Sunday, May 17, 2015

Singapore, Here We Go! #3

Sesampainya di kamar, ada dua manusia cantik diatas kasur mereka masing-masing. Ada Christin dan Rima. Seperti yang sudah saya jelaskan di potingan sebelumny, Christin orang Jerman yang keliling dunia sejak satu tahun yang lalu. Dia sudah pernah ke Indonesia dan itu Bali. Christin berkomentar tentang banyak hal termasuk mata uang Rupiah kami yang menurutnya 'nothing' karena murah pisan. Secara dia baru balik dari Aussie untuk program WHV alias Working Holiday Visa, lalu langsung mampir ke Bali. You can buy anything laaah. Tapi Christin juga sempat mengeluhkan betapa mahalnya Singapur daripada Malaysia atau Indonesia, ya eyalaaahh..Rencanaya, Christin ini mau ke Hongkong setelah dari Singapur. Mau ke Disneyland katanya. Da aku mah apa atuh, ke Dufan juga baruu tahun ini, dia mah udah siap-siap ke Disneyland. Haha. 

Selanjutnya, Rima. Cewek berjilbab satu ini kocak banget. Dia sebenarnya adalah mahasiswi ITS jurusan Matematika. Tapi karena menurutnya itu bukan passionnya, ia memutuskan untuk ikutan tes lagi tahun ini. Seinget saya, SBMPTN itu sebentar lagi dan dia masih ada di Singapura??? Orang pinter yang nyentrik. Rima juga ekspresif sekali. Manusia yang lahir di Makassar dan besar di Jakarta ini terlihat selalu semangat dan mudah dipengaruhi. Bayangkan saja, awalnya Rima berniat check out dan langsung pergi ke bandara, padahal pesawat yang ia tumpangi terbang jam setengah 8 malam. Setelah dibujuk sebentar, ia dengan mudah mengiyakan untuk ikut kami mampir ke spot foto sejuta umat: Merlion. 

Perjalanan kami agak mudah kali ini, ada kenalan Ica disana. Namanya Pak Mahfud. Pak Mahfud ini mengendarai taksi SMRT yang katanya miliknya sendiri yang dijadikan taksi umum. Mungkin semacam angkot-angkot di Bandung kali ya? Entahlah. Kami diajak makan dulu di Little India dan diajak mampir ke Mustafa Center. Nah, saran saya, kalau mau beli pajangan khas Singapur, jangan beli di Mustafa Center, tapi beli di kios di depan Mustafa Center. Kami bisa dapat 3 pajangan seharga 10 SGD, sedangkan di Mustafa Center harganya 5-17 SGD per pajangan. Tapi, jangan beli gantungan kunci disana karena di Mustafa Center lebih murah. Kami bisa mendapatkan satu set gantungan kunci seharga 3,5 SGD disana sedangkan di kios itu harganya 5SGD per set. 

Mustafa Center itu kalau kata saya sih mirip Carefour atau Sarinah di Malang. Toko serba ada yang jual mulai dari oleh-oleh sampai parfum dan buah-buahan. Jadi pelajaran juga sih buat saya, karena dulu beli oleh-oleh di Aalst yang paling murah ya di toserba macam ini. Ah ya, kami ditraktir Pak Mahfud untuk pajangan yang kami beli di kios di depan Mustafa Center. Yeeeaaayyy!

Sesudah beli perintilan oleh-oleh, kami beranjak menuju Merlion Park, spot sejuta umat yang katanya harus dikunjungi kalau ke Singapur. Dari taman ini selain kita bisa foto patung merlion yang terkenal, kita juga bisa melihat Marina Bay Sand dari sana. Asli ya, keren pisan. Modern banget. Kata Pak Mahfud, kalau jajan di Merlion Park, sama harganya dengan makan sebulan di Bandung. Karena saya masih punya kekuatan Sariroti, jadi gak minat juga jajan cantik disana. Hoho

Selesai dari Merlion, kami berangkat menuju Johor Bahru, Malaysia. Saya dan Ica berpisah dengan Rima. Oh ya, Melati melanjutkan hari kedua di Singapur karena ia ingin mengunjungi banyak toko buku dan perpustakaan maupun museum yang ada di Singapur. Hanya saya dan Ica yang berangkat ke Melaka via Johor Bahru. 

