Tuesday, June 30, 2015

Kapan ke, Dari

Saya punya kebiasaan minta oleh-oleh yang bisa dititipkan kepada siapapun yang sedang bepergian. Saya tidak minta dibelikan gantungan kunci atau postcard bahkan coklat dan apapun yang bisa menambah biaya perjalanan teman saya membengkak (setidaknya bertambah). Saya gak setega itu. Saya hanya minta doa dan foto dari tulisan ajakan yang dipotret dari tempat terindah yang mereka kunjungi.

Proyek meminta oleh-oleh ini saya beri nama: Kapan ke, Dari.

Terimakasih a Indra, Tony dll yang sudah TIDAK LUPA ngasih oleh-oleh ini (soalnya kebanyakan malah lupa karena yang diminta bukan berupa barang. Hahaha).

Kapan ke Uzbekistan? Dari Tony.

Kapan ke Uzbekistan? Dari Tony.


Read More

Stabil

Stabil. Menurut KBBI, stabil berarti mantap, kuku, tidak goyah, tetap jalannya, tenang. Siapa sih yang tidak suka kondisi stabil? Ah ya, ada saja orang-orang yang menyukainya, mereka orang-orang yang mudah beradaptasi dengan perubahan. Bagaimana yang tidak? Itulah persoalannya. 

Beberapa waktu yang lalu ada seorang teman yang baru saja diterima bekerja secara temporal di sebuah perusahaan multinasional. Meskipun pekerjaannya sangat bertolak belakang dengan latar belakang pendidikannya, teman saya itu tetap memutuskan untuk mengambil tawaran pekerjaan tersebut. Namun baru seminggu, triger stress seolah-olah menghantuinya. 

Ia mengeluhkan minimnya arahan dari superior, rumitnya tugas dan dampaknya terhadap psikisnya. Saat itu saya baru tahu ada riwayat hyperstress yang pernah ia alami karena beberapa masalah di perkuliahan dan kehidupannya beberapa tahun yang lalu. Ia takut riwayat sakitnya akan terulang bila ia terus bergelut dengan pekerjaannya sekarang. 

Dengan pembawaan pencemas dan mudah stress itu ia merasa takut dan ragu dalam mengambil setiap langkah yang berkaitan dengan pekerjaanya. Sedihnya, selama ia bercerita entah berapa kali ia menyebutkan bahwa yang salah adalah dirinya. Masalah ini menjadi masalah karena kondisi internal dirinya tidak stabil dan rentan terhadap stress. Ia sadar itu masalah terbesarnya, dan ia sangat meyakini bahwa dirinyalah penyebab terbesar munculnya masalah. Mungkinkah kondisinya saat ini stabil? Jawabannya jelas tidak. 

Lalu, apakah kehidupan kita semua stabil? 

Saya pernah melihat meme menyebutkan, "Bila seluruh hal bisa kau kontrol, larimu tak begitu cepat."

Kutipan itu memang menantang. Mengajak setiap orang yang melihatnya optimis bahwa segala hal yang tidak terkontrol membuktikan kecepatan kita dalam melakukan sesuatu. Tapi bagi rekan saya itu mungkin akan berbeda. Kutipan itu bisa saja membuatnya mundur lalu meyakini dirinya memang tak bisa lari cepat karena lebih senang dengan keadaan yang terkontrol dan berada di zona amannya. Tujuannya untuk mengurangi pemicu stress dan perasaan tertekan yang tak terkendali. 

Sebetulnya teman saya itu hanya ingin didengarkan. Tapi saya gatal untuk tidak diam dan membuatnya merasa tersiksa karena kondisi yang menurutnya tidak stabil di area kerjanya. Menurut saya, mau tak mau ia harus beradaptasi. Bila dulu ia menyerah dan mundur lalu dibuat tak berdaya oleh kecemasan-kecemasannya, sekarang bukan waktunya lagi. Saya memberikan beberapa cara yang mungkin bisa mengurangi kecemasannya bila melakukan kesalahan. Cara yang cukup jitu di awal masa kerja saya. Karena menurut saya, perubahan akan selalu terjadi, mau atau tidak mau kita menghadapinya. Sampai kapan bisa merasa stabil kalau dunia sebenarnya tak pernah stabil? Bukankah hal yang stabil itu ketidakstabilan?

Kondisi stabil bisa dicapai dengan memodifikasi perilaku kita sendiri. Caranya seperti orang-orang yang pada umumnya lakukan: membuat list pekerjaan dan menargetkan setidaknya 1 hal kecil setiap harinya yang mendukung kepada kondisi stabil dalam bekerja yang kita inginkan. 

