Saturday, May 21, 2016

Pasca Resepsi

Beberapa waktu lalu saya membaca postingan seorang teman tentang pendapatnya atas sebuah artikel kehidupan pasca resepsi pernikahan. Artikel itu mengajak pembaca untuk tidak menghambur-hamburkan uang untuk resepsi pernikahan lalu menghabiskan waktu setelah menikah untuk tinggal di sebuah kontrakan. Kontras sekali perpindahannya. Dari pesta yang megah dan mewah berubah menjadi kontrakan kecil di sudut kota yang tak lebih dari dua juta perbulannya. Teman saya ini tidak setuju dengan artikel tersebut. Saya tahu persis bagaimana usaha ia dan calon pasangannya untuk menyelenggarakan resepsi pernikahan. Mereka perlu menunggu puluhan purnama untuk menabung agar bisa bersama. 

"Kamu jangan pernah anggap Bapak saya jahat ya, Ki. Beliau cuma ingin melihat upaya orang yang berniat menjadi pasangan anak gadisnya. Seperti yang dilakukan Bapak untuk Ibu. Upaya yang menurut Bapak setidaknya sebanding dengan upaya terbaik yang selalu ia berikan untuk anak gadisnya. Ini adalah awal waktu dimana saya dan pasangan saya bisa memberikan tempat yang pantas untuk orang tua kami menyambut tamu. Bukan untuk pamer dan bermegah-megahan. Bukan, Ki. Ah, entah bagaimana saya harus menjelaskannya kepadamu," jelas temanku itu. 

Saya terdiam cukup lama. Mengingat teman saya ini memang anak dari salah seorang pejabat di salah satu instansi pemerintah di ibu kota, rasanya wajar Bapak meminta demikian. Tapi apalah kata wajar itu? Penuh subjektivitas. 

Di waktu lain, saya melihat rekan saya mengomentari artikel yang sama. Ia setuju dengan artikel itu dan dengan menggebu-gebu merutuki orang-orang yang melakukan resepsi pernikahan besar-besaran lalu tinggal di kontrakan setelah resepsi itu dilaksanakan. Menurutnya, melakukan resepsi yang menghabiskan puluhan juta itu tidak masuk dalam daftar mimpinya. Ia hanya ingin akad nikah yang syahdu dan sakral. Tak perlu berdiri menyambut tamu, tak perlu sehari menjadi ratu. Ia hanya ingin statusnya sah secara agama maupun hukum. Tak perlu pusing memikirkan penyewaan gedung, dekorasi, catering, hiburan bahkan mungkin undangan. 

Menarik. Dua kondisi yang berbeda. Dua respon yang tak sama. Pastinya dilatar belakangi oleh alasan yang berbeda, kondisi sosial ekonomi yang berbeda serta pergaulan yang berbeda. 

Terkadang, seseorang tidak punya pilihan untuk tidak melaksanakan resepsi. Bukan hanya untuk harga diri tapi juga alasan lain yang mungkin menurut orang lain hal tersebut tidak masuk akal. Terkadang pula seseorang hanya punya pilihan untuk tidak menggelar resepsi pernikahan karena satu dan lain hal. Alasannya juga beragam. Mulai dari alasan yang membuat kita mengangguk-anggukan kepala atau bahkan mengerutkan dahi karena terheran-heran. 

Begitupun dengan tempat tinggal pasca pernikahan. Saya menjadi saksi hidup bagaimana seorang teman memutuskan untuk tinggal di rumah mertuanya hanya karena ingin menjaga mertua yang sudah menua. Saya juga punya teman yang tinggal terpisah baik ngontrak ataupun menyicil rumah setelah menikah dengan alasan ingin mandiri dan lain sebagainya. 

Menurut saya, tak ada yang salah dengan melakukan resepsi besar lalu tinggal di kontrakan. Tak ada yang salah juga dengan menikah tanpa resepsi besar lalu tinggal di rumah yang dibeli dengan uang sendiri. Tak ada yang salah dari semua keputusan yang diambil manusia, karena kita tak pernah tahu cerita lengkap dibalik keputusan yang mereka ambil. Tak perlu menjadi hakim dan mengomentari kehidupan orang lain. Kehidupan pribadimu jauh lebih penting untuk diperhatikan.



Bandung, 21 Mei 2016
Read More

Friday, May 6, 2016

TAK KASATMATA

Adanya kursi kayu yang tersebar di pusat kota Bandung sangat membuat saya senang. Saya bisa duduk bersama teman tanpa bicara dan asyik mengamati perilaku orang-orang yang ada di sekitar. Semua orang hidup dalam dunia dan pikirannya masing-masing. Ada yang sibuk berfoto di monumen bola dunia dengan nama-nama negara Asia Afrika disaat orang lain kepanasan dalam balutan kostum badut beragam rupa. Ada yang sibuk berbincang dengan mesra disaat orang lain memilih saling diam karena pertengkaran kecil semata. Semua orang sibuk dengan dirinya, membuat kami (saya dan teman) merasa bahwa kami adalah makhluk tembus pandang. Tak ada yang benar-benar sadar kami berada disana kecuali diri kami sendiri. Menarik.  

Akhir-akhir ini banyak cerita menarik mampir di telinga saya. Banyak kejadian yang terjadi di satu ruangan yang sama dengan pelaku dan cerita yang berbeda-beda. Beberapa cerita mirip satu sama lainnya, meskipun setengahnya berakhir dengan muram durja dan setengah yang lain berakhir bahagia. Beberapa pelaku saling terkait, tanpa sadar mereka saling terkait. Setiap orang sibuk dengan diri dan urusan mereka sendiri, menganggap manusia lain sebagai tokoh pendukung dan cerita mereka tak kasatmata. 

sumber : ini

Menurut saya, menjadi pengamat rasanya lebih menyenangkan daripada pelaku. Mereka bisa melihat masalah tanpa terlibat masalah. Mereka bisa melihat walau mereka tak terlihat. Karena seringnya kita berada dalam satu ruang yang semua orang di dalamnya abai terhadap orang lain. Mereka abai pada orang-orang yang tak terlibat dalam urusan mereka. 

Jika ada 100 orang dalam satu ruangan, maka akan ada 100 pelaku dengan masing-masing cerita yang mereka bawa. Terkait atau tidaknya 100 cerita ini tak pernah bisa diprediksi dan bisa saja menjadi misteri yang terkuak di kemudian hari. 

Saya dan teman mengambil nafas panjang. Menandai ritual aneh kami selesai dilakukan. Kami saling melempar senyum dan bangkit dari duduk. Waktunya kami sibuk dengan diri dan urusan kami sendiri. Waktunya mengabaikan orang lain yang tak berurusan secara langsung dengan kami. Waktunya menggeser posisi mereka dari 'makhluk kasatmata' menjadi 'tak kasatmata'.


Bandung, 6 Mei 2016
Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)