Saturday, October 28, 2017

Unusefull Questions


Pertanyaan yang tidak berguna. Hasek. Apa coba contohnya?

Bukan, bukan pertanyaan 'kapan nikah?' atau 'kapan mati?' tapi pertanyaan-pertanyaan yang sering ditanyakan saat interview dan katanya tidak berguna. Contohnya:

"Apakah kamu sudah menikah?"

"Apa orientasi seksualmu?"

"Berapa umurmu?"

Dan sebagainya.

Jadi ceritanya saya lagi ikutan kursus MSDM disini. Kebetulan masuk ke topik Rekrutmen di Zaman Now yang salah satu bahasannya adalah keterikatan proses rekrutmen dan seleksi yang cukup sarat dengan hal-hal yang bersisian dengan hukum. Di beberapa negara, pertanyaan yang terkait status perkawinan, umur, kewarganegaraan, etnis, bahkan umur adalah rahasia dan tidak boleh ditanyakan kepada orang lain termasuk di dalam proses seleksi. Bahkan menyebutkan gender dalam iklan lowongan pekerjaanpun tidak boleh dilakukan.



Suatu hari, pabrik saya pernah membutuhkan tenaga operator dan user meminta untuk hanya memproses kandidat non-muslim saja. Kenapa? karena posisi ini nantinya akan bertugas saat Shalat Jumat. Dengan bodoh dan sok diplomatisnya saya posting lowongan dengan menyebutkan kriteria tersebut sambil menyebutkan alasan kenapa kriteria yang terdengar rasis tersebut disebutkan. Sialnya, tidak semua orang suka membaca lowongan dengan lengkap dan banyak lagi yang memaki saya karena penyebutan kriteria tersebut.

Tapi percaya atau tidak, karena iklan itu, posisi kosong tersebut cepat terisi. Efektif, tapi beresiko dan bisa saja mencemarkan nama baik perusahaan.

Di lain hari, saya ikut training Behavior Based Interview dimana proses wawancara dan pertanyaan wawancara HANYA menanyakan tingkah laku kandidat, bukan cerita tambahan dibelakangnya. Jadi, pertanyaan tentang status pernikahan, umur, orientasi seksual dan hobi tidak masuk kedalam list pertanyaan. Saya sangat setuju dengan hal ini, tapi agak bergeser karena suatu hal. Kandidat saya memutuskan untuk membatalkan aplikasinya karena istrinya tidak mau tinggal di beda kota. Wow. Saya baru tahu karena saya tidak bertanya dan tidak mengantisipasinya.

Terkadang, pertanyaan tidak berguna memang benar-benar tidak berguna. Tapi untuk beberapa kasus, biasanya pertanyaan tidak berguna bisa membantu untuk memberikan data atau sekedar menjadi bahan basa-basi sebelum proses wawancara lebih detail dilakukan. Jadi, menurut saya pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa ditanyakan DENGAN SYARAT ada tujuan dibaliknya.

Bandung, 28 Oktober 2017
Salam sumpah pemuda !
Read More

Monday, October 23, 2017

Tambah Tjinta


Untung judulnya bukan 'Tambah Tinja' hahaha. Jadi ceritanya saya lagi sayang-sayangnya sama suami. Uuuh~

Kenapa harus ditulis sih, Ki? Pamer udah punya suami? 

Enggak sih, cuma ingin mendokumentasikan kenapa saya saat ini sayang banget sama manusia berjakun itu. Hahaha. Siapa tahu nanti kalau bertengkar dan baca blog ini lagi jadi inget masa-masa manis kayak sekarang.

Dulu, kayaknya gak mungkin bisa suka banget sama seseorang. Suka sama Afgan saja hanya pencitraan, biar dikira normal. Hahaha. Tapi ternyata kalau udah nikah rasanya beda. Dari senang karena dia bisa diajak ngobrol apa saja, sampai bersyukur banget dia udah jadi suami saya. #hasek



Saya sama dia sebetulnya sama-sama keras. Keras kepala, keras pendiri dan keras keras lainnya. Awalnya malah saya pikir saya akan terus adu argumen selama awal pernikahan. Tapi sampai mau 6  bulan banyaknya doi yang ngalah. Woman always right. Mrs. Right at all. Wkwkwk. 

Ada yang bilang masih suasana honeymoon, jadi masih manis-manis aja. Gimana kalau masa honeymoonnya diperpanjang, yang? Sampai selamanya gitu? Haha. 

Bersyukur sih nikahnya sama orang yang paham tentang agama, paham alasan kenapa keluarga selalu ada di prioritas utama. Senang juga karena ada orang yang marah karena saya gak serius ngejar cita-cita S2 (padahal mah tetep sebel awal-awal diingetin). Suka cara dia memperlakukan saya, cara dia menanggapi semua celoteh aneh saya, cara dia ngebantuin kerjaan rumah mulai dari nyuci piring sampai ngelipetin baju kering. Yaah, walaupun acak kadul, tapi niatnya itu bikin tambah tjinta. *smooch*

Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyaatinaa qurrota 'ayun waj'alnaa lil muttaqiina imaamaa. Semoga pernikahan kita sakinah, mawaddah, penuh rahmah dan berkah yaaaa. Amin.  Pokoknya I love you to the moon and the way back deh, yang! *kissgurita




Bandung, 22 Oktober 2017


Read More

Saturday, October 14, 2017

Reference Checking


Suatu hari ada salah satu user yang mengajak saya untuk ngobrol. Tentu ngobrol di chat. Hahaha. 

