu 2 jam untuk sholat shubuh. Saya lupa apa yang saya lakukan saat itu, tapi rasanya saya menghabiskan waktu untuk berselancar di dunia maya. Setelah itu, bertambahlah rutinitas saya di pagi hari: ngumpulin screencap jadwal sholat dari situs www.kpmi.org

Jam tujuh saya mulai bersiap karena jam 9 training akan dimulai. Sekitar jam 8 saya turun ke restoran bersama partner saya yang saya ceritakan sebelumnya. Saya ambil roti coklat, omelet, kopi dan apel. Roti coklatnya enaaaak, sayangnya rasa omelet tidak familiar dan mencurigakan bagi saya jadi tidak saya teruskan makannya. Rasa kopinya pahit sekali. Saya pernah minum kopi hitam, tapi tidak pernah sepahit itu. Hiks. Hanya rasa apel yang tetap gitu-gitu saja, maksudnya tidak ada perbedaan signifikan antara apel di Indonesia dan Eropa. Perbedaannya hanya rasa apel yang kalau di bahasa latin mah ‘nyereng’.

Setelah makan, kami pergi ke ruangan training. Wiiih, isinya bule semua. Eh, maksudnya saya yang saat itu jadi bule. Secara kulit kami tidak seputih mereka, cenderung ‘eksotis’ bahkan. Kami, dua orang manusia Asia ditengah kumpulan manusia daratan Eropa. Ah ya, ada juga peserta dari Africa kok. Jadi kami bukan hitam, tapi eksotis #tsaaahhh.


Disinilah cerita training sesungguhnya bermula...
Read More

Aalst, Belgium #2

Ternyata oh ternyata dia adalah Talent Acquistion Manager untuk regional Asia Pasific, alias suhu saya di Asia Pasific. Kami sempat chatting sebelum berangkat, dia yakin kalau kami akan berada di pesawat yang sama dari Dubai ke Brussels. Tapi karena saya kekeuh kalau saya bakal transit di Abu Dhabi bukan di Dubai, maka saya bilang itu tidak mungkin. Oh ya, saya sempet norak bantah-bantahan tempat transit dengan teman kantor. Dia bilang kalau saya akan transit di Dubai, tapi saya kekeuh saya transit di Abu Dhabi. Saat saya dapat tiket berangkat, saya tertawa dan malu disaat yang bersamaan, ternyata saya transit di Dubai. Mwahahahahha.

Kembali ke cerita di Dubai. Saya senang akhirnya ada teman selama perjalanan 7 jam menuju Brussels. Tapi karena tempat duduk kami berbeda, maka kami tidak bisa berbincang bersama. Saya duduk di pinggir jendela. Senangnya akhirnya bisa melihat langit dan awan. Ternyata orang yang duduk di sebelah saya adalah lelaki bule yang tinggi banget. Wajahnya kalem banget. Saya awalnya mau nanya-nanya sok kenal sok dekat gitu, tapi karena sadar bahasa Inggris saya tingkat obladi oblada, akhirnya saya urungkan niat tersebut. Tak lama setelah pesawat meninggalkan Dubai, lelaki itu pindah duduk karena memang ada kursi kosong di sebelahnya. Dan kami terpisah oleh kursi kosong.

Tak lama kemudian, partner saya dari Asia yang saya temukan di Dubai mengalami gangguan di tempat duduknya. Chargernya tak berguna. Jadi ia disarankan oleh pramugara untuk pindah tempat duduk. Pramugara itu bertanya apakah dia mempunyai teman di pesawat ini? Teman saya itu menjawab ada dan menceritakan ciri-ciri saya. Singkat cerita teman saya itu pindah ke samping saya. Satu sisi saya senang, satu sisi bingung. Mau ngobrol apa coba? Zzzzz.

Ternyata partner saya itu riweuhnya kayak saya. Senang sekali bercerita sampai saya bingung motongnya dimana. Tak lama situasi ‘awkward’ terjadi. Kami semua sedang makan pagi. Ditengah sarapan, pramugari menawarkan minuman tambahan. Saya meminta air lagi. Karena tenggorokan saya kurang bersahabat. Partner saya itu minta jus tomat karena ngiler lihat jus tomat abang-abang bule yang ada di sebelanya. Di akhir sarapan, partner saya itu mau ke toilet. Sedangkan alat-alat makan kita belum diambil oleh pramugari. Karena riweuh dan ingin cepat ke kamar mandi, saya menawarkan diri membawakan alat makannya untuk disimpan di meja saya.

Sepulangnya dari toilet, teman saya itu merepotkan saya dan abang bule itu kembali. Dia masuk ke kursi dengan grasak grusuk. Kau tahu apa yang terjadi? Jus tomat yang isinya tersisa ¾ itu tumpah ke jaket dan celana saya. Hwaaanjeeerrrrrrrrr!!!

Jaket warna putih saya pun berubah warna di beberapa bagiannya. Dia kebingungan dan saya juga bingung bercampur kesal. Bete sumpah. Bukan butuh tatih tayang ya, tapi butuh tendang dan tonjok orang. Saya coba lap air tumpahan jus dengan tisu yang ada. Kesel banget lah. Dia juga merasa bersalah dan dengan polosnya bertanya,

“Do you feel disappointed, Kiki?”

Menurut nganaaa??? Tapi yasudahlah, nasi sudah menjadi bubur, jus tomat sudah tumpah ke jaket saya. Dia bilang agak kecewa dengan rasa jus tomatnya karena terasa tidak fresh, jadi tidak dihabiskan. Saya masih kesal dan tak menanggapi ceritanya. Saya jadi berasumsi dalam hati, sepertinya saya juga orang yang menyebalkan seperti ini. Hahahaha.

Singkat cerita sisa perjalanan membuat saya BT tingkat dewa. Saya putuskan untuk melakukan defense mechanism yang selalu saya lakukan saat merasa kurang nyaman dan kesal, tidur. Saya tidur setenga perjalanan menuju Brussels dan kembali bangun saat makan siang. Partner saya itu mencoba membangun good rapport kembali, tapi saya sudah kadung kesal. Masa bodo dia manager Asia Pasific.

Singkat cerita kami sampai di Brussels. Kondisi Brussels tertutup kabut dan suhu udaranya sekitar 3-4 derajat celcius. Rencana saya tidak pakai jaket sesampainya di Bandara saya urungkan sudah. Walhasil saya adalah satu-satunya makhluk berkerudung dan berjaket kotor yang turun dari Emirates ke Brussels. Malu, gak PD, tapi yaudah lah ya. Mau gimana lagi. Besok-besok kalau pergi jauh jangan pernah pakai warna putih lagi. Heuheuheu.

Sesampainya di bandara kami langsung menuju petugas imigrasi. Rasa malu bertambah saat mengantri. Ternyata saya gak se-PD yang saya bayangkan. Huh.

Giliran saya menghadap petugas imigrasi, petugas hanya bertanya untuk urusan apa saya datang ke Belgia, saya bilang untuk training dari perusahaan. Lalu saya dapat cap imigrasi. Saya jadi agak heran dengan cerita orang-orang yang sulit menembus negara di Eropa karena saya tidak merasakan kesulitan sama sekali. Apa mungkin karena saya datang kesana untuk urusan bisnis ya? Entahlah.

Ini trip pertama saya ke luar negeri dan trip kedua saya menggunakan pesawat. Saya tidak tahu bagaimana saya menemukan koper saya saat di bandara. Karena partner saya itu sudah pernah ke USA dan UK. Saya dengan PD-nya ngikutin dia kesana kemari. Ternyata dia juga sama gak tahunya dengan saya. Ah gue sial banget sih. Haha.

Setelah lama muter-muter dari konveyor satu ke konveyor selanjutnya, akhirnya saya sadar yang menjadi clue utama adalah nomor penerbangan dan maskapai yang digunakan untuk sampai di Brussels. Ternyata koper saya ada di konveyor 7, dimana abang bule ganteng juga nunggu disana. Karena kesal dan merasa bego, saat saya menemukan clue tersebut, saya langsung menunggu koper saya di konveyor 7. Partner saya itu entah ada dimana.

Tak lama kemudian saya menemukan koper saya. Saya mencari partner saya dan menunjukkan konveyor dimana kopernya bisa ditemukan. Tak lama kemudian, dia menemukan kopernya. Kami beranjak ke pintu keluar. Disana kami mencari supir hotel yang berdiri nyempil di pojokan. Lalu kami langsung pergi ke hotel. Di perjalanan kami tak banyak berbincang. Saya masih kesal dan kelelahan karena thawaf di beberapa konveyor yang ada di bandara.

