Friday, December 25, 2015

Menu Makan Siang

"Ki, ikut gak? Kita mau makan di luar nih."
"Yok!" sahutku santai. 

Padahal sejujurnya aku merutuki teman-teman kantorku  yang terus mengajak jajan di luar padahal kantor kami menyediakan makan siang untuk para karyawannya. Tapi mereka paling tahu tempat makan enak di sekitaran kantor, jadi aku nurut-nurut saja. Toh hanya tinggal nebeng berangkat dan pulang, makan lalu selesai. 

Kami pergi ke daerah yang cukup jauh dari kantor. Kami berhenti di depan kampus salah satu teman kami yang bekerja sambil kuliah disana. Katanya ada warung ayam sambal cabe hijau yang maknyus dan pantas untuk didatangi demi memakmurkan jeritan para cacing di perut serta memulihkan konsentrasi bekerja empat jam kedepan. 

Salah satu dari kami langsung memesan. Dia hafal mati menu yang ada disana. Sedangkan aku dan dua orang cewek-cewek lainnya sibuk menerka-nerka bentuk maupun rasa makanan yang akan kami dapatkan dengan membaca menu yang menempel di tembok warung makan disana. 

"Aku mau nasi goreng ayam sambal hijau," kata temanku. 

Aku yang terbiasa mengikuti pesanan orang-orang pada umumnya (dalam bahasa kerennya tuturut munding) langsung menyahutnya, "aku juga."

Tak lama kami menunggu, tiba-tiba satu porsi nasi ayam goreng sambal hijau datang ke meja kami. Lengkap dengan lalap, tahu dan tempe. 

Kami saling bertatap satu sama lain. Agak keheranan karena ada 3 pesanan nasi goreng ayam sambal hijau tapi hanya satu porsi yang datang. 

"Bapak pesan apa?" tanyaku pada Pak Syamsin.

"Ayam sambal hijau sama tempe," katanya.

"Loh, ini sepaketnya udah sama tempe dan tahu loh," kataku sok tahu. 

"Saya dipesenin sama Ardi kok," katanya sambil menunjuk temanku yang sibuk makan. 

"Di, ini pesenannya Pak Syamsin apa pesenan kita ya?" tanyaku pada Ardi. 

"Itu mah pesenannya Pak Syamsin. Tadi saya pesen bareng," jawab Ardi.

"Ooo berarti nanti kita gak akan ada tempe dan tahunya, Cun. Soalnya kita gak pesen pake tahu dan tempe..." kataku pada Yunita, "...kupikir nasi goreng terus ada ayam sambal hijaunya loh! Ternyata nasi ayam goreng sambal hijau! Hahaha." 

"Bukan ih, nasi - goreng ayam - sambal hijau," kata Yunita menjelaskan. 
Yunita dan Sheila hanya tersenyum dan kembali membahas artis korea dan dance cover dan sejenisnya yang aku tak paham. 

Tak lama kemudian penjaga warung membawa 3 piring berisi NASI GORENG dengan AYAM SAMBAL HIJAU! 

Aku, Yunita dan Sheila cengengesan dan menahan tawa. Ternyata wujud pesanan kami berbeda dengan apa yang kami bayangkan saat membaca menunya. 

Sebetulnya prediksiku tak jauh berbeda dari kenyataannya. Tapi tak pernah terpikir kalau nasi gorengnya pun nasi goreng telur. Menunya super sekali kan. Sudah makan nasi goreng orek telur, ditambah pula ayam sambal hijau. Luar biasa. Kami makan calon anak ayam dan mantan ayam sekali makan. Kau tahu berapa harganya? Hanya Rp. 17.000,- 

Hati senang, perut kenyang dan dompetpun aman. Menu makan siang kali ini istimewa. 


Read More

Kapan ke dari #2&3

Yeaaah.. Sekarang dapet lagi ucapan kapan ke dari. A Indra beberapa bulan lalu pergi ke India. Sebagai orang yang opportunis, saya dapat ide untuk minta Kapan ke dari di India. Jadilah foto ini. Diambil dari gondola tertinggi se-asia di Gulmarg, Kashmir India. Acha acha. Nehi nehi. Hahaha.

Satu lagi ucapan dari teman saya Azizah yang sedang belajar di New Zealand. Pinter banget deh ijah, karena saya minta jauh-jauh hari dan ternyata dikirim pas saya ulang tahun. Jadi terharuuu ☺
Diambil di salah satu sudut kota Auckland di New Zealand.

Jadi, kapan ke Gulmarg dan Auckland, ki? Soooooonnnn!


Read More

Tuesday, November 10, 2015

Vaksinasi Demi VISA

Hari ini ceritanya saya harus ‘berkunjung’ ke Kantor Kesehatan Pelabuhan kelas II Husein Sastranegara Bandung untuk mendapatkan vaksin. Fyi, hingga saat ini, saya paling tidak suka berada di bandara ini. Lebih kumuh daripada terminal ;-(

Rencananya, saya mau daftar vaksin untuk Yellow Fever disana sebagai persyaratan visa, ternyata oh ternyata vaksin tersebut tidak tersedia. Namun setelah berkonsultasi dengan dokter yang sedang bertugas di KKP, akhirnya saya ambil vaksin Meningitis. Kalau ada yang bingung saya mau kemana, nanti saya ceritain kalau udah pulang dari sana which is 3 months later. Hahahaha.

KKP sangat penuh dengan calon jamaah haji.  Ruangan KKP yang tadinya penuh-penuh-enggak tiba-tiba penuh sesak karena hujan besar menyapa Bandung tiba-tiba. Rata-rata yang mengisi adalah orang tua ditemani oleh anak cucu mereka. Bau minyak nyong-nyong mulai merebak. Melihat wajah mereka, saya merasa sedikit gelisah. Akankah saya ikut mengantarkan ibu dan ayah untuk vaksinasi sebelum nanti diizinkan Allah pergi umroh atau bahkan haji? Semoga..

Kembali ke pengurusan vaksinasi Meningitis di KKP Husein Sastranegara. Langkah pertama adalah menyiapkan fotokopi paspor dan foto berwarna ukuran 4x6. Semua persyaratan itu masing-masing 1 lembar fotokopian. Setelah itu, kita harus mengambil formulir ICV (International Certificate of Vaccination or prophylaxis) lalu menyerahkannya kepada petugas pendaftaran di dalam ruangan KKP. Jika sudah menyerahkan formulir dan persyaratannya, kita akan mendapatkan nomor antrian dan perkiraan waktu pemberian vaksinasi. Saat itu saya dan teman datang jam 11.30 WIB dan jadwal vaksinasi kami jam 13.30 WIB. Kami memutuskan untuk makan dan istirahat terlebih dahulu.

Ada kejadian yang lucu saat kami memutuskan untuk makan di Warung Makan Padang yang dekat dengan KKP. Saya memilih rendang sapi sebagai menu makan siang. Teman saya memilih ayam goreng dan supir kami memilih ikan.

“Jadi berapa semuanya, bang?” tanya saya.
“Makan apa tadi?” tanya abang penjual.
“Saya makan rendang dan satu kerupuk,” kata saya.
“Oh, jadi 15 ribu,” katanya.
“Saya ikan,” kata supir.
“Em sama ikan jadi 30 ribu,” kata abang penjual sambil menjumlahkan dengan harga makanan saya.
“Saya ayam goreng dan satu kerupuk,” kata teman saya.
“Saya ayam goreng dan kerupuk jadi 45 ribu.”

Setelah membayar saya agak heran juga dengan harganya. Ternyata harga makanannya dipukul rata Rp. 15.000,- Ngapain si abang pura-pura mikir buat ngitung antara menu berkerupuk atau tidak ya? Hahaha.

Setelah makan, ternyata air di WC umum habis. Kami berkeliling mencari WC umum lainnya. Saat kami kembali untuk sholat di WC umum sebelumnya (hanya ditempat itu satu-satunya mushola dekat KKP) ternyata air bersih sudah mengalir. Oala jaaan..jaaann..

Waktu menunjukkan jam 12.30 WIB. Kami kembali ke KKP dan enggan duduk bergabung di depan bersama nenek-kakek yang menunggu di luar. Karena ruangan KKP di dalam cukup kosong, kami masuk dan duduk manis di dalam. Tak lama kemudian, ada wanita masuk ke dalam ruangan dan ditegur oleh keamanan karena belum jadwalnya masuk ruangan. Ternyata tidak boleh masuk sebelum waktunya. Nasib baik ada di pihak saya dan teman saya. Tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Kursi di luar sudah basah disapu air hujan. Ruangan KKP mendadak sesak.

Setelah menunggu cukup lama, saya dipanggil untuk di tensi dan diukur suhu tubuh. Anehnya, saya diajak bicara saat tensi, padahal setahu saya diusahakan tidak bicara sama sekali saat pengukuran tekanan darah dilakukan. Jidat saya ditembak alat pengukur suhu. Sepertinya alat itu persis seperti yang digunakan oleh Chef Juna untuk mengukur panas minyak di penggorengan.

Setelah itu, saya diminta untuk masuk ke ruangan pemberian vaksin bersama belasan orang lainnya. Kami diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin dan usia. Saya masuk ke kelompok wanita muda cerdas ceria. Hahaha. Bukan deng, perempuan usia produktif. Artinya, saya harus menjalani tes kehamilan. Asik, akhirnya ngerasain juga pake test pack. Hahaha.

“Neng, kenapa ya ibu gak dikasih plastik itu?” kata nenek disamping saya yang datang terakhir sambil menunjuk testpack yang sedang saya buka kemasannya.
“Oh, ini tes kehamilan bu.”
“Emm.. ibu mah  udah tua ya, 65 tahun neng. Jadi enggak usah tes segala ya,” katanya sambil tersenyum setengah tertawa.
Saya bingung memberi respon apa. Harus tertawa atau malah sedih mendengarnya. Akhirnya..
“Tapi alhamdulillah sehat ya bu..” menjadi respon yang keluar dari mulut saya.

Vaksinasi dibuka oleh dokter yang memberikan penjelasan tentang pentingnya vaksinasi, respon yang diberikan tubuh saat vaksinasi, bagaimana bila sakit setelah vaksin, masa berlaku vaksin dan sebagainya. Uniknya, dokter itu dengan santai menganggap kami semua mau umroh. Saya juga salah sih, gak bilang saya mau vaksin Yellow Fever bukan Meningitis. Saya tanya dokter yang bertugas tentang vaksin Yellow Fever untuk keperluan VISA kami. Ternyata tidak ada stok vaksin itu disana. Padahal saya sudah menelepon sehari sebelumnya dan pemberian vaksin Yellow Fever bisa dilakukan disana. Bleh bleh bleeeh...