User : "Ki, kok si X gak se-performe waktu dia cerita pas interview dan hasil interview kamu ya?"
Saya : "Loh, emang gimana bu maksudnya?"
U : "Iya kan di laporannya disebutkan kalau si X inisiatifnya bagus, implementasinya juga, dan sebagainya. Pokoknya meyakinkan lah."
S : "Oh gitu. Memangnya gimana ceritanya?"
U : "Ah, panjang lah kalau diceritain, Ki."
S : "Mungkin ya bu, mungkin saya waktu itu pas interview gak betul. Jadi berasa dia oke karena first impression yang bagus. Mungkin juga saya yang kurang probbing pas interview. Mungkin juga kandidatnya bohong."
U : "Emang kamu gak bisa prediksi dia bohong atau enggak? Kamu anak Psikologi kan ya?"
S : "Bisa diidentifikasi pake teknik interview Behavior Based Interview sama Ilmu Pernyataan sih bu, namun saya kan gak terlalu ahli dan saya gak belajar Ilmu Pernyataan."
U : "Sugan teh semua anak psikologi bisa baca perilaku gitu, Ki."
S : "Saya bukan dukun, bu. Hehe."

Chat closed. 

Well, gitu da ai rekrutmen mah. Milih yang terbaik dari kandidat yang ada. Tapi pas kandidatnya udah pas, eh waktu evaluasi ternyata gak pas pas amat. Lalu gimana cara supaya terbukti ke-pas-annya?

Kalau 100% pas mah atuh sampe 2 tahun nyari kandidatnya juga. Hahaha. Kandidat yg lolos dan gak pas-pas banget juga berbulan-bulan. Apalagi yang cocok 100%. 

Tapi bisa diminimalisir dengan : 

  • Behavioral Event Interview
  • Reference Checking
  • Psikotes & Grafologi (ini lagi ngehits lagi soalnya hoho)

Saya ada pengalaman yang unik dengan reference checking. Jadi suatu hari saya nyari kandidat untuk posisi Z. Nah, nemu tuh kandidat yang oke, tapi sayangnya setelah interview referernya, dia kurang oke karena attitudenya kurang bagus. Pinter sih, tapi kalau attitudenya kurang oke mah. Emmmm...

Walakhir, kandidat tersebut gak bisa lolos ke tahap selanjutnya. However, attitude always comes first. 



Oh iya, untuk kamu yang belum tahu reference checking, RC adalah metode seleksi dimana rekruter/HR akan menghubungi orang-orang yang pernah bekerjasama secara langsung denganmu. Baik itu atasan langsung atau rekan kerja atau bahkan posisi lain yang pernah berhubungan denganmu dalam satu proyek. Kontak orang yang mereferensikan/referrer didapatkan dari kandidat. Jadi, saat ada kolom "Reference" di formulir pendaftaran, isilah dengan referrer yang benar-benar tahu kualitas kamu dan mau memberikan komentarnya terhadap kinerjamu secara objektif. Referrer biasanya ditanya tentang : 
  • Proyek yang pernah dihadapi bersama
  • Kendala yang pernah dihadapi dan apa yang kandidat lakukan untuk menghadapi kendala tersebut
  • Apakah kandidat sesuai dengan posisi yang ia lamar di perusahaan dan seberapa sesuai serta alasannya
  • Apa kekuatan dan kelebihan kandidat
Jadi, pilih referrer yang benar-benar bisa menceritakan apa yang telah kamu lakukan, bukan yang hanya tahu kebaikan-kebaikan kamu. Kenapa? Karena terlalu bagus itu mencurigakan. HAHAHAHA. Oh ya, formulir Reference Checking bisa kamu cari dari internet. Gak usah minta saya yya. Hahaha.



Read More

Sunday, October 1, 2017

Renungan Akhir Tahun


Bulan September itu sangat berarti setiap tahunnya. Bukan hanya karena saya lahir di bulan itu, tapi juga karena di bulan itulah saya dan seluruh karyawan di kantor saya dinilai pencapaian tahunannya. Daaaan tahun ini tidak seperti tahun lalu ataupun tahun lalunya lagi. Pencapaian saya dibawah 100%. Sedih juga ya karena artinya bonus akhir tahun mungkin menyedihkan nominalnya. Tapi salah saya juga sih tidak sungguh-sungguh. 

Berbicara tentang pengukuran akhir tahun, kebetulan di kantor saya bantu semua karyawan untuk level staff hingga manager dalam proses pengukurannya. Bantu-bantunya sederhana banget, cuma bantu mereka isi di sistem dan update semua progres semua formulir pengukuran beberapa saat sebelum deadline. Ya kurang lebih kayak customer service tapi urusannya khusus pengukuran kinerja dan target. Tambah-tambahnya sebagai orang yang dikomplain pertama kali kalau ada struktur organisasi yang gak seharusnya atau salah.

Saya pribadi cenderung mudah sedih dan pasrah kalau penilaian orang lain terhadap apa yang kita lakukan itu tidak sesuai dengan yang diinginkan, dengan kata lain buruk. Tapi selama 3 tahun ikut serta dalam pengukuran kinerja banyak orang, saya menemukan banyak respon unik yang muncul setiap membantu mereka. Ada yang merasa capaian mereka harusnya di bintang 5 atau 100% lalu dengan mudahnya bad-mouthing atasan dan berkata bahwa meskipun capaiannya seperti itu ia merasa atasannya akan menilai jelek. Ada yang merasa mereka sudah mencapai targetnya dengan percaya diri tanpa bantahan. Tapi ketika saya bertemu dengan atasannya, formulir mereka harus di re-route ke tahap sebelumnya karena tidak sesuai dengan kenyataan. Ah, self esteem dan kesadaran diri memang selalu berbeda setiap orangnya. Dan itu unik. Kadang membuat saya terheran-heran sendiri.


Lalu saya berkaca dan melihat diri saya sendiri. Saya orang yang seperti apa? Lalu tertawa karena terlalu konyol juga jika dijabarkan. 