Sekitar satu jam berlalu, akhirnya kami sampai di Keizershof Hotel di kota Aalst, Belgia. Sesampainya di hotel saya baru sadar ternyata saya sudah sampai di Belgia. Hahay. Saya ke luar negeri euy!

Tak semua hal bisa berjalan mudah selama enam hari berada di negara kecil bernama Belgia. Ternyata, hidup di ‘dunia berbeda’ walau hanya sementara itu susah ya..
Read More

Aalst, Belgium #1

Yap. Saya kesal dengan makhluk berjakun alay berwajah arab selama perjalanan. Saya masuk ke pesawat, mencari tempat duduk dan taraaa ternyata tempat duduk saya sudah diisi oleh manusia lain. Katanya dia minta gantian tempat duduk dengan bahasa tubuh yaaa kalau gak mau dibilang bahasa monyet itu juga. Singkat cerita, akhirnya saya dengan ‘ikhlas’ duduk di deretan kursi bagian tengah. Sebelah seorang ibu berwajah Asia yang ternyata orang Indonesia.

Manusia berwajah arab itu ternyata bepergian serombongan. Terdiri kurang lebih dari empat sampai lima orang. Kursi di jajaran tengah itu terdiri dari empat kursi. Saya duduk di kursi yang tengah, dipinggir salah satu rombongan makhluk alay yang saya ceritakan sebelumnya. Ternyata oh ternyata, orang itu hanya duduk di samping saya sementara. Saat pesawat sudah mulai take off, ia pindah ke kursinya. Bahagialah saya.

Ternyata kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Manusia itu kembali ke kursi sebelah saya saat makan malam dibagikan. Ia berbincang dengan suara yang cukup keras dan banyak bergerak. Aaaaaahhhh, kesal.  Selain itu, ia memakai selimut saya yang saya simpan di kursi itu karena mau makan. Dan perjalanan dari Jakarta ke Dubai itu menjadi menyebalkan.

Beruntung, Emirates adalah maskapai penerbangan yang cukup menyenangkan. Jadi saya bisa menghibur diri dengan berbagai film terkini ataupun film lama yang tersedia. Saya tonton maze runner dan film apa tau deh lupa. Makanan dari pesawat pun cukup enak, walaupun rasanya lebih sering hambar atau aneh di mulut. Tapi lumayan lah ya. Baru kali itu ngerasain makan lengkap dari makanan pembuka, makanan utama sampai makanan penutup. Biasanya kan ke warteg atau warung sunda yang langsung disuguhin makanan utama saja. Hoho.

Saya cobain tuh semua fasilitas yang ada di Emirat. Mulai dari colokan buat nge-charge handphone atau apapun yang bisa di-charge, nonton film terbaru, dengerin lagu-lagu, nge-games, sampai ke toilet yang ada di pesawat. Hahaha.

Saya gak yakin ada septix-tank di pesawat, tapi ya masa iya kotoran yang dibuang langsung jatuh aja ke daratan di bawahnya? Atuh jijay lah. Terlepas dari itu, air di kamar mandi pesawat memang agak terbatas. Buat yang mau melakukan aktivitas toilet di pesawat baiknya bawa botol cebok atau tisu basah buat bersih-bersih pasca melakukan aktivitasnya.

Langit-langit pesawatnya juga unik, ada kerlap-kerlipnya. Berasa melihat hamparan bintang. Walaupun demikian, karena tiket saya adalah tiket ekonomi, ya jadi agak sempit buat gerak-gerak. Kursinya pun sedikit keras dan kurang empuk. Yasudahlah, memang jatahnya ekonomi mungkin seperti itu. Saya harus rela nerima keadaan yang begitu selama 7 jam sebelum sampai di Dubai untuk transit.

Uniknya, saya baru kali itu ada di suasana dimana wine, champaign dan minuman-minuman lainnya bertebaran di sekitar saya. Saya hanya minta teh, air putih atau soft drink. Pengen sih minum wine juga, tapi ngeri ah kalau hukumannya 40 hari ditolak amal ibadahnya. Hehe.

Lagian tanpa wine atau minuman sejenisnya, saya sudah menghabiskan setengah perjalanan saya dengan tidur di pesawat. Yah begitulah, pelor, alias nempel molor.

Tak terasa lebih dari 4000 km sudah terlewati. Sekitar setengah jam kemudian saya akan sampai di Bandara internasional Dubai. Bandara yang katanya terkeren se-timur tengah bahkan mungkin sedunia. Sesampainya disana, sekitar jam 5 pagi. Saya kebetulan belum sholat subuh dan berniat sholat shubuh disana.

Pesawat sudah landing dengan cantiknya. Saya bergegas mengambil tas dan berbaris di lobi pesawat untuk turun. Saya teringat ucapan senior saya di kantor.

“Pokoknya, sesampainya di tempat transit, hal yang pertama dilakukan adalah cari gate selanjutnya. Jangan kemana-mana dulu. Kalau sudah nemu, baru deh bebas mau kemana saja dan kembali kesana di waktu gate dibuka.”

Semua penumpang turun dari pesawat. Ah ya, saya pakai pesawat Boeing 300-an saya lupa nomor seri pesawatnya. Haha. Saat turun dari pesawat, kami disambut kendaraan semacan busway. Saya duduk manis disana, tapi tak lama kemudian ada bapak yang gendong anak kecil. Saya jadi tak tega, berdirilah saya karena sadar saya masih muda. Ternyata setelah saya observasi manusia yang ada di kendaraan itu, banyak sekali orang Indonesia disana. Jadi lucu ya, kemanapun pergi pasti nemu orang Indonesia.

Sekitar 10 menit perjalanan, akhirnya kami semua sampai di bandara. Semua penumpang berhamburan ke luar. Saya berjalan cepat karena waktu transit hanya 2 jam. Segera saya cari gate keberangkatan selanjutnya. Muter-muter sana sini sambil bawa troli kecil karena tas saya berat. Setelah mencari selama sekitar 15-20 menit, akhirnya saya temukan gate keberangkatan saya ke Brussels. Lalu saya mencari musholla. Enaknya, di bandara tersebut ada banyak musholla. Jadi saya tak harus muter-muter nyari musholla. Ah ya, di bandara Dubai, toilet wanita sangat tertutup. Jadi nyaman untuk buka kerudung. Begitupun musholla dan tempat wudhunya. Yang melegakan adalah di bandara ini ada shower untuk cebok. Jadi gak perlu bawa botol cebok. Penting banget ya? Hahaha.

Setelah sholat dan rapi-rapi, saya keliling bandara sebentar. Awalnya ingin mampir ke McD untuk beli makanan, tapi karena jadwal boarding sudah dekat, saya urungkan niat jajan di bandara. Setelah menunggu beberapa menit, gate boarding dibuka sebelum waktunya. Saya ikut antri untuk boarding pass. Setelah sampai di ruang tunggu, saya baru sadar ternyata hanya saya manusia berkerudung yang akan ada di pesawat menuju Brussels. Kayak artis ya rasanya saat orang-orang lewat dan melihat saya agak lama.


Waktunya masuk pesawat. Seperti biasa, para penumpang kelas bisnis dan eksekutif didahulukan. Disusul oleh para orang tua yang membawa anak atau wanita hamil atau orang-orang yang sudah tua. Lalu penumpang kelas ekonomi sesuai dengan urutan zone yang tertera di tiketnya. Saat saya mengantri, ada seorang wanita yang melambaikan tangannya ke saya. Saya celingukan dan mencoba menebak-nebak manusia itu. Ternyata...
Read More

Friday, December 5, 2014

Saat Nyempil di Belgia

Niatnya, saya ingin buat runtutan cerita perjalanan saya ke Aalst, Belgia. Tapi karena hasrat untuk menulis hal ini lebih banyak dari yang lain, maka saya dengan senang hati mengubah runutan cerita tersebut. Hahaha. Jadi, ini cerita saya saat nyempil di Belgia. 

Youngest Participant
Saat menerima email list peserta training yang saya ikuti, saya langsung kepo-in orang-orang itu di situs kantor. Ternyata oh ternyata, semua peserta itu HR Manager. Pun kalau bukan HR Manager, mereka recruitment specialist. Panik dong tentunya. Saya coba baca modul yang diberikan, tapi apa yang saya baca mental entah kemana. Ah, saya terlalu anxiety. 