Setelah konsultasi yang lebih tepat disebut ngobrol-ngobrol tentang penugasan saya ke negara yang saya tuju nanti selesai, mereka tetap menancapkan jarum suntik dengan vaksin mati Meningitis ke tubuh saya. Singkat cerita, mereka mengusulkan untuk datang ke KKP Tanjung Priok atau KKP Soekarno Hatta. Kalau saja tahu sejak awal akan berakhir begini, saya sudah ngacir ke Priok dari pagi tadi. Tapi sudahlah. Yang lalu biarlah berlalu. Hikmahnya saya tidak perlu beli buku atau kartu ICV dan tinggal melakukan vaksinasi Yellow Fever ke KKP lainnya di Jakarta demi mendapatkan VISA.


Setelah mendapatkan vaksinasi, kami kembali mengantri untuk mendapatkan bukti pembayaran dan buku ICV. Selesailah perjalanan vaksinasi Meningitis yang sukses masuk ke dalam tubuh ini dengan masa berlaku 2 tahun setelah hari ini. Bagaimana ya proses vaksinasi Yellow Fever nanti? Saya juga tidak sabar! Jakartaaaaaa, vaksin akuu! Hahaha.
Read More

Wednesday, October 14, 2015

Manusia Penghuni Gang

Menjadi penghuni gang di pinggiran Kota Bandung memang penuh suka duka. Suka bila kita keluar dari gang tak perlu lama-lama menunggu angkot yang hilir mudik di jalan besar sana. Angkot berbagai jurusan sudah siap nangkring di mulut gang atau diseberangnya. Mudah. Sungguh mudah. Saya terlalu sering mendapatkan kemudahan ini dan sampai sempat lupa bagaimana rasanya menjadi ‘korban ngetem angkot’.

Tapi suka tak ada bila duka diabaikan saja. Seringkali saat keluar dan sudah melambaikan tangan tapi sang sopir masih memutuskan untuk menunggu, sialnya saat sampai mulut gang dan menggelengkan kepala kembali sebagai tanda untuk tidak berniat naik angkotnya, sopir angkot memaki seakan menunggu saya berjalan sudah menghilangkan potensinya untuk mendapatkan 5 penumpang lagi. Lah iki salahe sopo toh?


Saya, sebagai manusia yang sudah bertahun-tahun tinggal jauh dari jalan besar merasa senang bahkan terlalu senang dengan hal ini. Menjadi manusia penghuni gang ternyata cukup menyenangkan.  Entah saya yang terlalu mudah terkesima terhadap hal-hal sederhana ataukah memang hal ini adalah hal menyenangkan yang sederhana. 
Read More

Thursday, September 24, 2015

Sepotong Kue

Aku punya sepotong kue. Rasanya tidak terlalu enak, bahkan sebagian dari kue itu rasanya tak karuan. Tapi itu milikku. Banyak orang yang pernah aku ajak untuk mencicipi kue, tapi tak semuanya bertahan untuk makan kue itu. Alasannya karena seringnya ada kue lain atau kue mereka sendiri terlalu enak. Ada pula yang beralasan mereka lebih senang menyibukkan diri dengan memakan kue milik mereka sendiri. Ada yang tak pernah kuundang makan kueku, tapi mereka memaksa dan merongorongku. Seakan kue yang kumiliki ini sangat lezat dan pantas untuk mereka gandrungi. Mereka mencoba untuk mencari celah untuk memakan kue atau hanya melihat kueku lebih dekat. Jika usaha mereka tak berhasil, mereka dengan senang hati mengorek kejelekan dan beragam kekurangan dariku atau kueku. Mulai dari kue yang terlihat mempunyai rasa tak enak hingga aku yang katanya tak bisa memilih kue dengan baik. Semua mereka komentari. Semua mereka korek. Padahal aku yakin, mereka pasti sempat berpikir mengapa diri mereka begitu picik dan sibuk dengan pikiran mereka sendiri terhadap orang lain.

Setiap orang punya kue, tapi banyak yang ingin makan kue orang lain. Banyak juga yang ingin mengusik kedamaian makan kue orang lain. Atau bahkan, merusak kedamaian tersebut dengan cara ikut campur dalam urusan antara kue dan pemiliknya. Mereka lupa, mereka punya kue masing-masing.

Lagi-lagi kuartikan kue seperti kehidupan. Setiap orang punya kehidupan masing-masing. Kita miliki jalan cerita yang berbeda. Sedih dan senang sering berganti, bahkan tak jarang datang beriringan. Banyak manusia melihat kehidupan orang lain begitu menggoda untuk disentuh, menarik untuk dikomentari bahkan dicaci. Banyak manusia tak pernah mau tahu apa yang dilewati sang pelaku. Banyak juga yang masa bodoh dengan dampak atas apa yang telah mereka lakukan terhadap kehidupan orang lain. Tak jarang memutarbalikkan tujuan, memutarbalikkan fakta. Selalu saja, ada udang dibalik batu dan bersikap pura-pura tidak tahu.

Untukmu yang sering mengganggu dan ikut campur kehidupan orang lain, kuberitahu satu hal: selama otakmu masih berjalan sebagaimana fungsinya, silakan maksimalkan untuk mengurus urusanmu sendiri dan abaikan orang lain bila memang tujuannya ingin mengotak-atik kehidupan mereka. Apa kau tidak merasa jijik dengan sikapmu sendiri?

Mind your own bussiness, you never (and not really want to know) what we have been through!

Read More

Tuesday, September 22, 2015

Magicom

Magicom. Sebutan yang kusematkan untuk rice cooker putih yang teronggok indah di kamar kosku. Malam ini saya belajar satu hal dari benda mati yang baru saya miliki sekitar 16 hari ini, sejak saya ‘berkemah’ di salah satu kamar kecil khusus wanita beberapa ratus meter dari tempat saya bekerja. Selama 15 hari ini saya sering kesal karena banyak nasi yang menempel di permukaan magicom. Kesal karena fungsi ‘anti lengket’ yang ada di dalamnya seakan tak berguna. Kesal karena kupikir aku sudah membeli barang yang tak berfungsi ‘fitur’ tambahannya. Kesal karena nasi matang selalu menempel disana. Karena itulah saya harus merendam wadah dengan nasi yang menempel agar tak merusak permukaan anti lengketnya. Tapi malam ini berbeda *ceileh.

Entah pasal apa perut saya tidak terlalu lapar. Tak ada demonstrasi yang dilakukan cacing-cacing di perut dan suara kurubuk-kurubuk. Tak lapar, pun tak kenyang. Saya memutuskan menanak nasi dan melakukan aktivitas lain sampai merasa lapar. Aktivitas apa? Ya apalagi selain pesbukan, saya kan aktipis pesbuk. Hahaha.

“Tuk!”

Suara perpindahan indikator ‘cook’ ke ‘warm’ sudah terdengar, tapi perut ini belum lapar. Ini sungguh ajaib, karena selama kos, perut saya seperti kuda yang lepas dari kandangnya. Liar. Selalu lapar dan selalu ingin mengolah sesuatu. Hal ini membuat saya menjadi anak kos yang selalu melakukan perbaikan gizi. Hal ini juga yang membuat isi dompet saya tak sehat lagi. Ketar ketir di akhir bulan.
Saya masih sibuk dengan ‘aktivitas’ saya tadi. Sambil sesekali menengok beragam aplikasi chat yang ada di dalam ponsel saya yang katanya pintar. Masih belum lapar. Sampai adzan isya berkumandang.

Setelah menyelesaikan kewajiban, saya masih malas makan. Tapi suara kurubuk-kurubuk dari perut sudah samar terdengar. Tak lama kemudian rasa lapar datang, jelas saya tak menolak lagi untuk segera makan.

Saat saya membuka tutup magicom, nasi sudah matang sempurna. Saya ambil sendok nasi dan mulai mengaduknya. Aneh, nasi tidak ada yang tertempel di dinding wadah nasi. Ini menarik karena saya mengumpat tentang hal ini selama 15 hari. Nasi tak akan menempel di wadah dan tak akan membuat saya menunggu lama untuk merendamnya di air demi ‘luruhnya’ nasi-nasi yang menempel itu. Hanya butuh waktu sebentar untuk membuat lapisan anti lengket itu berfungsi dengan baik. Hanya butuh beberapa menit untuk membuat nasi yang dimasak benar-benar matang dan menempel satu sama lain. Hanya butuh sedikit aktivitas untuk menunggu semuanya berjalan sesuai dengan apa yang saya inginkan. Hanya butuh sabar dan tak terburu-buru.

Ternyata perpindahan indikator penanak nasi bukan satu-satunya indikator nasi siap disantap. Perlu waktu yang tak begitu lama untuk menikmati nasi yang tak menempel dan membuat lapisan anti lengket benar-benar berfungsi. Menunggu membuat proses matangnya nasi dengan sempurna berjalan sempurna.

Saya pikir, begitupun banyak hal dalam kehidupan. Indikator magicom ini seperti patokan-patokan yang ada dalam kehidupan kita. Seperti usia yang kabarnya menentukan kapan kita baiknya menikah. Seperti pekerjaan yang kabarnya bisa menentukan kesejahteraan seseorang. Seperti kekayaan yang kabarnya bisa menjadi ukuran keberuntungan. Indikator-indikator ini memang ada landasannya. Tapi kabar buruknya, indikator tersebut bukan satu-satunya hal yang menentukan. Perlu ada waktu yang masing-masing orang luangkan agar nasi menjadi matang benar. Perlu ada waktu agar fungsi anti lengket berguna seperti yang para ilmuwan pencipta magicom katakan.

Kita semua sama-sama tahun di usia berapa seseorang pantas menikah. Namun kita benar-benar tak pernah tahu kapan setiap orang siap dan bisa menikah. Kita semua sama-sama tahu mendapat pekerjaan yang baik itu bisa membuat seseorang sejahtera. Namun kita benar-benar tak pernah tahu apakah pekerjaan tersebut membuat orang sejahtera atau sengsara. Kita semua sama-sama tahu memiliki banyak kekayaan adalah keberuntungan. Namun kita benar-benar tak pernah tahu apakah kekayaan tersebut benar-benar menjadi keberuntungan atau malah menjadi kutukan.

Kadangkala, setiap indikator perlu ruang untuk memastikan semua proses berjalan dengan sempurna. Tidak selalu A akan langsung berdampak B, tidak juga C. Nasi butuh waktu untuk benar-benar matang. Manusia (khususnya saya) butuh lama waktu yang berbeda dari manusia lainnya dalam memenuhi setiap indikator selama ada di dunia.


