Perjalanan kami dimulai pada sekitar jam 7 malam. Di jam segitu dengan suhu udara mendekati minus itu membuat saya sedikit tersiksa. Kami diangkut menggunakan bus untuk sampai segera ke tangga pesawat. Rombongan kami hanya satu bus saja. Besar pesawatnya juga seperti pesawat antar negara Asia yang terkenal dengan promo serta tiket murahnya. Tiga bangku berderet di kanan dan tiga bangku berderet di kiri. Bedanya, ruang untuk kaki lebih besar di pesawat mungil Turkish ini. Saya duduk di dekat jendela. Sial, pasti bau duduk disini. Saya memakan bulat-bulat anggapan bahwa penduduk Afrika itu bau. Rasis memang. Saya mengaku salah. Saya duduk disana dan tidak mencium bau-bau yang aneh kecuali pada beberapa orang saja. Yaaah, gak semua orang keteknya bau juga kan, Kaaak!
Kursi di sebelah saya kosong sedangkan kursi di dekat lorong ditempati oleh bapak-bapak paruh baya yang sepertinya berkebangsaan Perancis.
"Hi," sapanya.
Saya hanya menjawab dengan senyum sambil mengangguk. Saya ngantuk. Sungguh. Kalau sudah ngantuk muncul aslinya, judes kabina-bina. Saat pesawat akan terbang, ternyata sebaris kursi di depan saya kosong, bapak itu akhirnya pindah ke baris tersebut. Langkah yang tepat, pak! Hahaha.
Oh ya, ternyata benar prediksi Pak Ari. Seluruh kabin kami sangat penuh dengan barang-barang penumpang. Saya heran, barang apa sih yang mereka bawa? Hemm.
Pesawat mulai terbang dan saya kembali tidur. Selamat malam, Istanbul. Selamat tinggal negeri yang penuh dengan populasi manusia ganteng dan cantik. See you soon!
Tidur saya kali ini tidak nyenyak. Selain karena para penumpang sibuk wira-wiri kesana kemari sepanjang penerbangan, mereka juga tak berhenti ngobrol santai kayak di pantai dari mulai terbang hingga menjelang sampai! Turbulensi selama perjalanan juga berkali-kali terjadi. Membuat para penumpang menjerit takut juga membuat saya bangun lalu kemudian terkantuk-kantuk kembali.
Saat saya sadar alias tidak tidur, saya melihat Pak Ari berjalan ke toilet.
"Loh Ki sendiri?" tanyanya saat melewati bangku saya.
"Iya nih, Pak. Tuh bapak yang sebelah saya pindah ke depan. Bapak sini lah. Saya minder jadi minoritas disini."
"Oke. Saya ke toilet dulu."
Tak lama Pak Ari kembali dan duduk di tempat duduk bapak-bapak Perancis yang kemudian pindah.
"Ki, tahu gak? Ternyata mereka yang naik itu rata-rata orang kaya. Mereka hanya transit di Turki. Penumpang sebelah saya cerita tadi. Katanya, dia importir motor mewah dari Perancis ke Kamerun. Dia gak pernah travelling ke Asia kecuali ke Jepang. Paling sering jalan ke US dan Europe alias Eropa," kata Pak Ari.
Buseeng. Pantesan tampilan mereka blink-blink abis!
Gimana ya susah ngejelasin tingkah polah para penumpang ke Douala ini. Sekali lirik saja kamu bisa tahu kalau mereka orang kaya. Daaannn yang membuat situasi agak canggung adalah, baju mereka rata-rata rapi dan bagus, hampir semuanya bawa koper kecil untuk di kabin. Sedangkan kami (saya, Pak Ari dan Pak Zul) pakai kaos dan jeans belel plus bawa-bawa backpack. Sejak kami menunggu di gate keberangkatan, kami mengamati mereka dan mengeluarkan banyak komentar. Padahal kami tidak sadar bahwa kami adalah minoritas disana dan mungkin saja banyak dikomentari juga oleh mereka. Terimakasih Tuhan Kau menciptakan banyak bahasa, jadi saat manusia ngomentarin satu sama lain belum tentu objek komentarnya ngerti~
Perjalanan kami menuju Kamerun hanya sekitar 4-5 jam. Namun turbulensi yang semakin menjadi-jadi membuat lama perjalanan rasanya lebih dari 4-5 jam. Setelah turun naik tak karuan, saya melihat banyak titik cahaya di daratan sana. Waaah, saya sudah ada di langit Afrika! Bak melihat Indonesia, tak lama saat melihat pendar cahaya, kami kembali disuguhkan hamparan tak bercahaya. Mungkin hutan, mungkin juga pemukiman tanpa listrik. Pembangunan disana rasanya juga tak merata.