Di tengah perjalanan, kami mampir ke toilet yang ada di SPBU, ternyata untuk toilet wanita, pintu terkunci dan digembok. Cara untuk masuk ke dalamnya adalah meminta kunci ke kasir minimarket yang ada di SPBU. Tuh, cowok-cowok, kalian gak bisa iseng masuk ke WC cewek dengan alasan apapun. Mwahahaha. 

Kunjungan ke Singapur pun berakhir, lanjut ke Malaysia...

(to be continue)
Read More

Singapore, Here We Go! #2

Loket imigrasi dibuka. Kami mengantri demi cap imigrasi. Tentunya setelah bayar airport tax di loket Airasia. Sungguh, slogan Airasia bener ya, everyone can fly. Setelah mendapat cap imigrasi, kami duduk-duduk cantik di waiting room. Selfie sana selfie sini. Kami lupa, kami belum menetapkan tujuan dan belum tahu bagaimana caranya sampai ke hostel. Sebetulnya saya sudah googling dan menyimpan rangkaian cara sampai ke hostel, tapi entah teledor atau apalah namanya, semua catatan tertinggal di laptop. Pesan moral no.1: pastikan kamu tahu cara sampai ke hostel. Manfaatkan lahirnya Google ke dunia dan jangan teledor kayak saya. 

Setelah kurang lebih setengah jam menunggu, ada suara merdu yang memberitahukan kalau kami sudah dibolehkan masuk ke dalam pesawat. Tapi karena kami terlalu banyak selfie dan saya kira ada perbedaan panggilan untuk penumpang eksekutif dan ekonomi, maka kami hampir terlambat masuk. Wkwkwk. Kupikir Airasia kayak Emirates. 

Ternyata kami termasuk orang terakhir yang masuk pesawat, tapi karena di tangga pesawat masih mengantri banyak orang, saya mengajak Ica untuk foto di depan pesawat. Berfotolah kita disana dan berakibat diteriaki bapak-bapak petugas bandara serta ditertawai segerombolan abang-abang backpacker yang pakai baju hitam, celana kargo hitam dan kaca mata hitam. Lucunya, segerombolan abang-abang ini dengan PDnya minta petugas bandara untuk memoto mereka setelah menertawakan kami. Sayangnya, mereka ditolak mentah-mentah dan membuat saya balik tertawa atas naasnya nasib mereka. Hahahaha.

Kami kebagian nomor kursi 27 A, B dan C. Tapi saat kami masuk pesawat, ada seorang bapak muda berwajah oriental duduk di kursi kami. Sempat berdebat sebentar tapi kami dipersilahkan duduk di kursi kosong yang berjajar di belakang. Beberapa menit sebelum take off, si bapak chinese itu minta maaf karena ternyata dia salah duduk. Jiaaahh~

Perjalanan selama satu jam ini cukup melelahkan bagi saya. Telinga saya pengang dan membuat saya sakit kepala. Mungkin karena saya sedang flu atau karena pesawat ini adalah pesawat kecil. Entahlah, yang jelas saya tidak merasakan ini saat perjalanan ke Belgia akhir tahun lalu. 

