Sunday, October 19, 2014

Jaket Merah #2

Naas, hujan badai melanda Jakarta. Hatiku sudah ketar-ketir tak karuan. Konsentrasiku buyar dan pikiranku entah ada dimana. Rapat selesai tepat waktu. Aku bergegas meninggalkan tempat itu diiringi dengan tatapan aneh teman-temanku. Kuhiraukan tatapan itu, mataku jelalatan mencari taksi. Tak lama kudapatkan taksi kosong dan bergegas melaju ke tempat dimana Vina menungguku. 

Sesampainya di tempat itu, aku tak menemukan batang hidung Vina. Aku meminta supir taksi untuk membantuku mencarinya. Supir itu kesal karena ia tahu tidak mudah mencari Vina di tengah-tengah kerumunan orang dan hujan besar yang sedang melanda. Supir itu marah-marah tak keruan. Membuatku semakin tak karuan. Ah, Tuhan. Aku harus menyerah atau berusaha lebih keras lagi? 

Kuputuskan untuk turun dari taksi dan mencari temanku sendiri. Supir taksi itu bersedia menungguku kembali. Untungnya saat aku keluar dari taksi, hujan besar sudah mulai mereda, berganti gerimis yang menyirami kota. 

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri dengan sedikit menyipitkan mata karena air hujan yang mengguyurku. Bedakku sudah tak berupa. Pun aku sudah tak peduli dengan hal itu. 

Tiba-tiba seorang wanita menghampiriku. Vina melihatku seperti tikus got cantik linglung mencari temannya. Kami masuk kembali ke taksi. Tujuan kami adalah Istora Senayan. Tempat dimana Gilang akan tampil dengan tim marching band kampusnya. Supir taksi yang kami tumpangi sepertinya memiliki kecenderungan pendendam. Ia enggan mengantarkan kami hingga Istora. Kami diturunkan di Gelora Bung Karno. 

Kau tahu, jarak antara GBK dengan Istora itu terlalu jauh-jauh-dekat. Terlalu jauh bila kami lalui dengan berjalan kaki, terlalu dekat bila kami harus menaiki taksi. Tak ada kendaraan umum apapun yang melewati jalur itu. Taksipun enggan mengantar kami karen jarak yang terlalu jauh. 

Aku melirik jam tangan. 

13.05

Sial, lima menit lagi Gilang akan tampil. Sedangkan aku masih jauh dari Istora Senayan. Aku dan Vina berdiskusi lalu memutuskan kami harus naik taksi. Beruntung satu taksi menghampiri kami. Saat kami sebut tujuan kami, supir taksi itu menolak mentah-mentah. Aku membujuk dengan wajah memohon dengan segenap jiwa dan raga. Supir taksi itu luluh. Rintangan kembali luruh.

Sesampainya di Istora, kami langsung menghampiri penjaga tiket dan bertanya mengenai penampilan marching band kampus Gilang. Mbak-mbak penjaga tiket itu bilang bahwa pertunjukan belum dimulai dikarenakan pemunduran jadwal akibat mati lampu sejam yang lalu. Waaaaaaaahhhhh...aku tak pernah selega ini. 

Kami membeli tiket masuk lalu mencari manusia berseragam mirip dengan Gilang. Kami menghampiri teman-teman kampus Gilang dan mengobrol sepatah dua patah kata. Tak lama acara kembali dimulai. Akhirnya, aku bisa melihatnya, Gilang, manusia yang menjadi alasan luruhnya sikap putus asaku hari ini. 

Acara selesai, aku keluar untuk mencari sosok lelaki itu. Aku melihatnya sedang dilingkari oleh para juru warta. Aku menunggunya selesai di wawancara, tapi itu benar-benar memakan waktu yang lama. Aku bertanya pada teman-temannya tentang kemungkinan masih lama atau tidaknya mereka disana. Orang itu menjawab kemungkinan mereka masih lama berada di Istora karena banyak hal yang perlu dibereskan di belakang panggung. 

Vina memintaku menemaninya mencari makan. Cacing diperutnya enggan untuk diabaikan. Dengan senang hati kutemani Vina memberi pakan pada cacing-cacing yang ada di perutnya. 

