Setelah menyandang gelar S.Psi alias sarjana psikologi, hari berlalu dengan cepatnya. Beberapa hari setelah dinyatakan lulus melalui sidang munaqosyah, saya mendapatkan telepon dari salah satu perusahaan garmen yang pasarnya sudah merambah 5 benua. Menarik. Baru lulusa beberapa hari, sudah disodorkan tanggungjawab lain. Sebagai anak mamah dan papah (pake H ya!) yang baik, saya menceritakan itu semua kepada kedua orangtua saya. Ayah langsung menolak. Ibu juga. Saya? Sedih. Hahaha. Menurut saya tawaran itu keren sekali. Tawaran pekerjaan pertama di hari ketiga pasca menyandang gelar sarjana. Akhirnya saya menolak pekerjaan itu. Ada yang menarik dibalik penawaran itu. Sang empu pekerjaan mendapatkan CV saya dari sebuah biro psikologi. Saya pernah melamar menjadi tester alias fasilitator tes psikologi disana. Tidak ada jawaban dari biro itu, jawaban datang dari pihak lain. Kocak. Saya tidak akan pernah menyangka cerita 'hoki' ini akan muncul karena potongan cerita lain yang tak pernah disangka-sangka. Pesan nomor 1: cerita hidup kita itu terkadang seperti efek domino. Salah satu kisah bisa mengubah kisah lain setelahnya.
Pasca penolakan, saya iseng-iseng mengikuti banyak jobfair di Bandung. Berbagai jobfair saya coba. Berbagai situs untuk job hunter saya buat akun disana. Saya ingin bekerja. Mimpi untuk melanjutkan kuliah ditunda dulu karena satu dan lain hal.
Sebulan setelah lulus, panggilan interview dan psikotes berdatangan. Uniknya, tidak ada satu panggilanpun yang berasal dari jobfair. Tapi saya tetap rajin mengunjungi jobfair karena mendapatkan banyak item gratisan yang kalau dihitung-hitung lebih dari tiket masuk jobfair yang saya beli. Hahaha. Gretongan lovers. Pesan nomor 2: dimanapun Anda berada, manfaatkan kesempatan dan cari item gratisan. :-D
Bulan berganti bulan. Saya belum mendapatkan pekerjaan. Sebetulnya saya tidak sepenuhnya menjadi pengangguran. Di bulan pertama dan kedua setelah lulus, saya menyibukkan diri sebagai salah satu freelancer di perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Kerjaan saya tentu saja bertolak belakang jauuuuuuuh sekali dari disiplin ilmu yang saya tekuni. Cari pengalaman saja lah. Bulan ketiga dan keempat saya ikut penelitian dari sebuah LSM dan juga penelitian yang diadakan pihak kampus. Sebagai seorang freelancer, tentu saja saya masih bolak-balik kampus. Padahal teman-teman seangkatan sudah malu sampai mampus kalau ke kampus. Saya sih cuek saja, saya lupa saya masih punya malu atau tidak. Hahaha. Karena saya sering ke kampus itulah, saya mendapatkan informasi tentang proyek penelitian dari kampus ini. Dengan PD tingkat dewa saya menawarkan diri ikut serta dalam penelitian itu langsung ke koordinator enumerator. Taraaa, diterima :-) Pesan nomor 3: bergerak itu kebutuhan, bukan kewajiban.
Proyek penelitian selesai, kerjaan sebagai freelancer mulai muncul tenggelam. Saya menebar pesona melalui CV yang cukup menarik hati (setidaknya menurut saya). Saya rajin ikut jobfair kembali, bersama seorang teman yang juga aktivis jobfair. Lagi, tak pernah ada tanggapan positif dari begitu banyak perusahaan yang saya lamar. Bagaimana nasib saya yang belum dilamar? *apaini!!!!
Saya menghabiskan hari dengan mengajar di sekolah dekat rumah dan mengikuti aktivitas sosial dari komunitas yang saya ikuti dengan teman-teman seangkatan. Bulan keempat adalah bulan dimana saya sangat sering meminta uang untuk bepergian kepada Ibu. Ibu saya komplain. Pengeluaran saya selama mahasiswa lebih sedikit daripada setelah tidak menyandang gelar kehormatan itu lagi. Akhirnya saya mengurangi aktivitas keluar dan kembali aktif menjadi aktivis pesbuk, blog, twitter dan sosial media lainnya.
Tiba-tiba seorang kakak tingkat saya mengirimkan informasi tentang lowongan kerja di suatu tempat yang entah ada dimana. Salah satu syaratnya bisa berbahasa inggris secara aktif. Alamak, saya sadar diri. Saya putuskan untuk tidak melamar kerja disana. Iklan itu berlalu. Saya tidak mau tahu. Kakak tingkat itu mengirim pesan singkat melalui pesbuk. Ia minta CV. Saya berikan CV ketje yang menurut saya memesona tadi. Urusan diterima atau tidak, urusan belakangan.
Hari minggu saya menghabiskan waktu bersama teman-teman dengan jalan-jalan ke puncak gunung Rakutak. Perjalanan itu sukses membuat saya tidak bisa berjalan seperti orang normal pada umumnya. Persis seperti anak lelaki yang baru disunat. Senin pagi saya mendapat telepon dari seorang wanita, katanya saya diundang ikut psikotes dan interview di Bekasi. Saya bilang saya akan datang kesana. Orangtua saya sedang pergi ke luar kota untuk sebuah acara. Saya mengirimkan pesan ke Ayah. Meminta izin dengan bahasa yang tidak bisa dibalas tidak olehnya. Dengan kondisi kaki pengkor tak normal, saya pergi ke Bekasi. Dengan uang sisa proyek penelitian saya nekat pergi. Bekasi kota dimana teman-teman saya yang baik hatinya bertebaran disana.
Di perjalanan menuju Bekasi, ada telepon dari nomor kantor. Saya angkat telepon itu dengan malas-malas-merpati. Ternyata itu adalah undangan untuk ikut interview dari CV yang saya titipkan lewat kakak kelas saya. Singkat cerita, saya putuskan untuk tidak melanjutkan proses seleksi di Bekasi (padahal tinggal interview user) dan menerima pekerjaan di perusahaan yang menelepon saya di angkot tadi. Banyak kekurangan perusahaan ini, tapi selama saya bekerja disini (baru saja satu bulan lebih 2 hari), saya merasa tempat ini cukup tepat untuk membuat saya berkembang dan teraktualisasi.
Pesan nomor terakhir: Tuhan tidak bermain dadu. Bila tidak diterima di sebuah perusahaan atau terpaksa menolak pekerjaan karena orangtua tidak mengizinkan, bukan berarti harapan kita harus terputus saat itu juga.
Setelah hampir 5 bulan setelah Februari 2014 melanglang buana (ceileh bahasanya) mencoba berbagai kesempatan yang bisa dicoba, akhirnya saya sah menjadi karyawan swasta di salah satu perusahaan di Bandung. Semoga dimanapun kita ditempatkan kita bisa berkembang dengan maksimal.
Cheers.
0 comments:
Post a Comment