Sore ini saya masih membaca tumpukan diksi pilihan Agustinus Wibowo dalam bukunya, Selimut Debu. Ia mengisahkan perjalanannya di Afghanistan dan Pakistan dengan apik. Begitupun dengan negeri stan-stan lainnya yang lahir setelah runtuhnya Uni Soviet. Kemelut di negeri debu Afghanistan memang tak pernah berhenti selesai. Sebagai supplier opium nomor wahid di dunia, harusnya negara ini digdaya tiada tara. Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya.
Saat banyak negara sibuk menghujat maupun mendukung legalisasi pernikahan sejenis, suku Pashtun Afghanistan sudah sejak lama menjadikan murid-murid lelaki sebagai pelepas hasrat seksual mereka yang kemudian dibasmi oleh Taliban. Saat banyak negara mengasihani wanita-wanita Afghan dibalik burqo mereka, wanita-wanita Afghan tersebut berbalik mengasihani wanita-wanita yang harus bertelanjang padahal berbaju dan ikut berjibaku mencari uang untuk sebongkah berlian. Saat celana berbahan denim sudah menjadi hal umum di luar sana, di Afghanistan pakaian itu adalah pakaian orang kafir yang tak tahu apa yang diserukan agama. Disana, di tempat dimana kepala kambing lebih mahal daripada kepala manusia. Disana, dimana jubah Nabi Muhammad SAW dipakai oleh pemimpin Taliban yang keras dan kejam dalam satu waktu. Disana, di negeri debu bernama Afghanistan.
Ah, Afghanistan, sebegitu mengerikankah dirimu? Rasa-rasanya tak pernah ada kehidupan enak, nyaman dan tentram di Afghanistan.
Dekat dengan Afghanistan, ada Tajikistan. Cukup menyebrangi sungai, sampailah kita pada peradaban manusia -jika berpakaian rapi dan tak berjubah penuh debu itu disebut dengan peradaban. Segala hal yang ada di Afghanistan bak membuat manusia mundur puluhan dekade ke belakang.
Hal ini mengingatkan saya pada banyak hal. Pada perbedaan signifikan antara kabupaten dan kota Bandung. Antara pulau Jawa dengan pulau lainnya. Antara saya dengan kamu. Antara kami dengan mereka. Antara banyak hal yang ada di dunia.
Garis batas antara Kabupaten Bandung dengan Kota Bandung adalah jembatan layang yang ada di Jalan Mohamad Toha, yang sering disebut Perbas. Garis ini yang menentukan perlakuan pimpinan tertinggi sebuah pemerintahan kecil yang dekat dengan rakyat. Garis ini juga menentukan berapa nominal minimum regional yang bisa didapatkan para buruh pabrik. Manusia Kota Bandung boleh berbangga hari memiliki pemimpin macam Ridwan Kamil. Manusia Kabupaten Bandung boleh iri karena bupatinya terasa tak punya prestasi yang melejit bak tetangganya. Saat manusia kota menikmati beragam fasilitas dan mimpi yang direalisasikan oleh walikotanya, manusia kabupaten tak mau kalah pergi berkendara menuju kota. Bandungku. Ternyata ada juga garis batasnya.
Begitupun saya dengan anda. Banyak hal yang tak bisa kita sama ratakan. Banyak hal yang kita tak bisa saling mengerti satu sama lain. Lalu kenapa kita harus saling tahu dan saling mengenal? Tuhan memang selalu benar. Ia tak ciptakan manusia sama satu sama lain supaya otak setiap manusia itu bekerja. Bukankah itu kelebihannya? Manusia menggunakan otak untuk mengerti satu sama lain, tapi juga untuk memahami mereka tak pernah sama satu sama lain.
Kami. Siapa kami? Apakah saya termasuk kedalam 'kami' itu? Siapa yang boleh menjadi bagian dari 'kami'? Mengapa harus ada 'mereka'? Apa 'mereka' dibedakan seperti itu karena mereka berbeda? Lalu apa masalahnya bila mereka berbeda?
Ah, terlalu banyak perbedaan-perbedaan yang bertebaran di dunia ini.
Batas beda membuktikan bahwa dunia sangat berwarna. Beragam budaya, mindset dan sikap manusianya. Membuktikan bahwa dunia tak sebesar daun kelor dan kau tak sebesar yang kau kira. Lalu, mengapa terus memaksa orang lain sama padahal kita memang sudah ditakdirkan berbatas beda?
Bandung, 14 Juli 2015
0 comments:
Post a Comment