Setengah jam berlalu, Vina selesai makan dan kami kembali ke tempat semula. Sialnya tak ada seorangpun yang menunggu kami disana. Ini memang kesalahanku. Ponselku mati dan aku tak mengabari Gilang sedikitpun. Mungkin jika ia tahu aku hadir disana, ia akan menungguku dan kita bisa bertemu. Ah sudahlah, yang terjadi adalah sebaliknya. Kuputuskan keluar dari Istora Senayan. Entah pasal apa bus kampus Gilang lewat tepat di depan kami. Semangatku luruh sudah. 

"Ayo kita kejar aja!" ajak Vina

"Ayo!" 

Tanpa pikir panjang aku berlari mengejar bus itu. Sungguh, ini bukan adegan film india yang tak pernah kusuka sepanjang masa. Pun bukan adegan sinetron yang membuatku muak setiap kali menontonnya. Ini adegan nyata yang membuatku tak berpikir ulang dampak dari tindakan yang kulakukan. Aku juga heran dengan apa yang kulakukan. Bila bus itu terkejar lalu apa? Apa yang akan kulakukan? Bertingkah seperti artis FTV yang menggedor-gedor bus lalu masuk mencari orang yang dituju? Apa?

Sejujurnya aku tak memikirkan apapun saat berlari bersama Vina. Fokusku hanya satu, mengejar bus itu. Tapi kami berlari tak terlalu lama. Kami lelah. Sambil ngosngosan kami berhenti berlari. 

"Udah, Vin. Gak akan kekejar. Gue udah capek banget," kataku. 

Sebelum Vina menjawab, bus yang kami kejar berhenti karena ada mobil yang memasuki area Istora. 

"Busnya berhenti!!! Ayo kejar lagi!" teriak Vina. 

Kami berlari sekencang-kencangnya, seperti anak kecil yang melihat setumpuk gulali di depan sana. Akhirnya bus itu ada di dekat kami. Selanjutnya, aku bingung bagaimana memberikan barang ini kepada Gilang. Tak mungkin kubuka pintu bus lalu memberikannya kepada Gilang secara langsung. Bisa-bisa Gilang menjadi santapan bullying teman-temannya. Selain itu, aku juga tak punya keberanian untuk melakukan hal norak semacam itu. 

Syukurlah seorang juru parkir ada di sekitar bus tersebut. Kami menghampirinya dan memintanya untuk memberikan bingkisan berisi jaket merah itu kepada seseorang bernama Gilang di bus yang kami tunjukkan. Juru parkir itu mengangguk dan berjalan menuju bus tersebut. Aku dan Vina berbalik arah, berlari dengan segera. Kami menjauh dari bus yang sejak tadi dekati. 

Juru parkir tersebut keluar dari bus. Bus itu berjalan keluar dari area Istora Senayan. Kami mendekati juru parkir tersebut dan bertanya tentang 'paket ekspedisi' yang kami titipkan. Ia berkata bahwa ada orang bernama Gilang disana dan sudah menerima bingkisan yang kami titipkan kepadanya. Kami berterimakasih dan memberikan sedikit uang untuk membeli kudapan ataupun rokok kepada juru parkir tersebut. Aku pulang dengan hati yang riang. Vina tak henti tertawa dan menggelengkan kepalanya mengingat apa yang telah kami lakukan sepanjang hari ini. 

Hem, akhirnya janjiku tuntas sudah. 

***
"Nah hari ini gue lihat display picture Gilang ganti. Gue lihat dia pake jaket merah. Gue perbesar gambarnya untuk meyakinkan diri gue sendiri, bener gak sih itu jaket yang gue kasih? Ternyata bener. Gila. Dia masih simpan jaket itu? Ah, gue merasa berharga karena dihargai. Kecil ya? tapi ngefek banget," kata temanku mengakhiri ceritanya.

Ah cinta memang selalu memberikan warna berbeda di dalam hidup manusia. Sayang, kisah temanku ini tak berakhir dengan warna ceria karena fondasi mereka berdua sudah sangat berbeda. Bagaimanapun, mencintai dan menghargai orang yang telah mencintai dan menghargai kita itu benar-benar sikap berharga.