Hari H tiba. Saya benar-benar jadi peserta termuda di training ini. Mereka rata-rata sudah bekerja selama lebih dari 3 tahun. Satu sisi saya merasa beruntung. Tapi di sisi lain saya malu juga. Mana style fashion yang jauuuuuuuhhhhh berbeda (saya gak tahu kenapa, hampir setiap hari para partisipan training pakai baju gelap-gelap terus), pengalaman jauuuuuuuhhh berbeda, eeehhh kemampuan bahasa Inggris juga jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuh berbeda. Saya agak sedih melihat wajah orang-orang yang saya ajak ngobrol sampai kerang-kerung gak jelas saking ingin ngertinya dengan apa yang saya katakan. Kenapa mulut saya gak selancar telinga saya waktu mendengar penjelasan trainernya yaaah???? Tapi serius loh, seminggu disini jadi trigger tambahan untuk belajar bahasa lebih intens lagi. Sedih tau rasanya orang bule sampai ngenes gitu mau ngertiin apa yang kita omongin. Padahal di otak itu susunan kata-kata dan grammarnya sudah tersusun rapi, tapi saat terungkap jadi pabalatak. Yah begitulah. 

Walaupun begitu. agak beruntung juga jadi partisipan termuda, dimaklumin terus. Hahaha. Ini gak baik sih ya buat perkembangan. Saking oon-nya, saya presentasi sampai belibet banget dan seluruh partisipan komentar hal yang sama:

"Take your time, Kiki. You don't need to be worry at all."

The Only One Muslim Girl
Yap. Saya minoritas. Jadi minoritas itu gak enak sodara-sodaraaaaa. Mau makan susah, mau jalan-jalan dilihatin orang banyak dan mau bertingkah gila-gilaan takut malah jadi ngasih cap jelek ke agama sendiri karena setiap orang lihat dari penampilan luar. Ah, complicated. 

Saya pernah tanya apakah makanan atau minuman yang pelayan restoran bawa itu adalah makanan halal atau bukan, dia jawab dengan nada heran:

"This is only a common Belgium bread, Belgium chocolate and no meat."

Lah, emangnya halal food cuma meat doang yang harus dipastiin halal? Tapi karena saya sudah rekues makanan halal jauh-jauh hari, rasanya sudah merasa aman saja kalau makan bareng-bareng dengan peserta training lainnya. 

Mungkin jadi kebiasaan umum untuk ditanya atau nanya, "is the food fine for you?" atau "do you like the food?"

Buat saya agak gimanaa gitu ya pertanyaannya, tapi ya sudahlah. Saya selalu jawab very fine atau very nice. 

Suatu siang ada salah satu partisipan yang baru datang melihat makanan saya berbeda dengan yang lain, dia langsung tanya temannya, kenapa saya diberi makanan berbeda? Hanya bertanya sih, tapi saya jadi agak sensitif saja. Hahaha. Mau 'dapet' kali ya. 

Karena waktu sholat dzuhur disini hampir sama dengan waktu di Indonesia, saya selalu minta izin terlambat ikut sesi pasca istirahat makan siang selama kurang lebih 10 menit untuk sholat. Agak gak enak sih, tapi semua berjalan dengan cukup baik. 

Ah ya, kalau mau makan di Aalst yang bisa terjamin halal, coba melipir sebentar ke kedai kebab Turki di dekat sungai Denver. Porsinya banyaaakkk pisaaann. Selain itu juga cukup murah daripada beli dimana tau. 

Aalst, Kota Karnaval yang Tenang
Antara beruntung dan sedih training dilaksanakan di kota Aalst. Kota ini sangat terkenal dengan karnaval boneka di bulan Februari. Karena saya hadir di kota ini bulan Desember, jadi ya gak akan nemu karnaval boneka. 

Saya sampai ke Aalst jam 2 siang. Tapi saya tidak melihat siapapun disana. Jangankan di Aalst, di bandara saja hanya beberapa orang yang ada disana. Heran saya juga, bandara penerbangan internasional, tapi kayak bandara penerbangan lokal. Kembali ke Aalst. Sungguh, pertama kalinya saya melihat manusia berkeliaran di kota ini di jam 7 pagi saat saya iseng-iseng ingin cari angin di pagi hari yang masih gelap seperti jam 4 subuh waktu Indonesia. 

Sebagaimana kota-kota di Eropa, Aalst sangat artistik. Saya seperti melihat Braga dimana-mana. Apalagi di hari Jumat akan dibuka Pasar Natal. Aiiihhh. Pasti asik kan melihat banyak orang di kota tenang ini. Eh tapi, apa saya gak akan jadi pusat perhatian ya? Eh tapi, kapan lagi jadi 'bule' di tengah-tengah orang bule? Hahaha. 

Alkohol dan Party
Saya tidak bilang semua bule suka minum alkohol, tapi hampir seluruh partisipan (mau dari western europe kek, Afrika kek, bahkan Asia) semua minum alkohol. Saat orang-orang bilang 'cheeerrss' sambil angkat gelas mereka, saya ikut-ikutan angkat gelas jus atau teh saya. Haha.

Saya jadi mikir dua kali berharap dapat suami bule kulit putih. Gak kuat gue sama perbedaan kultur yang jauh banget kayak gini. Fufufu. Orang Indonesia aja ah, tapi yang bisa bawa keliling Eropa. Hoho. 

Selain alkohol, mereka senang dugem. Tapi hebat loh, mereka dugem sampai jam 3 pagi. Jam 9 sudah ada di tempat training dan GAK NGANTUUUKKK!!!! Padahal saya tidur jam 10 atau jam 9-an dan bangun jam 6, tapi ngantuk saat training. Mwahahahahha. 

Jadwal Sholat
Agak aneh rasanya sholat shubuh jam setengah 7 pagi dan sholat maghrib jam setengah empat sore. Asik nih kalau lagi puasa bayar hutang.

Jam setengah tujuh memang segelap shubuh di Indonesia, tapi gelapnya akan bertahan lama hingga jam setengah 9. Setelah itu, akan gelap lagi jam 4 sore. Saya sempat keliling-keliling ke Gorte Markt alias Grand Place alias alun-alunnya Aalst hingga jam 6 sore dan kami buru-buru pulang karena berpikir saat itu sudah jam 9 malam. 

Tapi sungguh ih, kangen suara adzan. Hikshikshiks. Saya sempat nangis waktu buka video adzan di youtube. Aaaaahh, Mamah hoyong uuiiiihhhh~

Jam Kerja
Seluruh manusia di muka bumi Belgia meyakini 8 jam kerja. Mereka menjaga profesionalitas dengan bekerja dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore atau jam 10 pagi sampai dengan jam 6 sore. Hampir semua toko yang ada di Belgia tutup jam 6 sore. Jadi, jangan harap untuk bisa jalan-jalan cantik di malam hari. 

Toko Coklat
Oh ya, kemarin-kemarin saya sempat agak kecewa karena saya tidak akan mungkin sempat untuk mampir ke Brussels karena jarak Aalst-Brussels sekitar 1 jam lebih. Selain itu, saya juga gak punya uang banyak buat beli tiket kereta. Haha. 

Nah, di Aalst ada toko coklat terkenal bermerek Leonidas. Jadi, gak usah jauh-jauh ke Brussels untuk membeli coklat. Gak jauh dari Gorte Markt. Coba mampir ke toko buku yang ada di sekitar Gorte Markt. Ada majalan Psikologi dan juga Christmas Card disana. Tapi saya cari postcard, jadi saya harus rela mampir doang di toko ibu tersebut. 

Apa lagi ya? Ah lupa. 

Eh tapi ada satu pelajaran saaaangaaaaattt berharga bagi saya. Bahasa adalah kunci kita mengerti dan membuat orang lain mengerti kita. Andai saja saya bisa bahasa Inggris dengan lebih baik lagi, saya bisa dengan percaya diri tanya jawab saat sesi training dilaksanakan tanpa ragu-ragu nanya, 'do you understand my question?" dan mendapat respon ditertawakan dari seluruh manusia yang ada di dalam ruangan. 

Fluent in English juga memungkinkan kita untuk bertingkah lebih sopan atau kurang lebih sama sopannya dengan orang-orang di sekitar kita. Sebetulnya, cara setiap orang dari beragam negara berbeda untuk bersikap sopan itu serupa loh. Ada nyungkun juga ternyata di luar negeri teh. Walaupun penngungkapan beberapa hal cenderung lebih terbuka dan langsung. 

Yah begitulah cerita saya saat nyempil di Belgia. Kalau ingat lagi, saya tambah postingan lainnya. See you later. 



