Monday, June 27, 2016

Bunga

Pagi ini salah satu rekan kantor mengingatkan saya kalau rekan kami berulang tahun di tanggal 27 di bulan ini. Ia menyiapkan diri untuk memberi buket mawar pink imitasi. Tapi saya mengusulkan untuk membeli buket bunga asli. Saya sedikit terheran-heran saat bertanya alasan mengapa ia menghadiahi rekan kami itu buket bunga.

"Saya mau ngehadiahin bunga aja deh, soalnya dia pernah bilang gak pernah dapat bunga," kata temanku ini. 

Menarik. Bunga ya? Terakhir saya dapat bunga itu saat wisuda. Saat-saat yang harusnya menggembirakan, namun jadi momen yang biasa saja. Saat itu, mendapat banyak bunga tidak membuat saya senang. Tapi seharusnya saya mampu mengendalikan diri. Saya berandai-andai bagaimana jika saat itu saya bisa mengontrol diri saya sendiri. Mengontrol emosi. Mengontrol amarah. Mengontrol kecewa. Ah, pasti hari itu menjadi hari bahagia. Dimana semua orang tersenyum mengucapkan selamat. Dimana banyak bunga di tangan saya. Barang yang menurut saya istimewa. Tapi apa daya, masa lalu tidak bisa diputar kembali. Penyesalan memang ada diakhir, kalau diawal namanya pendaftaran. Itu kelakar yang saya catut dari seorang teman yang saya lupa siapa. Hahaha. 



Kembali ke bunga. Sejak bunga hadiah itu datang, kami sibuk berfoto sambil memegang bunga. Menarik ya, semua wanita suka bunga. Asal jangan bunga melati yang ada di pinggir kuburan. Hiiiiiiiiih. 

Sulit juga ya menjadi bunga. Dirawat dari bibit atau steak oleh si empunya. Diberi pupuk bahkan pestisida. Setelah muncul kuncup, bunga-bunga mekar kemudian bermunculan. Singkat cerita, bunga yang sudah mekar dipotong, terpisah dari batang induknya lalu dijual ke penjual bunga. Bunga-bunga itu dirangkai oleh penjual bunga dan dibeli oleh orang-orang yang ingin membeli bunga. Rangkaian bunga itu kemudian berpindah tangan. Dibawa sang penerima ke rumahnya, lalu dimasukkan ke dalam vas. Diganti airnya beberapa kali lalu saat sudah mulai layu dibuang ke tong sampah. Bersatu dengan sampah lainnya, mulai dari struk belanja sampai pembalut wanita. 

Tapi sepertinya bunga-bunga sudah tahu dan paham bahwa segala hal yang indah dari mereka akan layu dan sirna. Setelah bau mereka tak wangi lagi, setelah helai-helai mahkota tak segar lagi, wangi bunga tak lagi menggoda. Sang penerima bunga mungkin lupa, bahwa buket bunga yang diterimanya itu juga berisi rangkaian perasaan sang pemberi. Bunga-bunga itu mungkin saja sudah menjadi sampah, tapi bisa jadi kenangan tentang kegembiraan saat menerima bunga sudah melekat dan tak mudah terhapus begitu saja. 

Saya juga gak ngerti sih, kenapa cerita tentang bunga jadi rumit begini di tulisan ini. Hahahahaha. Kesimpulannya tidak ada kesimpulan. 

Bandung, 27 Juni 2016

Read More

Wednesday, June 22, 2016

Apa Bosan?

Beberapa minggu ini cukup menarik bagi saya. Banyak hal yang tak pernah terpikir ada terjadi dalam hidup saya. Mulai dari dipindahkan kembali ke gedung awal tempat saya bekerja, sampai harus interview kandidat program percepatan karir di Jerman sana. Kaget? Jelas. Baru? Tentu. Semangat? Sayangnya tidak. 

Enaknya jadi orang ekspresif itu, tetap bisa menutupi kegundahan hati (ceileh) dengan ketawa ketiwi. Mungkin tak ada orang kantor yang sadar. Orang terdekat saya juga mungkin tak sadar. Tapi tak apa. Memang itu urusan saya dan mereka tak perlu harus tahu, tapi kalau tahu sih seneng juga #deuuuuuuu.