Kebetulan akhir-akhir ini saya kembali melihat review buku karya Angela Duckworth tentang Grit. Emm apa ya bahasa Indonesianya. Kalau menurut Google translate, courage and resolve; strength of character. Kurang lebih grit itu keberanian dan tekad, kekuatan karakter. Pertama kali kenal konsep ini saat ada rekaman Tedx tentang grit. Di video itu Angela menjelaskan penelitiannya selama kurleb 10 tahun untuk mengetahui karakter orang-orang yang sukses dan lebih maju dibandingkan orang lain. Ia mencari jawaban itu kemana-mana. Mulai dari melakukan penelitian di sekolah militer yang paling terkenal di US hingga ke perlombaan Spelling Bee (perlombaan mengeja) disana. Pertanyaan yang ia ajukan hanya 1 : 

"Siapa yang paling sukses disini? Kenapa?"

Dari sekian banyak jawaban, akhirnya Angela menemukan bahwa bukan IQ atau kecerdasan kita yang paling menentukan masa depan. Tapi GRIT

Dalam video-video review buku Angela di Youtube, banyak dibahas tentang konsep grit yang ditemukan oleh Angela. Grit itu tentang passion dan perseverence. Tentang gairah/ketertarikan dan ketekunan. Tentang hal yang disukai namun tidak seperti kembang api. Hal itu muncul terus bahkan bertahun-tahun lamanya. Grit adalah kunci sukses seseorang. Ada rumus yang selalu disebut dalam setiap review buku ini. Dalam konsep grit, effort atau usaha selalu dihitung 2 kali lebih besar dari hal lainnya. 

Talent x Grit = Skills
Skills x Grit = Achievement
Talent disini bukan seperti konsep lainnya. Talent disebutkan sebagai kemampuan untuk menyelesaikan sesuatu sampai tuntas. Berat ya? 

Saya masih belum baca bukunya, jadi saya juga masih bingung apa bedanya grit dengan motivasi, apa bedanya grit dengan konsep flow di psikologi positif dan lain sebagainya. 

Lalu apa hubungannya dengan pengukuran akhir tahun yang saya ceritakan sebelumnya? 

Saya hanya mau bilang bahwa sepertinya saya tidak memiliki grit. Orang dengan grit yang tinggi, akan menyelesaikan semua yang sudah menjadi tanggungjawabnya, sedangkan saya tidak begitu. Orang dengan grit yang tinggi ia akan memiliki kualitas kerja yang baik, sedangkan sepertinya saya juga tidak begitu. 

Tapi kabar baiknya Angela menyampaikan bahwa grit bisa dibangun dan dibentuk dengan banyak cara termasuk menentukan target capaian hari ini lebih dari kemarin, pikiran yang terbuka dan juga secara konsisten menjalankannya. 

Lalu apakah saya bisa meneliti tentang grit dan mengaplikasikannya? Apakah grit berkaitan dengan self-esteem seseorang? Apakah grit dipengaruhi budaya? Apakah grit bisa muncul setelah terjadian kejadian-kejadian tertentu? Apakah....

Seperti selalu, renungan ini hanya kicauan otak saya yang seringnya eror. Sekian. 


Bandung, 1 Oktober 2017


Read More

Thursday, September 14, 2017

14 ke-27


14 September 2017! 27 tahun lalu bayi yang unyu-unyu yang besarnya jadi super duper alay dan menyebalkan lahir ke dunia. Alhamdulillah di tahun ke-27 ada yang ngucapin tengah malem *colekayangbebeb. Alhamdulillah masih dikerjain juga sama si Chun, Teh Lanny dan banyak orang lainnya. Alhamdulillah Nana lulus dan wisuda di tahun ini. Alhamdulillah. Seneng pisan, ya Allah.

abaikan raray yang sangat ndak banget :D
Setelah Maghrib, tumben-tumbennya ibu telepon sambil nanya kabar sedang apa, dimana dan dengan siapa. Persisi lagu Kangen Band. Hahaha. Eh pas saya ambil wudhu untuk sholat Isya, Mamski dan Nana udah dateng ke kosan bawa donat dan nasi goreng. So sweet *v* (anggaplah bintang itu lope-lope). Pas pulang dari kantor tiba-tiba Zayzay yang kebetulan lagi nginep di rumah ngeluarin puding coklat dari kulkas sambil bilang, "Ki, Happy birthday ya!" Uncch. So sweet.

72 tahun! Eh 27 tahun!
Terimakasih ya Allah saya masih diberi rizki untuk berkumpul bersama orang-orang tersayang dengan mudahnya.  Terimakasih atas kesempatan hidup hingga 27 tahun ini. I am happy!



Read More

Thursday, September 7, 2017

Jadi Beban


Hampir lebih dari 10 tahun tinggal jauh dari orang tua membuat saya terbiasa untuk bertahan hidup sendiri. Meminta bantuan orang lain dan berusaha 'membayar' kebaikan itu dengan bantuan yang pantas. Tapi nyatanya tidak semua cara otodidak berhasil. Perlu mencoba, mencoba dan mencoba lagi. Perlu kecewa, kecewa dan kecewa lagi. Perlu merasa cukup.



Dari sekian banyak hal, hanya satu alasan saya menjaga jarak dengan orang lain. Tidak ingin menjadi beban. Saya tidak ingin orang-orang yang ada di dekat saya merasa terbebani dengan adanya saya di dunia. Menjadi beban bagi saya artinya menambah daftar kesedihan orang lain. Cukup saya yang sedih dan keberatan, yang lain tak usah tahu bagaimana rasanya. Saya tidak mau menjadi beban.
Read More

Wednesday, August 9, 2017

Lahir di Indonesia


Alhamdulillah lahir di Indonesia. Itu kalimat yang sering sebut selama pergi-pergi ke negara lain. Di Indonesia, cabe aja bisa jadi enak banget. Di Indonesia, mie aja bisa dimakan sama nasi dan itu ngeunah jeung wareg pisan. Di Indonesia, sholat gak ada yang ganggu atau dilarang. Di Indonesia, pakai jilbab dibebaskan. 