Jadi apa inti dari tulisan ini? Intinya saya sudah bisa masak nasi dengan bantuan magicom. Hahaha.
Read More

Monday, September 14, 2015

14 September ke-25

Wuih..ngerasain juga punya umur sampai 25 tahun. Alhamdulillah. Entah ini anugerah atau musibah. Entah keberuntungan atau malah petaka. Tapi lagi-lagi saya bersyukur kepada Allah atas izin-Nya masih bisa curcol di blog ini sampe usia ke-25. 

Jujur, saya tidak pernah terpikir bagaimana diri ini di usia seperempat abad. Lebih baikkah? Lebih ini lebih itu kah? Sudah ini sudah itu kah? Tak terpikirkan. Saya akui perencanaan kehidupan saya rada kacrut dan gak baik. Hidup saya mengalir seperti air, padahal katanya hidup itu harus seperti ikan salmon yang kuat melawan arus demi tetap hidup dan juga dapat berkembang biak. Tapi saya kok yakin hidup saya bukan hanya untuk berkembang biak ya? Jadi ya santai aja kayak di pantai, selow kayak di pulau #PLAK!

Meskipun hidup saya juga tak jauh dari kemampuan perencanaan hidup saya yang notabene sama-sama kacrut, saya bersyukur dapat mengalami banyak hal yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Pernah menjejak ke beragam tempat yang saya saja tidak berani memimpikannya. Minder dengan keterbatasan yang saya miliki. Minder karena ini dan itu. 

Tapi tahun ini juga cukup unik. Mulai dari patah hati dari jatuh hati yang entah kapan, dimarahin bos besar sampe data analyst dari Zurich sana, disuruh belajar ke Aalst, iseng-iseng jalan-jalan ke SG-MY, ikutan kegiatan sosial dan event-event kantor yang saya pikir gak bakal saya alami lagi setelah kuliah, mencapai mimpi buat makan di Atmosphere dan Sierra Cafe & Lounge gegara acara HR se-APAC, bisa beli payung yang artinya resolusi tahun ini sudah tercapai, dapet SP1 karena terlalu sering terlambat dan akhirnya ngekos. Kocak pokoknya. 

Saya juga bersyukur di hari lahir saya yang ke-25 saya ditraktir makan sama ayah dan ibu, walaupun itu sebetulnya semua adik-adik saya juga ikut. Padahal pengennya dapet kue ulang tahun, eh dapet sop buntut plus ini itu. Wareg pisan lah. Haha. 

Semua doa yang saya terima gak jauh-jauh dari pertanyaan pada orang jomblo single di usia 25 pada umumnya. Tapi ada doa yang kocak dari teman saya: 

Ki, semoga yang disemogakan cepat terealisasi dan semoga kamu kuat ditanya kapan nikah.

Sungguh, rasanya ingin ngasih hadiah coki-coki deh. Hahaha. 

Di usia ini saya masih dapat telepon dari Rumah Baca Asma Nadia yang kecewa karena RBA yang saya kelola sekarang vacum dan ini membuat saya kecewa pada diri saya sendiri. Di usia ini juga saya masih belum dapat mengontrol emosi dengan baik, belum mampu berdamai dengan masa lalu, apalagi berdamai dengan diri sendiri. Ah, apa itu sesuai dengan tigkah laku manusia di Fase Dewasa Awal? Rasanya tidak. Berarti saya masih ada di fase Remaja akhir yang tak kunjung berakhir #PLAK!

Ternyata saya sudah cukup lama tinggal di dunia dan ternyata saya belum bisa melakukan hal-hal yang lebih bermakna :'(

Selamat ulang tahun, Kiki. Semoga apa yang disemogakan tidak disemogakan lagi di tahun depan :D
Read More

Sunday, August 23, 2015

Rindu

Sungguh kurang ajar rindu itu. Datang tiba-tiba lalu mengakar dengan mudahnya. Padahal, apa balasan dari rindu? Tak ada. Bahkan kadang rindu merusak segalanya.

Meredam rindu adalah respon wajib para perindu bila yang dirindukan tak pernah diamini oleh norma dan agama. Menyimpan kerinduan adalah alternatif yang paling aman dilakukan oleh mereka yang meredam perasaan. Mengenyahkan rasa rindu adalah jawaban yang selalu dilakukan. Karena apa baiknya mengubar rindu? Apa dampaknya menyampaikan kerinduan? Apa untungnya memelihara hal yang bisa membuat kita silap hati dan rasa?

Biarkan rindu ikut menyelinap diantara hembusan angin. Biarkan rindu ikut berpencar diantar percikan hujan. Biarkan rindu ikut membahana diantara tawa manusia. Karena dasarnya, kita benar-benar tak tahu apa rasa ini sesungguhnya. Benarkah itu rindu atau sekedar hawa nafsu?

Ciparay, 23 Agustus 2015

Iya. Saya sedang rindu.

Read More

Masih tentang penghargaan

Masih tentang penghargaan. Saya tiba-tiba berangan-angan bagaimana jika saya mendapatkan penghargaan, walaupun ini cenderung mustahil untuk didapatkan. Hahaha. Tapi anggaplah khayalan ini nyata. Jika saya mendapatkan penghargaan, saya akan mengatakan ini:

Assalamu'alaikum wr wb.
Alhamdulillah, hingga detik ini Allah masih sayang kepada saya dan kita semua sehingga kita masih bisa bernafas. Terimakasih juga kepada Allah atas kejutan-kejutan yang bertubi-tubi datang di tahun ini. Ada yang menyenangkan dan ada yang tidak. Dan hari ini saya mendapat kejutan yang menyenangkan. Terimakasih kepada seluruh voter yang memilih saya. Semoga anda semua selalu disayang Tuhan dan tidak menyesal telah menetapkan pilihan ini kepada saya. Terimakasih juga kepada kalian, barisan para mantan dan semua yang pergi tanpa pernah aku miliki *malahnyanyi*.

Semoga hati ini tetap membumi dan menyadari bahwa diri ini terbuat dari saripati tanah dan akan berakhir di sebuah lubang di tanah.

Sekian.

Fenomenal gak? Enggak ya? Yasudahlah. Hahahaha

Ciparay (yg kabarnya bukan bagian dari Bandung karena saking nyungsepnya), 23 Agustus 2015.

Read More

Tuesday, August 18, 2015

Penghargaan

Kemarin, tanggal 17 Agustus 2015 adalah hari yang melelahkan bagi saya. Saya menjadi salah satu panitia acara 17 Agustus di kantor. Saat pertama kali diajak (tepatnya ditunjuk) menjadi panitia, saya cukup enggan. Cukuplah di kampus saja sibuk-sibuk gak jelas dalam beragam kegiatan mahasiswa, di tempat kerja mah udah bukan waktunya lagi, pikir saya. Namun di sisi lain, saya juga suka sibuk-sibuk gak jelas dan sok sibuk. Jadi saya terima lamaran si anu. Heeeh, apa sih. Hahaha. Singkat cerita jadilah saya panitia dan diberi amanah sebagai divisi acara. Agak canggung jadi panitia event di pabrik mah. Serasa beda drastis dengan di kampus. 

Peringatan detik-detik proklamasi Indonesia ini dijadikan satu dengan acara penghargaan Culture of Excellence di Barry Callebaut Asia Pasific. Jadi, acara kemarin itu adalah acara launching CoE se-Asia Pasific. Satu sisi merasa keren dan terhormat, namun sisi lain pasti capek dan merasa 'terbebani'. Pasca acara saya sukses tidur dari jam 4 sore hingga jam 5 pagi keesokan harinya. Mwahahaha. 

Nah, acara penghargaan ini yang membuat saya belajar. Pak Khofinal adalah pemenang CoE Award 2015. Saya kenal beliau karena sempat menjadi volunteer di kegiatan sosial kantor bernama Water for Life. Beliau sangat sederhana, tenang, bertanggungjawab dan rendah hati. Meskipun beliau pernah diperbantukan di Malaysia sebagai teknisi, tapi tak pernah terlihat sombong dan merasa paling bisa dan paling pantas dihargai. Beliau juga lucu, tapi lucunya datar-datar gitu. Aneh weh lah lucunya teh. Saat saya tahu beliau menerima penghargaan ini, saya pikir memang beliau pantas untuk itu. 

"Saya tidak pernah terpikir akan mendapat penghargaan ini karena saya bekerja dengan ikhlas dan melakukan pekerjaan saya dengan sebaik-baiknya saja..." kata Pak Khofinal.

Saya jadi teringat dengan banyak teman saya yang menerima penghargaan ini dan itu. Mereka kadang tak pernah berpikir bahwa dirinya pantas menerima penghargaan, pantas dianggap unggul daripada orang lain. Mereka hanya melakukan tanggungjawabnya sebaik-baiknya. Sebaliknya, mereka yang ingin dianggap terbaik dan mampu unggul daripada yang lain biasanya malah bekerja ala kadarnya dan melakukan usaha yang biasanya rata-rata. Saat salah satu manusia mendapatkan penghargaan, biasanya orang lain yang merasa dirinya lebih pantas mendapatkan penghargaan akan menganggap penghargaan yang diberikan sebelah mata. Sibuk dalam kubangan pikiran kotor yang ia gali dan isi sendiri. Sibuk terperosok dalam pikirannya sendiri sehingga alpa bahwa aksi sebanding dengan reaksi. 

Saya jadi teringat tentang omongan nyinyir orang-orang yang sempat membantu saya dalam beberapa event baik di kantor maupun di kampus dulu. Mereka yang membantu (maaf saya mengatakan ini) sedikit, biasanya lebih nyaring meminta balasan atas bantuannya dan merasa pantas mendapatkan hal-hal yang menurutnya setimpal, hal-hal yang menurutnya dapat menghargai bantuannya. 

Saya mudah tersulut emosi bila ada hal-hal semacam ini terjadi. Kesal, marah dan seringnya langsung saya bentak. Jadilah chaos pada akhirnya. 