Pekerjaan banyak terlantar. Malas selalu melambai-lambai. Mengantuk jangan ditanya. Apakah ini namanya putus cinta? eh maksudnya apakah ini namanya burnout? Rasanya tidak juga. Saya masih senang pekerjaan saya, walaupun sedikit kesal karena satu dan lain hal. Tapi sejauh ini, pekerjaan saya cenderung mudah dan mendapatkan banyak bantuan dari atasan saya. Entah saya yang memang bukan good follower, atau memang atasan saya benar-benar problem solver. Entahlah. 

Bosan. Iya, sepertinya saya bosan. Bosan dengan kegiatan harian yang itu-itu saja. Bosan dengan tingkah laku absurd saya setiap harinya. Bosan dengan ini itu. Bosan. Semua hal yang sebenarnya bisa jadi menyenangkan tetap terlihat membosankan. Mood saya naik turun tidak jelas, padahal siklus bulanan yang menjadi sebab hormon naik turun dan munculnya kondisi senggol bacok sudah terlewatkan. Resah dan gelisah padahal tidak ada semut merah yang memandangi saya dan bertanya, "sedang apa disana?". Tidak ada juga yang meminta jawaban,"menanti pacar jawabku."

Kalau minta diri sendiri menjelaskan tentang resah dan gelisah di hati, satu-satunya jawaban paling masuk akal adalah iman saya mungkin sedang turun. Kalau bahasa gaulnya mah, futur. Mungkin kurang dzikir, mungkin kurang ikhlas dalam beribadah, mungkin terlalu banyak bergantung kepada manusia. Atau mungkin saya sudah terlalu lama tidak bermonolog. Berbincang sendirian. Berbicara dengan diri sendiri. Mengomentari diri sendiri. Mungkin. 

Sebetulnya saya bukan orang yang mudah bosan. Tingkat toleransi saya terhadap rasa bosan cenderung baik. Saya bisa mengerjakan hal yang sama dengan waktu cukup lama, apalagi tidur dan leyeh-leyeh, itu bisa lama pisan. Haha. 

Ah ya, mungkin ini bisa menjadi salah satu penyebabnya. Akhir-akhir ini saya suka mendengarkan lagu Maudy Ayunda, Jakarta Ramai. Hampir mirip dengan kondisi saya sekarang. *gak ada yang nanya, ki*
...Apa kabar mimpi-mimpi mu
Apa kau tinggal begitu saja
Apa kabar angan-angan mu
Hari ini...
...Langitnya abu hati ku biru
Banyak hal baru tapi ku lesu...

Malam ini saya jadi berpikir ulang, sebenarnya apa mimpi saya? Apa rencana saya untuk mimpi-mimpi saya? Apa usaha saya untuk mencapai mimpi-mimpi itu? Apa sebenarnya hal baru yang saya inginkan? Apa benar saya bosan? Apa saya kecewa? Apa saya mulai bergantung pada orang lain? Apa saya jadi tidak bisa mengendalikan diri saya? Apa begini? Apa begitu? Apa ini? Apa itu? Apa?

Kenapa saya masih lesu padahal biasanya bersemangat dengan mudahnya? Kenapa tak melakukan apa-apa padahal punya mimpi begitu banyaknya? Kenapa malah dengan urusan lain yang sebelumnya tak pernah dipusingkan, bahkan dipikirkan? Kenapa perasaan macam ini bercokol cukup lama? Kenapa tidak menjalani hari seperti biasanya saja? Kenapa?


Apa saya benar-benar merasa bosan? Apa benar bosan? Entahlah.