Dulu sempat ingin pindah dari Indonesia. Ingin tinggal di luar negeri atau di tempat yang jauh dari negeri asal. Tapi kunjungan beberapa hari ke beberapa tempat membuat saya sadar: gorengan enak cuma ada di Indonesia, apalagi di rumah sendiri dan yang bikin si mamah. Ah, ngeunah.

Pertama ke luar negeri, semua orang tanya apa sih makanan halal itu. Mungkin niatnya hanya ingin tahu dan merasa aneh. Tapi ngejelasin kriteria halal aja saya gak fasih dan sudah keburu lapar. Kalau di Indonesia tinggal makan atau kalau ragu tanya aja, "halal bang?" atau "halalin adek dong, bang" kelar. 


Disini orang gak sholat Jumat itu aneh, di luar negeri kita dibilang aneh kok sholat terus-terusan. Waktu main ke Singapura nyari makan yang murah dan halal susah sekali. Mungkin karena bukan orang sana dan budget kami saat itu terlalu pelit. Akhirnya makan kebab lagi, makan kebab lagi. 

Dulu sering banget saya maki-maki negara sendiri karena korupsinya, karena karut marutnya penataan lalu lintasnya, dan sering cemberut karena nilai mata uang yang kacrut. Tapi setelah dipikir-pikir banyak pisan yang harus disyukuri sebagai orang Indonesia. Sholat gak perlu takut. Ikut kajian jadi viral. Ya meskipun di tahun ini antar umat beragama jadi panas gara-gara kelakuan gak sopannya orang yang tidak perlu kita sebut namanya. Kayak Voldemort ya. Hahahaha. 

Intinya, Saya senang lahir di Indonesia. I love Indonesia!!!!
Read More

Tuesday, August 1, 2017

PRIVASI


Kabarnya, privasi pelanggan di bank itu adalah hal yang utama dan dijaga. Nyatanya, setiap orang yang punya kartu kredit pasti mereka sering ditelepon oleh pihak asuransi lah, kartu kredit bank lain lah, dan sebagainya. Jadi, apanya yang dijaga?

Privasi buat saya itu seringnya dilematis. Pengen upload atau curhat tapi serem kalau ngebayangin dampak dari postingannya. Setiap kesel sama orang lain yang fotonya pernah di-upload di akun sendiri, kok bawaannya pengen ngehapus semua foto itu. Setiap senang karena satu hal yang dulu pernah dimaki-maki di akun sendiri, kok jadi malu juga ya. Yah begitulah. 

Di satu sisi, suka iri setiap ada teman yang posting foto pasangan atau bikin caption-caption sweet buat pasangannya. Di sisi lain, emang gak semua orang suka hal-hal pribadinya diumbar kemana-mana. Sering ngerasa bego juga sih kalau sadar hal kayak gitu doang di-iri-in. Tapi da aku teh manusia ya, yang sering ngeliat rumput tetangga lebih hijau warnanya. Jadilah privasi bagi saya seperti makan junk food padahal lagi diet. Apa hubungannya ya? Hahahaha.



Dulu, waktu internet belum merajalela, kayaknya privasi terbuka hanya di forum-forum kumpul-kumpul manja. Ya semacam arisan atau curhat yang kayak arisan (teu beres-beres). Paling banter yang dipamerin barang atau foto bareng pasangan. Tapi sekarang, orang yang diam saja terdengar kata-katanya. Dari akun sosmednya. 

Dulu, sosmed tempat saya curhat gak jelas. Mulai dari galau yang gak jelas siapa objeknya, marah-marah sama customer service (seringnya spe*dy dan bank), sampai ikut-ikutan posting demi barang gratisan atau lomba-lomba yang saat itu kekinian. Sekarang karena objek galaunya udah jelas (suami gue sendiri), jadi agak keki juga kalau galau-galau gak jelas. Kalau ada yang ngira gue kekurangan kasih sayang gimana? Padahal mereka gak tau badan gue melar karena terpenuhinya kebutuhan kasih sayang #apasih

Buat saya, posting foto dengan caption lucu-lucu manja itu gak terlalu ngeganggu privasi. Tapi menurut suami, hal kayak gitu kurang melindungi.

"Kalau posting kayak gitu, gimana kalau Aa ada masalah dan kamu yang kena batunya juga?" kata doi.

"Tapi kan ini..."
"Tapi kan itu..."
"Tapi kan anu..."

Namanya juga perempuan, defensif. Hahaha. Ingat pasal 1: Perempuan selalu benar #halah

Mau digimanain juga perempuan sama laki-laki memang beda. Yang satu dari Mars, yang satu dari Venus. Cara pandang mengenai privasi pun beda-beda. Dan sialnya, masing-masing masih berharap direspon dengan standarnya sendiri-sendiri. Kalau kayak gitu, mau gimana? Entahlah. Selagi yang diposting ke sosial media tidak mencoreng nama baik pasangan dan atau keluarga, sepertinya oke-oke saja.


Read More

Saturday, May 6, 2017

I AM MARRIED!


Iya, gue udah jadi istri orang. Tepat di tanggal 6 Mei 2017. Hari Sabtu dan acara dilaksanakan di halaman rumah gue yang jauh dari mana-mana. Now where. Lol. Seru juga ya ternyata nikah tuh. Hahaha. Saat akad, gue gak ada di masjid, dimana orang itu ngucapin ijab kabul. Gue tetap pecicilan dan senyum selebar-lebarnya karena kalo mingkem lebih jelek lagi. Semua saudara sampai bilang, "Ka, kok sumringah banget?" Ya nikah, sumringah lah. Bukan lagiiii~~~~

I am so surprised with a lot of love I got on the day. Walaupun blowernya kagak datang, banyak tamu yang nyasar dan banyak hal yang gengges selama acara berlangsung. Gue juga baru tau ternyata nikah se-melelahkan itu. Gue baru tau ternyata nikah semenyenangkan itu. Gue baru tau ternyata gue punya banyak teman dan saudara yang rela jauh-jauh datang untuk mendoakan. 