Penghargaan memang subjektif walau sering dibuat aturan-aturan dan poin-poin pengukuran supaya terasa lebih objektif. Namun begitulah manusia yang menurut Maslow memiliki kebutuhan untuk dihargai dan dicintai. Begitulah juga manusia yang kadang tak paham bukan hanya dirinya yang bekerja disana. Bukan hanya dirinya yang melakukan hal-hal maupun bantuan-bantuan yang berguna. Banyak orang lain yang lebih lelah, lebih banyak meluangkan waktu dan lebih lainnya yang luput dari penilainnya saat ia menilai dirinya sendiri. Begitulah manusia yang selalu butuh penghargaan dan balasan atas setiap peluh yang menetes dari tubuhnya. Karena seringnya, mereka lupa banyak orang yang pantas dihargai jauh dibandingkan dirinya dan seringnya orang-orang yang pantas dihargai itu lupa bahwa dirinya pantas mendapat penghargaan. 


Bandung, 18 Agustus 2015
Beberapa jam setelah terbangun dari tidur panjang.
Read More

Wednesday, August 12, 2015

Hari Merdeka

Umbul-umbul bertebaran dimana-mana. Penjual bendera hadir dan dapat ditemukan dengan mudahnya. Bahkan, gapura berdiri di jalan kampungku yang tak pernah kulihat sebelumnya. Kata adikku, dulu saat Peringatan Hari Kemerdekaan ke-60 diselenggarakan, gapura itu juga berdiri megah disana. Ah ya, kami larut dalam suka cita hari ulang tahun lahirnya negara Indonesia tercinta.

Sore ini Bandung diguyur hujan deras. Saya masih bekerja saat itu. Hujan membuat saya waswas. Karena daerah kantor saya adalah daerah banjir di Bandung yang terkenal dimana-mana: Dayeuhkolot.

Hujan deras itu sempat membuat jalan raya di depan kantor terendam genangan air. Tentu saja warnanya hitam pekat, bercampur dengan limbah pabrik tekstil yang ada diberbagai penjuru Dayeuhkolot, Palasari, Cisirung dan sebagainya. Tapi bukan tentang banjir yang akan saya ceritakan disini.

Saat pulang, saya melewati kawasan Ciodeng, Bojongmalaka dan Andir. Semua daerah itu adalah daerah banjir parah. Kedalaman air bisa mencapai 1-2 meter. Tapi daerah ini juga menyiratkan semangat kemerdekaan. Umbul-umbul terpasang dimana-mana. Warna warni ceria yang didominasi merah dan putih menghiasi sepanjang jalan. 70 tahun, bukan waktu yang sedikit. Bukan waktu yang sia-sia begitu saja.

Terimakasih para pahlawan, tanpa perjuangan kalian kami tak akan bisa seenaknya memasang atribut kebersatuan kami sebagai bangsa Indonesia. Terimakasih para pemuda, tanpa gelora jiwa muda kalian kami tak akan bisa menikmati beragam perlombaan yang tak membedakan baik si kaya dan si miskin maupun si darah turunan dan pribumi rakyat jelata. Terimakasih Tuhan, tanpa izinmu, mungkin saya tak akan pernah bisa menulis tulisan ini. Mungkin saja, internet tak akan pernah diizinkan masuk di negeri penuh keragaman ini.

Menurut saya, Indonesia sudah merdeka.

Read More

Friday, July 24, 2015

Jauh

Jauh. Sebenarnya menurut siapa jauh itu? Apa ukuran mengukur jauh? Kilometer? Tak selalu. Banyak manusia yang duduk berdampingan namun mereka merasa jauh satu sama lain. Seperti para manusia yang duduk berdempetan di angkot misalnya. Tanya mereka, siapa yang merasa dekat satu sama lain? Mungkin mereka akan mengangkat tangannya bila mereka duduk bersama dengan teman dekatnya. Tapi benarkah mereka benar-benar dekat?

Nisbi. Semua ukuran rasanya nisbi. Tergantung siapa yang melihat dan dari sudut pandang apa. Keluarga mungkin manusia terdekat yang seseorang punya, tapi bisa saja menjadi manusia yang terjauh yang dimilikinya.

Sumber: disini


Kata orang, setiap manusia perlu menjauh dari lingkungan terdekatnya, zona nyamannya. Tapi benarkah demikian?

Maswadit alias Wahyu Aditya bahkan mencapai kesuksesan saat ia menggambar, kegiatan yang menurutnya ada di zona nyaman. Berbeda dengan banyak motivator yang bilang bahwa zona nyaman itu merusak. Merusak semangat dan potensi optimal manusia.

Jauh dekat, benar-benar hanya sekedar tentang persepsi. Seperti halnya spasi yang menurut beberapa orang menjadi penjelas makna sekumpulan huruf maupun tulisan. Seperti titik dan koma yang terkadang diabaikan manusia.

Bandung, 24 Juli 2015
Read More

Wednesday, July 22, 2015

Membuat Tenang

Kata orang, memilih pasangan itu salah satu kriterianya adalah bisa membuat tenang. Bukan mereka yang malah membuat hati gundah, bahkan gegana alias gelisah galau merana *goyang maaang*

Tapi bagi saya, membuat tenang juga ada di salah satu kriteria memilih teman. Mengapa teman harus dipilih? Karena menurut saya teman bisa menjadi alternatif solusi sarana perbaikan diri. Jadi, saya tak ingin sembarang berteman. Mungkin ini juga yang membuat saya cenderung kaku dan kurang membaur. Mari tinggalkan bahasan tentang saya, kita bahas tentang teman yang membuat tenang.

Begini, teman bak cerminan diri kita sendiri. Meskipun terkadang diri ini berbeda dengan mereka yang menjadi teman kita. Mereka tempat berbagi mimpi, harapan bahkan beragam topik pembicaraan baik yang jelas maupun tidak. Mereka adalah keluarga sementara saat manusia di rumah tak mengerti dan tak mau mengerti tentang kita (atau sebaliknya).

Teman memang tak bisa menggantikan posisi keluarga sebagai manusia terdekat kita. Tapi teman terkadang bisa masuk ke dalam definisi keluarga itu sendiri.

Memilih teman yang membuat tenang membantu diri kita untuk melakukan hal yang sama dengan mereka. Nasihat dan kritikan mereka tak lagi terasa menyakitkan karena disampaikan dalam candaan atau muncul ditengah-tengah obrolan tentang banyak hal. Teman yang membuat tenang tak akan enggan menegur bila otak kita tak bisa digunakan. Mereka juga yang tak segan 'menampar' kita untuk menyadari kelebihan yang kita abai terhadapnya. Mereka mungkin kepanjangan kasih sayang orangtua yang tak bisa menembus benteng pertahanan yang kita bangun sekian tahun lamanya.

Terakhir, memilih teman yang membuat tenang membantu saya mengontrol kegilaan yang sudah lama bercokol dalam jiwa dan raga.

Terimakasih Omah, telah menjadi salah satu dari mereka yang membuat saya tenang :-)

Bandung, 22 Juli 2015

Read More

Tuesday, July 21, 2015

Kesatuan

Bersatu. Itulah yang sulit dilakukan oleh manusia di daerah multietnik, termasuk Afghanistan. Etnik Pashtun, Hazara dan etnik lainnya masih menganggap diri mereka lebih baik daripada etnik lainnya. Semua manusia tak ingin direndahkan tapi dengan mudah merendahkan orang lain. Primordialisme menjadi penyebab dasar adanya perpecahan dan sulit bangkitnya manusia Afghanistan dari keterpurukan pasca perang. Tak peduli berapa negara dan organisasi asing yang membantu, mereka tak pernah bisa benar-benar bangkit dan bersatu. Etnik Pashtun menganggap dirinya menjadi manusia terbaik dan suku yang paling pantas menjadi pemimpin. Etnik lainnya muak dengan para pemimpin dari Pashtun. Etnik Tajik, Kirghiz dan etnik-etnik lainnya kesal tiada dua. Ekspresi kekecewaan ini diekspresikan melalui keengganan etnik tertentu berbicara bahasa etnik lainnya. Enggan berbahasa Dari, berbahasa Pashto dan bahasa lainnya.

Sumber: deafitsa.blogspot.com


Begitulah cuplikan deskripsi Agustinus Wibowo yang saya tangkap dari novelnya Selimut Debu. 

Sungguh, apa jadinya Indonesia bila tidak ada Gadjah Mada yang bertekad menyatukan Nusantara? Apa jadinya bila semangat ke-Indonesia-an tidak diserukan oleh para pejuang dan pemikir di masa lalu? Apa jadinya bila bahasa Indonesia tidak dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa? Akankah bahasa Jawa masih mendominasi bumi nusantara ini? 

Saya teringat pada banyaknya konflik yang terjadi dikarenakan perbedaan suku maupun perbedaan lainnya. Konflik Dayak dan Madura, Jawa dan Sunda, Cina dan pribumi. Ah, banyak sekali bahan perbedaan dan perpecahan di Indonesia. Saya baru benar-benar sadar bahwa kata 'Kesatuan' dalam nama negara ini benar-benar membantu bersatunya beragam perbedaan yang ada. Saya bukan pendukung berdirinya kekhalifahan di Indonesia. Menurut saya, menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia saja sudah menunjukkan betapa Islam rohmatan lil'alamin. Islam yang sangat menghargai perbedaan. Islam yang tidak arogan. Islam yang membuat orang-orang nyaman di dalamnya. Islam yang mewadahi keragaman nusantara. Karena -menurut saya- menjadikan negara ini sebagai negara Islam bukanlah satu-satunya cara untuk mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Lain lubuk lain ilalang lain kolam lain ikannya.

Sumber: aswajamuda.com


Melumat kata demi kata dalam Selimut Debu membuat saya merasa benar-benar ada duplikat kehidupan di belahan dunia sana. Di Afghanistan sana ada warga lembah Wakhan yang mendambakan dan membanggakan Tajikistan sebagai negera impian. Ada pula yang menjadikan Peshawar, Pakistan menjadi tempat tujuan. Pun ada manusia yang ingin menjadikan Iran sebagai tanah impian. Meskipun mereka tahu,, tak pernah ada negara yang benar-benar sudi menerima warga negara asing sebagai pengungsi dengan jumlah yang begitu banyak. Walau mereka dicemooh karena menjadi seorang Afghani, mereka tetap memutuskan pergi dari negeri debu kelahirannya. 

sumber: bukupedia.com


Saya merasa melihat ada irisan Indonesia disana. Dimana tak jarang para manusia perbatasan mendambakan negara tetangga sebagai tanah impiannya. Mendambakan kemerdekaan yang diharapkan menjadi titik tolak kemajuan peradaban manusia yang ada disana. Mendambakan keterlepasan dari pemerintah pusat yang kikir dan abai tiada dua. Walaupun mereka juga tak pernah tahu, apa yang akan mereka hadapi setelah terlepas dari Indonesia. Penjajahan babak dua atau kesejahteraan tiada dua. 