Aalst, 4 December 2014

Read More

Wednesday, December 3, 2014

-1 @Aalst, Belgium

Tanggal 29 November 2014, akhirnya saya secara nyata benar-benar bisa pergi ke luar negeri. Yiahahaha. Jadi ceritanya saya ditugaskan kantor untuk ikut training yang diadakan kantor pusat. Saat diberitahu akan meng-Eropa itu sekitar bulan Oktober. Jadi hanya punya 1 bulan untuk mempersiapkan segalanya. Selang tiga hari kemudian, tiba-tiba salah satu senior manager nyeletuk di training dimana gue sok-sok-an bantu-bantu atasan menjadi tutor training. 

"Loh, kamu mau pergi ke Brussels, Ki?" tanyanya. 
"Hah? gak tahu saya pak. Saya tahunya cuma mau ke Eropa aja."
"Oooh, siap-siap winter stuff. Disana dingin sekali. Mulai musim dingin kan."

Semua manager yang ikutan sesi training saat itu langsung ngecein saya. Alamak. 

Singkat cerita saya nyiapin sedikit demi sedikit syarat-syarat keberangkatan. Mulai dari VISA, tiket, dll. Senangnya dibantu booking tiket pesawat dan urus asuransi kesehatan oleh teh Rossie yang sudah pengalaman urus untuk orang kantor ke negara manapun. Saya baru tahu dari beliau kalau ternyata saya orang pertama yang pergi ke Belgia karena yang lain seringnya ke Jerman, Paris, Singapura, Malaysia, dan Swiss tentunya. 

Tambah nervous kan ya. Mana bahasa Inggris saya kacau balau galau merana lagi. Fufufu. Yasudahlah, it's great opportunity for me to grow.

Menjelang hari keberangkatan saya diminta mejeng-mejeng cantik jaga stand jobfair di Soreang. Jobfair tersebut diselenggarakan oleh Pemkab Bandung. Selama jobfair galau gak jelas, akhirnya ditemani Yudo untuk melampiaskan kegalauan dengan menikmati kuliner Soreang. Jobfair berlalu, saya belum packing sama sekali. Saya baru minta cash advance selama perjalanan ke Belgia H-1. Jelas saja ini membuat akunting perusahaan kami geram tiada tara. Da atuh gimana, saya gak tahu. Fufufu. Ada yang dramatis saat minta cash advance, tapi kapan-kapan lah saya cerita. Hehe.

Singkat cerita saya pulang kantor dengan perasaan gak karuan. Saya pergi ke Jl.Otista untuk menukarkan uang, pergi ke Jl.Merdeka untuk beli sarung tangan dan longjohn. Untuuuuuuungggg barang-barang ini terbeli sebelum berangkat, kalau tidak, udah jadi Kiki Beku kali ya di Belgia.

Sampai rumah sekitar jam 10 malam. Saya packing dengan kondisi mata kerjap-kerjap gak jelas. Ngantuk bo. Tapi syukurlah malam itu packing selesai.

Esok harinya saya check in online untuk penerbangan ke Belgia. Saya iseng buka-buka halaman VISA dari website Emirates. Ada kalimat disana yang bilang kalau transit di Dubai itu haruuuuuuuus pakai VISA. Kebakaran jenggot lah saya. Kebayang gak jadi ke luar negeri padahal persiapan sudah 90% yaa menjelang 100% lah ya. Saya bilang ke Ibu. Ibu saya ikut khawatir yang dampaknya malah ngomel-ngomel ke saya kenapa gak nyiapin dengan benar. Saya tanya Mas Rachmad yang tinggal di Belgia dan kebetulan kerja disana. Saya BBM Tonny yang sempat cerita pernah transit di Dubai. Tapi jawaban mereka lama. Akhirnya saya berasumsi pemahaman saya benar. Lalu saya telepon manager dan bilang apa yang terjadi. Kebetulan beliau juga belum pernah keluar dengan transit di Dubai. Jadi bingung juga. Saya diminta tanya Pak Yanuar karena beliau baru-baru ini ke Swiss.

Saya telepon Pak Yanuar, tanya ini itu. Beliau bilang tidak tahu tapi akan cari tahu ke Pak Syam yang sudah pernah transit di Dubai. Saya nunggu deh jawaban dari Pak Yanuar. Tiba-tiba Tonny muncul balas BBM. Saya telepon Tonny, katanya enggak usah pake VISA. Lalu saya buka FB, Mas Rachmad memberikan jawaban yang sama dengan Tonny. Gak lama kemudian Pak Yanuar telepon, kata Pak Syam gak usah pakai VISA. Dengan malu-malu tapi gak tahu malu, saya telepon manager saya tentang apa yang mereka bilang. Selesailah masalah VISA.

Jam 10 adalah jadwal berangkat saya ke Bandara. Tapi saya masih belum berangkat juga. Karena kerempongan tiada tara, akhirnya saya berangkat jam 12 siang dan sampai bandara CGK jam 9 malam. Lama ya? Ya iyalah, macet di Bandung sudah tak termaafkan.

Ciwi-ciwi alias Putri, Dita dan Lili sudah bosa bertanya 'dimana?' Saya terharu mereka mau nunggu 8 jam. fufufufu. Love ya Ciwi-ciwi.

Jam 10, saya disarankan untuk check-in. Sebelum masuk foto-foto dulu dong pastinya. Setelah itu baru saya masuk dengan arahan ciwi-ciwi yang sudah sering ikut terbang disini. Fyuuuh ngurusin sendiri dong semuanyaaaaaaa. Aaaaaaaaaaahh, aku keren. Wwkwkwkwkwkwk.

Pas masuk, ternyata antrean check-in mengular. Panjaaaaaaaaaang sekali. Saya asal ikut antri saja. Gak baca tempat ngantri saya. Eh ternyata salah antrean. Wkwkwk. Karena saya sudah check-in via online, saya tidak perlu antre untuk check-in lagi. Hanya perlu nimbang barang dan bayar airport tax. Ah, ketololan dan kekatrokan muncul tidak pada waktunya. Setelah pindah antrean, tak lama kemudian urusan timbang bagasi dan bayar airport tax selesai sudah.

Saya masuk ke bagian imigrasi. Sampai disana, yang ada barisan yang saya prediksikan adalah pelajar. Entah mahasiswa, entah murid high school atau apapun. Yang jelas saya ngiri aja sama mereka, semuda itu udah terlihat biasa banget ngantri di imigrasi yang artinya sering bolak-balik ke luar negeri. Hoho.

Urusan imigrasi selesai. Saya nyari gate D2 dimana saya bisa boarding. Setelah cari-cari, ternyata dapat. Masih ada waktu setengah jam lagi. Saya nyari mushola dan toilet. Seusai sholat, gate dibuka saya masuk dan nunggu di ruang tunggu. Disana saya bertemu ibu-ibu dari Interpol POLRI yang mau ikut konferensi pendidikan di Afrika. Saya lupa tempatnya apa, tapi yang jelas ibu itu bilang kalau tempat konferensi adalah kota kelahiran Bilal bin Rabah.

Tak berapa lama, kami dipanggil untuk antri masuk pesawat. Dan di pesawat saya agak sebal dengan pria alay yang wajahnya arab...
Read More

Thursday, November 27, 2014

TAHU APA

Tahu apa aku tentang ikatan? Terikat sedikit mengelak, tidak terikat malah terhenyak. Tahu apa aku tentang ungkapan? Mengungkapkan saja kebingungan, memendam semuanya ketakutan. Tahu apa aku tentang percaya? Bilang 'percaya' saja susah, bilang tak percaya dipahami salah kaprah. 

Niat tak ingin menyakiti, nyatanya menjadi tamparan sakti. Niat ingin menjaga, nyatanya berujung pada tak terjaganya apa-apa. Tahu apa aku tentang menyakiti lebih-lebih menjaga?

Rasanya 'mengapa' sudah tak ada di dalam kumpulan kosakata. Padahal dulu selalu menjadi kata pembuka. Mengapa kata harus menyakiti padahal maknanya tidak semenyakitkan itu? Ah ya, tahu apa aku tentang segalanya. 


Read More

Saturday, November 22, 2014

MEMBUAT VISA BELGIA

Ceritanya minggu lalu saya baru mendapatkan VISA Belgia. Ceritanya sih saya ditugaskan untuk belajar tentang suatu hal disana. Ya semacam Naruto berguru pada Jiraya lah intinya. Singkat cerita, saya harus mengurus VISA ke Belgia. Karena ini business trip saya yang perrrrtama kalinya dan juga perjalanan ke luar negeri yang perrrrrtama kalinya, makanya neuron di otak saya gak bisa selow. Anxiety abis. Riweuh pisan nyiapin ini itu. Sampai-sampai ngerasa dosa karena banyak orang yang saya susahin karena keriweuhan saya ini. Nah, karena saya urus VISA untuk keperluan bisnis, jadi maaf kalau ternyata ada hal-hal yang kurang jelas untuk pengurusan VISA turis. 