Alhamdulillah acaranya berjalan lancar. Gak ada yang interupt di tengah-tengah akad (you wish). Banyak banget tamu yang datang. Alhamdulillah sekarang halal. Punya tambahan orang tua (plus nenek) dan adik, punya tambahan rumah tempat mudik, punya pundak orang yang bisa dijadiin sandaran. #halah.

Semoga semua doa yang para tamu dan keluarga ucapkan terkabul untuk kita semua. Semoga keluarga gue sakinah, mawaddah dan penuh rahmah alias kasih sayang serta berkah. Semoga gue dan suami bisa datang ke undangan yang dialamatkan kepada kami. 

Buat Ayang Iqbal (alay yak, bae ah kali kali), terimakasih sudah hadir di kehidupanku dan membuat semuanya penuh warna. Semoga hubungan kita sampai ke surga. Amin. 


Read More

Sunday, February 12, 2017

Langkah yang Sejajar



Dulu, saya sering kali merasa putus asa dalam berorganisasi. Saya rasa langkah saya sudah jelas dan semua orang bisa mengikutinya. Saya pikir semua tahapan rencana saya sudah dapat dimengerti sehingga tidak ada konflik tak penting yang mungkin terjadi. Saya kira semua orang disana punya tujuan dan pemikiran yang sama dengan saya. Namun hasilnya selalu sama. Saya kecewa.

Lebih dari 12 bulan merasakan tekanan (bagi saya itu tekanan) seperti itu di beberapa organisasi dalam kurun waktu yang bersamaan membuat prinsip dan targetan saya yang kaku berubah. Saya baru sadar bahwa tidak semua yang saya percaya bisa dengan mudah percaya pada saya. Saya baru tahu beberapa tindakan saya seringnya membuat mereka tak nyaman dan cenderung ogah-ogahan. Saya baru merasa bahwa saya terlalu banyak menuntut. Lalu singkat cerita sejak itu saya berusaha tak menuntut atau terkesan tidak menuntut kepada orang lain. Ini membuat kemampuan mendelegasikan tugas saya kacau. Emosi saya lebih banyak ikut campur dalam mengambil keputusan. Saya tidak puas dengan tindakan saya karena kelakuan konyol saya sendiri. Kemudian saya kecewa. Pada akhirnya selalu saya yang kecewa karena terlalu banyak menginginkan banyak hal yang melibatkan orang lain dalam mencapainya.

"Sejajarkan langkah kalian, Ki."

Nasihat sederhana yang masih terngiang sampai sekarang. Tapi lagi-lagi tak bisa saya aplikasikan. Entah karena saya yang bodoh atau saya terlalu cepat dan berjalan tak beraturan.

Membuat langkah sejajar mungkin mudah bagi mereka yang biasa berbicara dengan lancar apa yang mereka inginkan. Tapi tidak bagi saya. Walaupun terlihat terbuka dan cenderung blak-blak-an, untuk urusan keinginan saya terbiasa memendam dalam-dalam. Seringnya menerima penolakan adalah alasannya. Sialnya, pada akhirnya lagi-lagi saya yang kecewa.

Tapi ternyata upaya menyejajarkan langkah tidak selalu buruk. Pengurus di organisasi itu cukup kompak (subjektifnya saya) dan saling terikat satu sama lain. Kedekatan kami sudah lintas angkatan bahkan bila bercanda cenderung kurang ajar. Meski dengan sejajarnya langkah banyak hal yang harus saya tekan dan itu membuat tidak nyaman.

Menyejajarkan langkah untuk orang yang baru kenal atau hanya dekat sepintas cenderung mudah. Tapi bagi mereka yang akan bersinggungan cukup lama dalam kehidupan saya itu agak menakutkan. Menakutkan karena pada akhirnya saya takut ditolak, diabaikan atau bahkan ditinggalkan.

Langkah yang sejajar bagi saya adalah hal yang benar-benar perlu diupayakan dengan penuh kesungguhan.
Read More

Saturday, January 28, 2017

Berakhir


Sedih. Iya, saya sedih karena berakhirnya sesuati di bulan pertama 2017 ini. Berakhirnya mata saya menatap ungkapan-ungkapan sarkasme yang lucu dari Eric Weiner di bukunya The Geography of Bliss. Weiner adalah bapak-bapak yang tidak bahagia dan mencari kebahagiaan. Kebahagiaan kok dicari? Iya, saya juga heran dengan konsepnya. Buku tahun 2012 ini cukup pas dengan selera saya yang aneh. Isinya tidak sepenuhnya pernyataan sikap setuju tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebahagiaan yang Weiner temui. Perjalanannya dari Belanda hingga Miami memberikan beberapa insight yang tidak biasa. 

Dulu saat video tentang betapa kecilnya manusia dibandingkan alam kosmik beredar di Facebook, saya merasa sangat kecil dan sadar (secara teknis) mengapa manusia memang tidak sepatutnya sombong. Lalu di buku ini, Weiner menuliskan bahwa manusia akan merasa lebih merasa berharga bila merasa menjadi bagian kelompok di alam kosmik, bukan hanya sebagai individu. Menurut saya ini menarik dan saya setuju dengan itu. 

source: link
Ada lagi pemikiran "itu bukan urusan saya" dari Moldova yang membuat orang-orang suram tiada dua. Weiner bilang kalau kepura-puraan sopan di Jepang lebih baik daripada kecuekan kejam yang orisinil dari Moldova. "Itu bukan urusan saya" adalah kalimat penyakit yang bisa membuat kita tidak bahagia. Lagi-lagi saya setuju dan saya rasa saya sejak dulu terpapar sakit jiwa jenis ini. Haha. 