Irisan inferioritas dan superioritas pula terasa di dalam buku ini. Masyarakat Afghanistan yang dianggap rendah dan hina oleh manusia-manusia di negara tetangga ini membuat saya teringat pada para tenaga kerja Indonesia yang tak habis-habis kasusnya. Mulai dari dipancung, dilecehkan bahkan disiksa. Mereka rela merendahkan diri di negeri seberang demi sekumpulan ringgit, riyal bahkan dollar singapur.

Agustinus Wibowo membawa saya berkhayal menyeberangi lautan dan luasnya padang pasir di negara Asia Tengah sana. Tempat dimana beragam kisah kehidupan ada proyeksinya. Tempat dimana saya bisa mengerti kesatuan Indonesia adalah sesuatu yang perlu disyukuri dan dijaga sampai mati. Tak ada yang menyenangkan dari perpecahan. Tak ada yang membahagiakan dari pecahnya peperangan. Masihkah kita perlu mendebatkan dan berkumpul dalam kubu-kubu yang menjadi penyebab perpecahan?

Bandung, 21 Juli 2015
Read More

Tuesday, July 14, 2015

Batas Beda

Sore ini saya masih membaca tumpukan diksi pilihan Agustinus Wibowo dalam bukunya, Selimut Debu. Ia mengisahkan perjalanannya di Afghanistan dan Pakistan dengan apik. Begitupun dengan negeri stan-stan lainnya yang lahir setelah runtuhnya Uni Soviet. Kemelut di negeri debu Afghanistan memang tak pernah berhenti selesai. Sebagai supplier opium nomor wahid di dunia, harusnya negara ini digdaya tiada tara. Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya. 

Saat banyak negara sibuk menghujat maupun mendukung legalisasi pernikahan sejenis, suku Pashtun Afghanistan sudah sejak lama menjadikan murid-murid lelaki sebagai pelepas hasrat seksual mereka yang kemudian dibasmi oleh Taliban. Saat banyak negara mengasihani wanita-wanita Afghan dibalik burqo mereka, wanita-wanita Afghan tersebut berbalik mengasihani wanita-wanita yang harus bertelanjang padahal berbaju dan ikut berjibaku mencari uang untuk sebongkah berlian. Saat celana berbahan denim sudah menjadi hal umum di luar sana, di Afghanistan pakaian itu adalah pakaian orang kafir yang tak tahu apa yang diserukan agama. Disana, di tempat dimana kepala kambing lebih mahal daripada kepala manusia. Disana, dimana jubah Nabi Muhammad SAW dipakai oleh pemimpin Taliban yang keras dan kejam dalam satu waktu. Disana, di negeri debu bernama Afghanistan. 

Ah, Afghanistan, sebegitu mengerikankah dirimu? Rasa-rasanya tak pernah ada kehidupan enak, nyaman dan tentram di Afghanistan. 

Dekat dengan Afghanistan, ada Tajikistan. Cukup menyebrangi sungai, sampailah kita pada peradaban manusia -jika berpakaian rapi dan tak berjubah penuh debu itu disebut dengan peradaban. Segala hal yang ada di Afghanistan bak membuat manusia mundur puluhan dekade ke belakang. 

Hal ini mengingatkan saya pada banyak hal. Pada perbedaan signifikan antara kabupaten dan kota Bandung. Antara pulau Jawa dengan pulau lainnya. Antara saya dengan kamu. Antara kami dengan mereka. Antara banyak hal yang ada di dunia. 



Garis batas antara Kabupaten Bandung dengan Kota Bandung adalah jembatan layang yang ada di Jalan Mohamad Toha, yang sering disebut Perbas. Garis ini yang menentukan perlakuan pimpinan tertinggi sebuah pemerintahan kecil yang dekat dengan rakyat. Garis ini juga menentukan berapa nominal minimum regional yang bisa didapatkan para buruh pabrik. Manusia Kota Bandung boleh berbangga hari memiliki pemimpin macam Ridwan Kamil. Manusia Kabupaten Bandung boleh iri karena bupatinya terasa tak punya prestasi yang melejit bak tetangganya. Saat manusia kota menikmati beragam fasilitas dan mimpi yang direalisasikan oleh walikotanya, manusia kabupaten tak mau kalah pergi berkendara menuju kota. Bandungku. Ternyata ada juga garis batasnya. 

Begitupun saya dengan anda. Banyak hal yang tak bisa kita sama ratakan. Banyak hal yang kita tak bisa saling mengerti satu sama lain. Lalu kenapa kita harus saling tahu dan saling mengenal? Tuhan memang selalu benar. Ia tak ciptakan manusia sama satu sama lain supaya otak setiap manusia itu bekerja. Bukankah itu kelebihannya? Manusia menggunakan otak untuk mengerti satu sama lain, tapi juga untuk memahami mereka tak pernah sama satu sama lain. 

Kami. Siapa kami? Apakah saya termasuk kedalam 'kami' itu? Siapa yang boleh menjadi bagian dari 'kami'? Mengapa harus ada 'mereka'? Apa 'mereka' dibedakan seperti itu karena mereka berbeda? Lalu apa masalahnya bila mereka berbeda? 

Ah, terlalu banyak perbedaan-perbedaan yang bertebaran di dunia ini. 

Batas beda membuktikan bahwa dunia sangat berwarna. Beragam budaya, mindset dan sikap manusianya. Membuktikan bahwa dunia tak sebesar daun kelor dan kau tak sebesar yang kau kira. Lalu, mengapa terus memaksa orang lain sama padahal kita memang sudah ditakdirkan berbatas beda? 


Bandung, 14 Juli 2015



Read More

Tuesday, June 30, 2015

Kapan ke, Dari

Saya punya kebiasaan minta oleh-oleh yang bisa dititipkan kepada siapapun yang sedang bepergian. Saya tidak minta dibelikan gantungan kunci atau postcard bahkan coklat dan apapun yang bisa menambah biaya perjalanan teman saya membengkak (setidaknya bertambah). Saya gak setega itu. Saya hanya minta doa dan foto dari tulisan ajakan yang dipotret dari tempat terindah yang mereka kunjungi.

Proyek meminta oleh-oleh ini saya beri nama: Kapan ke, Dari.

Terimakasih a Indra, Tony dll yang sudah TIDAK LUPA ngasih oleh-oleh ini (soalnya kebanyakan malah lupa karena yang diminta bukan berupa barang. Hahaha).

Kapan ke Uzbekistan? Dari Tony.

Kapan ke Uzbekistan? Dari Tony.


Read More

Stabil

Stabil. Menurut KBBI, stabil berarti mantap, kuku, tidak goyah, tetap jalannya, tenang. Siapa sih yang tidak suka kondisi stabil? Ah ya, ada saja orang-orang yang menyukainya, mereka orang-orang yang mudah beradaptasi dengan perubahan. Bagaimana yang tidak? Itulah persoalannya. 

Beberapa waktu yang lalu ada seorang teman yang baru saja diterima bekerja secara temporal di sebuah perusahaan multinasional. Meskipun pekerjaannya sangat bertolak belakang dengan latar belakang pendidikannya, teman saya itu tetap memutuskan untuk mengambil tawaran pekerjaan tersebut. Namun baru seminggu, triger stress seolah-olah menghantuinya. 

Ia mengeluhkan minimnya arahan dari superior, rumitnya tugas dan dampaknya terhadap psikisnya. Saat itu saya baru tahu ada riwayat hyperstress yang pernah ia alami karena beberapa masalah di perkuliahan dan kehidupannya beberapa tahun yang lalu. Ia takut riwayat sakitnya akan terulang bila ia terus bergelut dengan pekerjaannya sekarang. 

Dengan pembawaan pencemas dan mudah stress itu ia merasa takut dan ragu dalam mengambil setiap langkah yang berkaitan dengan pekerjaanya. Sedihnya, selama ia bercerita entah berapa kali ia menyebutkan bahwa yang salah adalah dirinya. Masalah ini menjadi masalah karena kondisi internal dirinya tidak stabil dan rentan terhadap stress. Ia sadar itu masalah terbesarnya, dan ia sangat meyakini bahwa dirinyalah penyebab terbesar munculnya masalah. Mungkinkah kondisinya saat ini stabil? Jawabannya jelas tidak. 

Lalu, apakah kehidupan kita semua stabil? 

Saya pernah melihat meme menyebutkan, "Bila seluruh hal bisa kau kontrol, larimu tak begitu cepat."

Kutipan itu memang menantang. Mengajak setiap orang yang melihatnya optimis bahwa segala hal yang tidak terkontrol membuktikan kecepatan kita dalam melakukan sesuatu. Tapi bagi rekan saya itu mungkin akan berbeda. Kutipan itu bisa saja membuatnya mundur lalu meyakini dirinya memang tak bisa lari cepat karena lebih senang dengan keadaan yang terkontrol dan berada di zona amannya. Tujuannya untuk mengurangi pemicu stress dan perasaan tertekan yang tak terkendali. 

Sebetulnya teman saya itu hanya ingin didengarkan. Tapi saya gatal untuk tidak diam dan membuatnya merasa tersiksa karena kondisi yang menurutnya tidak stabil di area kerjanya. Menurut saya, mau tak mau ia harus beradaptasi. Bila dulu ia menyerah dan mundur lalu dibuat tak berdaya oleh kecemasan-kecemasannya, sekarang bukan waktunya lagi. Saya memberikan beberapa cara yang mungkin bisa mengurangi kecemasannya bila melakukan kesalahan. Cara yang cukup jitu di awal masa kerja saya. Karena menurut saya, perubahan akan selalu terjadi, mau atau tidak mau kita menghadapinya. Sampai kapan bisa merasa stabil kalau dunia sebenarnya tak pernah stabil? Bukankah hal yang stabil itu ketidakstabilan?

Kondisi stabil bisa dicapai dengan memodifikasi perilaku kita sendiri. Caranya seperti orang-orang yang pada umumnya lakukan: membuat list pekerjaan dan menargetkan setidaknya 1 hal kecil setiap harinya yang mendukung kepada kondisi stabil dalam bekerja yang kita inginkan. 

Saya pribadi merasa diri ini terlalu sotoy alias sok tahu. Tak apalah. Menenangkan manusia memang terkadang harus sotoy dan tidak sama pasrahnya. 

Setelah rekan saya itu selesai bercerita, lalu saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya terlihat tegar dan 'sehat' sehingga orang lain dengan mudahnya bercerita tentang keluh kesahnya yang hanya diceritakan pada orang-orang terdekat? 

