Suatu ketika aku berjalan beriringan dengan temanku. Kami melihat pawai demonstran yang dengan bangga mengibarkan bendera mereka. Memakai atribut kelompok, tapi abai pada pemakaian atribut wajib sebagai seorang pengendara dan penumpang sepeda motor. Mereka gaduh luar biasa.
"Gue penasaran sama mereka yang demo," kata temanku.
"Kenapa heran?" tanyaku.
"Mereka milih SBY gak ya waktu pemilihan presiden kemarin?" tanyanya.
"Mana gue tahu!" jawabku. "Kenapa?"
"Kalau gak milih SBY, kenapa gak malu ya nuntut SBY melakukan A B C D?"
"Eh?"
"Jadi begini, kalau gue milih SBY jadi presiden di pemilu presiden kemarin dan ternyata SBY tidak memuaskan espektasi gue terhadap dia, ya wajar dong gue nuntut?"
"Hm..."
"Kalau gue gak milih SBY jadi presiden, dan ternyata dia tidak memuaskan espektasi gue terhadap dia, ya ngapain gue protes?"
"Bisa sih, tapi kan kalau sudah dilantik menjadi pemimpin negara artinya ia sudah menjadi penanggungjawab umum segala hal yang berkaitan dengan negara ini. Ya mau gak mau, tetap SBY yang disalahkan atas kinerja dirinya ataupun bawahannya yang kurang memuaskan," jawabku.
"Iya juga sih, tapi tetap gak masuk di akal sehat gue. Haha."
Ah, sudahlah. Temanku itu memang ajaib. Memang benar, kenapa marah jika orang yang kau marahi tak menerima yang ia harapkan darimu (memilihnya)?
Aku tahu pendapatnya sangat rentan menuai perdebatan. Yasudahlah, kalau prinsip pemahaman yang ia yakini seperti itu, untuk apa aku debat? Haha.
0 comments:
Post a Comment