Bandung, 22 Juni 2016


Read More

Saturday, June 18, 2016

Saat Semua Menghilang

Ia datang ketika hujan mereda. Ia menjejak saat permukaan tanah basah. Menyentuh dedaunan yang disapa rintik air sapaan khas langit. Kedatangannya disambut oleh perginya mendung dari langit yang menjadi atap bumi. Langkahnya terus maju dan tak ada satupun yang bisa membuatnya mundur sedikitpun. Semakin depan, semakin cepat, semakin lebar langkah yang ia ambil. Membuat semesta terheran-heran karena tipisnya durasi yang dihabiskan untuk berjalan.

Manusia itu tersenyum. Menyambut tempat ia dilahirkan. Menyapa tempat ia ditinggalkan orang-orang tersayang. Tempat dimana ia pernah ingin pergi saja tanpa bilang-bilang. Rumah.

Ia menutup mata. Membayangkan ramainya bangunan yang disebut rumah dengan para penghuninya. Membayangkan  kesedihan yang tak berkesudahan sebelum pemahaman dan kerelaan datang. Ada air mata di ujung matanya. Membuat seluruh ketegaran yang ia bangun bisa runtuh seketika. Namun ia menarik nafas panjang. Ia tahu, semua pertemuan pasti berakhir. Mungkin manusia memang sengaja diciptakan untuk harus selalu menerima perpisahan. Sesakit apapun itu.

Saat semuanya telah tiada. Ia benar-benar paham bahwa dirinya tak memiliki apa-apa. Bahwa semua yang ia benci atau senangi memang selalu akan terjadi. Kerapuhan, keterpurukan, penyesalan, bahkan kebahagiaan memang harus dilaluinya. Dengan atau tanpa izinnya, semua itu akan terjadi kemudian berlalu dan menetap sebagai kenangan. 

Tak ada kenangan pahit, yang ada adalah kenangan yang belum bisa diterima. Tak ada kenangan indah, yang ada adalah kenangan yang sesuai dengan harapan kita. 

Manusia itu kembali mengambil nafas panjang. Ia melihat ke samping, dimana ada manusia lain yang sejak kedatangannya berada disisinya, menggenggam jemarinya erat. Seakan memberi berbicara, "kamu kuat dan semuanya baik-baik saja."

Ia sadar, sosok menyenangkan itupun pasti akan menghilang dari hidupnya suatu saat nanti. Atau mungkin sebaliknya. Ia yang lebih dulu menghilang. Tak pernah ada yang tahu. Tugas manusia bukan menentukan masa depan. Tak ada yang menarik lagi dari hidup jika kita tahu apa peruntungan dan kesialan kita esok hari. 

Saat masa itu datang, saat dimana orang-orang tersayang hilang, tak ada yang bisa kita lakukan selain menerima dan menyadari bahwa kita tak memiliki apa-apa. Bahwa kita hanya menikmati hidup yang diberikan Tuhan secara cuma-cuma. Bahwa semua hal di dunia ini hanya sementara. Bahwa semua orang sedang mendalami perannya dan meyakinkan diri mereka bahwa mereka akan hidup selama-lamanya. 


Bandung, 12 Juni 2015
Sambil mendengar sederet lagu indie yang kaya dengan kata indah
Read More

Sunday, June 5, 2016

Ada di Bulan Juni

Ada hujan di bulan Juni. Hujan yang diabadikan dalam puisi. Membuat para bayi di bulan Juni senang, bulan dimana mereka dilahirkan bisa terkenal. Ada bunga di bulan Juni. Bunga yang tak disangka-sangka bisa mekar juga, meski suhu udara di sekitarnya biasa saja dan tak berbunga-bunga. Ada harap yang tiba-tiba meninggi di bulan Juni. Harap tentang sesuatu yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, tentang banyak hal yang bahkan tak pernah lewat di fikiran. Ada anomali di bulan Juni. Dimana semua keputusan penting diambil secara hati-hati tapi tetap terasa terlalu cepat. Dimana ketakutan-ketakutan baru muncul bersamaan dengan banyaknya cerita terungkap padahal dulu ditutup rapat-rapat. Ada kamu di bulan Juni. Apa hanya berakhir di Juni atau tak pernah berakhir sama sekali, semuanya masih jadi misteri. 

Bandung, 5 Juni 2016
Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)