Selain itu, ada satu potongan cerita yang membuat saya bilang "Oh iya" dalam hati. Yaitu saat Weiner mewawancara para pendatang di Asheville, California Utara. Kota ini cantik, dekat dengan pegunungan dan tidak terlalu banyak masalah perkotaan di dalamnya. Kota ini memiliki udara yang sejuk dengan penduduk dari berbagai negara. Kita bisa menemukan restoran asia sangat mudah disini. Daya tarik berupa perpaduan alam-budaya-udara yang sejuk yang tak bisa ditolak oleh siapapun yang datang kesana.

Weiner bertanya kepada setiap orang yang bilang kalau mereka jatuh cinta pada Asheville  yang membuat mereka pindah kesana selama bertahun-tahun, "Dimana kamu ingin mati?"

Semua orang tidak menjawab Asheville sebagai jawabannya. Artinya, mereka tidak benar-benar jatuh cinta dengan kota itu. Menurut Weiner itu berbahaya karena sama saja menaruh satu kaki di luar untuk berjaga-jaga bila ada sesuatu yang buruk terjadi dan tidak benar-benar mencintai sesuatu yang bisa berakibat selalu mencari pembanding dari yang sudah ada dan tidak benar-benar mensyukuri yang sudah dimiliki. 

Source: link

Baru kali ini saya merasa sedih membuka bab terakhir dari sebuah buku. Ini toh rasanya sedih baca buku terakhir dari serial Harry Potter yang teman saya rasakan beberapa tahun yang lalu. Dulu saya rasa hal itu lebay, tapi ternyata saya ngalamin juga. Wkwkwk. Saya tidak percaya karma. Ini mungkin cara Tuhan memberikan pengalaman lain untuk saya. 

Berdasarkan buku ini, bahagia itu tidak usah dicari tapi dirasakan dari apa yang sudah kita miliki. Selain itu, terkadang memaklumi dan menerima ketidaksempurnaan juga bisa menambah rasa bahagia yang kita miliki. Man pei lai! Ya sudahlah. 

Menurut saya, dari skala 1-10 buku ini berada di nomor 9.  Saya merasa cocok dengan gaya penulisan Weiner yang blak-blakan. Selain itu, saya suka caranya membahas beragam penemuan psikologi positif yang baru saya dengar sebelumnya. Saat baca buku ini, saya sempat berpikir mungkin ini lah alasan mengapa dulu saya sempat tertarik dengan kajian psikologi positif seperti flow, happiness, subjective well-being, dsb dsb. Jadi saat baca buku ini saya gak blah-bloh teuing. Gitu lah. 

“Money matters but less than we think and not in the way that we think. Family is important. So are friends. Envy is toxic. So is excessive thinking. Beaches are optional. Trust is not. Neither is gratitude.” 

Ciparay, 28 Januari 2017
Read More

Sunday, January 8, 2017

Diingat Orang



Hari ini ceritanya saya datang ke undangan pernikahan lagi. Lagi. Iya. Jangan tanya kapan ngundang #ambekanmodeon Haha.

Teman yang satu ini agak unik. Dia seringkali di-bully karena fisiknya yang terlalu kurus tapi lebih tepat dikatakan kerempeng. Hahaha. Maaf, Din. Serta karena banyak alasan lainnya. Tapi hari ini, di hari bahagianya, jumlah orang yang datang ke pernikahannya cukup banyak. Ia tidak berhenti menyalami tamu dari keedatangan saya hingga kepulangan saya dari acara tersebut.

"Banyak banget yang datang ya, teh."

"Iya, Ki. Gimana weh Dindinnya. Dia kan baik ke semua orang."

Percakapan yang menarik.

source: link

Sepulang dari acara tersebut, saya seperti biasa kelayapan di dunia maya. Semua sosmed saya buka karena masih enggak membuka laptop untuk urusan lain yang sebenarnya lebih penting. Tiba-tiba saya temukan salah satu postingan teman yang bercerita tentang temannya yang lain. Seseorang yang ia ingat dan ia kenang. Orang tersebut disebutkan memiliki banyak kelebihan dan baik hati meskipun baru pertama kali kenal. Saya tau orang itu karena teman saya yang lainnya pernah menuliskan cerita yang hampir sama dengan teman saya yang ini. Bingung gak sih? Banyak banget "teman saya"nya hahahahaha.

Intinya, menarik juga mengetahui bagaimana seseorang diingat oleh orang lain. Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati meninggalkan sampah. Eh. Salah ya? Hahaha. Maksudnya manusia mati meninggalkan nama. Hanya nama dan tentunya tentang hal-hal yang pernah kita lakukan.

Pertanyaannya, saya nanti akan diingat dan dikenang orang sebagai orang yang seperti apa ya?

Orang yang cerewet? orang yang galak? orang yang alay? orang dengan tertawa membahana badai? orang yang egois dan mau menang sendiri? orang yang kayak gimana ya? Huhuhu.

Kan gak mungkin saya dikenang sebagai orang yang cantik, baik hati, lemah lembut dan rajin menabung. Itu dusta semua. It's not me. It's not me. #naonsih


Curug candung, 8 Januari 2017

Ps: terrnyata ada orang baru disebrang kosan saya. Yeay, gak serem lagi liat kamar kosong sambil pura-pura nutup sebelah mata pas mau masuk kamar. Hahaha


Read More

Thursday, January 5, 2017

Things That Will Make Me Happy


Suatu hari ada yang meminta untuk menuliskan hal-hal yang bisa membuat saya senang. Saya rada bingung sih dengan permintaan itu karena saya gampang senang. Senang saat  dapat diskon, senang saat dapat gratisan dan senang saat diberitahu gaji naik. Hahaha.

