Sedih. Iya, saya sedih karena berakhirnya sesuati di bulan pertama 2017 ini. Berakhirnya mata saya menatap ungkapan-ungkapan sarkasme yang lucu dari Eric Weiner di bukunya The Geography of Bliss. Weiner adalah bapak-bapak yang tidak bahagia dan mencari kebahagiaan. Kebahagiaan kok dicari? Iya, saya juga heran dengan konsepnya. Buku tahun 2012 ini cukup pas dengan selera saya yang aneh. Isinya tidak sepenuhnya pernyataan sikap setuju tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebahagiaan yang Weiner temui. Perjalanannya dari Belanda hingga Miami memberikan beberapa insight yang tidak biasa.
Dulu saat video tentang betapa kecilnya manusia dibandingkan alam kosmik beredar di Facebook, saya merasa sangat kecil dan sadar (secara teknis) mengapa manusia memang tidak sepatutnya sombong. Lalu di buku ini, Weiner menuliskan bahwa manusia akan merasa lebih merasa berharga bila merasa menjadi bagian kelompok di alam kosmik, bukan hanya sebagai individu. Menurut saya ini menarik dan saya setuju dengan itu.
source: link |
Ada lagi pemikiran "itu bukan urusan saya" dari Moldova yang membuat orang-orang suram tiada dua. Weiner bilang kalau kepura-puraan sopan di Jepang lebih baik daripada kecuekan kejam yang orisinil dari Moldova. "Itu bukan urusan saya" adalah kalimat penyakit yang bisa membuat kita tidak bahagia. Lagi-lagi saya setuju dan saya rasa saya sejak dulu terpapar sakit jiwa jenis ini. Haha.
Selain itu, ada satu potongan cerita yang membuat saya bilang "Oh iya" dalam hati. Yaitu saat Weiner mewawancara para pendatang di Asheville, California Utara. Kota ini cantik, dekat dengan pegunungan dan tidak terlalu banyak masalah perkotaan di dalamnya. Kota ini memiliki udara yang sejuk dengan penduduk dari berbagai negara. Kita bisa menemukan restoran asia sangat mudah disini. Daya tarik berupa perpaduan alam-budaya-udara yang sejuk yang tak bisa ditolak oleh siapapun yang datang kesana.
Weiner bertanya kepada setiap orang yang bilang kalau mereka jatuh cinta pada Asheville yang membuat mereka pindah kesana selama bertahun-tahun, "Dimana kamu ingin mati?"
Semua orang tidak menjawab Asheville sebagai jawabannya. Artinya, mereka tidak benar-benar jatuh cinta dengan kota itu. Menurut Weiner itu berbahaya karena sama saja menaruh satu kaki di luar untuk berjaga-jaga bila ada sesuatu yang buruk terjadi dan tidak benar-benar mencintai sesuatu yang bisa berakibat selalu mencari pembanding dari yang sudah ada dan tidak benar-benar mensyukuri yang sudah dimiliki.
Source: link |
Baru kali ini saya merasa sedih membuka bab terakhir dari sebuah buku. Ini toh rasanya sedih baca buku terakhir dari serial Harry Potter yang teman saya rasakan beberapa tahun yang lalu. Dulu saya rasa hal itu lebay, tapi ternyata saya ngalamin juga. Wkwkwk. Saya tidak percaya karma. Ini mungkin cara Tuhan memberikan pengalaman lain untuk saya.
Berdasarkan buku ini, bahagia itu tidak usah dicari tapi dirasakan dari apa yang sudah kita miliki. Selain itu, terkadang memaklumi dan menerima ketidaksempurnaan juga bisa menambah rasa bahagia yang kita miliki. Man pei lai! Ya sudahlah.
Menurut saya, dari skala 1-10 buku ini berada di nomor 9. Saya merasa cocok dengan gaya penulisan Weiner yang blak-blakan. Selain itu, saya suka caranya membahas beragam penemuan psikologi positif yang baru saya dengar sebelumnya. Saat baca buku ini, saya sempat berpikir mungkin ini lah alasan mengapa dulu saya sempat tertarik dengan kajian psikologi positif seperti flow, happiness, subjective well-being, dsb dsb. Jadi saat baca buku ini saya gak blah-bloh teuing. Gitu lah.
“Money matters but less than we think and not in the way that we think. Family is important. So are friends. Envy is toxic. So is excessive thinking. Beaches are optional. Trust is not. Neither is gratitude.”
Ciparay, 28 Januari 2017
0 comments:
Post a Comment