Saya pribadi merasa diri ini terlalu sotoy alias sok tahu. Tak apalah. Menenangkan manusia memang terkadang harus sotoy dan tidak sama pasrahnya. 

Setelah rekan saya itu selesai bercerita, lalu saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya terlihat tegar dan 'sehat' sehingga orang lain dengan mudahnya bercerita tentang keluh kesahnya yang hanya diceritakan pada orang-orang terdekat? 

Yah, begini lah nasib 'bermuka sawah tadah hujan dan bertelingan tempat sampah penampung keluh kesah."


Bandung, 30 Juni 2015


Read More

Saturday, June 13, 2015

Review: Gadis Pantai

Malam itu tiba-tiba saja saya ingin membuka akun twitter. Entah pasal apa, tiba-tiba saya sibuk membaca kicauan-kicauan dari @PramQuotes yang berisikan kutipan kata-kata bijak dari sastrawan ternama Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Tiba-tiba, saya menemukan akun @susastra_ dan ternyata akun ini menjual buku-buku Pram. Tertariklah saya pada paket buku bernuansa wanita: Gadis Pantai, Larasati dan Cerita Calon Arang. Sebetulnya, saya agak trauma dengan tulisan Pram. Sejak membaca Manusia Bumi dan satu lagi saya lupa judulnya, selalu saja ada bagian cerita tentang zina sang tokoh utama. Namun Pram dengan apik membalutnya dengan kata-kata yang menurut saya mengurangi kadar mesumnya. Berharap di buku itu tak ada hal negatif yang sama, akhirnya saya pesan paket murah-meriah tersebut. 

Paket datang sekitar 5 hari setelah pemesanan. Gadis Pantai adalah buku pertama yang saya baca. Cerita tentang brengseknya para priyayi yang pintar mengaji dan tak pernah absen sholat 5 kali sehari. Cerita tentang betapa dungunya para priyayi yang menjadi antek-antek Belanda lalu serta merta merasa diangkat Tuhan menjadi perwakilan-Nya di bumi Nusantara. 

Tersebut Gadis Pantai, gadis cantik yang berasal dari Desa Nelayan di Jawa Tengah sana. Ia dinikahkan bapaknya oleh sebilah keris. Benda yang mewakili salah satu priyayi untuk meminang gadis itu. Gadis itu baru 14 tahun, dan ia harus mau menjadi selir priyayi. Sialnya, gadis itu tak tahu bahwa dirinya hanya dijadikan budak seks pembesar penjilat Belanda saja. Ia tak tahu bahwa dirinya bisa saja dengan mudah ditendang dari rumah besar sang Bendoro karena pada dasarnya para priyayi belum dianggap sudah menikah bila ia menikahi gadis dari kalangan rakyat jelata. Itu hanyalah pernikahan latihan atau percobaan sebelum priyayi tersebut menikahi gadis keturunan priyayi juga.


source: bisikanbusuk.com

Plotnya apik dengan bahasa yang jarang saya temukan di buku-buku lainnya. Pram mengalirkan cerita ini dengan baik tanpa sisipan-sisipan cerita tak berguna yang ditujukan untuk menambah serunya cerita. Pram juga menggambarkan dengan gamblang betapa agama bagi banyak pejabat bak guci mahal yang diletakkan di ruang tamu. Hanya perhiasan. Hanya pelengkap. Pelengkap topeng berilmu mereka. 

Saya pernah membaca tentang tulisan yang membahas cara Belanda menaklukan Indonesia. Sayangnya saya lupa tulisan siapa dan dapat darimana. Disana dijabarkan bahwa masyarakat Nusantara yang notabene sudah terlalu terbiasa dengan sistem pengabdian dan kehidupan monarki, dimana raja dan pembesar-pembesarnya adalah segalanya. Rakyat rela mengabdikan diri mereka kepada raja secara cuma-cuma. Rakyat rela memberikan sebagian hasil panen mereka untuk kepentingan raja dan rengrengannya. Payung, baju kebesaran dan juga tahta maupun singgasana adalah simbol dari kekuasaan para raja dan pejabat-pejabatnya. Dengan cerdasnya penjajah memanfaatkan hal ini. Penjajah menggunakan kerajaan dan pemerintahan setempat sebagai pasak penjajahan mereka. Raja dijadikan boneka yang bisa memuluskan kepentingan penjajah di Nusantara. Bila para penjajah menyerang rakyat atau kerajaan, maka rakyat dengan segera akan menyerang dan tak mau takluk terhadap penjajah. Namun dengan cara menaklukan dulu kerajaan dengan memperhatikan simbol-simbol kebesaran kerajaan, rakyat akan cenderung tunduk dan takluk kepada raja mereka. 