Yah, begini lah nasib 'bermuka sawah tadah hujan dan bertelingan tempat sampah penampung keluh kesah."


Bandung, 30 Juni 2015


Read More

Saturday, June 13, 2015

Review: Gadis Pantai

Malam itu tiba-tiba saja saya ingin membuka akun twitter. Entah pasal apa, tiba-tiba saya sibuk membaca kicauan-kicauan dari @PramQuotes yang berisikan kutipan kata-kata bijak dari sastrawan ternama Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Tiba-tiba, saya menemukan akun @susastra_ dan ternyata akun ini menjual buku-buku Pram. Tertariklah saya pada paket buku bernuansa wanita: Gadis Pantai, Larasati dan Cerita Calon Arang. Sebetulnya, saya agak trauma dengan tulisan Pram. Sejak membaca Manusia Bumi dan satu lagi saya lupa judulnya, selalu saja ada bagian cerita tentang zina sang tokoh utama. Namun Pram dengan apik membalutnya dengan kata-kata yang menurut saya mengurangi kadar mesumnya. Berharap di buku itu tak ada hal negatif yang sama, akhirnya saya pesan paket murah-meriah tersebut. 

Paket datang sekitar 5 hari setelah pemesanan. Gadis Pantai adalah buku pertama yang saya baca. Cerita tentang brengseknya para priyayi yang pintar mengaji dan tak pernah absen sholat 5 kali sehari. Cerita tentang betapa dungunya para priyayi yang menjadi antek-antek Belanda lalu serta merta merasa diangkat Tuhan menjadi perwakilan-Nya di bumi Nusantara. 

Tersebut Gadis Pantai, gadis cantik yang berasal dari Desa Nelayan di Jawa Tengah sana. Ia dinikahkan bapaknya oleh sebilah keris. Benda yang mewakili salah satu priyayi untuk meminang gadis itu. Gadis itu baru 14 tahun, dan ia harus mau menjadi selir priyayi. Sialnya, gadis itu tak tahu bahwa dirinya hanya dijadikan budak seks pembesar penjilat Belanda saja. Ia tak tahu bahwa dirinya bisa saja dengan mudah ditendang dari rumah besar sang Bendoro karena pada dasarnya para priyayi belum dianggap sudah menikah bila ia menikahi gadis dari kalangan rakyat jelata. Itu hanyalah pernikahan latihan atau percobaan sebelum priyayi tersebut menikahi gadis keturunan priyayi juga.


source: bisikanbusuk.com

Plotnya apik dengan bahasa yang jarang saya temukan di buku-buku lainnya. Pram mengalirkan cerita ini dengan baik tanpa sisipan-sisipan cerita tak berguna yang ditujukan untuk menambah serunya cerita. Pram juga menggambarkan dengan gamblang betapa agama bagi banyak pejabat bak guci mahal yang diletakkan di ruang tamu. Hanya perhiasan. Hanya pelengkap. Pelengkap topeng berilmu mereka. 

Saya pernah membaca tentang tulisan yang membahas cara Belanda menaklukan Indonesia. Sayangnya saya lupa tulisan siapa dan dapat darimana. Disana dijabarkan bahwa masyarakat Nusantara yang notabene sudah terlalu terbiasa dengan sistem pengabdian dan kehidupan monarki, dimana raja dan pembesar-pembesarnya adalah segalanya. Rakyat rela mengabdikan diri mereka kepada raja secara cuma-cuma. Rakyat rela memberikan sebagian hasil panen mereka untuk kepentingan raja dan rengrengannya. Payung, baju kebesaran dan juga tahta maupun singgasana adalah simbol dari kekuasaan para raja dan pejabat-pejabatnya. Dengan cerdasnya penjajah memanfaatkan hal ini. Penjajah menggunakan kerajaan dan pemerintahan setempat sebagai pasak penjajahan mereka. Raja dijadikan boneka yang bisa memuluskan kepentingan penjajah di Nusantara. Bila para penjajah menyerang rakyat atau kerajaan, maka rakyat dengan segera akan menyerang dan tak mau takluk terhadap penjajah. Namun dengan cara menaklukan dulu kerajaan dengan memperhatikan simbol-simbol kebesaran kerajaan, rakyat akan cenderung tunduk dan takluk kepada raja mereka. 

Membaca buku Pram seperti membaca buku sejarah namun dihiasi dengan roman yang mencengangkan. Nyatanya, sifat binatang manusia sudah ada sejak lama. 


Ciparay, 13 Juni 2015
Read More

Secuil Cerita tentang Keluarga


Yeah, entah kenapa hari ini ingin bahas salah satu topik yang menurut saya termasuk privasi: keluarga. Sejujurnya, saya kurang merasa nyaman bila ditanya tentang hal-hal yang menyangkut tentang keluarga. Apalagi kalau baru kenal, eh udah nanya tentang keluarga, males deh. Tapi kali ini saya mau curcol tentang keluarga saya. Sebagai anak CEWEK pertama dari 6 bersaudara (adik saya gak ikut foto bareng karena belum balik dari tugasnya sebagai pelajar di Univ Al-Azhar, Kairo, Mesir), saya pernah merasa sangat malu dan sering berbohong saat ditanya jumlah saudara kandung. Dipikiran saya, angka 6 itu banyak sekali. Apalagi rata-rata teman-teman saya hanya 2-4 bersaudara, malah banyak juga yang jadi anak tunggal. Jadi saya sering bohong kalau ditanya jumlah saudara kandung. Saya sering jawab "punya adik perempuan dan adik laki-laki". Titik. Secara rasional sih betul ya, orang-orang yang dengar jawaban saya pasti mikir kalau saya 3 bersaudara, padahal mah 2 adik perempuan dan 3 adik laki-laki. Mwahahaha. 

Sikap aneh ini baru bisa mencair saat saya sudah merasa nyaman dan sangat dekat dengan banyak orang di angkatan saat kuliah. Itupun saat berstatus mahasiswa tingkat akhir. Mungkin karena makin dewasa, makin mendalam juga saat bercerita dengan teman. Jadilah hal-hal yang menurut saya rahasia tentang keluarga terbongkar juga. Terbongkar dengan sukarela tepatnya, alias saya suka curcol. 

Tapi masih sering ngerasa sakit hati sih saat ada orang yang komentar bercanda tentang jumlah saudara kandung saya. Mulai dari komentar, "Ortumu produktif ya" sampai "Gak kurang banyak adiknya, Ki?" Yakali, kalau saya boleh milih saya punya adik berapa, ya saya bakal pilih jadi anak tunggal keles, eh enggak juga deng. Seru juga soalnya bersaudara sama 5 orang adik-adik saya ini. 

Beberapa bulan yang lalu, saking sakit hatinya, saya masih ingat celetukan teman saya tentang hal ini dan menurut saya menyakitkan. 

"Ki, tahu gak, si X sama si Y jadian loh!"
"Oh ya? Baguslah, mereka cocok ini."
"Iya ya, si X kan anak kedua dari 2 bersaudara, sedangkan si Y anak pertama dari 2 bersaudara."
"Iya iya, pas ya.."
"Iya ya, beruntuk ya X."
"Beruntung karena?"
"Iya, sama-sama dapat yang cuma 2 bersaudara, coba sama kamu Ki. Kamu kan banyak saudaranya. Hahahaha"
"..............."

Sederhana sih, mungkin karena masalah seperti ini cukup sensitif untuk saya, mungkin juga saya yang terlalu sensitif dan gak bisa diajak bercanda. But it was hurt for me. 

Yasudah lah. Mari kita skip. 

Dulu, saya sering merutuki nasib kenapa saya harus lahir di keluarga besar. Saya sering ikut bingung saat biaya pendidikan saya dan adik-adik membengkak karena diminta secara bersamaan. Dulu saya sempat mikir putus sekolah saja dan bantu orang tua cari uang. Boro-boro dapat restu, malah kena damprat dari ayah dan ibu. 

Saya dibesarkan dengan pola asuh cenderung otoriter, meskipun akhirnya berangsur menjadi demokrasi. Saya sering dilarang untuk ini itu tapi juga sering didorong untuk melakukan ini itu yang lainnya. Percaya gak, saya sering ikut kontes fashion show, lomba menggambar, kaligrafi, mewarnai, sampai lomba menulis surat loh waktu kecil. Hahaha.



Ayah sering mengajak saya ke toko buku, perpustakaan atau tiba-tiba ngasih majalah dan buku untuk anak kecil. Saya diajarkan untuk menulis resensi, menulis cerita dan menulis puisi. Ada satu cerita yang sampai sekarang masih saya ingat. Dulu, saya sempat ikutan lomba menulis cerpen fantasi. Karena pemula dan kurang baca, tulisan saya minim komen dan sekalinya ada yang komen nyakitin hati. Pas saya cerita saya gagal ke ayah dan ibu, ayah dengan spontan bilang, "mana linknya, kasih tahu ayah gimana cara vote dan komennya, nanti ayah bantuin sebarin. Nanti bakal ada komen dari ayah sama yang lainnya." Nyooooosss, saya langsung mewek terharu. Hahaha. Sayangnya, ayah itu keras, umur 20-an saja saya masih sering kena pukul. Tapi yah begitu lah mungkin cara dia ngasih tahu yang benar dan salah. Tapi, hal itu juga yang kadang bikin saya sedih, kenapa ayah harus kasar dan sering marah-marah. Kalau kata ibu sih karena dulu didikan dari Mbah Kakung seperti itu. Saya jadi ketakutan sendiri, nanti anak saya bakalan saya galakin kayak gitu gak ya? Kan manusia kalau sedang marah selalu uncotrolled dan saya kayaknya sejak lahir udah galak. Hahaha. Ah entahlah. Kumaha engke weh lah. 

