Friday, June 3, 2011

JALANAN ITU PUN KINI SEMPAT BERUBAH

Sore kemarin adalah salah satu masa terpanjang yang ku rasakan selama beberapa pekan ini. Pasalnya perjalanan kampus-kosan yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu 30 menit berkembang biak menjadi +2-3 jam. Kau tahu kenapa kawan? Semua itu terjadi karena satu hal. Fenomena alam yang sangat biasa terjadi di Negara ini. BANJIR.
Ya, Banjir. Semua itu berawal dari hujan deras yang mengguyur kotaku tercinta, Bandung, selama beberapa jam. Aku dan rekan lainnya tak pernah menyadari apa sebenarnya yang terjadi di jalanan sana karena masih berkutat dengan ceramah panjang lebar dari beberapa rekan dan dosen pada saat itu.

Jam 16.30 WIB, aktivitas kuliah sore itu selesai sudah. Sepertinya langit tahu apa yang kami idamkan, hujan deras itu pun reda perlahan.

Setelah sholat Ashar kami bersiap untuk pulang, namun sayangnya langit kembali menangis. Tapi itu semua tak jadi masalah, karena kebanyakan dari kami membawa payung.

Memutuskan naik TMB, Damri ataupun Angkot itu tidak mudah bagiku dan teman-teman (Eli, Nisa, Emmot, Zein, Adlin, Dina, Ca’i dan Amel). Karena ada berbagai kemungkinan yang harus kami rembugkan kembali dan semua itu membuat proses pulangnya kami ke kosan menjadi lebih panjang.
Setelah beberapa menit berunding, keputusan di ambil. NAIK ANGKOT. Tak lama kemudian angkot bertuliskan CICADAS-CIBIRU (Panyileukan) berhenti tepat di depan kami. Dengan sukacita kami naiki mobil tersebut dan yakin perjalanan akan menjadi lebih singkat.

Mobil itu di penuhi berbagai canda tawa dan cerita dari beberapa orang ricuh yang ada di dalamnya. Kami seperti orang autis yang tidak pernah perduli apakah orang lain di dalam sana nyaman dengan apa yang kami lakukan, obrolkan (bahkan tertawakan) ataupun tidak.

Seperti pada sore-sore sebelumnya, jalan Soekarno-Hatta memang menjadi penghambat menjadi lebih singkatnya perjalanan para manusia yang berkepentingan disana. Mobil yang kami tumpngi berjalan perlahan, tersendat-sendat dan cenderung seperti keong.

Ah, sungguh. Hal seperti itu saja sudah membuatku ingin membuka jalan baru di atas mobil-mobil yang mengantri itu.

Kami kira kemacetan yang terjadi disebabkan oleh tumpah ruahnya mobil di jam-jam pulang kerja dan sekolah,ternyata kami salah total. Ada ribuan liter air coklat disana. Menyambut setiap kendaraan yang melewati jalan dengan penumpang yang kebingungan di dalamnya..

Aku tak tahu, dimana para pahlawan yang disebut polisi saat itu. Yang ku tahu disana banyak sekali remaja tanggung dan anak-anak kecil. Mereka menawarkan otot mereka untuk mendorong dan membantu para sopir mobil ataupun motor untuk mengarungi laut dadakan yang terhampar sepanjang perempatan menjelang Gedebage.

Angkot yang kami tumpangi di dorong oleh lebih dari lima anak kecil dan remaja tanggung karena mesinnya mendadak mati. Kami yang tadinya bercerita, ceria penuh canda tawa kini was was takut diturunkan di tengah luapan air coklat itu.

Beberapa teman mengumpulkan uang untuk anak-anak penjaja kekuatan yang mendorong mibil yang kami tumpangi, sedangkan aku hanya bisa tersenyum miris karena uang di dompet hanya tinggal selembar lagi.

Andai kami pandai menghitung jarak mobil itu di dorong oleh gerombolan kecil yang pintar mencari peluang, mungkin bisa kami taksir bahwa jarak yang kami tempuh lebih dari 350 meter. Aku sendiri tak habis pikir, ternyata mereka begitu kuat.

Perjuangan kami menyemangati pak sopir yang berusaha keras menghidupkan mesinnya dan gerombolan pendorong mobil itu di jawab dengan kepulan asap dari accu mobil yang sepertinya mengatakan bahwa ia tak sanggup lagi untuk hidup.

Akhirnya dengan berat hati kami harus merelakan diri untuk turun ditengah-tengah luapan air coklat menjijikkan itu.

Perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki di lahan pembatas yang menyerupai kebun rumput dan putri malu di tengah-tengah jalan raya empat jalur yang saat itu berubah menjadi tak lebih dari kolam ikan lele.

Pada awalnya semua seperti berjalan baik-baik saja. Namun perlahan situasi tidak mengenakkan tersebut menyebabkan masalah.

Kami berjalan beriringan disana melewati mobil-mobil mewah, angkot bahkan motor yang mogok. Aku berjalan di belakang dua orang temanku bersama seorang anak SMA yang katanya baru selesai mengerjakan tugas di rumah temannya.

Tiba-tiba air yang keluar dari knalpot motor dan dengan tepat menyemprot muka salah satu temanku yang berjalan sebelum aku dan anak SMA itu. Reflex, temanku itu marah-marah tak karuan. Namun naas, “sang tersangka” tidak merasa bersalah sama sekali. Ia tidak meminta maaf bahkan kembali menggerung-gerungkan motor sialannya itu. Tak ayal kami semua menahan tawa dan sibuk menyalahkan pemilik motor tak sopan yang sialnya bertemu kami kembali setelah urusan antara ia dan motornya selesai.

Bukan pengendara motor itu yang akan ku ceritakan disini, karena itu sangat tidak penting, lebih tepatnya karena aku juga tak tahu dan tak mau tahu bagaimana kelanjutan cerita orang aneh itu. Jadi, kau tak perlu tahu bagaimana kelanjutan cerita menyebalkan antara ia dan temanku.
Perjalanan yang kami lakukan dengan berjalan itu mengalami beberapa perubahan jalur. Mulai dari berjalan di atas lahan pembatas jalan lalu berganti menjadi berjalan menantang antrian kendaraan di jalur dengan arah berlawanan yang pinggirannya tak dipenuhi pengendara roda dua (arah ke Leuwi Panjang, Samsat ataupun Metro ^^ ) sampai akhirnya kembali ke jalur di mana seharusnya kami berjalan, yaitu di pinggir lahan pembatas jalan raya itu dengan arah yang kami tuju (arah ke Cibiru).

Karena mulai kelelahan, kami menepi dan berembug untuk memutuskan bagaimana kami harus mengakhiri perjalanan yang melelahkan ini. Namun sayang, seperti pada perundingan-perundingan sebelumnya, kami tak pernah mendapatkan keputusan dengan cepat. Akhirnya aku dan seorang temanku berjalan terlebih dahulu karena lelah menunggu kesepakatan yang tak berujung. Asal kau tahu kawan, lebih baik menggendong ransel berat sambil berjalan daripada hanya berdiri dan diam ditempat, karena dengan berdiri dan diam di tempat akan lebih terasa beratnya.
Akhirnya kami berjalan sambil menunggu angkot-angkot yang selamat dari luapan air coklat itu. Tak terasa jarak antara aku dan temanku sudah tak terukur lagi. Kami berdua sudah sampai di belokan tempat tulisan POLDA berwarna hitam dengan latar kuning berada. Namun ketika melihat ke belakang tak ada satupun dari teman kami yang lain tersisa.

Well, firasatku mulai buruk. Tapi tak lama kemudian ada angkot Majalaya-Gedebage yang berhenti tepat di seberang tempat kami berdiri. Kami berjalan mendekati angkot itu tapi urung masuk karena takut teman yang lain masih berjalan jauh di belakang kami.
Sekitar lima menit berlalu, akhirnya kami putuskan untuk menaiki angkot itu saja, ternyata semua teman kami yang kami kira tertinggal jauh dibelakang sudang duduk manis dengan wajah lelah di dalam angkot itu. Hem, lega rasanya.

Salah satu dari teman yang sudah terlebih dahulu naik angkot itu berkomentar tentang betapa cepatnya aku dan temanku itu berjalan. Tapi karena fisikku demikian lelah, dengan sedikit membentak aku katakana bahwa aku tahu aku salah dan aku tak ingin dimarahi lagi. Kau tahu kawan? Ketika fisik kita lelah, kontrol emosi negatif kita ikut melemah (ini hanya teoriku, tak usah kau ambil hati). Dan itu yang kurasakan saat itu. Namun aku sangat bersyukur karena perjalanan itu kembali berlalu tanpa konflik yang berkelanjutan, setidaknya secara kasat mata begitu.
Perjalanan pulang dengan perpindahan angkot itu berakhir hanya dengan anti klimaks yang kurang mengenakkan. Akhirnya kami sampai di bundaran Cibiru dengan wajah kuyu, celana kuyup dan mata yang sepertinya hendak terpejam saat itu juga. Perjalanan menuju kosan diteruskan dengan berjalan dan berhenti beberapa kali untuk membeli sesuatu yang bisa menenangkan konser cacing yang ada di perut kami.