Bandung, 19 Oktober 2014

Read More

Jaket Merah

Hari ini hari Minggu. Hari bersenang-senang untukku. Hari dimana aku bisa berlama-lama diam di kamar, menatap layar monitor dan berbincang dengan banyak orang secara virtual. Tak perlu keluar suara, tak perlu banyak ekspresi di muka. Hanya suara ketukan keyboard yang seolah mengganti mulut untuk berbahasa. Ah Tuhan, mungkinkah tangan berbicara pun sudah muncul tanda-tandanya sekarang? 

Sudah lebih dari satu jam aku menjelajah dunia maya. Punggungku sakit, leherku apalagi. Kumatikan segera komputer jinjing yang sedari tadi menyala. Tujuanku hanya satu, tempat tidur. Kemana lagi? Hari Minggu itu asyik untuk dinikmati sendiri, bukan?

Aku merebahkan badan. Namun tanganku masih tak bisa diam. Tangan kananku menggenggam ponsel dan mulai menelisik banyak fitur yang ada disana. 

"PING"

Bunyi khas salah satu aplikasi pengirim pesan terdengar. Tanda bintang merah muncul menandakan ada sesuatu yang baru di aplikasi itu. Seperti sudah terlatih, jempol kananku bergerak cepat. Seakan paham empunya ingin segera tahu berita baru apa yang ada disana. 

Ternyata pemberitahuan itu datang dari sebuah grup yang aku ikuti. Grup bincang-bincang ringan dengan teman-teman yang ada jauh disana. Sebuah foto telah terkirim siang ini. Foto tiga orang pria yang asing bagiku. Dua orang dari mereka berkaos oblong, bercelana jeans dan memakai sandal. Seorang yang lain menggunakan jaket merah merk ternama dan juga menggunakan celana jeans dan kakinya beralaskan sandal. Tak ada yang istimewa, kecuali keterangan foto yang menyertainya. 

"Perjuangan Istora. Ah, gue merasa berharga."

Dahiku mengerut. Apa hubungannya?

"Ada cerita yang belum terceritakan nih," komentarku ringan. 

Saling ledek segera terjadi antara kami. Tiba-tiba orang yang mengunggah foto itu menyapaku secara personal. Bertegur sapa dan bercanda tak penting seperti yang selalu kami lakukan. Ceritanya mengalir deras. Aku tak menyangka ada cerita unik dibalik foto itu. Foto yang membuatku berpikir mungkin temanku berbakat menjadi salah satu pemeran wanita FTV di Indonesia. 

***
"Kita putus! PUTUS!" teriakku kesal. 

"Oke," ujar lelaki itu sama kesalnya denganku. 

Amarahku sudah tak terbendung. Hal kecil membuat semua kekesalan mengembung. Hubungan kami kembali putus dan entah kapan kembali bersambung. Aku pergi sambil menahan tangis, walau sebenarnya aku masih bingung. 

Gilang, itu nama lelaki itu. Lelaki yang kukenal sejak duduk di bangku SMA. Lelaki yang dekat denganku karena ejekan (sebut saja itu dukungan) dari teman-temannya. Lelaki yang sempat membuatku merasa menjadi wanita paling spesial di dunia.

Sore itu memang akumulasi dari konflik kecil yang terjadi diantara kami. Padahal sebelumnya kami sempat pergi untuk menonton film terbaru di salah satu bioskop di ibukota. Sebelum masuk ke bioskop, Gilang mengajakku masuk ke sebuah toko. Ia menghampiri sebuah jaket merah, memegang bahan jaket itu lalu melihat bandrol harga.

"Ah, masih mahal. Nanti lagi deh," katanya pelan.

Tak lama kemudian ia mengajakku keluar dan langsung berjalan menuju bioskop. 

Aku diam saja melihat tingkah lelakiku itu. Diam-diam kutandai jaket merah yang ia hampiri tadi. Dalam hatiku berjanji, benda itu akan kuberikan di acara paling spesial bagi Gilang. 

