Thursday, December 24, 2020

Cita-cita

Dulu saat masih kecil sangat mudah menyebutkan cita-cita. Tidak pernah ada beban apa yang diucapkan harus sesuai dengan kenyataan. Menyebutkan cita-cita seperti menyebutkan makanan kesukaan. Mudah, lugas dan seringkali lebih dari satu. Saat kecil rasanya mungkin menjadi apapun. Orang tua cenderung selalu mendukung dan mengamini apa yang diucapkan. Bisa menyebutkan "ingin menjadi dokter" saja sudah membuat orang tua bangga. 

Tak pernah ada waktu untuk memikirkan dengan matang apa yang bisa kita sebut sebagai cita-cita. Hidup berjalan begitu saja. Ada yang dipaksa untuk menjadi profesi tertentu, ada yang berjalan mengikuti alur yang membawanya, ada juga yang kebingungan dan hilang arah, entah mau jadi apa kedepannya. 



Cita-cita kita seringkali merupakan manifestasi dari cita-cita orang tua, begitupun orang tua kita, banyak dari  mereka yang hidup untuk menghidupkan cita-cita dari kakek nenek kita. Ada yang sukarela mengikuti, ada juga yang memberontak dan melawan demi mengikuti kata hati. 

Saat menjadi dewasa, kita mulai sadar bahwa cita-cita tak semudah itu diucapkan. Akan ada runtutan pertanyaan yang menghadang apalagi jika tidak sesuai dengan harapan. 

Mengejar cita-cita juga kadang penuh zona abu-abu. Standar ketercapaiannya tidak jelas sepenuhnya. Setiap orang bisa mendefinisikan terpenuhinya cita-cita dengan macam-macam cara. Cita-cita pun bergeser dari profesi menjadi aktivitas nyata yang mudah dicapai sekejap mata. Dari mulai jalan-jalan ke luar negeri sampai makan apa hari ini. Cita-cita yang dulu terlihat agung, sekarang mengerdil dan semakin sederhana. 

Tapi seberapa penting sih cita-cita?

Kata orang, gantungkan cita-cita setinggi langit. Jika jatuh, ia akan tersangkut di bintang-bintang. Tapi kenapa harus setinggi itu? Kenapa harus mencari ancang-ancang untuk jatuh?


Bandung, 24 Desember 2020


0 comments:

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)