Pagi tadi sama seperti biasanya. Udara terasa segar. Burung-burung masih riuh berkicau. Kendaraan roda empat hilir mudik di jalan kecil di desa kami. Hal yang tak biasa adalah pada kegiatanku pagi itu. Aku tak berkutat dengan setumpuk cucian di rumah bagian belakang. Bukan pula diam di depan laptop dengan kening berkerut dan pikiran yang tak karuan. Pagi itu aku dan adikku memutuskan untuk pergi dari rumah. Menuju jalan raya yang cukup jauh dari rumah kami.
Adikku memanaskan mesin motor. Aku mencari-cari sandal yang selalu malu-malu dan bersembunyi entah dimana saat akan kupakai. Setelah semuanya siap, kami berdua bergegas pergi keluar rumah dengan kendaraan roda dua itu. Tinggal dan berada di lingkungan dengan nilai kolektivisme yang tinggi membuat kami tidak bisa cuek bebek dan tak menebar senyum saat bertemu tetangga. Ya, walaupun kita tidak tahu siapa mereka karena tak pernah berinteraksi secara langsung, tapi tak ada yang salah menebar senyum kami yang memang manis :D
Jalan desa kami sedikit unik. Setengah aspal pas-pasan dan setengahnya lagi hotmix. Perjalanan dari depan rumah agak sedikit menyebalkan karena harus cekatan memegang dan menarik rem karena kondisi jalan yang cukup jelek. Seperti halnya proyek-proyek pembuatan jalan di tempat-tempat yang terpencil. Bagus di depannya saja, di ujung jalan entah bagaimana nasibnya.
Seperti tanggungjawab. Saat tangungjawab dipikul oleh seorang manusia yang mengajukan diri untuk memikul tanggung jawab itu, sepertinya semua orang yang mendukungnya akan selalu ada sampai di penghujung jalan nun jauh disana. Mereka benar-benar "terlihat" membawa cangkul dan berbagai perlengkapan membangun jalan lainnya. Meter berganti meter, beberapa meter pertama luar biasa bagusnya hasil kerja mereka. Sangat mudah membedakan mereka yang benar-benar ingin membantu dengan mereka yang hanya bisa berkomentar saja. Namun semua berubah di meter ke-40. Semua orang disana mengeluhkan bagaimana mereka bisa kerja dengan baik bila pasokan logistik yang dibutuhkan tidak tersedia. Semua orang meragukan kemampuan mereka membuat jalan puluhan meter jauhnya. Semua orang sudah bosan dengan pekerjaan-pekerjaan yang menghabiskan waktu mereka siang dan malam. Semua orang sepertinya sudah tak berdaya. Tapi pemimpin proyek harus tetap ada dalam posisi yang tak semakin menyulitkan mereka. Singkat cerita, proyek selesai. Setelah proyek itu selesai, tak pernah ada orang-orang yang mengungkit kembali permasalahan pembangunan jalan. Tak ada lagi orang yang berkomentar "uangnya dipakai apa sih? kok bikin jalan saja tidak becus" atau "bagaimana sih yang pegang proyek. Tidak menghormati pengguna jalan," dan sebagainya dan sebagainya.
Ah, menurutku hidup tak lebih seperti membangun jalan itu. Apalagi bila kita mendapatkan amanah dalam sebuah proyek, jabatan ataupun tanggungjawab yang sejenisnya. Fase pembangunan jalan yang kuceritakan tadi pasti terlewati. Lengkap dengan dinamikan permasalahan yang berbeda satu sama lain. Tapi itulah hidup.
Aku masih cukup takut menyatakan diriku telah mengambil banyak keputusan yang benar dan sesuai dengan kebutuhan maupun permasalahan yang ada. Aku masih jauh dari kata sempurna. Toh tidak kentut sehari saja bisa menangis, mana bisa aku sombong?
Lalu apa hubungannya dengan judul tulisan ini? Ah, sudahlah. Kau terlalu mengambil pusing banyak hal kecil :D
Ah, menurutku hidup tak lebih seperti membangun jalan itu. Apalagi bila kita mendapatkan amanah dalam sebuah proyek, jabatan ataupun tanggungjawab yang sejenisnya. Fase pembangunan jalan yang kuceritakan tadi pasti terlewati. Lengkap dengan dinamikan permasalahan yang berbeda satu sama lain. Tapi itulah hidup.
Aku masih cukup takut menyatakan diriku telah mengambil banyak keputusan yang benar dan sesuai dengan kebutuhan maupun permasalahan yang ada. Aku masih jauh dari kata sempurna. Toh tidak kentut sehari saja bisa menangis, mana bisa aku sombong?
Lalu apa hubungannya dengan judul tulisan ini? Ah, sudahlah. Kau terlalu mengambil pusing banyak hal kecil :D
0 comments:
Post a Comment