Tapi kini hubungan kami sudah berakhir. Aku bukan siapa-siapa dan Gilang juga bukan siapa-siapa. Kami hanya teman yang dulu pernah menjadikan satu sama lain sebagai orang yang istimewa. Lupakan. Ya, aku harus melupakannya. 

Waktu berlalu, sudah setelah kejadian itu. Ternyata tak mudah membuatnya hilang dari ingatanku. Alur cerita cintaku dengannya memang tidak wajar. Seperti yang tadi kubilang, kami dekat karena ejekan teman. Kami sempat bersama selama empat bulan purnama. Lalu kemudian berpisah karena aku terlalu kekanak-kanakan dan ia terlalu sibuk dengan pelbagai kegiatannya. Setelah putus beberapa saat, akhirnya kami kembali dekat. Kami dekat selama setahun, namun baru bersama di bulan terakhir. Dan kini, semua cerita cinta yang bagiku tidak picisan itu lagi-lagi harus kandas di tengah jalan. 

Melupakan? Aku sudah mencoba melupakannya. Tapi apa yang bisa aku lupakan jika keseharianku ternyata berkutat pada manusia bernama Gilang? Aku sudah terbiasa dengan keberadaannya, kealpaannya disekitarku membuatku kembali harus beradaptasi dengan ekstra energi. 

Tiba-tiba ingatanku tentang tingkah konyol dan berbagai hal yang kulalui dengannya berkeliaran di kepala. Sial. Benarkah aku tak bisa lupa? tanyaku pada diriku sendiri. 

Aku teringat dengan jaket merah yang ia inginkan sehari sebelum kami bertengkar hebat. Entah ada angin atau bisikan dari setan jenis apa akhirnya aku kembali ke toko itu dan mendapati barang yang diinginkannya masih terpajang manis disana. Aku berpikir ulang. Haruskah aku membeli barang ini untuknya? Bagaimana bila aku terlihat seperti orang bodoh di depannya? Bagaimana jika ia menolak pemberianku mentah-mentah? Bagaimana jika...... Ah ya, anggap saja ini penunaian janji yang dulu sempat kupegang dalam hati. 

"Mbak, yang ini deh," kataku kepada pramuniaga toko tersebut. 

Aku ingat jelas, bulan itu adalah bulan Oktober. Dua bulan setelah kita saling kesal dan memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Tapi hal yang lebih kuingat adalah acara spesial yang kau idam-idamkan di bulan Desember. 

Entah bodoh atau apalah namanya, aku tak mengerti diriku sendiri saat itu. Kukumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan pagelaran besar yang akan kau datangi di bulan Desember. Mulai dari detail tempat, jam hingga berbagai hal tak penting yang menurutku bisa menjadi informasi pendukung kukumpulkan dari berbagai sumber. Mungkin, jika kutemukan akses untuk menggali informasi lebih lanjut, aku akan bertanya siapa saja yang mungkin akan hadir disana. 

Gila? Kau pikir aku gila? Ya, akupun berpikir begitu. 

Aku bukan wanita tuna cinta yang mengais-ais perhatian dari lelaki dengan membawa barang yang diinginkannya. Aku hanya menunaikan janjiku pada diriku sendiri. Setidaknya jika itu sudah kulakukan maka aku akan merasa lebih tenang. 

Bulan demi bulan berlalu. Bulan Desember datang menyapaku. Fokusku buyar. Kepalaku dipenuhi banyak hal yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Sialnya, di bulan itu aku cukup sibuk dengan berbagai rapat koordinasi dari organisasi yang kuikuti. 

"Vin, lo bisa temenin gue kan? Tapi gue ada rapat di Salemba sampai jam 12.00. Kita janjian dimana?" tanyaku pada Vina, teman dekatku. 

Vina menyebutkan sebuah tempat dan memastikan bahwa ia memang akan menemuiku disana di waktu yang telah kita janjikan. 

Naas, hujan badai melanda Jakarta....