Ya, cerita pun berakhir disini. Kami akhirnya sampai di tempat peristirahatan masing-masing.
Ada sedikit hal yang ingin ku catat disini. Dari kejadian ini aku dengan sembarangan menarik kesimpulan: Semakin banyak yang tidak perduli pada kegiatan buang sampah pada tempatnya, Semakin banyak sampah dimana-mana, Semakin banyak aliran air yang tersumbat, Semakin sering banjir, Semakin sering jalan bagus yang rusak, Semakin tidak perduli Pemerintah maupun masyarakatnya terhadap kesejahteraan penduduk setempat karena terlalu carut marutnya keadaan.

Seperti kata temanku yang selalu semangat mengajak untuk buang sampah pada tempatnya, AYO KITA MULAI DARI DIRI KITA SENDIRI DENGAN TIDAK MEMBUANG SAMPAH SEMBARANG!

Tapi ada satu hal lagi yang perlu dipertanyakan, sudah benarkah tempat sampah yang ada saat ini? Yang kulihat memang ada tempat sampah dibeberapa tempat, namun cenderung sulit menemukannya dimana-mana, jadi bagaimana dapat membuang sampah pada tempatnya? Kecuali mungkin jika setiap orang mau membawa tempat sampah portable berupa apapun kemana ia pergi. Dan aku juga sering melihat ada tempat sampah, namun sampah yang dibuang disana seperti diternakkan, meluap kemana-mana dan tidak di tanggulangi lebih lanjut. Well, sampah memang sudah menjadi ancaman umum. Jadi, ayo kita coba untuk memperbaikinya secara perlahan dari diri kita sendiri.

Cipadung, 28 April 2011
Di tengah kegalauan penyelesaian resume yang tak kunjung selesai.
Read More

Thursday, March 17, 2011

Kamar hijauku

Hari ini, entah hari keberapa saya berkemah di luar rumah sebagai anak kos. Kenapa saya katakan berkemah? Karena kamar ini rasanya sudah seperti tenda di perkemahan yang hanya dihuni oleh empunya di pagi dan malam hari saja. Sebenarnya memang terlalu jauh jika dibandingkan dengan perkemahan, tapi saya teringat sejenak pada salah satu guru super hebat saya, KH. Dr. Ahmad Hidayatullah Zarkasyi, M.A. kata beliau (kurang lebih) seperti ini, “Kita ini hidup di dunia hanya berkemah saja. Sejenak menetap disini, sejenak berada disana, dan dimana-mana. Bahkan ada yang jam 8 pagi ada di Sumatra, jam 11 pagi sudah ada di Surabaya bahkan esoknya sudah ada di Dubai sana.”

Ya, hidup itu hanya berkisar masalah “menginap” saja. Toh, sudah bukan rahasia lagi jika lebih banyak orang yang “hidup” di luar rumahnya.
Kembali ke cerita saya tentang kamar kos bercat hijau ini. Tempat ini hanya berpenghuni dari sekitar jam 18.00 – 09.00 WIB, sisa waktunya ia bertemankan lampu yang padam dan pintu yang terkunci.

Terkadang saya ingin tahu, apa sebenarnya yang ia rasakan. Kesepiankah? Merasa jengkelkah karena berteman manusia hanya jika sang penghuni membutuhkan tempat peristirahatan saja? atau mungkin ia merasa sangat gembira setiap orang itu pergi darinya dan membiarkan senyap menyelimuti?
Entahlah, mungkin hanya ia yang tahu. Dan perlu saya tekankan, ia hanya benda mati yang tak bisa berbincang-bincang dengan manusia yang notabene hidup dan semua system dalam tubuhnya berfungsi secara integral, kecuali mungkin untuk mereka yang memang mempunyai gangguan waham (efek kuliah Psikologi Abnormal :P).

Sebenarnya tulisan ini tak lebih dari rasa syukur betapa saya masih beruntung. Mempunyai atap yang kuat untuk melindungi diri ini dari hujan dan angin (kebetulan Bandung akhir-akhir ini membuat gigi saya beku :D). Mempunyai kesempatan tidur sendiri ketika orang lain sibuk berdempetan dan saling sikut karena kesempitan. Mempunyai beberapa fasilitas yang memang tidak mewah tapi tetap bermanfaat (Insya Allah). Dan masih mempunyai banyak hal dimana orang lain masih bermimpi untuk mempunyainya.