Berkas
Yap. Ini yang utama. Kalau gak ada ini, mending gak usah datang ke embassy. Oh ya, karena kedutaan Belgia sudah tidak menerima pembuatan VISA, maka pembuatan VISA untuk Belgia, Luxemburg dan Belanda dilakukan di Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Cari aja di jajaran Jl. Rasuna Said, seberang kedutaan India pas tempatnya. Eh kok malah jadi melenceng dari sub-nya ya? hahaha. 

Baiklah, berkas yang harus ada itu: 
  1. Formulir pengajuan VISA (untuk pengisiannya banyak kok guidelinenya di internet. Googling aja biar puas. Pengisiannya bisa ditulis tangan dan diketik. Gak ada aturannya kok)
  2. Surat sponsor (Kalau yang turis kalau gak salah surat sponsornya harus dilegalisir di kantor pemerintah kota). Surat sponsor dari perusahaan harus ngejelasin perusahaan akan cover apa saja. Biasanya perusahaan yang sering kirim orang ke luar ngerti formatnya kok. 
  3. Surat undangan. Karena saya acaranya training di Belgia, jadi saya minta surat undangan dari kantor yang ada di Belgia. Buat minta surat undangan, diperlukan data-data seperti nama lengkap, nomor paspor, tanggal dibuat dan berakhirnya paspor, kebangsaan sampai tanggal perjalanan. Lucu nih, waktu saya minta surat undangan, kebangsaan saya ditulis Asia Pasific. Mungkin karena Indonesia masuk regional Asia Pasific. Minta ganti deh jadi Indonesia. Tapi dipikir-pikir enak banget ya kalau kebangsaannya Asia Pasific. Gak perlu paspor kelessss keliling Asia Pasific. Hahaha. 
  4. Konfirmasi booking hotel. Ini yang bikin saya agak pusing. Saya baru dapat file ini jam satu malam sebelum pembuatan VISA. Itupun dengan bantuan si empunya training. Mungkin karena satu dan lain hal yang saya gak tahu, makanya berkas ini sulit saya dapatkan. Tapi Alhamdulillah saya dapat sebelum berangkat ke Jakarta. 
  5. Asuransi. Nah, asuransinya minimal 30.000 USD. Karena di-cover kantor, semua diurusin sama orang kantor. 
  6. Bukti pemesanan tiket pesawat. Ini gak usah dijelasin lah ya. 
  7. Rekening koran. Minta rekening koran 3 bulan terakhir ke akunting kantor. Kalau pribadi biasanya copy buku rekening. Saya gak tahu berapa jumlah minimum tabungannya. 
  8. Kalau kamu pengusaha, lampirkan SIUP entah kepanjangannya apa, tapi intinya surat izin usaha. 
  9. Foto. Karena agak ribet syarat-syaratnya, akhirnya saya pilih foto di kedubes. Dapat 4 foto dengan bayar 50ribu. Kalau perusahaan kamu based on bill payment, jangan lupa minta bukti bayar foto VISA ya. 
  10. Fotokopi kartu keluarga. Kalau keperluannya untuk keperluan bisnis, kamu gak perlu bawa fotokopi kartu keluarga. 
Saya agak bingung juga sebetulnya. Di website resmi disebutkan bahwa semua file yang dibawa harus berupa file asli dan file fotocopy, tapi waktu saya serahkan copy dan asli, file fotokopian dikembalikan ke saya lagi. Entahlah gak ngerti. Pokoknya bawa aja copy-annya untuk jaga-jaga. 

Appointment
Saat berkas dirasa lengkap dan siap menghadap kedutaan untuk mengajukan pembuatan VISA, langsung tag tanggal untuk datang kesana  secara online (cek website kedutaan Belanda). Kalau tidak salah jadwalnya mulai dari jam 08.00 sampai dengan 11.30 WIB. Pikirkan dengan matang pemilihan jadwal Anda. Fyi, letak kedutaan itu ada di daerah Kuningan, jadi rawan macet. Tapi jangan terlalu kepagian juga. Kita boleh masuk ke dalam kedutaan sesuai dengan jadwal yang kita pilih. Jadi, saat kamu buat janji pada jam 09.00 dan kamu sudah sampai disana jam 07.00, maka bersiaplah menunggu di depan kedutaan selama 2 jam. Mwahahahah. 

Jika sudah memilih waktu untuk datang kesana, jangan lupa print ya. Ini akan menjadi acuan security mempersilahkan kita masuk ke area kedutaan. 

Proses
Pertama kali, security akan berteriak-teriak sesuai jam ('jam sembilan masuk', dsb). Kalau sudah masuk, langsung berjalan ke arah petugas yang ada di belakang meja (biasanya dekat dengan petugas pemberi kunci loker). Tunjukkan kertas jadwal perjanjian dan tunjukkan lembar asuransi kepada petugaas. Sesudah itu, isi ittinerary yang diberikan petugas. Lakukan dengan cepat karena memang prosesnya sangat cepat. Jangan lupa berkas disusun sesuai dengan susunan yang diberikan petugas bersamaan dengan ittenerary. Setelah itu, minta kunci loker dan masukkan barang ke dalam loker. Jangan lupa bawa dompet. Jangan bego kayak saya. Sudah duduk manis ngantri eh lupa bawa dompet. hahaha. 

Sesudah menaruh barang di loker, berjalan luruuuuuuussss sampai nemu ruangan yang didepannya ada kolam ikan. Langsung ambil nomor antrian. Nomor antrian ini menunjukkan seberapa hoki kamu. Karena ada salah satu loket yang petugasnya ketus mampus. Saya kebetulan sedang tidak hoki karena saya kedapatan ngurusin VISA di loket terkutuk tersebut. Fufufufu. Mana ada kejadian ngasih uang kurang gocap pulak. Mampus dah. Hahaha

Sesi wawancara sepertinya tak pantas disebut wawancara karena saya hanya ditanya: "mau kemana?" "berapa lama?" "untuk apa?". Selesai. Sisanya adalah perekaman sidik jari. Entah sidik jari saya yang terlalu centil dan susah dideteksi atau entah bagaimana, pokoknya saya merasa proses sidik jari ini terlalu lama. 

Sampai sidik jari, proses sudah selesai. Karena saya urus itu semua di hari Kamis, maka saya diminta datang kembali di hari Senin jam 3 sore untuk ambil VISA. 

Viola~

Paspor saya tidak polos lagiiiii. Dia sudah diperawani oleh VISA Schengen. Alhamdulillah..... Mudah-mudah sebelum habis masa berlakunya bisa melipir ke Swiss, Belanda atau mana-mana deh pokoknya. Amin.


Bandung, 22 November 2014
Read More

WANITA BERKALUNG SURBAN

Beberapa menit yang lalu saya baru saja selesai menonton film yang sudah lamaaaaaaaa sekali lahir di Indonesia. Wanita Berkalung Surban. Kisah tentang Anisa, anak bungsu perempuan seorang Kyai salah satu pesantren di Jawa. Saya tidak terlalu paham dimana setting film tersebut. Entah Jombang, entah yang lain. Pesantren salafi yang kewalahan menghadapi 'otak pemberontak' Anisa. Bak aktivis feminisme, ia 'menggugat' semua 'sabda' guru yang menurutnya mengajarkan sisi diskriminasi Islam terhadap wanita. Saya takjub dengan otaknya yang sangat 'kiri'. Membuka kesempatan sangat lebar untuk perubahan dan kebebasan berpikir. Sangat bertolak belakang dengan keluarganya yang menganut faham sebaliknya. Kisah yang menyenangkan untuk disaksikan dan diikuti hingga akhir cerita. 

Saya alumni pesantren. Sebuah pesantren modern yang tidak membatasi bacaan para santriwatinya. Seluruh isi sekolah saya perempuan. Para lelaki tinggal ratusan kilometer dari tempat kami berada. Kebebasan berpikir terbentang. Buku-buku jenis apapun ada di perpustakaan. Para guru yang pernah belajar ke berbagai penjuru negeri senang bercerita tentang nilai-nilai perbedaan yang ada di dunia nyata. Pimpinan sekolah kami, orang yang moderat. Menyampaikan hal yang bersifat esensi dengan sangat apik dan mendalam. Kami diajarkan untuk menilai dengan mengetahui landasan dan latar belakang terjadinya sesuatu. Bukan menelan bulat-bulat apa yang tertulis di dalam kitab suci dan sabda nabi. Jadi, setting pesantren di film WBS menurut saya sangat menyedihkan. 