Membaca buku Pram seperti membaca buku sejarah namun dihiasi dengan roman yang mencengangkan. Nyatanya, sifat binatang manusia sudah ada sejak lama. 


Ciparay, 13 Juni 2015
Read More

Secuil Cerita tentang Keluarga


Yeah, entah kenapa hari ini ingin bahas salah satu topik yang menurut saya termasuk privasi: keluarga. Sejujurnya, saya kurang merasa nyaman bila ditanya tentang hal-hal yang menyangkut tentang keluarga. Apalagi kalau baru kenal, eh udah nanya tentang keluarga, males deh. Tapi kali ini saya mau curcol tentang keluarga saya. Sebagai anak CEWEK pertama dari 6 bersaudara (adik saya gak ikut foto bareng karena belum balik dari tugasnya sebagai pelajar di Univ Al-Azhar, Kairo, Mesir), saya pernah merasa sangat malu dan sering berbohong saat ditanya jumlah saudara kandung. Dipikiran saya, angka 6 itu banyak sekali. Apalagi rata-rata teman-teman saya hanya 2-4 bersaudara, malah banyak juga yang jadi anak tunggal. Jadi saya sering bohong kalau ditanya jumlah saudara kandung. Saya sering jawab "punya adik perempuan dan adik laki-laki". Titik. Secara rasional sih betul ya, orang-orang yang dengar jawaban saya pasti mikir kalau saya 3 bersaudara, padahal mah 2 adik perempuan dan 3 adik laki-laki. Mwahahaha. 

Sikap aneh ini baru bisa mencair saat saya sudah merasa nyaman dan sangat dekat dengan banyak orang di angkatan saat kuliah. Itupun saat berstatus mahasiswa tingkat akhir. Mungkin karena makin dewasa, makin mendalam juga saat bercerita dengan teman. Jadilah hal-hal yang menurut saya rahasia tentang keluarga terbongkar juga. Terbongkar dengan sukarela tepatnya, alias saya suka curcol. 

Tapi masih sering ngerasa sakit hati sih saat ada orang yang komentar bercanda tentang jumlah saudara kandung saya. Mulai dari komentar, "Ortumu produktif ya" sampai "Gak kurang banyak adiknya, Ki?" Yakali, kalau saya boleh milih saya punya adik berapa, ya saya bakal pilih jadi anak tunggal keles, eh enggak juga deng. Seru juga soalnya bersaudara sama 5 orang adik-adik saya ini. 

Beberapa bulan yang lalu, saking sakit hatinya, saya masih ingat celetukan teman saya tentang hal ini dan menurut saya menyakitkan. 

"Ki, tahu gak, si X sama si Y jadian loh!"
"Oh ya? Baguslah, mereka cocok ini."
"Iya ya, si X kan anak kedua dari 2 bersaudara, sedangkan si Y anak pertama dari 2 bersaudara."
"Iya iya, pas ya.."
"Iya ya, beruntuk ya X."
"Beruntung karena?"
"Iya, sama-sama dapat yang cuma 2 bersaudara, coba sama kamu Ki. Kamu kan banyak saudaranya. Hahahaha"
"..............."

Sederhana sih, mungkin karena masalah seperti ini cukup sensitif untuk saya, mungkin juga saya yang terlalu sensitif dan gak bisa diajak bercanda. But it was hurt for me. 

Yasudah lah. Mari kita skip. 

Dulu, saya sering merutuki nasib kenapa saya harus lahir di keluarga besar. Saya sering ikut bingung saat biaya pendidikan saya dan adik-adik membengkak karena diminta secara bersamaan. Dulu saya sempat mikir putus sekolah saja dan bantu orang tua cari uang. Boro-boro dapat restu, malah kena damprat dari ayah dan ibu. 

Saya dibesarkan dengan pola asuh cenderung otoriter, meskipun akhirnya berangsur menjadi demokrasi. Saya sering dilarang untuk ini itu tapi juga sering didorong untuk melakukan ini itu yang lainnya. Percaya gak, saya sering ikut kontes fashion show, lomba menggambar, kaligrafi, mewarnai, sampai lomba menulis surat loh waktu kecil. Hahaha.