Nuhun Gusti, sudah memberikan sebegitu banyaknya nikmat dan hal-hal yang perlu disyukuri keberadaannya, meski kadang lebih sering meratapi kehilangannya daripada menjaganya selagi mereka ada.

Teruntuk kamar hijauku dengan berbagai macam benda di dalamnya, seribu ucapan terimakasih dari relung hati terdalam. Terimakasih sudah membuat hari-hari ini terlewati dengan mudahnya. Terimakasih karena dengan adanya kalian saya masih bisa merasa lebih daripada orang lain. Dan satu lagi, terimakasih karena telah sempat menjadi sahabat hati n_n. Jeongmal gomawoyo .

Banyak cerita yang terjadi selama beberapa bulan saya disini. Mulai dari lampu kamar yang tiba-tiba berkedap kedip bak bintang dan lampu disko sampai kepala tikus yang habis di bantai kucing liar terdampar di atas keset yang tak bertuliskan “welcome”.

Banyak teman yang saya dapatkan, banyak cerita yang saya dengarkan dan banyak rasa syukur yang saya ucapkan disini.

Entah ini sebuah jawaban Tuhan dari do’aku yang mungkin sudah kulupa atau memang cara-Nya untuk memberiku berbagai pelajaran yang sering membuatku jera. Entahlah. Tapi sungguh saya sangat berterimakasih atas segalanya.


Kamis, 17 Maret 2011 . 19.46 WIB
Ditengah semilir wangi aroma chicken Yakiniku ala Ikimura di kamar hijauku.
Read More

Monday, March 7, 2011

“RIN, KAU BAIK-BAIK SAJA?”

Aku benci tatapan itu. Sunggguh. Benci karena aku tak bisa bersikap seperti yang aku inginkan. Bersikap kasar padamu dan berkata “Aku benar-benar muak!”. Tapi, aku tak bisa. Entah karena apa. Karena kau kini ada di dekatku, kah? Atau karena memang aku tak pernah membuka topeng manisku di hadapanmu? Argh, kau terlalu membuatku merasa bodoh, merasa lemah dan merasa tak berdaya.

“Rin, kau baik-baik saja?”
Suara itu menghancurkan kembali kata-kata jahat yang sudah ku susun.
“Hem..”, aku mengangguk lemah.
“Baik kalau begitu, aku pergi dulu”, pamitnya.

Aku menatapnya tak percaya, bahkan kami tak menghabiskan waktu lima menit untuk bertemu dan ia hanya berkata “Rin, kau baik-baik saja?” lalu dengan mudahnya meninggalkanku begitu saja?! Cih, menjijikan! Selalu seperti itu.

Ia tersenyum membalas tatapan tak lazim dariku seraya berkata, “Nanti ku usahakan untuk menghubungimu lagi.”

Dan sosoknya pun hilang di tengah keramaian di luar café tempat kami bertemu tadi.
Sungguh, aku tak tahan lagi. Tak tahan ingin memakinya. Tak tahan ingin mencacinya. Juga tak tahan untuk memeluknya. Ya, aku rindu. Aku merindukannya lebih dari apapun dan siapapun di dunia ini (mungkin).

Tetes demi tetes air mata yang sedari tadi ku tahan kini mengalir dengan derasnya. Beberapa pelayan yang hilir mudik mengantarkan pesanan menatapku iba, namun kubalas dengan delikan tajam sampai mereka menjadi salah tingkah.

Kutangkupkan kedua telapak tanganku di muka. Ku atur nafas sedemikian rupa. Kuseka air mata dengan beberapa helai tisu yang tersisa. Ingatan demi ingatan berkelebat hebat dan cepat, lebih cepat dari yang kuinginkan. Lebih detail dari yang pernah kuingat sebelumnya. Tapi sayang, ingatan dan kenangan yang berkelebat hanya kenangan bersamanya, kenangan aku bertemu dengannya, kenangan berbagai kebaikannya.
Ya, dulu Ia begitu manis, begitu baik, terlihat begitu sayang padaku. Tapi mungkin itu hanya kamuflase saja. Buktinya, tepat setelah Ia bilang mencintaiku, sikapnya berubah.tidak begitu manis seperti dulu, tidak begitu baik bahkan tidak terlihat sayang padaku.