Ayah sama ibu sama aja sih, sama-sama keras. Tapi yaaa namanya juga ibu, gampang luluh dia mah. Ibu masih suka ngasih saya uang walaupun sedang marah ke saya. Namanya juga ibu-ibu kali ya. Saya paling sering bertengkar sama ibu karena beda pendapat. Tapi selalu lagi-lagi kembali membaik tanpa drama. Tiba-tiba ibu nyuruh saya makan padahal udah diem-dieman selama beberapa hari. Ibu itu wanita canggih millenium. Disaat saya gak bisa motor, dia mah udah kayak Valentino Rossie, ngebut sana ngebut sini. Otak bisnisnya selalu jalan. Saya diajarin jualan sama ibu, tapi emang dasar gak bakat kali ya, saya gagal mulu kalau jualan. Hahaha. Meskipun ibu jarang masak, sampai-sampai anak-anaknya protes secara kontinyu, tapi sekalinya masak, kayak orang yang selalu masak, alias enak banget. Ibu juga bisa bikin kue dan camilan-camilan lainnya. Pokoknya kalau ibu udah kambuh rajin masaknya, perut orang serumah bisa tentram pagi-siang-malam. Ibu juga pinter bikin baju walaupun jarang banget bikin baju buat anak-anaknya. Ah pokoknya mah ibu mah serba bisa. Meskipun ibu teman berantem saya, tapi ibu gak pernah nyakitin saya dengan kata-kata, "masa perempuan gak bisa masak, gak bisa ini gak bisa itu" dan kata-kata nyakitin lainnya. Waktu ibu minta saya masak, dia cuma bilang, "pengen dong makan masakan teteh." atau saat ibu ultah, "tuh ibu udah 49 tahun, tapi belum tua, soalnya belum punya cucu. Kalau udah punya cucu baru deh tua." Yekali kan, emak gue. 

Fyuuhh...nulis tentang ayah dan ibu itu butuh energi yang ekstra ya. Berat-berat gimana gitu rasanya. Tapi ya begini lah keluarga saya. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, saya merasa sangat bersyukur sudah ditakdirkan ada diantara mereka. Kami memang tidak sebaik yang terlihat, tapi juga tak seburuk cerita orang-orang yang tak suka dengan kami. Ayah dan ibu adalah salah satu sebab terbentuknya pribadi saya yang sekarang.

Terimakasih penemu internet dan pencipta blogger. Rasanya saya tidak pernah sanggup cerita langsung di depan orang lain secara lisan. Kalaupun sanggup, saya perlu siapkan tisu 1 pack. 

Ya, inilah secuil cerita tentang kotak 'unkown' saya. 

Ciparay, 13 Juni 2015
Read More

Saturday, June 6, 2015

Wanita Cantik vs Nasib Baik

Cantik. Hampir setiap wanita ingin menjadi cantik, menjadi menarik, menjadi berbeda dengan wanita lain atau sama dengan para wanita di atas rata-rata. Walau banyak juga wanita yang tak begitu ingin cantik, tapi rasanya agak mustahil rasa itu tak pernah muncul di hatinya. Supaya yakin dirinya tetap cantik, banyak wanita melengkapi bawaanya dengan make up dan cermin. Kau tahu, cermin dalam bahasa arab mir-atun. Sedangkan wanita dalam bahasa arab yaitu mar-atun. Mirip ya? Mungkin karena wanita suka bercermin dan cermin identik dengan wanita. Tapi saya tak akan bahas tentang sejarah cermin dan sejak kapan wanita suka bercermin.

Kembali ke cantik. Saya pernah membaca sebuah candaan dimana wanita selalu mengeluhkan kondisi wajah dan tubuhnya di setiap pagi saat bercermin. Sedangkan para lelaki selalu dengan PDnya meyakini 'kegantengan' mereka saat bercermin di pagi hari. Sebegitu ingin cantik kah wanita?
Namun saya selalu menemukan cantik tak saja identik dengan hal-hal yang menyenangkan. Bahkan ada yang bilang, 'beauty is pain'. Wohooo..

source: http://thumbs.dreamstime.com/


Teman saya, demi merasa rambutnya tetap cantik, ia rela pulang pergi ke salon dengan rutinnya. Ia coba ini itu. Mulai dari keriting rambut, gonta ganti warna rambut dan apapun yang disebut 'perawatan rambut'. Sialnya, terlalu sering ngotak ngatik rambutnya, rambutnya rusak dan harus rela menerima treatment khusus. Weh, tambah sering ke salon dan tambah pula pengeluaran. Beauty is pain...
Ada pula teman saya yang lain. Karena cantik, ia bak piala bergilir yang mudah berpindah dari pria satu ke pria yang lainnya. Dari mulai adik tingkat hingga kakak tingkat. Sesama angkatan sudah jangan disebut berapa orang yang sudah menjadi mantannya. Bahkan, staff fakultas pula sempat menggoda. Alamak, ngeri.

Teman saya yang lain. Senang dianggap cantik dan memang sadar dirinya cantik, tak pernah ia setia pada satu orang saja. Punya pacar satu serasa tabu. Punya pacar dua, kurang rasanya. Wajahnya penuh riasan yang pada saat itu saya masih tak habis pikir kenapa wanita harus berhias. Hahaha. Entah dia yang terlalu maju pikirannya, atau saya yang terlalu lugu dan bodoh. Ia putar banyak fakta dan kata, lalu ia buat kata dan fakta versi dirinya sendiri. Ia tebarkan kisah yang dibuatkan dengan mudah. Semudah menebar pesona kecantikannya ke banyak orang. Ruarr binasa. Haha

Ah masih banyak lagi teman saya lainnya yang terkadang membuat saya enggan menjadi cantik.

source: http://previews.123rf.com/
Entah benar atau tidak, Pramoedya Ananta Toer pun memaparkan betapa malangnya nasib wanita cantik di jaman dahulu. Dijadikan gundik, selir dan budak seks lelaki. Para priyayi masih dianggap belum menikah bila belum menikah dengan wanita dari kalangan priyayi. Pernikahan mereka dengan gadis-gadis lugu dari kampung dianggap sebagai pernikahan percobaan, berapapun banyaknya. Ah, padahal para priyayi itu pandai mengaji dan tak absen sholat 5 waktu. Buku Gadis Pantai membukakan mata saya betapa menjadi cantik tak pernah diinginkan oleh beberapa wanita. Betapa cantik menjadi hal yang bisa merendahkan wanita. Dianggap bisa mudah saja diperdaya.

Saya sering bercanda kepada Yudo, teman saya.

"Dho, gue bersyukur gak cantik. Kebayang ya kalau gue cantik. Pasti gue udah trauma pulang ngangkot jam 10 malem."

Teman saya itu seperti biasa menanggapi dengan kalimat yang kurang ajar.

"Iya, bersyukurnya cuma di momen itu aja kan? Sisanya?"

Saya hanya bisa manyun atau mengalihkan topik pembicaraan.

Ah, cantik. Mengapa pula wanita harus cantik? Harus menarik? Harus begini harus begitu.

Terimakasih Tuhan, Kau sudah paparkan dengan jelas nyatanya cantik tak begitu penting di matamu. Tapi, bagaimana caranya agar tak ingin jadi cantik? Karena nyatanya tak semua gadis cantik bernasib baik. Bilapun baik, hanya baik didepannya saja dan pahit diakhir ceritanya.



Ciparay, 06 Juni 2015

Read More

Sunday, May 31, 2015

Malaysia, We Are Coming!!! #4

Ternyata manusia itu manusia yang kami tunggu sejak tadi. Melati. Ia sudah menunggu lebih dari setengah jam yang lalu. Padahal kami sudah mengamati setiap orang yang keluar dari train sejak tadi dan tidak menemukan sosoknya. Ada yang lucu saat kami menunggu Melati. Ada dua orang bule wanita yang menggunakan dress berwarna hijau mencolok dan kuning mencolok. Warna stabilo. Kami hanya tersenyum saja. Ternyata ada yang iseng nyeletuk, "Nice color and nice dress, madam. You are so beautiful." Si bule dengan santainya tersenyum dan mengatakan terimakasih. Padahal kami tahu semua orang di sekitar dua wanita itu tersenyum dan beberapa tertawa karena warna baju yang 'sesuatu' sekali.

Setelah bertemu Melati, kami beranjak ke Petronas Twin Tower. Jam setengah 12 malam pun pelataran kantor Petronas ini masih ramai. Bule-bule juga pada norak ya kalau foto-foto. Segera kami buat tulisan supaya kekinian. Malah ada segerombolan bule yang bawa banner mini dengan tulisan. "you should be here!" Inspiratif ya. Saya jadi mau bikin. Hahaha.

Setelah foto-foto narsis dengan beragam pose disana plus mendengarkan Melati memainkan biolanya, kami pulang dengan berjalan kaki menuju Bukit Bintang. Asli jauh pisaan! Sebetulnya ada Skywalk yang menghubungkan KLCC dengan Bukit Bintang. Karena menurut informasi beragam pihak fasilitas umum itu sudah tutup dan tidak bisa digunakan, akhirnya kami berjalan menelusuri jalan. 

Akhirnya, kami sampai ke Jl. Alor tercinta dan moyoy cantik di hotel. Kami semua bertekad untuk berangkat jalan-jalan di KL jam 8 pagi karena harus check out jam 11 siang. Nyatanya tekad itu hancur lebur. Wkwkwk. Kami berangkat dari hotel jam 10 pagi dan itu sempat membuat Azka ngomel-ngomel lewat telepon. Haha. 

Karena keterbatasan waktu, akhirnya kami pergi ke Pasar Seni saja. Padahal Azka sudah wanti-wanti untuk mampir ke Merdeka Park. Disana kami bisa berpose di tempat sejuta umat sebagai pengganti Batu Caves yang tak bisa kami kunjungi. Menurut saya, Pasar Seni tidak terlalu menarik kecuali hiasan di Kasturi Walknya. Isinya hanya penjual oleh-oleh Ah ya, saya kurang merekomendasikan membeli coklat disini, rasanya enakan Chungky Bar. Hehe. 

Tak terasa, sudah jam 11.00 siang! kami harus kembali ke hotel dan pergi ke bandara. Disana kami sudah ditunggu oleh Pak Ron, beliau teman Pak Jamal kenalannya Ica. Akhirnya kami pergi menuju KLIA yang ternyata jauh dari hotel. Kami harus masuk tol untuk sampai kesana. Mungkin seperti bandara Soetta di Cengkareng. Eh iya, di SG dan MY, motor boleh masuk tol. Kami pernah mengomentari ini saat di SG tapi respon Pak Mahfud hanya, "Kasihan dong orang miskin gak boleh masuk?"

Hemm, tapi kebayang dong kalau motor boleh masuk tol, pasti pinuh pisan tol di Indonesia. Jumlah pemilik kendaraan roda dua di negara tercinta kan membludak luar biasa. 

Sesampainya di KLIA, kami berterimakasih kepada Pak Ron dan beliau pulang ke rumahnya. Kami langsung menuju imigrasi dan kejadian menyebalkan terjadi. Saya lupa kalau tumblr saya masih berisi air sisa perjalanan hotel-Pasar Seni-hotel. Petugas bea cukai berkicau dengan kalimat yang menurut saya menyebalkan sekali.

"Awak kalau nak buat kopi disini, belilah di kedai. Jangan bawa air minum." 