Sebenarnya enggak juga sih. Jadi ceritanya dulu saya sering terlalu mudah senang lalu terlalu sedih setelahnya. Hal-hal itu membuat saya tidak mudah memberi label apa saja yang membuat saya senang. Kalau perasaan yang sebaliknya (sedih) itu saya dapat dengan mudah menulisnya. Melankolis banget kan gue. Mungkin kalau dimirip-miripin dengan karakter di kartun Winnie The Pooh, saya adalah si Eeyore. Googling aja lah kalau mau lebih tahu  seperti apa sih si Eeyore ini. Tapi cassingnya saya rada beda sama si Eeyore karena memang sudah dilahirkan rempong seperti ini. 

Kembali kepada hal yang membuat saya senang. Setelah dipikir-pikir, berikut 5 hal yang membuat saya senang: 

Liburan

Muka saya terdeteksi orang yang haus piknik gak? #pertanyaanabsurd 

Saya gak akan pernah nolak liburan kalau itu direncanakan jauh-jauh hari (untuk yang butuh nginep dan budget lebih dari 200k). Tapi kalau yang gak butuh nginep, budget rendah dan tidak perlu cuti mah saya siap diajak kemana juga. Dulu saking seringnya saya main diawal-awal kerja, saya sampai dijulukin "tukang ulin" sama Pak Dadang (salah satu HR di kantor). Padahal mainnya cuma ke lapangan rumput sintesis depan Masjid Agung Bandung, ke taman Balai Kota, ke Gram*dia, makan di foodcourt, dll. Intinya saya suka main, apalagi piknik. Ke Turki aja gue jabaniiin apalagi di Indonesia doaaang. Seneng lah liburan mah!

Tiba-tiba

Saya senang dengan rencana, tapi kadang-kadang juga senang dengan spontanitas. Saya senang tiba-tiba dihubungi, tiba-tiba diajak bertemu, asal jangan tiba-tiba ada masalah lalu minta putus. Hahaha. #diajakputussiapajugaki #skip. Yang tiba-tiba itu seringnya gak wah malahan. Biasa aja. Tapi gak ada di rencana sebelumnya. Hal itu bikin saya senang karena di luar kebiasaan. 

Dulu pernah ngerasa seneng banget waktu teman ngajakin ketemuan tiba-tiba di taman Balai Kota Bandung. Pernah senang juga karena ibu tiba-tiba ngajak makan di Mak Umah, warung lotek yang gak jauh dari rumah. Sempat terharu juga saat ibu atau ayah SMS tanya udah makan atau belum padahal biasanya mah boro-boro, diinget ada anak nomer 1 yang jelek kayak gini juga Alhamdulillah. Wkwkwk. Ah ya, inget juga waktu Omah tiba-tiba datang nginep di kosan sambil ngasih blazer buat saya. Misalnya lagi saat tiba-tiba cinta datang kepadakuuu~ #malahnyanyi

Tidak dipaksa

Beberapa tahun ini saya terbiasa hidup dipercaya oleh orangtua saya. Padahal dulu saya sering diatur-atur. Mau sekolah SMP dimana, kuliah dimana, jurusan apa dan lain-lain. Lalu saya berontak. Setiap melakukan hal-hal yang diminta tanpa meminta pertimbangan saya itu membuat saya merasa buruk dan sedih. Jadi, saya tidak suka dengan larangan-larangan yang tiba-tiba atau arahan-arahan yang memaksa tanpa meminta pertimbangan saya. Setelah saya menyampaikan ketidaksetujuan saya, orangtua saya mulai melunak. Saya dibebaskan pulang jam berapa saja dan menginap di kosan teman karena saat itu mereka tahu saya aktif berorganisasi. Selain itu saya bukan tipe orang yang bisa nakal pacaran, jalan-jalan, ngabisin uang, dll. Saya mageran alias males gerak dan suka merasa bersalah kalau keluar rumah tapi hanya buang-buang uang saja dan buang-buang waktu tidur saya. Buang-buang waktu mah mendingan tidur aja. Buang-buang uang mah bisa lewat online shop tanpa harus panas-panasan dan debat harga #teubeneroge.

Source: link


Dijadikan prioritas

Menjadi anak pertama artinya rela untuk terkadang tidak dilirik kebutuhannya orangtua. Melakukan banyak hal sendirian sudah jadi makanan sehari-hari. Dari kecil kalau mau main pasti disuruh ajak salah satu adik atau bahkan semua adik. Bayangkan, saya punya 5 adik dan saya harus ngajak main mereka sepanjang tahun! Andai dulu saya bisa bilang, "Yah, Bu, aku tuh butuh me time!" #yakeles #digeplakyangada

Oleh karena itulah akan sangat senang sekali kalau ada yang menjadikan saya sebagai prioritas dan diekspresikan dengan baik. Saya senang ditanya kabar, diajak mengobrol dan berdiskusi. Menjadi orang pertama yang tahu beragam kesulitan, hambatan bahkan cerita menyenangkan yang dihadapi atau sekedar kejadian sehari-hari dan kejadian lucu di hari ini. Karena menurut saya, dijadikan prioritas itu bukan sekedar terpatri dalam hati dan hal-hal yang besar, tapi juga hal-hal kecil yang seperti saya sebutkan sebelumnya. 