Read More

Saturday, October 18, 2014

Bukan Penghuni Kebun Binatang

Ini bukan sebuah hikayat tentang seekor gajah. Ini hanya celoteh seorang burung yang sedang belajar di sebuah tempat bernama kebun binatang. Disini semua hewan ada tingkatannya. Senior, semi-senior dan junior. Burung itu masih berada di kelompok junior. Kelompok yang butuh tak butuh pada kelompok semi senior maupun kelompok senior. 

Ia tak berharap banyak dari kebun binatang dan makhluk-makhluk di dalamnya. Ia hanya berpikir dan meyakini bahwa kebun binatang itu bisa menjadi tempat yang asyik untuk belajar. Ia bisa belajar cara terbang terefektif yang pernah ada pada kelompok yang lebih tua. Ia bisa belajar cara menyesuaikan diri dengan kelompok tertentu dalam waktu dan keadaan tertentu. Ia meyakini, kebun binatang itu hanya sebuah inkubator yang membantunya dengan banyak masukan berguna. 

Jika kakinya mulai sedikit kuat, sayapnya sudah bisa terbentang sedikit gagah, burung kecil itu akan mencari celah keluar dari kebun binatang yang membuatnya belajar banyak hal. Ia masih punya mimpi tentang terbang melintasi banyak daerah yang belum pernah dijamahnya. Ia masih punya keinginan untuk menghiasi horizon dengan kepak sayap indahnya. Ia masih punya waktu untuk terlepas dari kutukan bertahan terlalu lama di dalam kebun binatang yang isinya itu-itu saja. Karena burung itu dilahirkan untuk menghuni dunia dan seisinya, bukan penghuni kebun binatang.


Bandung, 18 Oktober 2014
Read More

Sakit

Sejak Juli 2014, telingaku sakit dibuat kata-kata yang bertebaran di internet. Ah ya, sebagai seorang manusia yang mempunyai hobi berselancar di dunia internet, gendang telingaku seperti pecah tak berupa. Kata-kata makian, sindiran bahkan kutukan keluar dari jari-jari mereka yang menggantikan mulut untuk bicara. 

Si A menuduh si B melakukan hal tak terpuji, padahal ia lupa tuduhannya pun jauh dari kata terpuji. Banyak manusia merasa tergerak untuk membela jagoannya. Gambar dengan percakapan hayalan bertebaran. Kadang membuatku tertawa geli, kadang membuatku buru-buru menutup jendela browser. 

Hai kamu, apa yang kau rasakan bila keluargamu di-cap dan dilabeli manusia jahat? Marahkah?

Dulu aku sering mendengar bahwa wanita terkadang senang melupakan jasa-jasa orang yang telah membantu mereka bila keinginannya tidak terpenuhi. Sekarang tingkah itu sudah tidak berlaku lagi. Makhluk berjakunpun tak sungkan-sungkan melakukan hal yang sama. 

Telingaku sakit, hatiku sakit. Manusia di negeri yang katanya ramah ini bertingkah seperti orang-orang sakit. 


Bandung, 18 Oktober 2014
Read More

Bulan, Apa Kabar?

Seperti biasa, malam itu Alfa, adikku, menjemputku di depan sebuah minimarket. Jarak rumahku dengan jalan raya memang cukup jauh. Maka fungsi Alfa sebagai adik laki-laki secara otomatis bertambah. Menjemput kakaknya hingga sampai ke rumah dengan selamat sentosa. 

Malam itu tak biasanya kami berbincang tentang bulan. Ia menceritakan tentang gerhana bulan yang baru-baru ini terjadi. Ia terheran-heran dengan bulan yang selalu ada. 

"Bulan itu selalu ada ya, teh. Tidak ada masa terbit dan tenggelamnya," katanya. 

Benar, bulan sepertinya memang makhluk Tuhan yang diciptakan untuk setia. Padahal ia hanya bisa terlihat karena pantulan sinar sang mentari yang dengan asyiknya terbit dan tenggelam. Ia terkadang tetap muncul di kala siang menjelang. Walaupun ia tahu bahwa hadirnya akan tertutupi oleh terangnya sinar matahari. 