Ia tak pernah bertanya apapun tentangku lagi. Hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari mulutnya, “Rin, kau baik-baik saja?” CUMA ITU!

Ia tak pernah ingin tahu bagaimana kehidupanku setelah ia dengan mudahnya pergi dan datang pada saat yang ia inginkan. Ia tak pernah ingin tahu bagaimana perasaanku padanya. Ia tak pernah ingin tahu bahwa hingga kini hanya ada dia di hatiku. Ia tak pernah ingin tahu segalanya yang kuingin ia tahu. Bahkan mungkin ia tak pernah tahu bahwa aku … Ah, sudahlah, biarkan saja ia tak pernah tahu karena toh ia memang tak pernah ingin tahu.

Aku sudah terlalu bosan terus mencacinya, aku sudah terlalu bosan membencinya. Tapi aku tak pernah bosan menyayanginya hingga aku tak pernah bisa mengikisnya. Terkadang aku menyesal, kenapa namaku Rinai, mungkin itu yang menyebabkanku selalu mudah menitikkan air mata.

Bergegas ku kemas barang-barang yang tadi berceceran di mejaku. Dan beranjak dari tempat itu. Mungkin dengan berjalan ke alam terbuka membuatku lebih tenang dan berfikir positif.

Tiba-tiba ponselku bordering,
Mia Calling..
Mia? Kenapa tiba-tiba Mia menelponku?
“Hallo, Rii, kamu dimana?”
“Di jalan Strata, ada apa Mii?”
“Oh, baguslah, aku tunggu kamu di apartement. Cepat ya?!”
“Eh, aku…”

Tut..tut..tut.. Mia mematikan telepon.
Aku menggerutu pelan, tapi bergegas berbalik arah. Mungkin ini memang hal yang sangat darurat, pikirku.

***

“Riiiiii”, teriak Mia sambil melambai-lambaikan tangannya.
“Ada apa, Mii?” tanyaku padanya, ia tak berubah, selalu penuh senyum dan tawa.
“Ayo ikut aja!”
“Eh, jangan tarik-tarik dong! Sakit nih.”
“Hehe, ayo nona cantik,” godanya

Kami memasuki lift yang kebetulan masih terbuka. Lantai demi lantai kami lewati, namun Mia masih belum mengatakan tujuannya. Sampai di lantai tertinggi. Ia mengajakku naik atas menggunankan tangga.

“Mau ngapain sih kita?!” ujarku marah karena pertanyaanku tak pernah di gubrisnya.
“Sudahlah, yang penting ikut saja! Cerewet banget sih,” jawabnya santai.
Aku membuntutinya. Kami disambut oleh hembusan kencang angin, jelas saja, gedung ini lebih dari 15 lantai.

“Mii, kita mau kemana sih?ngapain?”
“Tunggu sebentar ya,” jawabnya sambil tersenyum

Ternyata tidak terlalu buruk berada di sini, sejenak aku bisa menitipkan tumpukan penat dan kesalku pada angin yang terus berhembus kencang. Untunglah aku naik pada saat yang tepat, tidak terlalu panas. Aku terlalu lelah karena menangis terlalu lama tadi. Hatiku kembali tenang. Rasanya aku tak perlu tahu untuk apa Mia mengajakku kemari.

Lima belas menitpun berlalu begitu saja, kini Mia terlihat gelisah dan terlihat lebih sibuk dengan gadget di tangannya. Aku tak berani mengganggunya. Lima menit kemudian ponselnya berbunyi. Kubuang pandanganku ke arah langit yang perlahan bertambah gelap.

Tiba-tiba Mia menarik tanganku dan memaksakku untuk berdiri. Jika ia bukan sahabatku sejak kecil, mungkin sudah kumarahi karena mengganggu relaksasiku sore itu.

“Rii, kita harus turun sekarang. Adri di rumah sakit!” teriaknya berusaha mengalahkan desauan angin yang kian mengeras.
“Eh, turun? Adri? Rumah sakit? Apa maksudnya, Mii?”
“Sudahlah, ayo cepat!”

Setengah bingung aku berlari mengikuti Mia yang turun dengan terburu-buru. Adri? Rumah sakit? Spekulasi demi spekulasi menari di kepalaku. Apa arti ini semua?.
“ Rii, kumohon, jangan sedikitpun berpikir yang tidak-tidak. Adri hanya mencintaimu, itu yang ku tahu,” ujar Mia menghancurkan kumpulan puzzle yang ku coba menyusunnya sendiri.