Dulu, entah kapan saya lupa pastinya. Saya pernah menonton film yang hampir mirip inti ceritanya. Ada seorang guru wanita yang datang ke sebuah sekolah khusus wanita yang terkenal dengan murid-murid yang sangat pintar di Inggris sana. Ia geram dengan semua pelajaran yang diajarkan disana karena selalu mengatakan bahwa wanita yang sempurna adalah wanita yang bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik. Ia mendekati murid-murid yang menurutnya potensial. Ia ingin melakukan perubahan berpikir pada murid-murid perempuannya. Ia ingin mereka menyadari bahwa dunia itu terlalu sempit bila dilihat dari balik jendela rumah dengan kesibukan mereka menjadi ibu rumah tangga. Ditentang? jelas. Sistem kuno yang sudah melekat selama bertahun-tahun tidak bisa diubah dalam semalam. 

Persis Anisa, guru itu melakukan apapun yang ia bisa untuk mengubah nasib para muridnya. Ia mencari beasiswa untuk sekolah hukum untuk anak didiknya. Tapi kejadian demi kejadian berlalu dengan cepat. Seakan memberitahu pada sang guru bahwa untuk beberapa kondisi dan beberapa manusia, perubahan tak pernah mereka inginkan. Setiap orang punya pilihan masing-masing untuk menentukan arah perubahan yang mereka inginkan. Dengan akhir anti klimaks, sang guru tak memberikan perubahan berarti pada murid-muridnya. Murid yang ia incar untuk sekolah lanjutan, memilih menikah dengan kekasihnya. Sedangkan murid yang menjadi opsi kedua malah memilih untuk melanjutkan studi. 

Mirip kan? Jika tidak, berarti saya mungkin salah sangka dan terlalu menyerupakan satu karya dengan karya yang lainnya. 

Baik film WBS maupun film yang satunya memberikan saya sedikit cahaya. Tentang langkah yang ingin saya ambil dalam hidup seharusnya sepenuhnya menjadi hak saya. Terlepas itu sebuah perubahan atau bukan. Terlepas itu mewakili keinginan dan harapan orang-orang terdekat atau tidak. Semua orang punya kebebasan untuk memilih untuk berubah atau menolak perubahan. Walau banyak orang yang bilang, bila tak berubah kita akan mati tergerus oleh perubahan. 


Bandung, 22 November 2014


Nb: saya menemukan cukup banyak kesalahan secara tata bahasa pada bahasa Arab yang digunakan selama film WBS. Emm..cukup kecewa sih. Huhuhu.

Read More

Wednesday, November 19, 2014

HUJAN

Sebetulnya, aku tak pernah punya kenangan khusus dengan hujan. Tak pernah terkurung di dalam tempat yang sama dengan orang istimewa saat hujan. Namun juga tak pernah merasa baik-baik saja ketika hujan. Namun aku senang dengan suara rintik air saat menyapa dunia. Rintik air yang tak memilih jatuh dimana, diatas apa dan membasahi siapa. Aku senang wangi tanah yang menyeruak saat hujan datang. Memberikan sedikit kedamaian dan menyisakan kekhawatiran tentang dampak hujan bila ia menyapa bumi terlalu lama.

Banyak puisi mengangkat hujan menjadi bagian dari patahan kata yang ada di dalamnya. Banyak lagu yang menculik hujan dan menyelipkannya diantara liriknya. Banyak cerita yang menjadikan hujan sebagai setting tambahan bahkan setting utama kisah pemeran utamanya. Banyak film yang membuat hujan menjadi efek dramatis yang tak tergantikan. Banyak hal menyebut hujan dalam cerita tokoh utama mereka. Tapi aku masih belum punya cerita khusus yang berkaitan dengan hujan.

Apa mungkin hujan diciptakan untuk mewarnai suasana romantis? ataukah hujan memang diturunkan untuk menemani manusia bernostalgia?

Saat hujan tak pernah ada lagi, akankah ia tetap menjadi bagian kisah manusia?
Read More

TER-AADC

Mungkin setelah munculnya film AADC pamor cowok cool, kutu buku dan ketus menjadi meningkat. Mungkin juga pamor aktivis mading perempuan menjadi bintang sekolah secara tiba-tiba. Film AADC mungkin mengubah semuanya. 

Tapi film AADC gak mengubah sudut pandang gue tentang cinta. Ya, cinta. Hal yang terkadang menurut gue dengan mudahnya membuat orang bodoh dan hilang akal. Terdengar menusuk? Gue nulis ini sambil cengengesan kok. Mungkin perasaan lo aja kali.

Cinta, ah ya gue gak pernah hoki dengan hal ini. Tapi gue suka film-film cinta, buku-buku cinta dan cerita-cerita cinta. Bahkan, gue adalah orang yang sering dicurhatin tentang cinta oleh teman-teman gue. Lucu kan? Orang yang sinis sama cinta berhubungan dengan banyak hal yang berkaitan dengan cinta.

Gue akuin sih, gue sinis ke hal-hal yang berkaitan dengan cinta karena gue gak ngerti kalau menghadapi cinta itu harus bagaimana. Kalau sudah jatuh cinta itu baiknya gimana? Kalau patah hati, mau gimana? Cinta tuh rumit. Jadi, sinis terhadap hal-hal yang berbau cinta jadi pilihan gue untuk memandang cinta itu sendiri.

Lo pernah baca bukunya Dwitasari yang judulnya Raksasa dari Jogja? Nah, mirip tuh sama gue. Tapi ya gak se-ekstrim itu sih kisah hidupnya. Yah intinya begitulah.

Kembali ke pembahasan tentang film AADC. Gue suka sih filmnya. Pemilihan diksi dari setiap dialognya bikin gue terkesima. Canggih betul orang yang nyusun skenarionya. Pantas saja jadi film yang fenomenal hingga sekarang. Sampai-sampai, teman sekantor gue yang terlihat cool dan ganteng *eh maksudnya pendiam (tapi seriusan ganteng) ngaku kalau dia pernah ikutan kabaret dengan 3 orang teman dan joget-joget ala gengnya si Cinta. Alamak, gue pengen liat jadinya. Hahaha.

Film tentang cinta memang asik. Menawarkan banyak keindahan yang bersifat utopis. Semu. Gue jadi ingat lagunya Tangga yang judulnya Tak Kemana-mana.

Awal cerita yang selalu bahagia
Adalah skenario yang ditawarkan cinta
Namun hanya Tuhan yang tahu kemana
Perjalanan ini kan bermuara nantinya

Tapi kayaknya seru juga ya cinta-cintaan. Lucu juga marah-marahan kayak Rangga sama Cinta. Mungkin tahun ini perlu terlibat langsung dengan cerita cinta supaya tahu mengapa ada pertanyaan yang dijadikan judul film fenomenal Ada Apa dengan Cinta. Hari ini, gue sukses ter-AADC. 

Read More

Sunday, November 2, 2014

Ditanya

Entah karena aku terlalu banyak bicara, atau karena memang banyak maunya. Aku senang ditanya dengan pertanyaan yang bisa membuatku bercerita. Bukan pertanyaan yang jawabannya hanya ya atau tidak. Apalagi pertanyaan basa basi yang terkadang menyayat hati seperti kapan lulus atau kapan menikah. Mengapa mereka yang bertanya tak sekalian bertanya kami mati dan kapan dikuburkan? Menyebalkan.

Setiap adegan film dengan kata tanya sederhana tapi romantis selalu memancingku berkhayal ditanya hal yang sama.

Salah satunya secuil adegan di film Mika.

"Kamu mau apa?" Tanya Mika pada Indi

"Aku mau berlari, melompat dan menari."


Seperti selalu selayaknya sebuah film romantis, Mika 'meminjamkan kakinya' untuk membantu Indi merasakan sensasi berlari dan melompat. Mika mengajak Indi bertemu dengan pelatih tari topeng untuk bisa menari. Aih, mungkin hanya di film saja aku bisa menemukan hal yang terlalu manis seperti ini.

Adegan yang sama juga pernah aku lihat dalam sebuah film Korea yang kulupa judulnya. Persis sama. Tak perlu kuceritakan detailnya.