Singkat cerita, kami mendarat dengan selamat di Changi International Airport. Sesampainya di Changi, kami berdebat tentang dimana kami bisa membeli Singapore Tourist Pass alias STP. Saya sempat membaca di situs resminya dan disana disebutkan kalau kartu transportasi itu hanya bisa didapatkan di stasiun MRT. Tapi entah di MRT mana. Yang gak asik dari group travelling adalah perdebatannya, menurut saya. Akhirnya kami mampir ke Singapore Recommends dan bertanya tentang STP, ternyata benar, kartu itu hanya bisa dibeli di stasiun MRT. Lalu, dimanakah stasiun MRT? Kami bertanya ke cleaning service yang ada di Changi, tapi dia juga kebingungan katanya ada di T2 dan T3. Apa pulak itu T2 dan T3? wkwkwk. Ternyata oh ternyata T adalah terminal. Jadi T2 atau T3 itu terminal 2 dan terminal 3. Dan ternyata tanda menuju stasiun MRT itu jelas sekali. Karena kami turun di terminal 1 dan stasiun MRT ada di terminal 3, maka kami harus naik subway dulu lalu naik turun eskalator untuk sampai ke terminal 3. Alamak jaaaann~

Pesan moral no. 2 : Sesampainya di Changi, langsung lihat arah penunjuk ke T2 atau T3. Lihat saja penunjuk arahnya. 

Akhirnya, setelah muter-muter terminal 1 Changi, kami sampai di Terminal 2. Karena kebutuhan untuk melakukan proses ekskresi kami tak tertahankan. akhirnya kami transit sebentar di depan lift di terminal 2. Saya sempat mengeluhkan tidak adanya peta bandara seperti di Dubai. Tapi ternyata setelah menghampiri lift, ada peta lengkap dengan panduan bandaranya di depan lift. Mwahahahaha~

Setelah naik lift dan turun ke stasiun MRT, ternyata bukan stasiun itu yang kami cari. Kami disarankan pergi ke MRT office di terminal 3. Kesal, capek dan bingung jadi satu. Ya ampun, di tempat semodern Changi saja saya masih kampungan. Weleh weleh weleh.

Setelah kecapekan, kami temukan juga MRT office yang menjual STP. Sayangnya, ternyata STP Plus yang kami incar itu sudah habis stoknya, jadi terpaksa kami beli STP biasa seharga 26 SGD dengan deposito 2 SGD. Kami bisa mendapatkan 10 SGD saat mengembalikan kartu ini besok. Yah, baiklah~

Perjalanan berlanjut. Kami harus tahu bagaimana caranya sampai ke hostel. Keteledoran kami masih menyisakan akibatnya. Saat sampai di Changi, saya mendapatkan akses WiFi gratis. Dodolnya, fasilitas itu tidak saya manfaatkan untuk cari cara sampai ke hostel, malah update sana sini dan berkabar kesana sini. Selain itu, di terminal 1 juga terdapat fasilitas internet gratis lengkap dengan komputernya. Jadi sebetulnya gampang saja bila kita mau akses map dari sana. Tapi yasudahlah, kami begini mungkin supaya kamu tak ikut-ikutan oon seperti kami. Haha. 

Bagaimana cara kami sampe ke hostel? Pakai GPS. Bukan, bukan GPS yang ada di HP karena kami tak ada yang membeli SIM card Singapur, GPS kami adalah para petugas MRT. Hahahaha. Sempat salah turun platform MRT, harusnya B malah turun di D, walhasil nunggu MRT lewat dan itu lamaaa. Ujung-ujungnya naik turun lift-eskalator untuk nyebrang ke platform yang kita tuju. Melelahkan loh. Jadi, besok-besok kalau mau pergi kemana-mana baiknya benar-benar aware sama jalan yang harus ditempuh dan detail cara sampai kesana. Ah ya, yang tadi pelajaran moral no. 3.  