Ayah sering mengajak saya ke toko buku, perpustakaan atau tiba-tiba ngasih majalah dan buku untuk anak kecil. Saya diajarkan untuk menulis resensi, menulis cerita dan menulis puisi. Ada satu cerita yang sampai sekarang masih saya ingat. Dulu, saya sempat ikutan lomba menulis cerpen fantasi. Karena pemula dan kurang baca, tulisan saya minim komen dan sekalinya ada yang komen nyakitin hati. Pas saya cerita saya gagal ke ayah dan ibu, ayah dengan spontan bilang, "mana linknya, kasih tahu ayah gimana cara vote dan komennya, nanti ayah bantuin sebarin. Nanti bakal ada komen dari ayah sama yang lainnya." Nyooooosss, saya langsung mewek terharu. Hahaha. Sayangnya, ayah itu keras, umur 20-an saja saya masih sering kena pukul. Tapi yah begitu lah mungkin cara dia ngasih tahu yang benar dan salah. Tapi, hal itu juga yang kadang bikin saya sedih, kenapa ayah harus kasar dan sering marah-marah. Kalau kata ibu sih karena dulu didikan dari Mbah Kakung seperti itu. Saya jadi ketakutan sendiri, nanti anak saya bakalan saya galakin kayak gitu gak ya? Kan manusia kalau sedang marah selalu uncotrolled dan saya kayaknya sejak lahir udah galak. Hahaha. Ah entahlah. Kumaha engke weh lah. 

Ayah sama ibu sama aja sih, sama-sama keras. Tapi yaaa namanya juga ibu, gampang luluh dia mah. Ibu masih suka ngasih saya uang walaupun sedang marah ke saya. Namanya juga ibu-ibu kali ya. Saya paling sering bertengkar sama ibu karena beda pendapat. Tapi selalu lagi-lagi kembali membaik tanpa drama. Tiba-tiba ibu nyuruh saya makan padahal udah diem-dieman selama beberapa hari. Ibu itu wanita canggih millenium. Disaat saya gak bisa motor, dia mah udah kayak Valentino Rossie, ngebut sana ngebut sini. Otak bisnisnya selalu jalan. Saya diajarin jualan sama ibu, tapi emang dasar gak bakat kali ya, saya gagal mulu kalau jualan. Hahaha. Meskipun ibu jarang masak, sampai-sampai anak-anaknya protes secara kontinyu, tapi sekalinya masak, kayak orang yang selalu masak, alias enak banget. Ibu juga bisa bikin kue dan camilan-camilan lainnya. Pokoknya kalau ibu udah kambuh rajin masaknya, perut orang serumah bisa tentram pagi-siang-malam. Ibu juga pinter bikin baju walaupun jarang banget bikin baju buat anak-anaknya. Ah pokoknya mah ibu mah serba bisa. Meskipun ibu teman berantem saya, tapi ibu gak pernah nyakitin saya dengan kata-kata, "masa perempuan gak bisa masak, gak bisa ini gak bisa itu" dan kata-kata nyakitin lainnya. Waktu ibu minta saya masak, dia cuma bilang, "pengen dong makan masakan teteh." atau saat ibu ultah, "tuh ibu udah 49 tahun, tapi belum tua, soalnya belum punya cucu. Kalau udah punya cucu baru deh tua." Yekali kan, emak gue. 

Fyuuhh...nulis tentang ayah dan ibu itu butuh energi yang ekstra ya. Berat-berat gimana gitu rasanya. Tapi ya begini lah keluarga saya. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, saya merasa sangat bersyukur sudah ditakdirkan ada diantara mereka. Kami memang tidak sebaik yang terlihat, tapi juga tak seburuk cerita orang-orang yang tak suka dengan kami. Ayah dan ibu adalah salah satu sebab terbentuknya pribadi saya yang sekarang.

Terimakasih penemu internet dan pencipta blogger. Rasanya saya tidak pernah sanggup cerita langsung di depan orang lain secara lisan. Kalaupun sanggup, saya perlu siapkan tisu 1 pack. 

Ya, inilah secuil cerita tentang kotak 'unkown' saya. 

Ciparay, 13 Juni 2015
Read More

Saturday, June 6, 2015

Wanita Cantik vs Nasib Baik

Cantik. Hampir setiap wanita ingin menjadi cantik, menjadi menarik, menjadi berbeda dengan wanita lain atau sama dengan para wanita di atas rata-rata. Walau banyak juga wanita yang tak begitu ingin cantik, tapi rasanya agak mustahil rasa itu tak pernah muncul di hatinya. Supaya yakin dirinya tetap cantik, banyak wanita melengkapi bawaanya dengan make up dan cermin. Kau tahu, cermin dalam bahasa arab mir-atun. Sedangkan wanita dalam bahasa arab yaitu mar-atun. Mirip ya? Mungkin karena wanita suka bercermin dan cermin identik dengan wanita. Tapi saya tak akan bahas tentang sejarah cermin dan sejak kapan wanita suka bercermin.