“Kau tahu, Rii? Aku diam-diam mencatat nomor Adri dari ponselmu, hanya karena kau selalu menangis setiap bertemu dengannya. Kau selalu berkata bahwa kau sangat membencinya tapi tak pernah bisa berhenti untuk menangisi segala tingkah lakunya padamu. Dan aku merasa, kau benar-benar mencintainya.”

“Ketika aku menanyakan alasannya langsung pada orang itu, kau tahu apa jawabannya?” Mia menoleh padaku. Aku menggeleng pelan. Lagi-lagi aku menangis tanpa sebab.
“Kurang lebih ia menjawab seperti ini, ‘Aku terlalu menyukainya, setiap aku bertemu dengannya jantungku berdegup lebih kencang, tanganku serasa bergetar tak karuan dan aku tak ingin membuatnya merasa tak nyaman. Karena itulah aku tak bisa bersamanya terlalu lama sebelum ia benar-benar jadi milikku.’ Sayangnya kau salah mengartikan itu semua, Rii”

Aku menatap Mia dengan tatapan ‘bagaimana bisa kau melakukannya?’. Tapi Mia hanya menghembuskan nafasnya panjang. Kami keluar dari gedung itu dan bergegas menyetop taksi. Kupikir Mia akan meneruskan penjelasannya, ternyata tidak. Kami hanya diam sepanjang perjalanan. Sampai akhirnya berhenti di salah satu rumah sakit yang ada di kota ini.

“Pasien korban kecelakaan dirawat di kamar mana ya, Mbak?” Tanya Mia pada petugas rumah sakit itu.

“Oh, yang kecelakaan mobil ya? Sudah di pindahkan ke ruang rawat inap. Dari sini naik ke lantai tiga lalu lurus ke kanan. Kamar 305”, jawab petugas tersebut ramah.
Kecelakaan? Adri kecelakaan? Bagaimana bisa? Aku saja tak pernah tahu ia masih ada di kota ini setelah beberapa saat tadi kami bertemu, bagaimana Mia tahu?

“Dan kau tahu, Rii? Tadi sore sebenarnya Adri berniat untuk melamarmu. Ia meminta bantuanku untuk membawamu kesana. Tapi naas, mobilnya di tabrak truk yang ugal-ugalan. Rii, ia begitu baik, tidak seperti yang kau fikirkan tentangnya. Ia tulus mencintaimu, tapi ia tak tahu bagaimana ia menyampaikannya. Dan aku tahu, kau pun merasakan apa yang ia rasakan, bukan?” Tanya Mia padaku yang sudah sibuk menyeka air mata.

Kami berhenti di depan kamar 305. Mia menggenggam tanganku seraya berkata, “Masuklah, Rii. Ia membutuhkanmu.”

Aku bergegas masuk. Hanya ada dua orang disana. Satu ibu-ibu yang sudah terlihat cukup sehat sedang merapikan barang-barangnya dan satu lagi seperti seorang pemuda yang penuh bebat di sekujur tubuhnya. Aku bahkan tidak pernah percaya bahwa itu Adrian, orang yang selalu membuatku menangis setelah bertemu dengannya. Orang yang kata Mia tadi sore hendak melamarku namun urung. Orang yang tadi bertemu denganku kurang dari sepuluh menit dan dengan mudahnya meninggalkanku sendirian disana.
Ya, aku takkan pernah percaya bila tidak membaca nama yang terpampang pada papan di tempat tidurnya. Ia memang Adrian. Orang yang selalu membuatku merasa bodoh dan tak berdaya. Aku menahan tangisku yang sebenarnya sudah membuncah kembali sejak aku masuk ke ruangan ini.

Tubuh penuh kain kasa itu bergerak perlahan. Matanya mengerjap dan beberapa menit kemudian kembali tersenyum seperti tadi siang. Bibirnya bergerak perlahan seperti hendak mengatakan sesuatu.

Aku mendekatinya sambil terus sesegukan. Mendekatkan telingaku ke arahnya agar mendengar apa yang dikatakannya dengan jelas.

“err…Riin, kau baik-baik saja?”

Seketika aku tak bisa untuk tak memeluknya.
Read More

Wednesday, February 23, 2011

SEDIKIT CERITA TENTANG SEBUAH CERITA

Dengan menyebut nama-Mu yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang..