Intinya, bagiku ditanya tentang apa yang ingin kulakukan itu tindakan yang romantis.

Dulu, saat aku terdiam setelah panjang lebar menceritakan apa yang ingin kulakukan di masa depan, seorang teman bertanya dengan santainya,

"Terus, kamu mau apa dan ngapain lagi, Ki?"

Aih, rasanya langsung merasa berharga dan melanjutkan banyak keinginan yang awalnya sempat tidak akan kuceritakan.

Dulu juga, saat aku dengan semamgat membara menceritakan tentang pendakian pertamaku kepada seorang teman, orang itu dengan santainya bertanya,

"Belajar apa disana, Ki?"

Aih, rasanya seperti dapat angin segar di tengah perjalanan di gurun Sahara. .

Terdengar lebay memang, tapi memang terjadi.

Mungkin memang aku terlalu berlebihan. Merasa kata tanya sebagai representasi dari kepedulian. Padahal orang yang bertanya bahkan tak pernah ambil pusingdengan apa yang ditanyakan.


Read More

Sunday, October 19, 2014

Jaket Merah #2

Naas, hujan badai melanda Jakarta. Hatiku sudah ketar-ketir tak karuan. Konsentrasiku buyar dan pikiranku entah ada dimana. Rapat selesai tepat waktu. Aku bergegas meninggalkan tempat itu diiringi dengan tatapan aneh teman-temanku. Kuhiraukan tatapan itu, mataku jelalatan mencari taksi. Tak lama kudapatkan taksi kosong dan bergegas melaju ke tempat dimana Vina menungguku. 

Sesampainya di tempat itu, aku tak menemukan batang hidung Vina. Aku meminta supir taksi untuk membantuku mencarinya. Supir itu kesal karena ia tahu tidak mudah mencari Vina di tengah-tengah kerumunan orang dan hujan besar yang sedang melanda. Supir itu marah-marah tak keruan. Membuatku semakin tak karuan. Ah, Tuhan. Aku harus menyerah atau berusaha lebih keras lagi? 

Kuputuskan untuk turun dari taksi dan mencari temanku sendiri. Supir taksi itu bersedia menungguku kembali. Untungnya saat aku keluar dari taksi, hujan besar sudah mulai mereda, berganti gerimis yang menyirami kota. 

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri dengan sedikit menyipitkan mata karena air hujan yang mengguyurku. Bedakku sudah tak berupa. Pun aku sudah tak peduli dengan hal itu. 

Tiba-tiba seorang wanita menghampiriku. Vina melihatku seperti tikus got cantik linglung mencari temannya. Kami masuk kembali ke taksi. Tujuan kami adalah Istora Senayan. Tempat dimana Gilang akan tampil dengan tim marching band kampusnya. Supir taksi yang kami tumpangi sepertinya memiliki kecenderungan pendendam. Ia enggan mengantarkan kami hingga Istora. Kami diturunkan di Gelora Bung Karno. 

Kau tahu, jarak antara GBK dengan Istora itu terlalu jauh-jauh-dekat. Terlalu jauh bila kami lalui dengan berjalan kaki, terlalu dekat bila kami harus menaiki taksi. Tak ada kendaraan umum apapun yang melewati jalur itu. Taksipun enggan mengantar kami karen jarak yang terlalu jauh. 

Aku melirik jam tangan. 

13.05

Sial, lima menit lagi Gilang akan tampil. Sedangkan aku masih jauh dari Istora Senayan. Aku dan Vina berdiskusi lalu memutuskan kami harus naik taksi. Beruntung satu taksi menghampiri kami. Saat kami sebut tujuan kami, supir taksi itu menolak mentah-mentah. Aku membujuk dengan wajah memohon dengan segenap jiwa dan raga. Supir taksi itu luluh. Rintangan kembali luruh.

Sesampainya di Istora, kami langsung menghampiri penjaga tiket dan bertanya mengenai penampilan marching band kampus Gilang. Mbak-mbak penjaga tiket itu bilang bahwa pertunjukan belum dimulai dikarenakan pemunduran jadwal akibat mati lampu sejam yang lalu. Waaaaaaaahhhhh...aku tak pernah selega ini. 

Kami membeli tiket masuk lalu mencari manusia berseragam mirip dengan Gilang. Kami menghampiri teman-teman kampus Gilang dan mengobrol sepatah dua patah kata. Tak lama acara kembali dimulai. Akhirnya, aku bisa melihatnya, Gilang, manusia yang menjadi alasan luruhnya sikap putus asaku hari ini. 

Acara selesai, aku keluar untuk mencari sosok lelaki itu. Aku melihatnya sedang dilingkari oleh para juru warta. Aku menunggunya selesai di wawancara, tapi itu benar-benar memakan waktu yang lama. Aku bertanya pada teman-temannya tentang kemungkinan masih lama atau tidaknya mereka disana. Orang itu menjawab kemungkinan mereka masih lama berada di Istora karena banyak hal yang perlu dibereskan di belakang panggung. 

Vina memintaku menemaninya mencari makan. Cacing diperutnya enggan untuk diabaikan. Dengan senang hati kutemani Vina memberi pakan pada cacing-cacing yang ada di perutnya. 

Setengah jam berlalu, Vina selesai makan dan kami kembali ke tempat semula. Sialnya tak ada seorangpun yang menunggu kami disana. Ini memang kesalahanku. Ponselku mati dan aku tak mengabari Gilang sedikitpun. Mungkin jika ia tahu aku hadir disana, ia akan menungguku dan kita bisa bertemu. Ah sudahlah, yang terjadi adalah sebaliknya. Kuputuskan keluar dari Istora Senayan. Entah pasal apa bus kampus Gilang lewat tepat di depan kami. Semangatku luruh sudah. 

"Ayo kita kejar aja!" ajak Vina

"Ayo!" 

Tanpa pikir panjang aku berlari mengejar bus itu. Sungguh, ini bukan adegan film india yang tak pernah kusuka sepanjang masa. Pun bukan adegan sinetron yang membuatku muak setiap kali menontonnya. Ini adegan nyata yang membuatku tak berpikir ulang dampak dari tindakan yang kulakukan. Aku juga heran dengan apa yang kulakukan. Bila bus itu terkejar lalu apa? Apa yang akan kulakukan? Bertingkah seperti artis FTV yang menggedor-gedor bus lalu masuk mencari orang yang dituju? Apa?

Sejujurnya aku tak memikirkan apapun saat berlari bersama Vina. Fokusku hanya satu, mengejar bus itu. Tapi kami berlari tak terlalu lama. Kami lelah. Sambil ngosngosan kami berhenti berlari. 

"Udah, Vin. Gak akan kekejar. Gue udah capek banget," kataku. 

Sebelum Vina menjawab, bus yang kami kejar berhenti karena ada mobil yang memasuki area Istora. 

"Busnya berhenti!!! Ayo kejar lagi!" teriak Vina. 

Kami berlari sekencang-kencangnya, seperti anak kecil yang melihat setumpuk gulali di depan sana. Akhirnya bus itu ada di dekat kami. Selanjutnya, aku bingung bagaimana memberikan barang ini kepada Gilang. Tak mungkin kubuka pintu bus lalu memberikannya kepada Gilang secara langsung. Bisa-bisa Gilang menjadi santapan bullying teman-temannya. Selain itu, aku juga tak punya keberanian untuk melakukan hal norak semacam itu. 

Syukurlah seorang juru parkir ada di sekitar bus tersebut. Kami menghampirinya dan memintanya untuk memberikan bingkisan berisi jaket merah itu kepada seseorang bernama Gilang di bus yang kami tunjukkan. Juru parkir itu mengangguk dan berjalan menuju bus tersebut. Aku dan Vina berbalik arah, berlari dengan segera. Kami menjauh dari bus yang sejak tadi dekati. 

Juru parkir tersebut keluar dari bus. Bus itu berjalan keluar dari area Istora Senayan. Kami mendekati juru parkir tersebut dan bertanya tentang 'paket ekspedisi' yang kami titipkan. Ia berkata bahwa ada orang bernama Gilang disana dan sudah menerima bingkisan yang kami titipkan kepadanya. Kami berterimakasih dan memberikan sedikit uang untuk membeli kudapan ataupun rokok kepada juru parkir tersebut. Aku pulang dengan hati yang riang. Vina tak henti tertawa dan menggelengkan kepalanya mengingat apa yang telah kami lakukan sepanjang hari ini. 

Hem, akhirnya janjiku tuntas sudah. 