Saat malam, bulan menemani manusia dengan bintang-bintang yang hanya berbentuk seperti titik cahaya. Bulan menjadi primadona kala wujudnya bulat sempurna atau sabit yang cantik tiada dua. Bulan benda langit yang wujudnya penuh cela namun tetap bersinar putih bersih bak tak bernoda. 

Aku pernah melihat bulan di siang hari. Bentuknya memang samar seperti awan putih berbentuk bulat. Kupandangi bulan itu lalu bertanya, 

"Bulan, apa kabar?"

Bandung, (lagi-lagi) 18 Oktober 2014
Read More

Suka Bule, ya?

Siang itu saya dan keluarga masih sibuk membereskan barang-barang yang kami bawa dari rumah. Kami akan meninggalkan wanita tua yang kusebut Mbah lagi di rumahnya. Mudik singkat kami sebenarnya dimulai di Sabtu siang. Menulusuri jalanan Bandung-Pemalang. Demi menemui wanita kesayangan. Mbah. 

***

Perjalanan kami nyatanya tak selalu lancar. Karena terlalu lelah, kendaraan kami lupa berbelok ke jalan tol Pak Ical Bakrie yang biasanya membantu mempercepat perjalanan pulang ke rumah Mbah. Akhirnya, kami terpaksa harus menikmati macetnya Brebes dan Tegal. 

Nyawaku belum terkumpul sempurna saat melihat anak-anak remaja mejeng (dan merasa) keren di pinggir jalan sepanjang jalur pantura. 

"Kemana orang tuanya?" pikirku. 

Tak mau berpikiran macam-macam, aku memilih untuk kembali tidur di perjalanan. 

Kami datang sekitar jam 10 malam. Perjalanan panjang yang melelahkan. Mbah menyambut kami sumringah. Walaupun kami tahu kami telah mengganggu tidur nyenyaknya. 

Waktu berlalu cepat, kunjungan kami berakhir singkat. Keesokan harinya kami harus pulang ke Bandung. Semua orang bersiap. Suara ayah dan ibu yang meminta kami bergerak lebih cepat beradu dengan suara mbah yang mengajak kami untuk makan pagi. Suara om, bulik dan Andin pun menghiasi pagi itu. 

Seperti selalu, persiapan pulang sudah selesai sejak jam 10 pagi, tapi para manusia yang akan pulang masih tertambat hatinya ditempat itu. Kami bergerak dengan santai. Sebelum akhirnya berubah menjadi gerakan serba cepat saat suara ibu memenuhi seluruh ruangan di rumah tua itu. 

Aku sedang merapikan kerudungku. Tiba-tiba Mbah bertanya sambil membuka toples makanan yang ada di ruang tengah.

"Ka, kamu sukanya sama yang bule-bule, ya?"

Istilah bule biasa dipakai untuk orang-orang kulit putih. 

Aku terhenyak. Angin apa yang membuat Mbah bertanya seperti itu?

Aku hanya tersenyum garing dan menatap wajah keluargaku yang sebisa mungkin menahan tawa mereka. 

Ah, Mbah. Cucumu ini tak muluk-muluk suka dengan orang asing nun jauh disana. Ia hanya ingin menyukai orang yang benar-benar ada di alam nyata, bukan nyata adanya di alam mimpi.



Bandung, 18 Oktober 2014 (lagi)
Read More

Pasar Malam dan Festival

Kotaku sedang gemar menghidupkan malamnya. Pasar malam dan festival digelar dengan berbagai nama. Lebih dari tiga kali diadakan dalam satu tahun. Sepertinya banyak hal yang dirasa perlu untuk diperingati. Kotaku hidup di malam hari. Energi negatif yang menyeruak di kala matahari tenggelam, perlahan berganti dengan suka cita warga bak menyambut acara resepsi. 

Pasar malam dan festival, acara singkat yang memberikan kebahagian sesaat. Menyegarkan kembali otak manusia yang terisi penat. Menjadi kesenangan yang sepertinya tertahan sekat. 

Sepertinya aku akan menyenangi suasana hingar bingar malam semacam itu. Jadi, saat kau bertanya tempat seperti apa yang sangat ingin kukunjungi, pasar malam dan festival adalah jawabannya



Bandung, 18 Oktober 2014
Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)