Thursday, September 24, 2015

Sepotong Kue

Aku punya sepotong kue. Rasanya tidak terlalu enak, bahkan sebagian dari kue itu rasanya tak karuan. Tapi itu milikku. Banyak orang yang pernah aku ajak untuk mencicipi kue, tapi tak semuanya bertahan untuk makan kue itu. Alasannya karena seringnya ada kue lain atau kue mereka sendiri terlalu enak. Ada pula yang beralasan mereka lebih senang menyibukkan diri dengan memakan kue milik mereka sendiri. Ada yang tak pernah kuundang makan kueku, tapi mereka memaksa dan merongorongku. Seakan kue yang kumiliki ini sangat lezat dan pantas untuk mereka gandrungi. Mereka mencoba untuk mencari celah untuk memakan kue atau hanya melihat kueku lebih dekat. Jika usaha mereka tak berhasil, mereka dengan senang hati mengorek kejelekan dan beragam kekurangan dariku atau kueku. Mulai dari kue yang terlihat mempunyai rasa tak enak hingga aku yang katanya tak bisa memilih kue dengan baik. Semua mereka komentari. Semua mereka korek. Padahal aku yakin, mereka pasti sempat berpikir mengapa diri mereka begitu picik dan sibuk dengan pikiran mereka sendiri terhadap orang lain.

Setiap orang punya kue, tapi banyak yang ingin makan kue orang lain. Banyak juga yang ingin mengusik kedamaian makan kue orang lain. Atau bahkan, merusak kedamaian tersebut dengan cara ikut campur dalam urusan antara kue dan pemiliknya. Mereka lupa, mereka punya kue masing-masing.

Lagi-lagi kuartikan kue seperti kehidupan. Setiap orang punya kehidupan masing-masing. Kita miliki jalan cerita yang berbeda. Sedih dan senang sering berganti, bahkan tak jarang datang beriringan. Banyak manusia melihat kehidupan orang lain begitu menggoda untuk disentuh, menarik untuk dikomentari bahkan dicaci. Banyak manusia tak pernah mau tahu apa yang dilewati sang pelaku. Banyak juga yang masa bodoh dengan dampak atas apa yang telah mereka lakukan terhadap kehidupan orang lain. Tak jarang memutarbalikkan tujuan, memutarbalikkan fakta. Selalu saja, ada udang dibalik batu dan bersikap pura-pura tidak tahu.

Untukmu yang sering mengganggu dan ikut campur kehidupan orang lain, kuberitahu satu hal: selama otakmu masih berjalan sebagaimana fungsinya, silakan maksimalkan untuk mengurus urusanmu sendiri dan abaikan orang lain bila memang tujuannya ingin mengotak-atik kehidupan mereka. Apa kau tidak merasa jijik dengan sikapmu sendiri?

Mind your own bussiness, you never (and not really want to know) what we have been through!

Read More

Tuesday, September 22, 2015

Magicom

Magicom. Sebutan yang kusematkan untuk rice cooker putih yang teronggok indah di kamar kosku. Malam ini saya belajar satu hal dari benda mati yang baru saya miliki sekitar 16 hari ini, sejak saya ‘berkemah’ di salah satu kamar kecil khusus wanita beberapa ratus meter dari tempat saya bekerja. Selama 15 hari ini saya sering kesal karena banyak nasi yang menempel di permukaan magicom. Kesal karena fungsi ‘anti lengket’ yang ada di dalamnya seakan tak berguna. Kesal karena kupikir aku sudah membeli barang yang tak berfungsi ‘fitur’ tambahannya. Kesal karena nasi matang selalu menempel disana. Karena itulah saya harus merendam wadah dengan nasi yang menempel agar tak merusak permukaan anti lengketnya. Tapi malam ini berbeda *ceileh.