Kembali ke cantik. Saya pernah membaca sebuah candaan dimana wanita selalu mengeluhkan kondisi wajah dan tubuhnya di setiap pagi saat bercermin. Sedangkan para lelaki selalu dengan PDnya meyakini 'kegantengan' mereka saat bercermin di pagi hari. Sebegitu ingin cantik kah wanita?
Namun saya selalu menemukan cantik tak saja identik dengan hal-hal yang menyenangkan. Bahkan ada yang bilang, 'beauty is pain'. Wohooo..

source: http://thumbs.dreamstime.com/


Teman saya, demi merasa rambutnya tetap cantik, ia rela pulang pergi ke salon dengan rutinnya. Ia coba ini itu. Mulai dari keriting rambut, gonta ganti warna rambut dan apapun yang disebut 'perawatan rambut'. Sialnya, terlalu sering ngotak ngatik rambutnya, rambutnya rusak dan harus rela menerima treatment khusus. Weh, tambah sering ke salon dan tambah pula pengeluaran. Beauty is pain...
Ada pula teman saya yang lain. Karena cantik, ia bak piala bergilir yang mudah berpindah dari pria satu ke pria yang lainnya. Dari mulai adik tingkat hingga kakak tingkat. Sesama angkatan sudah jangan disebut berapa orang yang sudah menjadi mantannya. Bahkan, staff fakultas pula sempat menggoda. Alamak, ngeri.

Teman saya yang lain. Senang dianggap cantik dan memang sadar dirinya cantik, tak pernah ia setia pada satu orang saja. Punya pacar satu serasa tabu. Punya pacar dua, kurang rasanya. Wajahnya penuh riasan yang pada saat itu saya masih tak habis pikir kenapa wanita harus berhias. Hahaha. Entah dia yang terlalu maju pikirannya, atau saya yang terlalu lugu dan bodoh. Ia putar banyak fakta dan kata, lalu ia buat kata dan fakta versi dirinya sendiri. Ia tebarkan kisah yang dibuatkan dengan mudah. Semudah menebar pesona kecantikannya ke banyak orang. Ruarr binasa. Haha

Ah masih banyak lagi teman saya lainnya yang terkadang membuat saya enggan menjadi cantik.

source: http://previews.123rf.com/
Entah benar atau tidak, Pramoedya Ananta Toer pun memaparkan betapa malangnya nasib wanita cantik di jaman dahulu. Dijadikan gundik, selir dan budak seks lelaki. Para priyayi masih dianggap belum menikah bila belum menikah dengan wanita dari kalangan priyayi. Pernikahan mereka dengan gadis-gadis lugu dari kampung dianggap sebagai pernikahan percobaan, berapapun banyaknya. Ah, padahal para priyayi itu pandai mengaji dan tak absen sholat 5 waktu. Buku Gadis Pantai membukakan mata saya betapa menjadi cantik tak pernah diinginkan oleh beberapa wanita. Betapa cantik menjadi hal yang bisa merendahkan wanita. Dianggap bisa mudah saja diperdaya.

Saya sering bercanda kepada Yudo, teman saya.

"Dho, gue bersyukur gak cantik. Kebayang ya kalau gue cantik. Pasti gue udah trauma pulang ngangkot jam 10 malem."

Teman saya itu seperti biasa menanggapi dengan kalimat yang kurang ajar.

"Iya, bersyukurnya cuma di momen itu aja kan? Sisanya?"

Saya hanya bisa manyun atau mengalihkan topik pembicaraan.

Ah, cantik. Mengapa pula wanita harus cantik? Harus menarik? Harus begini harus begitu.

Terimakasih Tuhan, Kau sudah paparkan dengan jelas nyatanya cantik tak begitu penting di matamu. Tapi, bagaimana caranya agar tak ingin jadi cantik? Karena nyatanya tak semua gadis cantik bernasib baik. Bilapun baik, hanya baik didepannya saja dan pahit diakhir ceritanya.



Ciparay, 06 Juni 2015

Read More

Sunday, May 31, 2015

Malaysia, We Are Coming!!! #4

Ternyata manusia itu manusia yang kami tunggu sejak tadi. Melati. Ia sudah menunggu lebih dari setengah jam yang lalu. Padahal kami sudah mengamati setiap orang yang keluar dari train sejak tadi dan tidak menemukan sosoknya. Ada yang lucu saat kami menunggu Melati. Ada dua orang bule wanita yang menggunakan dress berwarna hijau mencolok dan kuning mencolok. Warna stabilo. Kami hanya tersenyum saja. Ternyata ada yang iseng nyeletuk, "Nice color and nice dress, madam. You are so beautiful." Si bule dengan santainya tersenyum dan mengatakan terimakasih. Padahal kami tahu semua orang di sekitar dua wanita itu tersenyum dan beberapa tertawa karena warna baju yang 'sesuatu' sekali.

