Friday, January 24, 2014

BANI FULAN

Malam itu saya nonton Mata Najwa episode Apa Kata Megawati. Narasumbernya jelas Megawati Soekarnoputri. Presiden wanita pertama dan satu-satunya hingga sekarang di Indonesia. Presiden RI yang kelima. Saya memang tidak tahu banyak tentang beliau. Saya juga tidak tahu jelas apa motif beliau tetap memegang posisi Ketua Umum PDI Perjuangan. Saya tidak tahu apapun tentang itu. Tapi melihat setiap jawaban yang mengalir dari wawancara itu saya menyimpulkan bahwa Megawati ingin cita-cita proklamasi Indonesia tercapai. Artinya, apa yang ayahnya (Soekarno)  lakukan harus ia lanjutkan untuk diwujudkan.

“Silahkan bu, ungkapkan harapan ibu untuk Indonesia,” kata Najwa
“Saya ingin Indonesia Raya,” jawab Megawati dengan menangis.

Saya tidak tahu apa arti tangisan itu, tapi dua kata terakhir yang beliau ucapkan dengan berat dan penuh pengharapan itu seakan-akan memberi komando kepada bulu kuduk saya untuk berdiri seketika. Merinding. Sungguh itu yang saya rasakan.

Saya teringat tentang sekolah dimana saya menimba ilmu beberapa tahun yang lalu. Sekolah itu sekolah yang cukup maju dengan cabang di seluruh penjuru Indonesia. Terbagi dua, putra dan putri. Hingga kini sekolah tersebut masih dipimpin oleh cucu dari sang pendirinya. Saya memang bertanya-tanya. Mengapa harus anak dari para pendiri ini yang menjadi pemimpin? Apakah ingin membuat kerajaan super besar? Ataukah ingin memberikan “warisan” kepada anak-anaknya?

Tapi kemudian saya menyadari pemikiran ini sangat menjijikan.

Megawati dapat menyerap nilai-nilai yang ada pada Bung Karno dengan baik karena ia bisa mengobservasi secara langsung. Mengetahui banyak hal yang tidak orang lain ketahui tentang sang pelopor. Menginternalisasikan nilai-nilai ayahnya ke dalam dirinya sendiri. Mungkin saja termasuk mengamini mimpi-mimpi yang sama tentang negerinya, Indonesia.

Begitupun dengan anak-anak para pemimpin di sekolah saya. Mereka yang mendapat didikan langsung dari para pendiri akan berbeda dengan mereka yang hanya terjamah sesekali. Mereka yang merasa getaran semangat membangun untuk pengabdian pada Illahi, jelas akan berbeda dengan mereka yang hanya mengobservasi dan terinspirasi sesekali. Mereka yang menjadi darah daging orang-orang utama, kemungkinan besar dapat membayangkan dengan jelas apa yang menjadi mimpi besar orang tua mereka.

Tulisan ini penuh dengan asumsi. Tapi setidaknya kini saya mengerti, mengapa kaderisasi dibutuhkan oleh semua pemimpin yang mimpinya ingin terealisasi. Mimpi orang besar tidak akan terlaksana di waktu yang singkat. Maka perlu banyak orang besar yang harus dipersiapkan untuk menjadi pelari estafet selanjutnya. Di sekolah saya itu, merekalah yang terpilih menjadi pemegang estafet mimpi. Mereka juga harus menyiapkan pemain selanjutnya. Bukan untuk kekuasaan semata, tapi untuk menciptakan inovasi mencapai mimpi.

Maafkan saya yang pernah menikmati rasa curiga itu sebelumnya.

Bani Fulan, semoga mimpi itu masih bisa terjaga. Sampaikan rindu mendalam saya pada para leluhur yang bisa membuat sekolah itu ada. Disana, entah berapa banyak kata mutiara dan pelajaran kehidupan yang bisa dinikmati dengan cuma-cuma. Dinikmati sebagai bonus atas kesediaan tinggal beberapa tahun untuk mengecap pendidikan formal dan agama. Perlu kau tahu, saya selalu bangga menjadi bagian dari keluarga itu selama enam tahun di tempat yang sama dan satu tahun di seberang pulau sana. Terimakasih banyak atas usaha maksimal yang dilakukan selama ini. 

0 comments:

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)