Kami tinggal di Lofi Inn @Hamilton. Hostel ini ada di Hamilton road. Cara sampai kesana adalah, naik MRT dulu di terminal 3, ambil yang jalur hijau alias East West Line dengan tujuan Tanah Merah. Nah, dari Tanah Merah, kamu harus turun dari pintu seberang (pintu yang berlawanan saat masuk) karena beda platform. Sesampainya di Tanah Merah, naik MRT tujuan Joo Koon dan turun di Lavender. Setelah itu jalan luruuus ke arah kanan sampai nemu toko bunga, jalan kesana akan melewati stadion besar. Di Hamilton road sepertinya memang daerah hostel karena saya lihat ada ABC hostel dan beberapa hostel lainnya. Sampailah kami di Lofi Inn @Hamilton jam 5 sore. Padahal kami sampai ke Singapur jam setengah 2 siang. Kebayangkan capeknya? 

Di hostel ini kami tidur di lantai 3 sekamar dengan 2 traveller lainnya, Christin dan Rima. Christin itu orang Jerman yang sudah travelling keliling dunia selama 1 tahun, sedangkan Rima orang Indonesia yang sedang ikut seminar motivasinya Tonny Robbins, gurunya Tung Desem Waringin dan favoritnya Merry Riana. 

Hostel ini asik, tapi sayang kamar mandi di lantai 3 kotor dan menjijikkan, untungnya ada toilet lantai 2 yang lebih bersih. Oh ya, hostel ini juga ramai di malam hari karena ada pub plus area main billiardnya. Jadi yah begitulah, kami wanita berkerudung yang mampir ke tempat main wanita yang minim bajunya. Rating dari saya untuk hostel ini ada di 6 dari 10. Nilai plusnya adalah adanya sharing kitchen yang bisa dipakai masak Indomie seleraku. Hahaha. You get what you pay lah ya..

Sesampainya di hostel, kami hanya butuh waktu leyeh-leyeh sebentar dan waktu untuk masak mie. Karena lapar atau memang dasarnya rakus, saya menghabiskan 2 porsi bihun kemasan yang saya bawa dari Indonesia. Hahaha. Asupan energi optimal. Yeah~

Setelah makan, kami merencakanan perjalanan kami lagi dengan lebih detail dan dengan bantuan om Google tentunya. Banyak tempat wisata yang ingin kami kunjungi, tapi sepertinya kami tak bisa mencapai semuanya. Akhirnya, tempat-tempat sejuta umat sajalah yang kami kunjungi. Hahaha. 

Setelah diskusi sana sini, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke Singapore Botanical Garden. Fyi, kami berangkat jam 6 sore. Waktu dimana manusia pulang sekolah dan kerja. Padat nian, kakaaak.

Setelah lagi-lagi salah turun stasiun, dan nunggu lamaaaaa banget LRT, akhirnya kami sampai di SBG. Asli, tempat ini recommended untuk didatangi di siang hari. Kalau di malam hari, jalan-jalan kesini itu kayak jurit malam pas ospek. Serem-serem gimanaa gitu. Semacam hutan mini gitu soalnya. Tapi sempet aja selfie mah, meskipun cahaya kurang mendukung juga. Ah ya, ada kejadian dodol juga disini. Kami agak kecewa sampai di Botanical Garden karena kami kira Botanical Garden itu Garden By the Bay. Mwhahahahaha. Pesan moralnya masih kayak yang sebelum-sebelumnya. Rajin googling!!!

Oh ya, cara ke SBG dari Lavender adalah: naik MRT tujuan Joo Koon, turun di Outram Park lalu keluar dari stasiun MRT kita harus nyebrang ke bus stop. Naik bus nomor 75 dan turun di SBG stop. Setelah itu, jalan kaki ke arah kanan (arah kanan dari kita turun bus). Kalau sudah nemu gerbang SBG, sampailah kita ke SBG. 

Setelah ke SBG, kita berencana langsung cus ke Orchard rd. Jalan yang paling fenomenal di SG. Mungkin ini semaca Jalan Riau kali ya kalau di Bandung, eh Ciwalk? Entahlah, yang jelas disini berjajar beragam mall dan outlet barang-barang branded. Kabarnya, Victoria Beckham mau mengadakan fashion show sepanjang Orchard rd. Asik kan? 