Setelah bertemu Melati, kami beranjak ke Petronas Twin Tower. Jam setengah 12 malam pun pelataran kantor Petronas ini masih ramai. Bule-bule juga pada norak ya kalau foto-foto. Segera kami buat tulisan supaya kekinian. Malah ada segerombolan bule yang bawa banner mini dengan tulisan. "you should be here!" Inspiratif ya. Saya jadi mau bikin. Hahaha.

Setelah foto-foto narsis dengan beragam pose disana plus mendengarkan Melati memainkan biolanya, kami pulang dengan berjalan kaki menuju Bukit Bintang. Asli jauh pisaan! Sebetulnya ada Skywalk yang menghubungkan KLCC dengan Bukit Bintang. Karena menurut informasi beragam pihak fasilitas umum itu sudah tutup dan tidak bisa digunakan, akhirnya kami berjalan menelusuri jalan. 

Akhirnya, kami sampai ke Jl. Alor tercinta dan moyoy cantik di hotel. Kami semua bertekad untuk berangkat jalan-jalan di KL jam 8 pagi karena harus check out jam 11 siang. Nyatanya tekad itu hancur lebur. Wkwkwk. Kami berangkat dari hotel jam 10 pagi dan itu sempat membuat Azka ngomel-ngomel lewat telepon. Haha. 

Karena keterbatasan waktu, akhirnya kami pergi ke Pasar Seni saja. Padahal Azka sudah wanti-wanti untuk mampir ke Merdeka Park. Disana kami bisa berpose di tempat sejuta umat sebagai pengganti Batu Caves yang tak bisa kami kunjungi. Menurut saya, Pasar Seni tidak terlalu menarik kecuali hiasan di Kasturi Walknya. Isinya hanya penjual oleh-oleh Ah ya, saya kurang merekomendasikan membeli coklat disini, rasanya enakan Chungky Bar. Hehe. 

Tak terasa, sudah jam 11.00 siang! kami harus kembali ke hotel dan pergi ke bandara. Disana kami sudah ditunggu oleh Pak Ron, beliau teman Pak Jamal kenalannya Ica. Akhirnya kami pergi menuju KLIA yang ternyata jauh dari hotel. Kami harus masuk tol untuk sampai kesana. Mungkin seperti bandara Soetta di Cengkareng. Eh iya, di SG dan MY, motor boleh masuk tol. Kami pernah mengomentari ini saat di SG tapi respon Pak Mahfud hanya, "Kasihan dong orang miskin gak boleh masuk?"

Hemm, tapi kebayang dong kalau motor boleh masuk tol, pasti pinuh pisan tol di Indonesia. Jumlah pemilik kendaraan roda dua di negara tercinta kan membludak luar biasa. 

Sesampainya di KLIA, kami berterimakasih kepada Pak Ron dan beliau pulang ke rumahnya. Kami langsung menuju imigrasi dan kejadian menyebalkan terjadi. Saya lupa kalau tumblr saya masih berisi air sisa perjalanan hotel-Pasar Seni-hotel. Petugas bea cukai berkicau dengan kalimat yang menurut saya menyebalkan sekali.

"Awak kalau nak buat kopi disini, belilah di kedai. Jangan bawa air minum." 

Dia mengoceh kesana kemari dan membuat saya mangkel. Begonya, saya jawab terus omelannya dia. 

"I forget if I have water inside my bag in my tumbler. No worry, I will never make any coffee in plane."

Melati dan Ica berbisik dan mencegah saya berkomentar lagi. "Gak usah diladenin sih," kata mereka. 

Entah emang PMS syndrome, saya yang mudah tersinggung atau memang petugas itu kurang ajar dan lebay. Intinya, saya kesal dan sebal. 

Kami mampir ke Dunkin' yang ada di tempat boarding kami. Pesawat delay dan tak ada air siap minum di bandara ini. Melati sampai menjuluki bandara ini pelit karena tak ada trinken Wasser alias drinkable water tak seperti di Bandara Changi dan Soetta. 

Saat menunggu pesawat, nama-nama kami dipanggil. Ternyata saat check in di mesin check in kami tidak melakukan scan paspor. Bwahahaha. Jadi, jangan lupa ya untuk scan paspor di mesin check in. 

Tak lama, kami masuk ke pesawat. Saya dan Melati duduk bersisian sedangkan Ica harus rela terpisah dan duduk di belakang kami. Aneh loh, padahal kursi di sebelah kami kosong. Selama perjalanan saya cenderung kurang nyaman. Sakit tenggorokan saya tidak membaik. Rasanya ingin batuk terus menerus dan perih. 

