Tuesday, January 31, 2012

3 MENIT = 45.000

Semua berawal dari ke-kebluk-an gue di pagi hari tanggal 28 Januari 2012. Malam sebelum pagi itu gue udah ngerasa was-was dan deg-degan gak jelas. Satu hal yang gue takuti, TERLAMBAT DATANG KE STASIUN. Dan sialnya, segala sesuatu itu sesuai dengan apa yang dibayangkan dan diyakini oleh orang yang mengalaminya. Gue terlambat bangun pagi. Masih pagi sih, tapi paginya jam setengah lima, sedangkan jarak rumah gue ke stasiun bak perjalanan Bandung-Jakarta. Ya...sekitar 2 jam-an lah..maklum kawan, kampoang nan jauh di mato.

"Teh, jadi ke stasiun gak?" tanya ayah sambil menggedor kamar gue yang masih gelap gulita karena sang pemilik masih ada di dunia mimpinya.

"Emang jam berapa yah?" tanya gue masih dengan mata terpejam.

"Euuuhh...too late! Cepet bangun, jam setengah 5 nih. Bukannya kamu berangkat jam setengah 7?" Ayah menggedor pintu lebih keras.

"Wah?????!" 

Gue terkaget-kaget lalu menyibak selimut dan berdiri seketika. Kesusahan mencari saklar lampu, akhirnya mau gak mau gue buka kelopak mata kiri yang tadi masih tertutup nyaman saat kelopak mata kanan sudah cenghar.

Seperti biasa, grasak grusuk dan buru-buru mewarnai persiapan gue di pagi hari. Omaigatttt...demi apa gue susah banget berangkat subuh -_-

Setelah persiapan selesai, gue langsung pamit ke ibu negara dan buru-buru keluar bersiap dibonceng ayahanda tercinta. Ternyata oh ternyata, ayah dengan suka rela mampir ke pom bensin di tengah perjalanan, ganti oli sebentar dan langsung melesat lagi ke tujuan awal, Stasiun Bandung.

Ijah dan Yanti yang sudah datang di stasiun semenjak gue baru duduk nyaman di jok belakang ayah, sibuk sms dan sms. Sumpah, harapan gue saat itu hanya satu. Jam henpon itu kelebihan 20 menit atau kalau bisa lebih lama lagi! Lagi-lagi kenyataan berkata lain. Jam itu sesuai dengan waktu yang sebebarnya. Tak lebih dan tak kurang. Sial, tertinggal kereta sudah menjadi resiko yang ada di depan mata. Benar saja, tiba-tiba Yanti sms dan menyatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak seluruh bangsa, maka...haaahhh STOP! ngelantur deh kemana-mana.

Yanti ngasih kabar kalau kereta sudah berangkat tepat saat gue udah di depan stasiun! 

Rasanya tertinggal kereta ituuu...kayak terbang bersama paus akrobatik terus dijatuhin dari awan tepat di hamparan ladang kaktus (jika seandainya kaktus sengaja dikumpulkan dalam sebidang tanah untuk dijadikan ladang) Intinya, saat itu gue sedih, kecewa dan takut bilang ke ayah kalau sebenarnya gue telah tertinggal kereta.

Gue berusaha mengelabuhi ayah supaya pulang duluan dan meyakinkan gue bisa ketemu teman-teman gue yang sebenarnya sudah duduk manis di kereta sejak 3 menit yang lalu. Tapi mau ditutupin segimanapun, akhirnya bau bangkai tercium juga. Aneh, ayah gak marah sedikitpun waktu tahu gue ketinggalan kereta dan harus beli tiket pengganti. Hem, mungkin ini bonus atas kegalauan gue di pagi hari.

Inti dari cerita ini hanya satu. Time is money, ketinggalan 3 menit saja sudah harus keluar duit 45 rebu buat tiket baru.Ketinggalan 3 menit saja sudah harus menunggu berjam-jam untuk dapat naik kereta selanjutnya. Ketinggalan 3 menit saja sudah bisa membuatku lebih berpikir lagi untuk tidak terlambat walau sedetik. 3 menit saja sudah membuat hariku menuai hikmah yang takkan muncul bila kami memutuskan untuk naik bis antar kota atau bahkan kendaraan pribadi. 3 menit yang berharga, 3 menit yang priceless.

4 comments:

fanwrite said...

jadi perinsipnya lebih baik menunggu 3 tahun daripada ketinggalan 3 menit.
karena peluang kita untuk sampai ke tiga tahun lebih besar. dan kita ga punya peluang untuk sampai ke 3 menit.

Qeeya Aulia said...

Malah bingung kalau analoginya 3 tahun. Soalnya acaranya besoknya hheu

Logika aku belom sampe eum untuk prinsip 3 tahun itu :D

fanwrite said...

ya intinya lebih baik kita nunggu berapa lama pun waktunya, dari pada kita telat meskipun sebentar.

Qeeya Aulia said...

ooohh...betul betul :D
maaf ya loading hha

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)