Karena uang saya gak nyukup juga buat beli barang-barang disana dan tujuan ke Singapur memang bukan buat belanja, kami hanya jalan-jalan cantik disana. Kami berencana mampir ke Little India untuk makan ataupun jalan-jalan. Tapi ternyata kebablasan. Haha. Kami turun di Victoria street lalu mampir ke Masjid Malabar di Kampong Glam. Kami sholat sambil ditungguin marbotnya karena masjid mau ditutup. Hahahaha. 

Selepas sholat, kami naik lagi LRT menuju Bugis. Saat turun di Bugis Junction, kami melihat wanita berwajah orientah berbaju hitam yang memperlihatkan beberapa bagian tubuhnya itu menelepon di tengah zebra cross. Ini cukup membingungkan kami dan membuat banyak orang melongo dengan tingkah wanita itu. Betapa tidak, dia dengan santai berteriak-teriak kepada orang di telepon di tengah jalan. Saya ulangi ya DI TENGAH JALAN. Sampai-sampai LRT dan taksi membunyikan klakson mereka berkali-kali dan ibu-ibu itu tetap bergeming. Ada juga orang stress di Singapur ya? Hahaha. 

Saya pribadi senang sekali saat menyebrang di Bugis, kenapa? karena rasanya kayak nyebrang di Times Square di Amrik sana. 

Pasar di Bugis kayak pasar-pasar di Indonesia pada umumnya. Disini diobral banyak barang. Saran saya, kalau mau beli gantungan kunci untuk oleh-oleh, baiknya beli disini, 10SGD dapat 24 pcs!!! Kami memutuskan untuk membeli kebab di kedai kebab yang mau tutup. Karena abang-abang kebab mau tutup, akhirnya kami makan di depan KFC. Hahahaha. Kebab rasa KFC. 

Seusai makan, kami pulang dengan menggunakan LRT. Sungguh, kalau saya tahu Hamilton road itu jauh dari stasiun MRT dan bus stop, gak akan ambil hostel itu deh. Fufufufu. 

Tapi ternyata sesampainya di hostel kami menemukan Christin dan Rima di kamar...

(to be continue)
Read More

Singapore, Here We Go!!! #1

Yeah, setelah menunggu 9 purnama, akhirnya hari yang dinanti tiba. Waktunya jalan-jalan ke Singapur!!! Negeri singa tetangga yang katanya maju tiada tandingannya di ASEAN. Saya dan dua orang teman membeli tiket untuk terbang kesana dari tanggal 26 September 2014, untuk pemberangkatan 8 Mei 2015. Sembilan bulaaan, ibu menganduuuung... lalala yeyeye. Selama 9 bulan itu kami cicil segala printilan yang berkaitan dengan perjalanan kami menuju Singapur-Malaysia, mulai dari hostel, tiket pulang, sampai nabung untuk beli oleh-oleh. Jadi, salah besar kalau ada yang mengira kami punya banyak uang. Tapi dikirain banyak uang juga gak apa-apa deh, biar jadi doa. Amin~

Sebelum tanggal 8 Mei tiba, banyak sekali kejadian yang bikin males berangkat. Mulai dari paspor teman belum jadi, tanggal lauching trailer film teman yang lain yang berdekatan dengan tanggal keberangkatan, hingga meningkatnya aktifitas rekrutmen dan seleksi yang saya lakukan. Omamaaa, andai belum bayar ini itu, mudah saja kami batalkan perjalanan ini, tapi karena uang sudah keluar, sayang lah ya kalau dibatalkan. Hehe.

Tepat tanggal 8 Mei, paspor travelmateku sudah ditangannya, launching trailer film travelmate yang satu lagi sudah di-back up oleh temannya dan kerjaanku juga sudah kukendalikan *walau gak optimal. Saya belum packing sama sekali, membuat list pun tidak. Kelimpunganlah saya di malam sebelum keberangkatan. Sampai-sampai saya baru ingat kalau resleting ransel saya rusak dan ransel itu tak bisa dipakai. Payah pisan euy. Untung punya adik yang suka naik gunung, minjem deh akhirnya~

Selesai packing, saya ngerjain dulu laporan hasil interview kandidat yang akan diinterview user esok siang. Laporan kelar setengah jam kemudian. Masih ada waktu untuk tidur cantik sebelum keberangkatan.