Kau tahu, sebelum aku menulis sedikit coretan ini, bergegas kuambil syal di lemari dan menutup mata serta mulutku selama beberapa menit. Semua itu hanya karena aku ingin sedikit merasakan seperti apa kebingungan yang dirasakan oleh Melati, gadis kecil berusia 6 tahun yang buta, tuli serta bisu. Tadinya aku ingin menutup juga telingaku untuk beberapa menit, tapi sayangnya saat itu aku sama sekali tak punya ide bagaimana caranya supaya aku tidak bisa mendengar sejenak (sejenak saja, bukan selamanya).

Setelah persiapan tadi rampung, lalu aku matikan lampu kamar dan ku tutup pintu kamarku. Sempurna. Tak ada cahaya yang bisa masuk.

Hanya beberapa menit kegiatan aneh yang kulakukan itu berlangsung. Banyak alasan untuk menyudahinya. Pertama, aku takut kegelapan. Kedua, mataku terus mengeluarkan air mata membuatku tak nyaman di tutupi syal yang basah total di bagian dimana aku menutup mataku. Ketiga, ada sesuatu di hati yang memerintahku untuk segera menuliskan apa yang ada di dalam fikiranku. Dan berakhirlah acara Merasakan kegelapan dan kesunyian yang aku geluti tadi.

Tingkah aneh ini terinspirasi dari sebuah buku setebal 246 halaman. Tipis memang untuk ukuran kisah inspiratif yang terinspirasi dari berbagai sumber ini. Tapi sungguh, buku ini menampar kesadaranku secara telak.
Mengapa harus ada perbedaan? Mengapa manusia bermacam-macam bentuknya? Mengapa sebagian mereka ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang sehat, ada yang cacat, ada yang mampu, ada yang tidak mampu…Ah, rasanya terlalu banyak ada yang ada yang harus di tuliskan jika semuanya harus dibeberkan disini.

Yang jadi pertanyaan, apakah semua perbedaan itu bukti keadilan Tuhan? Darimana disebut adil jika gadis kecil nan menggemaskan itu terlahir sehat tapi berkembang menjadi anak yang buta, tuli (serta bisu)?

Apakah itu masih menjadi bagian dari tanda-tanda keadilan Tuhan?

Ya, itu tanda keadilan-Nya! Tuhan itu 100% adil dan benar, akan tetapi kita yang terlalu bebal dan bodoh untuk mengerti keadilan dan kebenaran yang diberikan oleh-Nya.

Apa yang adil dalam cerita ini adalah kemurahan Tuhan yang memberi setiap manusia kesempatan untuk mendapatkan masa depan sesuai dengan apa yang di harapkannya dan di usahakannya terlepas dari berbagai kekurangan yang mereka miliki.

Entahlah, aku pun tak tahu benar tidaknya kesimpulanku.

Satu hal lagi yang membuatku nyengir kuda, coba kau simak kawan, potongan percakapan antara ibu-ibu gendut dan Karang di penghujung hari ketika Karang beranjak keluar rumah.

“….Dua puluh tahun dari hari ini kau akan menyesal dengan apa yang belum pernah kau kerjakan. Bukan pada apa yang telah kau kerjakan meskipun itu adalah sebuah kesalahan.”


Bagaimana? Apa ekspresimu sama seperti ku? Tersenyum sendiri teringat kebodohan yang sebenarnya mungkin bila aku kerjakan berbuah kebaikan, atau malah tak perduli dan menganggapnya sebatas susunan kata-kata?

Terserah padamu kawan, itu hanya bagian dari kehidupan yang penuh dengan pilihan. Terserah kau mau memilih yang mana.

Satu lagi yang cukup membuatku tertunduk malu. Judul buku ini “Moga Bunda Di Sayang Allah”

Sepertinya, seingat dan sesadarku, aku tak pernah mengucapkan ini pada ibuku. Sampai saat ini. Aku tak punya ide bagaimana mengatakannya, mungkin cukup aku simpan dalam hati saja.. sungguh kawan, berkata seperti itu sungguh berat bagiku. Sungguh, itu sungguh sulit…..

Bagaimana denganmu?


IPL o5
27 Januari 2011
dalam kesendirian di kegelapan semu..
Read More

Wednesday, January 26, 2011

APA YANG SALAH DENGAN ‘UNIVERSITAS ISLAM NEGERI’?