Entah pasal apa perut saya tidak terlalu lapar. Tak ada demonstrasi yang dilakukan cacing-cacing di perut dan suara kurubuk-kurubuk. Tak lapar, pun tak kenyang. Saya memutuskan menanak nasi dan melakukan aktivitas lain sampai merasa lapar. Aktivitas apa? Ya apalagi selain pesbukan, saya kan aktipis pesbuk. Hahaha.

“Tuk!”

Suara perpindahan indikator ‘cook’ ke ‘warm’ sudah terdengar, tapi perut ini belum lapar. Ini sungguh ajaib, karena selama kos, perut saya seperti kuda yang lepas dari kandangnya. Liar. Selalu lapar dan selalu ingin mengolah sesuatu. Hal ini membuat saya menjadi anak kos yang selalu melakukan perbaikan gizi. Hal ini juga yang membuat isi dompet saya tak sehat lagi. Ketar ketir di akhir bulan.
Saya masih sibuk dengan ‘aktivitas’ saya tadi. Sambil sesekali menengok beragam aplikasi chat yang ada di dalam ponsel saya yang katanya pintar. Masih belum lapar. Sampai adzan isya berkumandang.

Setelah menyelesaikan kewajiban, saya masih malas makan. Tapi suara kurubuk-kurubuk dari perut sudah samar terdengar. Tak lama kemudian rasa lapar datang, jelas saya tak menolak lagi untuk segera makan.

Saat saya membuka tutup magicom, nasi sudah matang sempurna. Saya ambil sendok nasi dan mulai mengaduknya. Aneh, nasi tidak ada yang tertempel di dinding wadah nasi. Ini menarik karena saya mengumpat tentang hal ini selama 15 hari. Nasi tak akan menempel di wadah dan tak akan membuat saya menunggu lama untuk merendamnya di air demi ‘luruhnya’ nasi-nasi yang menempel itu. Hanya butuh waktu sebentar untuk membuat lapisan anti lengket itu berfungsi dengan baik. Hanya butuh beberapa menit untuk membuat nasi yang dimasak benar-benar matang dan menempel satu sama lain. Hanya butuh sedikit aktivitas untuk menunggu semuanya berjalan sesuai dengan apa yang saya inginkan. Hanya butuh sabar dan tak terburu-buru.

Ternyata perpindahan indikator penanak nasi bukan satu-satunya indikator nasi siap disantap. Perlu waktu yang tak begitu lama untuk menikmati nasi yang tak menempel dan membuat lapisan anti lengket benar-benar berfungsi. Menunggu membuat proses matangnya nasi dengan sempurna berjalan sempurna.

Saya pikir, begitupun banyak hal dalam kehidupan. Indikator magicom ini seperti patokan-patokan yang ada dalam kehidupan kita. Seperti usia yang kabarnya menentukan kapan kita baiknya menikah. Seperti pekerjaan yang kabarnya bisa menentukan kesejahteraan seseorang. Seperti kekayaan yang kabarnya bisa menjadi ukuran keberuntungan. Indikator-indikator ini memang ada landasannya. Tapi kabar buruknya, indikator tersebut bukan satu-satunya hal yang menentukan. Perlu ada waktu yang masing-masing orang luangkan agar nasi menjadi matang benar. Perlu ada waktu agar fungsi anti lengket berguna seperti yang para ilmuwan pencipta magicom katakan.

Kita semua sama-sama tahun di usia berapa seseorang pantas menikah. Namun kita benar-benar tak pernah tahu kapan setiap orang siap dan bisa menikah. Kita semua sama-sama tahu mendapat pekerjaan yang baik itu bisa membuat seseorang sejahtera. Namun kita benar-benar tak pernah tahu apakah pekerjaan tersebut membuat orang sejahtera atau sengsara. Kita semua sama-sama tahu memiliki banyak kekayaan adalah keberuntungan. Namun kita benar-benar tak pernah tahu apakah kekayaan tersebut benar-benar menjadi keberuntungan atau malah menjadi kutukan.