Berangkat jam 6 pagi dari rumah dan sampai jam setengah 8 di kantor. Traveller oke kan? Sebelum pergi masih sempat ngantor. Mwahahahaha.

Setelah urusan di kantor selesai, saya bergegas pergi ke Bandara Husein Sastranegara. Ini pertama kalinya saya mampir ke bandara di kota tercinta. Astaga, bagusan stasiun Bandung lah aslinyaaa!

Telepon sana telepon sini, travelmate muncul satu persatu. Ibu dan adik saya pamit pergi ke Pasar Baru. Biasa, Tuntutan profesi ibu yang notabene penjahit harus bolak balik ke tempat itu untuk beli kain. Ibu saya pergi dengan kalimat yang bikin saya tak bisa berkomentar apa-apa.

"Beranian ih teteh, padahal Airasia baru aja kecelakaan."

Deziiiiiiiiigggg!!!

Ica datang jam 9 lebih sekian menit dengan paspor baru yang masih 'fresh from the immigration'. Asik kan, baru dapet paspor udah dipake lagi? Melati datang dengan dua tas, satu tas ransel dan satu lagi tas biola. Biola modal utama kalau kehabisan bekal. Siap ngamen, bos :D

So, Singapore...here we go!!!
Read More

Friday, May 15, 2015

Lucy dan 100% Otaknya

Semalam saya tidur agak terlambat dari biasanya. Biasanya, jam 8 malam sudah ada di negeri antah berantah. Saya terpaku di depan laptop sambil melipat baju. Pastinya lebih banyak melongonya daripada melipat bajunya. Hahaha. Lucy, film tahun 2014 yang disutradarai oleh Luc Besson ini memikat saya. Awalnya saya agak malas melihat film ini karena sang pemeran utama, Scarlett Johansson ini yang dalam film ini bernama Lucy membuat saya berpikir ini film esek-esek ber-cover laga seperti film Twilight dan sebagainya. Ternyata saya keliru.

Film ini mengisahkan tentang seorang wanita yang terjerumus ke dalam aktivitas sindikat pengedar obat. CPH4 adalah obat yang mereka sedang bisniskan. Obat itu bisa meningkatkan kapasitas otak seseorang. Entahlah, saya tidak begitu mengerti tentang status obat tersebut. CPH4 akan dipasarkan di Eropa dengan cara memasukkan paket obat itu di perut para kurir. Setidaknya ada 4 kurir yang diculik dan dilibatkan secara paksa dalam kejadian ini. Lucy menjadi salah satu kurir cabutan itu. Obat-obat tersebut dibenamkan dalam (kalau tidak salah) rahimnya.

Saya senang film ini karena mengangkat betapa besarnya potensi manusia saat memaksimalkan kapasitas otak yang dimilikinya. Sejauh ini, manusia hanya menggunakan 10% fungsi otaknya, lebih rendah daripada lumba-lumba yang menggunakan 20% fungsi otaknya. Lalu bagaimana orang yang menggunakan 100% fungsi otaknya? Inilah alasan adanya film Lucy.