Pilot kemudian memberitahu kami bahwa beberapa menit lagi kami akan mendarat di Yaounde, ibukota Kamerun. Para penumpang dengan tujuan Douala diminta diam di tempat dan tidak beranjak dari duduk. Semua orang prelente turun. Mereka sibuk dengan bawaan koper yang entah berapa beratnya dan entah apa saja isinya. Tak lama setelah para penumpang itu turun, flight attendance langsung menanyakan barang penumpang yang tersisa satu persatu.
"Is this your luggage?"
Kalau jawaban orang yang ditanya "YA" maka para FA akan langsung beralih ke penumpang lainnya. Jika "BUKAN" penumpang harus menunjukkan mana saja barang bawaannya. Kau tahu, proses memastikan barang ini luar biasa heboh, sodara-sodara! Hanya sekitar 30 menit transit di Yaounde, kami terbang kembali ke Douala. Kau tahu berapa lama kami terbang? HANYA 18 MENIT!!!! Mungkin terbang Jakarta-Bandung juga akan memakan waktu yang tak jauh berbeda. Saya bertanya-tanya kepada diri saya sendiri, mengapa harus ada transit di Yaounde jika jarak Yaounde dan Douala begitu dekatnya? Boros gak sih bahan bakarnya? Ah yasudahlah~
Singkat cerita kami sampai di Douala jam 01.29 dini hari. Saat kami keluar dari garbarta, ada seorang wanita muda membawa tulisan berisi nama-nama kami lengkap dengan logo perusahaan. Kami mengikutinya dan mengisi form yang harus kami isi. Lalu menghadap ke mas-mas dan mbak-mbak imigrasi. Wanita muda itu adalah agen perjalanan yang disewa oleh perusahaan kami untuk mengatur semua proses kedatangan para champion ke Kamerun. Agak mengecewakan sih pelayanannya. Wanita muda ini seperti baru pertama kali menangani klien seperti kami. Padahal dalam email kami dijanjikan untuk mendapatkan VIP lounge dengan akses wifi, ruangan ber-AC, makanan ringan dan toilet di dalamnya. Sialnya, tak satupun yang kami dapatkan. Kami juga diminta untuk mengambil barang kami sendiri-sendiri, padahal kabarnya sebagai penerima VIP lounge kami tak perlu melakukan itu. Kami hanya perlu duduk cantik di dalam lounge. Tapi kami bukan anak manja yang sangat ketergantungan pada fasilitas VIP, jadi semua proses riweuh di bandara kami jalani dengan senang hati.
Kami tak mendapatkan VISA dan paspor kami di tahan di imigrasi saat itu karena tak ada petugas yang berjaga. Kami diberikan fotokopi paspor dan diminta pergi ke hotel. Kami diantar ke hotel oleh mobil perusahaan dan ditemani salah satu kolega kami di Kamerun. Malam terlalu larut dan pemandangan kota Douala menurut saya mirip dengan Kota Garut.
Mobil kami melaju dan kami tiba di bangunan berhiaskan kain bertuliskan A berwarna merah.
|
Hotel Akwa Palace |
"This is your hotel. Akwa Palace," kata sopir.
Kami turun dan menenteng barang-barang kami. Saya agak shock karena di depan hotel kami ada wanita-wanita yang mejeng dan sepertinya sedang mangkal. You know what I mean lah ya~
Sesampainya ke lobi utama hotel yang berdiri sejak tahun 1956 ini, kami langsung diberikan kunci kamar. Tapi sialnya Denis tidak dapat kamar karena tidak ada namanya di dalam list. Kami meminta tambahan 1 kamar untuk dia dan meminta pihak hotel untuk menghubungi kolega kami di Kamerun siang nanti. Mereka setuju dan memberikan kunci kamar kepada kami.