Sekitar 2 jam lebih di atas awan, akhirnya kami tiba di negeri tercinta Indonesia. Agak sedih ya, saat sampai di imigrasi kami tidak dibedakan dari pemilik paspor yang lain. Padahal waktu datang dari Begia akhir tahun lalu, rasa-rasanya saya ngerasa dipisahin dari pemilik paspor dari negara lain. Untungnya, proses ini tidak berlangsung lama. Saya dan Ica langsung pulang ke Bandung sedangkan Melati menunggu temannya menjemput karena dia akan tinggal di Jakarta sampai besok. Perjalanan Jakarta-Bandung nyatanya lebih lama daripada KL-Jakarta. 

Sesampainya di pool bus Primajasa di Batu Nunggal, saya di jemput Papski tersayang dan Ica dijemput pacarnya. Kontras ya? Haha. Da aku mah apa atuh, belum punya pacar #curcol

Sejam perjalanan ke rumah, saya sampai dengan selamat. Alhamdulillah. Nah, berikut kisi-kisi pengeluaran selama perjalanan SG-Melaka-KL. 

  • Tiket Bandung - Singapura: Rp. 199.000 + Rp. 75.000 (airport tax)
  • Hostel di Singapura           : 28 SGD/ orang
  • Singapore Tourist Pass     : 26 SGD (dibalikin 10 SGD saat kartu dikembalikan) + 2 SGD untuk deposito
  • Woodland - Johor Bahru   : 0,65 SGD
  • Jajan cendol                     : 4 RM
  • Bus Melaka-KL               : 10 RM
  • Tiket KL-Jakarta              : 83 RM

Nb: karena hotel selama di Melaka dan KL kami tidak bayar plus transportasi untuk ke Melaka dan ke KLIA kami juga tidak bayar, jadi begitu deh rincian pengeluarannya. Btw, rincian ini tidak termasuk oleh-oleh dan cemilan juga ya. Kurs SGD saat itu 9.900 IDR dan Kurs MY saat itu 3.800 IDR. Jadi 834.835 IDR + 378.300 IDR = 1.213.135 IDR total pengeluaran selama 8-11 Mei 2015

Ini cerita perjalananku, mana ceritamu?
Read More

Malaysia, We are Coming!!! #3

Sore di Terminal Bersepadu Selatan, kami lelah dan duduk senderan di samping tong sampah. Sedih ya? Hanya itu satu-satunya tiang yang ada terminal kosongnya dan tak bertuan. Ceileh bahasanya tak bertuan. Hahaha. Saat kami mulai lemas dan waswas karena makhluk bernama Melati yang memilih tinggal di Singapura lebih lama daripada ikut saya dan Ica untuk pergi ke Melaka belum datang juga. Tiba-tiba ada seseorang yang mencolek saya. Saya menoleh. Ternyata ada manusia cantik berkacamata yang tersenyum pada kami. Ooo em jiiii. Azka!

Kami pikir nasib naas kami hanya milik kami saja. Nyatanya, lebih naas lagi nasib Azka. Calon guide kami yang memang belajar di Malaysia ini sudah menunggu kami sejak jam 9 PAGI! PAGI loh PAGI!!! Sedangkan kami sampai di KL jam 5 sore. Fufufu. Sejenak melepas lelah perjalanan Masjid Jamek-TBS, kami mengobrol ringan. Tanpa diminta, Azka sudah bercerita panjang lebar tentang kegiatannya, kesibukannya dan pengalamannya ikut lomba debat antar negara di Qatar beberapa waktu lalu. Akhirnya paspor Azka kena cap lain selain cap imigrasi Malaysia dan Indonesia. Hahaha. 

Kami kelaparan. Tapi kebingungan saat ditanya, 'mau makan apa?' Akhirnya kami menuju restoran cepat saji sejuta umat : KFC. Haha. Awalnya saya ingin makanan yang tak bisa ditemukan di Indonesia. Sayang disayang, rata-rata harganya cukup membuat kami berpikir ulang. Akhirnya ke-KFC-lah kami menuju :D

Oh ya, kalau tidak biasa dengan nasi lemak atau lemang eh apalah itu, baiknya tidak memesan paket nasi. Karena kata Azka, nasi disana disesuaikan degan lidah orang-orang Malaysia. Tante Azka yang beberapa waktu lalu datang ke Malaysia pernah protes karena nasi di KFC seperti nasi basi yang basah dan lengket-lengket. Yaaa namanya juga selera orang di tiap negara beda ya.. Karena saya sedang manja alias males makan yang aneh-aneh dulu setelah berjalanan panjang Melaka-KL, akhirnya saya nurut apa yang disarankan Azka. Saya pesan ayam dan kentang plus spagetti. Rasanya saya bisa gendut mendadak kalau setiap pergi jauh nafsu makannya kayak kesurupan begini. 