Lucy secara tidak sengaja menyerap obat yang diselundupkan di dalam badannya. Hal ini membuatnya bisa mengaktifkan fungsi otaknya dengan sangat optimal. Dengan demikian, ia dapat dengan mudah membaca, melihat dan mengetahui beragai informasi yang ada di sekitarnya. Saya paling suka adegan dimana Lucy bisa melihat seluruh informasi dengan menggunakan handphone di Paris. Keren. Seperti apa yang saya bayangkan saat dengan iseng memikirkan bagaimana bentuk sinyal dan informasi terkirim atau diterima oleh handphone seseorang. Tapi ada salah satu adegan yang paling tidak masuk akal menurut saya, yaitu saat sekelompok mafia Korea masuk ke ruang bedah para kurir cabutan. Di cerita sebelumnya, Lucy bisa mengontrol apapun dari jauh, tapi saat dia tahu para kurir terancam, mengapa ia malah memilih untuk nyetir ugal-ugalan, bukan menutup akses masuk-keluar di rumah sakit. Mungkin supaya ada adegan tabrak-tabrakan kali ya ~

Terlepas dari kekurangannya, seru juga ya membayangkan bahwa setiap hal di dunia ini adalah dampak sebab-akibat, meskipun saya masih meyakini ada andil Tuhan yang bisa mengubah rangkaian sebab-akibat tersebut.

Film ini bukan film tentang superhero, tapi ada karakteristik superhero yang dimunculkan. Sejauh ini, saya beri rate 8 untuk film ini. Daebak~
Read More

Friday, May 1, 2015

Random

Hari ini terlalu random. Mulai dari terkaget-kaget karena pas nengok dashboard blog ternyata ada sumber situs porno yang mengarah ke blog saya. Saya aja gak pernah nengokin situs porno, eh situs pornonya ujug-ujug muncul dan ngarahin orang-orang ke blog saya. Padahal isi blog ini hanya curcolan yang tak terhingga banyaknya. Mulai dari jaman alay sampai jamman alay lagi. Yah begitulah. Aneh pisan. 

Selanjutnya, saat iseng scrolling Facebook, LinkedIn dan Twitter, ternyata saya menemukan buanyaaaaakk sekali tebak-tebakan angka yang selalu dibubuhi: "Kalau anda jenius, pasti anda bisa memecahkannya." Lengkap dengan Einstein sebagai icon. Sebegitu ingin dibilang jenius kah? 

Mulai galau saat menengok akun CS saya. Sang host ganteng tiba-tiba tidak ada kabarnya sama sekali. Padahal hari ini adalah H-9 sebelum keberangkatan saya dan teman-teman kesana. Jadilah pagi ini dipenuhi dengan cek harga hostel disana. Tak apalah. Semoga lancar segala-galanya. 

Kejadian random terakhir, saya baru ingat ini tanggal 1 Mei. Seharusnya di bulan ini saya lagi-lagi pura-pura tidak tahu ada hari istimewa di dalamnya. Lalu dengan pura-pura bodoh menelepon seminggu kemudian dan berbincang panjang denganmu. Tapi, yasudahlah. Kata teman, setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya. Masamu sudah berlalu. 

Akhir-akhirnya selalu nayngkut kesana. Padahal sebetulnya tulisan ini tidak ditujukan untuk itu. Haha. 
Read More

Saturday, April 18, 2015

Berdoa

Kata orang, jika ingin dijodohkan dengan seseorang maka cara termudah dan paling masuk akal adalah mendoakan orang tersebut dalam setiap kesempatan. Tapi kata orang yang lain, banyak pula manusia yang berjodoh dengan orang yang tidak mereka sebut dalam doa mereka. Padahal kata orang lainnya, jika seseorang tidak berjodoh dengan orang yang ia sebut di dalam doanya, bisa jadi ia berjodoh dengan orang yang menyebut namanya dalam doa-doa orang tersebut.

Bagaimana jika ternyata sebenarnya jodoh kita sebenarnya bukanlah orang yang disebut dalam doa? Bagaimana jika ternyata orang yang sudah ditakdirkan bersama dengan kita bukanlah orang yang menyebut kita dalam doanya? Bagaimana jika ikatan sakral antar dua manusia turunan adam dan hawa itu hanyalah pemanis perjalanan saja? Bagaimana jika..

Rumit ya?