Seperti biasa saya selalu merasa ketakutan jika tinggal di kamar hotel sendirian di negara lain. Pengalaman saya di Belgia tahun 2014 juga begitu. Hal ini disebabkan hal sepele yang tak masuk akal. Sebelum keberangkatan saya ke Aalst, saya membaca postingan tentang makhluk ghaib yang ditemui para traveller saat mereka melancong ke luar negeri di sebuah grup jalan-jalan di Facebook. Di kolom komentar salah seorang anggota grup merekomendasikan film horror tentang para hantu yang merasa dihantui oleh para manusia. Bodohnya saya malah nonton film itu daaaan ketakutan sendiri~
Singkat cerita, jam 9 saya ditelepon oleh Pak Ari. Diajak makan pagi. Haduuh pas banget, saya kelaparan, vroh!
Saat turun ke bawah ternyata makanannya sudah banyak yang habis dan saat kami selesai makan kami diminta tandatangan invoice.
"Kenapa kami harus tandatangan ini?"
"Karena kalian sudah makan pagi."
"Siapa yang akan membayar? SIC Cacaos kan?"
"Iya, mereka yang akan bayar."
Oalaaah, saya dan Pak Ari tidak pernah diminta tandatangan setelah breakfast di hotel, jadi kami agak keheranan gitu. Plus agak katrok juga lah yaaaa. Haha.
Selesai makan yang seadanya, saya mejeng sebentar di kolam renang yang ada di area hotel. Denis membaca buku. Pak Zul main game di handphone. Karena bosan dan gak ada kerjaan, saya memutuskan kembali ke kamar dan menonton TV. Seluruh saluran TV disana berbahasa Perancis dan saya tidak menemukan lebih dari 2 stasiun TV lokal! Sisanya adalah saluran TV Perancis dan ini terjadi di semua hotel yang saya tempati termasuk hotel di kota kecil.
Saya menonton TV dan tiba-tiba ada petugas hotel yang mengetuk pintu.
"Cleaning service," katanya.
"Sok mangga, saya disini boleh kan?" tanya saya.
"Okay!"
Sang petugas dengan sigap mengganti seprai juga sarung bantal dan selimut lalu mengambil semua sampah. Saya minta air mineral ukuran 1,5 liter dan sang petugas memberikannya dengan gratis kepada saya karena kebijakan hotel tidak memberikan air tambahan setiap harinya. Kejam yaaa~
"Nih, saya ngasih air ini buat kamu. Gratis!" katanya.
Saya senyum dan berkali-kali bilang terimakasih dengan mata berbinar-binar. Ternyata setelah memberikan saya air, sang petugas keluar sambil bilang, "It is finished."
"Kamu gak nyedot debu karpet dan ngelap meja gitu? Atau nyikat kamar mandi?"
"Enggak kok. Gini doang tugas saya."
Alamak jaaaaaannnnn. Pantesan penuh debu kamar hotelnya. Yoweslah kalau begitu.
Sekitar jam 15.00, Denis menelepon saya dan mengajak kami untuk makan siang dan saya diminta memanggil Pak Ari. Kami makan siang di restoran yang berbeda dari restoran saat sarapan tadi. Kata Pak Zul, tadi beliau bertemu Marina dan bertanya mengenai makan siang, katanya kami bebas makan apa saja dan akan diklaim ke perusahaan di Kamerun. Wueenak tenaan~
|
Ini udang pesanan kami. Enak kaan? |
Kami memilih ikan dan udang. Dua porsi untuk empat orang. Ternyata saat saya ngerem di kamar, mereka bertiga jalan-jalan demi menemukan "pantai" yang ditemukan Denis di Gmap. Ternyata tempat itu bukanlah pantai melainkan pelabuhan. Mereka juga bercerita bahwa ada oknum polisi yang meminta identitas mereka. Saat diberikan kartu kunci kamar yang dianggap sebagai identitas, si Polisi angguk-angguk saja lalu meminta uang sebesar 5000 kepada mereka. Denis mengajak Pak Ari dan Pak Zul segera pergi darisana dan menganggap polisi itu seperti angin lalu. Saat mereka kembali ke hotel dan menceritakan perjalanan singkat mereka berjalan-jalan di sekitar hotel kepada Veronique, mereka kena damprat habis-habisan dari Veronique.
"Gimana kalau kalian semua dideportasi? VISA belum ada di tangan kalian! Jangan berani seperti itu di Kamerun!"
Tapi karena yang kena omel bapak-bapak iseng semua, dianggap angin lalu pula omelan Veronique. Omelan itu berlalu dan berganti pemberitahuan bahwa kami harus berkumpul di ruang meeting jam 6 sore.
Hai Kamerun, kami siap. Saya siap menjejak kaki disini selama satu minggu penuh!
Bandung, 8 Februari 2016