"Kak, kalau di Indonesia, sering kan kita lihat tulisan kalau kita bakal dapat bonus apaa gitu saat kasir atau pegawainya gak senyum dan ramah. Nah, kalau disini gak ada tuh rumusnya begitu. Jadi muka pegawainya kayak kurang uang semua."

Saya tertawa mendengar lelucon itu. Tapi saya jadi mikir, ramah banget yaa orang-orang di Indonesiaaaa!!! 

Makanan kami datang. Dari segi rasa memang agak berbeda dengan KFC yang ada di Bandung. Apapun yang saya makan rasanya enak-enak saja saat itu. Lapar, jenderal!

Selesai makan, kami memutuskan untuk pergi terlebih dahulu ke hotel dan menaruh barang-barang disana. Masalah Melati sampai di KL jam berapa, kami pikirkan kemudian. Kami menggunakan Rapid KL. Konter pembelian tiketnya persis seperti konter pembelian MRT di Singapura. Kami hanya perlu memilih stasiun tujuan, jumlah orang dan bayar. Uang yang bisa dimasukkan ke mesin kalau tidak salah mulai dari 5-20 RM. Bila uang sudah dimasukkan, koin plastik Rapid KL akan keluar. Kami hanya perlu tap koin di tempat yang disediakan. 

Agak lama kami menunggu monorel datang. Akhirnya monorel yang kami tunggu datang. Kami kebagian tempat dudukk!! horeeee!!!

Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke stasiun Bukit Bintang. Ah ya, kami turun dulu di Hang Tuah untuk sholat sebentar. Eh ya, kisah Hang Tuah dan Hang jebat dan Hang-Hang yang lainnya cukup terkenal disini. 

Sesampainya di Bukit Bintang, kami harus mencari Jl. Alor. Wohooo pencarian yang melelahkan karena kami harus berjalan memutar karena ada perbaikan jalan di sekitar jalan. Sampailah kami di Apple hotel. Hotel yang ada di pinggir jalan yang penuuuuuhhhhh dengan penjual makanan di malam hari. Sungguh, Jalan Alor benar-benar hamparan kuliner malam yang tak pernah tidur. 

Hotel yang kami tempati menarik. Semua furniturenya selalu berkaitan dengan apel hijau alias apel Malang. Kamar kami di-upgrade oleh pihak hotel karena kebetulan hotel sedang penuh. Tak payah lah. Haha. Sesampainya di hotel, kami mengobrol ngalor ngidul sebentar. Disanalah saya tahu bahwa logat sok-sok-an Melayu yang saya pakai adalah Melayu Sumatera. Wkwkwk. Pantesan dapatnya harga turis terus. Padahal hanya beda 'kah' dan 'keh'. Yasudahlah, rejekinya si mamang dan si ibu yang jualan. 

Merasa cukup bugar untuk kembali jelong-jelong, kami menuju Petronas Twin Tower. Kami menggunakan Go KL Bus Green Line dari Bukit Bintang Bus Stop. Oh ya, kamu bisa naik Go KL Bus dengan gratis bila menggunakan Go KL Bus Green Line dan Purple Line. Untuk Blue Line kamu harus bayar. 

Sesampainya di Petronas Twin Tower, Azka ditelepon Melati. Katanya dia baru sampai TBS. Duilee.. 

Akhirnya kami janjian di statiun monorel KLCC. Kami menunggu cukup lama, hampir 2 jam. Azka tidak bisa menemani kami karena dia harus kembali ke Negeri Sembilan menggunakan train terakhir. Azka juga tidak jadi menjadi guide kami sebagai tamu agung di Malaysia, karena ada ujian 2 mata kuliah yang harus ia hadapi besok. Yasudahlah, kami cukup sotoy untuk keliling titik utama foto sejuta ummat di KL. 

Jam 11 malam kami masih belum bertemu Melati. Azka harus pulang. Saya dan Ica masih harus menunggu di depan penjaga tiket supaya mudah melihat orang yang masuk dan keluar train. Ah ya, penjaganya jutek banget mak!!! Kami tanya, "train terakhir sudah datang?" Dia jawab, "Tak tahu lah. Kenape? Coba tanya teman awak sudah sampai dimana dia."

Deziiig. Kalo bisa nanya gak akan nanya elo keles!

Hampir jam 12 malam dan kami masih belum bertemu Melati. Saya dan Ica memutuskan untuk menunggu di depan Petronas Twin Tower. Ternyata kami berpapasan dengan manusia yang kami kenal.

(Bersambung)

Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)