Saya tak pernah berani menyebut satu nama manusia di dalam doa. Terlalu khawatir ia bukan yang terbaik. Terlalu risau ia tak cukup kuat membersamai saya yang kurang baik.

Menyebut nama di dalam doa bagi saya adalah sebuah kemewahan. Saat pengkhususan kepada seseorang menembus tembok-tembok tak kasatmata yang bila diterobos sembarangan bisa menebal sedemikian rupa. Di balik tembok itu ada sebuah ruang yang bernama ruang pribadi. Dan doa ada ditengah-tengah ruangan itu.

Saat seseorang sudah disebut di dalam doa, rasanya orang tersebut sudah menembus bahkan menyatu dengan ruang pribadi orang yang mendoakannya. Namun perlu kau tahu pula, proses itu, bagi beberapa orang, cenderung tidak mudah. Ada masa yang tak bisa dijabarkan lamanya saat orang lain tidak menjadi orang lain. Ada banyak alasan dibelakangnya saat orang lain tetap menjadi orang lain. Ada banyak cerita saat nama orang lain itu bisa terucap dalam doa.

Mungkin bagi beberapa orang menyebut nama adalah ikhtiar, tapi beberapa orang yang lain tetap berdoa tanpa menyebut nama adalah sebuah keputusan.

Bagi saya, dengan yakin menyebut nama seseorang yang tak pernah saya tahu apakah ia jodoh saya atau bukan di dalam doa-doa adalah hal yang belum bisa saya lakukan hingga sekarang. Tembok itu mungkin dulu pernah runtuh, namun ruang pribadi dibaliknya masih belum tersentuh. Karena semua nama bak kumpulan premis yang tak hanya cukup diduga-duga, namun butuh pembuktian yang nyata. Karena jika nama itu ada dalam doa, tumpukan harapan indah sang pendoa akan segera pindah ke pundaknya. 
Read More

Mumpung Masih Ada..

Sering saya mendengar petuah yang mengatakan bahwa ada 5 hal yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya: hidup sebelum mati, masa muda sebelum masa tua, masa kaya sebelum masa miskin, masa lapang sebelum masa sempit, dan sehat sebelum sakit. Bagi saya, petuah ini perlu ditambahkan redaksinya, masa dimana orang-orang yang kita cintai ada sebelum tiada. Mungkin saja petuah tambahan saran dari saya ini sudah termasuk ke dalam 'hidup sebelum mati' tapi rasanya kalimat itu ditujukan untuk orang yang membaca, berbicara bahkan menulis petuah itu. Bukan orang-orang yang disekitarnya.

Baru-baru ini, seorang rekan kerja saya ditinggal pergi anak perempuannya yang baru berusia sekitar 3 tahun. Tahun dimana anak sedang lucu-lucunya, begitu kata ibu saya. Rekan kerja saya ini terpukul luar biasa. Ya iya lah, ditinggal putus pacar sebulan saja rasanya kiamat dunia, apalagi ditinggal anak yang sudah susah payah dibesarkan dan dicintai sepenuh hati selama bertahun-tahun.

Entah pasal apa, sejak dulu saya sering bertengkar dengan ibu. Wanita mulia yang seharusnya tak patut menjadi partner pertengkaran. Saya bercerita panjang lebar kepada seorang teman. Setelah mulut saya lelah merutuki nasib dan menceritakan betapa kesalnya saya kepada ibu, teman saya satu itu hanya berkata, "Nikmatin aja, Ki. Semua omelannya, komentar, bahkan sampai kalimat suruhnya akan kamu harapkan terucap dari mulutnya saat ibumu sudah tidak ada di dunia." Saya diam seketika. Saya mencintai sekaligus membenci mereka dalam satu waktu. Tapi saya lebih benci mendengar kalimat bahwa mereka juga manusia yang tak akan tinggal lama di dunia. Ya, mumpung masih ada. Karena yang ada seringnya terasa penting saat sudah tiada.



Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)