***
"Nah hari ini gue lihat display picture Gilang ganti. Gue lihat dia pake jaket merah. Gue perbesar gambarnya untuk meyakinkan diri gue sendiri, bener gak sih itu jaket yang gue kasih? Ternyata bener. Gila. Dia masih simpan jaket itu? Ah, gue merasa berharga karena dihargai. Kecil ya? tapi ngefek banget," kata temanku mengakhiri ceritanya.

Ah cinta memang selalu memberikan warna berbeda di dalam hidup manusia. Sayang, kisah temanku ini tak berakhir dengan warna ceria karena fondasi mereka berdua sudah sangat berbeda. Bagaimanapun, mencintai dan menghargai orang yang telah mencintai dan menghargai kita itu benar-benar sikap berharga.

Bandung, 19 Oktober 2014

Read More

Jaket Merah

Hari ini hari Minggu. Hari bersenang-senang untukku. Hari dimana aku bisa berlama-lama diam di kamar, menatap layar monitor dan berbincang dengan banyak orang secara virtual. Tak perlu keluar suara, tak perlu banyak ekspresi di muka. Hanya suara ketukan keyboard yang seolah mengganti mulut untuk berbahasa. Ah Tuhan, mungkinkah tangan berbicara pun sudah muncul tanda-tandanya sekarang? 

Sudah lebih dari satu jam aku menjelajah dunia maya. Punggungku sakit, leherku apalagi. Kumatikan segera komputer jinjing yang sedari tadi menyala. Tujuanku hanya satu, tempat tidur. Kemana lagi? Hari Minggu itu asyik untuk dinikmati sendiri, bukan?

Aku merebahkan badan. Namun tanganku masih tak bisa diam. Tangan kananku menggenggam ponsel dan mulai menelisik banyak fitur yang ada disana. 

"PING"

Bunyi khas salah satu aplikasi pengirim pesan terdengar. Tanda bintang merah muncul menandakan ada sesuatu yang baru di aplikasi itu. Seperti sudah terlatih, jempol kananku bergerak cepat. Seakan paham empunya ingin segera tahu berita baru apa yang ada disana. 

Ternyata pemberitahuan itu datang dari sebuah grup yang aku ikuti. Grup bincang-bincang ringan dengan teman-teman yang ada jauh disana. Sebuah foto telah terkirim siang ini. Foto tiga orang pria yang asing bagiku. Dua orang dari mereka berkaos oblong, bercelana jeans dan memakai sandal. Seorang yang lain menggunakan jaket merah merk ternama dan juga menggunakan celana jeans dan kakinya beralaskan sandal. Tak ada yang istimewa, kecuali keterangan foto yang menyertainya. 

"Perjuangan Istora. Ah, gue merasa berharga."

Dahiku mengerut. Apa hubungannya?

"Ada cerita yang belum terceritakan nih," komentarku ringan. 

Saling ledek segera terjadi antara kami. Tiba-tiba orang yang mengunggah foto itu menyapaku secara personal. Bertegur sapa dan bercanda tak penting seperti yang selalu kami lakukan. Ceritanya mengalir deras. Aku tak menyangka ada cerita unik dibalik foto itu. Foto yang membuatku berpikir mungkin temanku berbakat menjadi salah satu pemeran wanita FTV di Indonesia. 

***
"Kita putus! PUTUS!" teriakku kesal. 

"Oke," ujar lelaki itu sama kesalnya denganku. 

Amarahku sudah tak terbendung. Hal kecil membuat semua kekesalan mengembung. Hubungan kami kembali putus dan entah kapan kembali bersambung. Aku pergi sambil menahan tangis, walau sebenarnya aku masih bingung. 

Gilang, itu nama lelaki itu. Lelaki yang kukenal sejak duduk di bangku SMA. Lelaki yang dekat denganku karena ejekan (sebut saja itu dukungan) dari teman-temannya. Lelaki yang sempat membuatku merasa menjadi wanita paling spesial di dunia.

Sore itu memang akumulasi dari konflik kecil yang terjadi diantara kami. Padahal sebelumnya kami sempat pergi untuk menonton film terbaru di salah satu bioskop di ibukota. Sebelum masuk ke bioskop, Gilang mengajakku masuk ke sebuah toko. Ia menghampiri sebuah jaket merah, memegang bahan jaket itu lalu melihat bandrol harga.

"Ah, masih mahal. Nanti lagi deh," katanya pelan.

Tak lama kemudian ia mengajakku keluar dan langsung berjalan menuju bioskop. 

Aku diam saja melihat tingkah lelakiku itu. Diam-diam kutandai jaket merah yang ia hampiri tadi. Dalam hatiku berjanji, benda itu akan kuberikan di acara paling spesial bagi Gilang. 

Tapi kini hubungan kami sudah berakhir. Aku bukan siapa-siapa dan Gilang juga bukan siapa-siapa. Kami hanya teman yang dulu pernah menjadikan satu sama lain sebagai orang yang istimewa. Lupakan. Ya, aku harus melupakannya. 

Waktu berlalu, sudah setelah kejadian itu. Ternyata tak mudah membuatnya hilang dari ingatanku. Alur cerita cintaku dengannya memang tidak wajar. Seperti yang tadi kubilang, kami dekat karena ejekan teman. Kami sempat bersama selama empat bulan purnama. Lalu kemudian berpisah karena aku terlalu kekanak-kanakan dan ia terlalu sibuk dengan pelbagai kegiatannya. Setelah putus beberapa saat, akhirnya kami kembali dekat. Kami dekat selama setahun, namun baru bersama di bulan terakhir. Dan kini, semua cerita cinta yang bagiku tidak picisan itu lagi-lagi harus kandas di tengah jalan. 

Melupakan? Aku sudah mencoba melupakannya. Tapi apa yang bisa aku lupakan jika keseharianku ternyata berkutat pada manusia bernama Gilang? Aku sudah terbiasa dengan keberadaannya, kealpaannya disekitarku membuatku kembali harus beradaptasi dengan ekstra energi. 

Tiba-tiba ingatanku tentang tingkah konyol dan berbagai hal yang kulalui dengannya berkeliaran di kepala. Sial. Benarkah aku tak bisa lupa? tanyaku pada diriku sendiri. 

Aku teringat dengan jaket merah yang ia inginkan sehari sebelum kami bertengkar hebat. Entah ada angin atau bisikan dari setan jenis apa akhirnya aku kembali ke toko itu dan mendapati barang yang diinginkannya masih terpajang manis disana. Aku berpikir ulang. Haruskah aku membeli barang ini untuknya? Bagaimana bila aku terlihat seperti orang bodoh di depannya? Bagaimana jika ia menolak pemberianku mentah-mentah? Bagaimana jika...... Ah ya, anggap saja ini penunaian janji yang dulu sempat kupegang dalam hati. 

"Mbak, yang ini deh," kataku kepada pramuniaga toko tersebut. 

Aku ingat jelas, bulan itu adalah bulan Oktober. Dua bulan setelah kita saling kesal dan memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Tapi hal yang lebih kuingat adalah acara spesial yang kau idam-idamkan di bulan Desember. 

Entah bodoh atau apalah namanya, aku tak mengerti diriku sendiri saat itu. Kukumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan pagelaran besar yang akan kau datangi di bulan Desember. Mulai dari detail tempat, jam hingga berbagai hal tak penting yang menurutku bisa menjadi informasi pendukung kukumpulkan dari berbagai sumber. Mungkin, jika kutemukan akses untuk menggali informasi lebih lanjut, aku akan bertanya siapa saja yang mungkin akan hadir disana. 

Gila? Kau pikir aku gila? Ya, akupun berpikir begitu. 

Aku bukan wanita tuna cinta yang mengais-ais perhatian dari lelaki dengan membawa barang yang diinginkannya. Aku hanya menunaikan janjiku pada diriku sendiri. Setidaknya jika itu sudah kulakukan maka aku akan merasa lebih tenang. 

Bulan demi bulan berlalu. Bulan Desember datang menyapaku. Fokusku buyar. Kepalaku dipenuhi banyak hal yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Sialnya, di bulan itu aku cukup sibuk dengan berbagai rapat koordinasi dari organisasi yang kuikuti. 

"Vin, lo bisa temenin gue kan? Tapi gue ada rapat di Salemba sampai jam 12.00. Kita janjian dimana?" tanyaku pada Vina, teman dekatku. 

Vina menyebutkan sebuah tempat dan memastikan bahwa ia memang akan menemuiku disana di waktu yang telah kita janjikan. 

Naas, hujan badai melanda Jakarta....


Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)