Diterima dan didukung

Mendapatkan perasaan diterima dan didukung adalah harapan semua orang. Kamu pasti senang saat menemukan orang yang menerima ke-absurd-an dan semua keanehanmu. Dan cenderung menghindari orang-orang yang mengomentari dirimu secara negatif. Saya punya kecenderungan memiliki kebutuhan ini agak banyak dibandingkan orang lain. Suram banget masa lalu saya mah, kalau ada orang yang gak saya suka dan dia gak suka saya, saya tinggalin cepet-cepet. Saya terlalu mengedepankan kebutuhan memiliki mental yang sehat daripada memiliki banyak teman. Daripada saya habiskan waktu dengan perasaan negatif seperti minder, sebal, kesal, bahkan benci, lebih baik saya pergi menjauh dan merasakan ketentraman lagi. Parah. Tapi pemahaman bahwa tidak semua orang menerima sikap saya yang seperti itu dan saya juga tidak bisa bersikap seperti itu terus perlahan masuk ke otak saya yang bebal ini. 

Dulu saya bercita-cita untuk tidak tinggal di satu tempat saja. Saya ingin tinggal di banyak tempat dan bertemu dengan banyak orang. Tujuannya sederhana, menghindari konflik dengan orang-orang sekitar saya jika saya memutuskan untuk menetap. Egois kan. Hahaha. 

Tapi ternyata berteman dekat dan memiliki jalinan hubungan romantis juga menyenangkan. Penerimaan dan dukungan dari orang lain seperti memberikan energi tambahan untuk saya. Dengan diterima dan didukung rasanya keegoisan saya bisa luruh sedikit demi sedikit. Karena katanya manusia akan lebih berbahagia bila ia merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar dan tidak sendirian. 

Ah ini gak nyambung banget sih isinya. Curcol semua. Bahasannya masa lalu-masa lalu aja. Gak produktif ya. Hahaha. Tapi setidaknya janji saya untuk menuliskan beberapa hal yang bisa membuat saya senang terpenuhi. Mungkin akan ada part 2 nya #kekfilmaja mungkin juga tidak. Kumaha engke weh alias gimana nanti. Saya harus bersemedi dulu untuk menuliskan kelanjutannya, mengingat mendapatkan 5 poin ini saja butuh waktu berminggu-minggu. Hahaha. 

Oh iya, ada satu hal lagi yang sangat membuat saya senang: dicintai dan mencintai. Ahiw, cinta. Bhay!



Bandung, 5 Januari 2017



Read More

Sunday, January 1, 2017

2017!


Tahun 2016 berlalu tanpa menoleh lagi padaku yang masih termanggu dan tak berbuat apapun yang signifikan demi bangsa, tanah air, agama bahkan keluarga. Berhubung resolusi saya gak pernah jauh dari beli payung, untuk tahun ini rasanya akan agak serius dari tahun sebelumnya karena payung saya belum rusak-rusak juga walaupun sering ketinggalan dimana-mana. Hahaha.

Jadi begini..

Semoga di tahun 2017 ini saya bisa menikah. Iya, menikah. Lucu ya, di blog ini sibuk memaki perasaan, ternyata saya juga masih punya perasaan. Di blog ini berkata sulit menjalin hubungan jangka panjang, tapi saat orangnya datang ternyata cukup mudah juga dijalani. Sudahlah. Intinya semoga saya bisa menikah tahun ini. Dengan siapa? Afgan? Bukan lah. Mana mau dia sama saya. Vino Bastian aja ogah. #naonsih

Saya ingin menikah dengan orang yang mau memilih saya sebagai teman hidupnya. Seseorang yang dengan baik hatinya rela mengesampingkan deadline dan setumpuk kerjaan karena saya terisak menangis, mengeluh bahkan saat saya bercerita banyak hal tak penting. Seseorang yang bisa diandalkan oleh keluarganya dan pernah melewati beragam cerita. Seseorang yang mau belajar, cukup terbuka dan luas wawasannya. Seseorang dengan bercandaan sarkasme yang menyebalkan. Seseorang yang hampir berkebalikan dari saya. Siapakah diaa? Eng ing eng. Bukan Afgan weh inti na mah. Hahaha. Semoga jodoh dan kesampean ya. Amin.




Yang kedua, semoga Nana lulus kuliah! Yeay! Sebagai mantan mahasiswa tingkat akhir yang tak kunjung berakhir, nambah 1 semester itu malah membuat saya tambah malas mengerjakan skripsi, walaupun alhamdulillahnya selesai juga. Jadi, lulusnya Nana (anak ketiga dari 6 bersaudara Auliya) itu merupakan titik transit 'kehidupan perekonomian' saya ke titik transit yang lain. Apakah itu? Bayar hutang! wkwkwkw. Serius.

Selanjutnya, di tahun 2017 saya ingin paham betul ilmu organizational development. Saya ingin bisa mengerti career management, competencies assessment, work load analysis, dan certified di salah satu spesialisasi HR (entah talent management, org development atau recruitment).

Kuliah S2 gimana, Ki? 

Nah, masih bingung ambo. Walaupun didukung oleh semua pihak untuk S2, tapiiii... belum siap bertransformasi dari orang yang membiayai menjadi orang yang dibiayai lagi. Hahahaha.

Beasiswa?

Iya ya. Tapi masih bisa spare buat kebutuhan sendiri gak ya? Masih bisa bayar-bayar gak ya? Muat gak ya buat beli-beli yang lain gak ya? Nanti LDR-an gak ya? Em..

Cemen banget isi otak gue. Hahaha. Tapi begitulah adanya.

Yang terakhir ini gak measurable. Ingin lebih sering merasa bahagia, lebih banyak baca buku, lebih banyak tempat yang dikunjungi, lebih sering nulis di blog, lebih banyak bersyukur, lebih banyak sedekah, dan lebih banyak amal ibadahnya.

Duh, klise banget ternyata harapan saya di tahun 2017. Hahahaha.

Bae ah, lapak saya ini! Bhaaay! Happy new year!


Ps: kamu gak mau nulis resolusi kamu juga? #kode
Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)