Dia mengoceh kesana kemari dan membuat saya mangkel. Begonya, saya jawab terus omelannya dia. 

"I forget if I have water inside my bag in my tumbler. No worry, I will never make any coffee in plane."

Melati dan Ica berbisik dan mencegah saya berkomentar lagi. "Gak usah diladenin sih," kata mereka. 

Entah emang PMS syndrome, saya yang mudah tersinggung atau memang petugas itu kurang ajar dan lebay. Intinya, saya kesal dan sebal. 

Kami mampir ke Dunkin' yang ada di tempat boarding kami. Pesawat delay dan tak ada air siap minum di bandara ini. Melati sampai menjuluki bandara ini pelit karena tak ada trinken Wasser alias drinkable water tak seperti di Bandara Changi dan Soetta. 

Saat menunggu pesawat, nama-nama kami dipanggil. Ternyata saat check in di mesin check in kami tidak melakukan scan paspor. Bwahahaha. Jadi, jangan lupa ya untuk scan paspor di mesin check in. 

Tak lama, kami masuk ke pesawat. Saya dan Melati duduk bersisian sedangkan Ica harus rela terpisah dan duduk di belakang kami. Aneh loh, padahal kursi di sebelah kami kosong. Selama perjalanan saya cenderung kurang nyaman. Sakit tenggorokan saya tidak membaik. Rasanya ingin batuk terus menerus dan perih. 

Sekitar 2 jam lebih di atas awan, akhirnya kami tiba di negeri tercinta Indonesia. Agak sedih ya, saat sampai di imigrasi kami tidak dibedakan dari pemilik paspor yang lain. Padahal waktu datang dari Begia akhir tahun lalu, rasa-rasanya saya ngerasa dipisahin dari pemilik paspor dari negara lain. Untungnya, proses ini tidak berlangsung lama. Saya dan Ica langsung pulang ke Bandung sedangkan Melati menunggu temannya menjemput karena dia akan tinggal di Jakarta sampai besok. Perjalanan Jakarta-Bandung nyatanya lebih lama daripada KL-Jakarta. 

Sesampainya di pool bus Primajasa di Batu Nunggal, saya di jemput Papski tersayang dan Ica dijemput pacarnya. Kontras ya? Haha. Da aku mah apa atuh, belum punya pacar #curcol

Sejam perjalanan ke rumah, saya sampai dengan selamat. Alhamdulillah. Nah, berikut kisi-kisi pengeluaran selama perjalanan SG-Melaka-KL. 

  • Tiket Bandung - Singapura: Rp. 199.000 + Rp. 75.000 (airport tax)
  • Hostel di Singapura           : 28 SGD/ orang
  • Singapore Tourist Pass     : 26 SGD (dibalikin 10 SGD saat kartu dikembalikan) + 2 SGD untuk deposito
  • Woodland - Johor Bahru   : 0,65 SGD
  • Jajan cendol                     : 4 RM
  • Bus Melaka-KL               : 10 RM
  • Tiket KL-Jakarta              : 83 RM

Nb: karena hotel selama di Melaka dan KL kami tidak bayar plus transportasi untuk ke Melaka dan ke KLIA kami juga tidak bayar, jadi begitu deh rincian pengeluarannya. Btw, rincian ini tidak termasuk oleh-oleh dan cemilan juga ya. Kurs SGD saat itu 9.900 IDR dan Kurs MY saat itu 3.800 IDR. Jadi 834.835 IDR + 378.300 IDR = 1.213.135 IDR total pengeluaran selama 8-11 Mei 2015

Ini cerita perjalananku, mana ceritamu?
Read More

Malaysia, We are Coming!!! #3

Sore di Terminal Bersepadu Selatan, kami lelah dan duduk senderan di samping tong sampah. Sedih ya? Hanya itu satu-satunya tiang yang ada terminal kosongnya dan tak bertuan. Ceileh bahasanya tak bertuan. Hahaha. Saat kami mulai lemas dan waswas karena makhluk bernama Melati yang memilih tinggal di Singapura lebih lama daripada ikut saya dan Ica untuk pergi ke Melaka belum datang juga. Tiba-tiba ada seseorang yang mencolek saya. Saya menoleh. Ternyata ada manusia cantik berkacamata yang tersenyum pada kami. Ooo em jiiii. Azka!

Kami pikir nasib naas kami hanya milik kami saja. Nyatanya, lebih naas lagi nasib Azka. Calon guide kami yang memang belajar di Malaysia ini sudah menunggu kami sejak jam 9 PAGI! PAGI loh PAGI!!! Sedangkan kami sampai di KL jam 5 sore. Fufufu. Sejenak melepas lelah perjalanan Masjid Jamek-TBS, kami mengobrol ringan. Tanpa diminta, Azka sudah bercerita panjang lebar tentang kegiatannya, kesibukannya dan pengalamannya ikut lomba debat antar negara di Qatar beberapa waktu lalu. Akhirnya paspor Azka kena cap lain selain cap imigrasi Malaysia dan Indonesia. Hahaha. 

Kami kelaparan. Tapi kebingungan saat ditanya, 'mau makan apa?' Akhirnya kami menuju restoran cepat saji sejuta umat : KFC. Haha. Awalnya saya ingin makanan yang tak bisa ditemukan di Indonesia. Sayang disayang, rata-rata harganya cukup membuat kami berpikir ulang. Akhirnya ke-KFC-lah kami menuju :D

Oh ya, kalau tidak biasa dengan nasi lemak atau lemang eh apalah itu, baiknya tidak memesan paket nasi. Karena kata Azka, nasi disana disesuaikan degan lidah orang-orang Malaysia. Tante Azka yang beberapa waktu lalu datang ke Malaysia pernah protes karena nasi di KFC seperti nasi basi yang basah dan lengket-lengket. Yaaa namanya juga selera orang di tiap negara beda ya.. Karena saya sedang manja alias males makan yang aneh-aneh dulu setelah berjalanan panjang Melaka-KL, akhirnya saya nurut apa yang disarankan Azka. Saya pesan ayam dan kentang plus spagetti. Rasanya saya bisa gendut mendadak kalau setiap pergi jauh nafsu makannya kayak kesurupan begini. 

"Kak, kalau di Indonesia, sering kan kita lihat tulisan kalau kita bakal dapat bonus apaa gitu saat kasir atau pegawainya gak senyum dan ramah. Nah, kalau disini gak ada tuh rumusnya begitu. Jadi muka pegawainya kayak kurang uang semua."

Saya tertawa mendengar lelucon itu. Tapi saya jadi mikir, ramah banget yaa orang-orang di Indonesiaaaa!!! 

Makanan kami datang. Dari segi rasa memang agak berbeda dengan KFC yang ada di Bandung. Apapun yang saya makan rasanya enak-enak saja saat itu. Lapar, jenderal!

Selesai makan, kami memutuskan untuk pergi terlebih dahulu ke hotel dan menaruh barang-barang disana. Masalah Melati sampai di KL jam berapa, kami pikirkan kemudian. Kami menggunakan Rapid KL. Konter pembelian tiketnya persis seperti konter pembelian MRT di Singapura. Kami hanya perlu memilih stasiun tujuan, jumlah orang dan bayar. Uang yang bisa dimasukkan ke mesin kalau tidak salah mulai dari 5-20 RM. Bila uang sudah dimasukkan, koin plastik Rapid KL akan keluar. Kami hanya perlu tap koin di tempat yang disediakan. 

Agak lama kami menunggu monorel datang. Akhirnya monorel yang kami tunggu datang. Kami kebagian tempat dudukk!! horeeee!!!

Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke stasiun Bukit Bintang. Ah ya, kami turun dulu di Hang Tuah untuk sholat sebentar. Eh ya, kisah Hang Tuah dan Hang jebat dan Hang-Hang yang lainnya cukup terkenal disini. 

Sesampainya di Bukit Bintang, kami harus mencari Jl. Alor. Wohooo pencarian yang melelahkan karena kami harus berjalan memutar karena ada perbaikan jalan di sekitar jalan. Sampailah kami di Apple hotel. Hotel yang ada di pinggir jalan yang penuuuuuhhhhh dengan penjual makanan di malam hari. Sungguh, Jalan Alor benar-benar hamparan kuliner malam yang tak pernah tidur. 

Hotel yang kami tempati menarik. Semua furniturenya selalu berkaitan dengan apel hijau alias apel Malang. Kamar kami di-upgrade oleh pihak hotel karena kebetulan hotel sedang penuh. Tak payah lah. Haha. Sesampainya di hotel, kami mengobrol ngalor ngidul sebentar. Disanalah saya tahu bahwa logat sok-sok-an Melayu yang saya pakai adalah Melayu Sumatera. Wkwkwk. Pantesan dapatnya harga turis terus. Padahal hanya beda 'kah' dan 'keh'. Yasudahlah, rejekinya si mamang dan si ibu yang jualan. 

Merasa cukup bugar untuk kembali jelong-jelong, kami menuju Petronas Twin Tower. Kami menggunakan Go KL Bus Green Line dari Bukit Bintang Bus Stop. Oh ya, kamu bisa naik Go KL Bus dengan gratis bila menggunakan Go KL Bus Green Line dan Purple Line. Untuk Blue Line kamu harus bayar. 

Sesampainya di Petronas Twin Tower, Azka ditelepon Melati. Katanya dia baru sampai TBS. Duilee.. 

Akhirnya kami janjian di statiun monorel KLCC. Kami menunggu cukup lama, hampir 2 jam. Azka tidak bisa menemani kami karena dia harus kembali ke Negeri Sembilan menggunakan train terakhir. Azka juga tidak jadi menjadi guide kami sebagai tamu agung di Malaysia, karena ada ujian 2 mata kuliah yang harus ia hadapi besok. Yasudahlah, kami cukup sotoy untuk keliling titik utama foto sejuta ummat di KL. 

Jam 11 malam kami masih belum bertemu Melati. Azka harus pulang. Saya dan Ica masih harus menunggu di depan penjaga tiket supaya mudah melihat orang yang masuk dan keluar train. Ah ya, penjaganya jutek banget mak!!! Kami tanya, "train terakhir sudah datang?" Dia jawab, "Tak tahu lah. Kenape? Coba tanya teman awak sudah sampai dimana dia."

Deziiig. Kalo bisa nanya gak akan nanya elo keles!

Hampir jam 12 malam dan kami masih belum bertemu Melati. Saya dan Ica memutuskan untuk menunggu di depan Petronas Twin Tower. Ternyata kami berpapasan dengan manusia yang kami kenal.

(Bersambung)

Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)