Kadangkala, setiap indikator perlu ruang untuk memastikan semua proses berjalan dengan sempurna. Tidak selalu A akan langsung berdampak B, tidak juga C. Nasi butuh waktu untuk benar-benar matang. Manusia (khususnya saya) butuh lama waktu yang berbeda dari manusia lainnya dalam memenuhi setiap indikator selama ada di dunia.


Jadi apa inti dari tulisan ini? Intinya saya sudah bisa masak nasi dengan bantuan magicom. Hahaha.
Read More

Monday, September 14, 2015

14 September ke-25

Wuih..ngerasain juga punya umur sampai 25 tahun. Alhamdulillah. Entah ini anugerah atau musibah. Entah keberuntungan atau malah petaka. Tapi lagi-lagi saya bersyukur kepada Allah atas izin-Nya masih bisa curcol di blog ini sampe usia ke-25. 

Jujur, saya tidak pernah terpikir bagaimana diri ini di usia seperempat abad. Lebih baikkah? Lebih ini lebih itu kah? Sudah ini sudah itu kah? Tak terpikirkan. Saya akui perencanaan kehidupan saya rada kacrut dan gak baik. Hidup saya mengalir seperti air, padahal katanya hidup itu harus seperti ikan salmon yang kuat melawan arus demi tetap hidup dan juga dapat berkembang biak. Tapi saya kok yakin hidup saya bukan hanya untuk berkembang biak ya? Jadi ya santai aja kayak di pantai, selow kayak di pulau #PLAK!

Meskipun hidup saya juga tak jauh dari kemampuan perencanaan hidup saya yang notabene sama-sama kacrut, saya bersyukur dapat mengalami banyak hal yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Pernah menjejak ke beragam tempat yang saya saja tidak berani memimpikannya. Minder dengan keterbatasan yang saya miliki. Minder karena ini dan itu. 

Tapi tahun ini juga cukup unik. Mulai dari patah hati dari jatuh hati yang entah kapan, dimarahin bos besar sampe data analyst dari Zurich sana, disuruh belajar ke Aalst, iseng-iseng jalan-jalan ke SG-MY, ikutan kegiatan sosial dan event-event kantor yang saya pikir gak bakal saya alami lagi setelah kuliah, mencapai mimpi buat makan di Atmosphere dan Sierra Cafe & Lounge gegara acara HR se-APAC, bisa beli payung yang artinya resolusi tahun ini sudah tercapai, dapet SP1 karena terlalu sering terlambat dan akhirnya ngekos. Kocak pokoknya. 

Saya juga bersyukur di hari lahir saya yang ke-25 saya ditraktir makan sama ayah dan ibu, walaupun itu sebetulnya semua adik-adik saya juga ikut. Padahal pengennya dapet kue ulang tahun, eh dapet sop buntut plus ini itu. Wareg pisan lah. Haha. 

Semua doa yang saya terima gak jauh-jauh dari pertanyaan pada orang jomblo single di usia 25 pada umumnya. Tapi ada doa yang kocak dari teman saya: 

Ki, semoga yang disemogakan cepat terealisasi dan semoga kamu kuat ditanya kapan nikah.

Sungguh, rasanya ingin ngasih hadiah coki-coki deh. Hahaha. 

Di usia ini saya masih dapat telepon dari Rumah Baca Asma Nadia yang kecewa karena RBA yang saya kelola sekarang vacum dan ini membuat saya kecewa pada diri saya sendiri. Di usia ini juga saya masih belum dapat mengontrol emosi dengan baik, belum mampu berdamai dengan masa lalu, apalagi berdamai dengan diri sendiri. Ah, apa itu sesuai dengan tigkah laku manusia di Fase Dewasa Awal? Rasanya tidak. Berarti saya masih ada di fase Remaja akhir yang tak kunjung berakhir #PLAK!

Ternyata saya sudah cukup lama tinggal di dunia dan ternyata saya belum bisa melakukan hal-hal yang lebih bermakna :'(

Selamat ulang tahun, Kiki. Semoga apa yang disemogakan tidak disemogakan lagi di tahun depan :D
Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)