Universitas Islam Negeri atau biasa disebut UIN yang dulunya berawal dari IAIN (Institut Agama Islam Negeri) sering dipandang sebelah mata oleh para civitas akademika di negeri ini. Entah karena banyak tambahan mata kuliah ilmu agama yang membuat universitas ini kurang terlihat “menarik”, atau mungkin karena tidak ada bursa kerja bagi para alumninya. Entahlah….saya tak tahu pastinya. Karena setiap orang pasti mempunyai pemikiran yang berbeda satu sama lain.

“Biarlah Universitas Islam juga, yang penting negeri!” begitu jawaban salah seorang teman ketika kutanya alasannya masuk universitas ini. Stempel ‘Islam’ yang sebenarnya dijadikan nilai plus dari perguruan tinggi ini terkadang disalahartikan oleh sebagian kalangan. Sebagian dari mereka menilai bahwa universitas Islam pasti tidak jauh dari kekentalan nilai ke-Islaman yang jauh dari kesan ‘modern’. Padahal sebenarnya tidak seperti yang mereka bayangkan. Institusi pendidikan Islam bukan berarti hanya membahas apa yang ada kaitannya dengan syariah Islam ataupun nilai-nilai Islam yang dikaji secara mentah. Kajian Islam bukan hanya membahas tentang nilai-nilai kolot yang sudah tidak selaras dengan perkembangan zaman, karena Islam sendiri adalah agama yang tak lekang oleh waktu, tak bisa habis dibahas dalam satu abad. Islam adalah agama yang kaya dan memasuki semua lini kehidupan manusia, entah disadari ataupun tidak, setiap detik kehidupan yang dilalui setiap orang telah dibahas oleh Islam secara gamblang dan jauh dari kesan “ketinggalan zaman”. Lagipula bukankah tugas kita mempelajari dan memperdalam agama kita? Jadi, anggapan Universitas Islam itu kolot dan tidak modern adalah anggapan yang salah besar.

Gelar “Universitas Negeri” sepertinya cukup menarik perhatian dan minat sebagian orang. Biaya yang tidak terlalu mahal (bahkan untuk sebagian kalangan dianggap murah sekali) juga menjadi daya tarik utama universitas ini. Tapi perlu diketahui, bahwa banyak dari tokoh-tokoh sukses lahir dari universitas ini. Gelar universitas negeri dan biaya yang murah tidak bisa dijadikan tolak ukur bahwa orang – orang didalamnya hanya orang – orang murahan.

Jadi apa yang salah dari Universitas Islam Negeri sehingga dipandang sebelah mata oleh sebagian kalangan? Disinilah pembahasan kita.

Banyak yang menyangka bahwa untuk lolos ujian masuk universitas ini adalah hal yang sangat mudah. Hal itu membuat para calon mahasiswanya mengaggap enteng ujian masuk universitas ini. Padahal sejatinya tidak demikian. Banyak orang-orang nomor satu di beberapa Sekolah Menengah Atas yang tidak lolos pada ujian penerimaan mahasiswa baru setiap tahunnya.

“Sekolah di sekolahan yang murah boleh, tapi jangan yang terlalu murah.” ujar salah seorang paman ketika saya mengutarakan niat saya untuk masuk UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Memang benar biaya yang dikeluarkan mahasiswa untuk setiap semesternya tergolong sangat murah dan jauh lebih murah daripada perguruan tinggi negeri lainnya. Dan ternyata hal itu pula yang membuat orang lain kurang mempercayai kualitas para dosen dan mahasiswanya.

Tapi apa jadinya bila biaya tiap semester yang dibebankan pada mahasiswa dinaikkan
atau disetarakan dengan universitas negeri lainnya? Mungkin akan semakin banyak anak negeri yang tidak bisa mengecap pendidikan setinggi – tingginya. Jadi, secara tidak langsung UIN adalah salah satu paru-paru bantuan untuk mereka yang haus akan ilmu tapi tidak memiliki biaya yang lebih dari cukup untuk merealisasikan impian mereka.

Peran setiap mahasiswa yang bernaung di bawah suatu perguruan tinggi sangat membantu pembentukan paradigma orang lain dalam memandang perguruan tinggi tersebut. Setidaknya yang saya ketahui lebih dari seperempat mahasiswa dan mahasiswi perguruan tinggi ini menganggap rendah diri mereka sendiri dan institusi tempat mereka menimba ilmu.

Sikap rendah diri ini pernah saya alami pada awal perkuliahan yang saya lalui. Saya menganggap semua orang bisa masuk dan berkuliah di universitas ini. Ironisnya, dulu saya dengan sesumbar pernah mengatakan “Kamu beneran mau kuliah di UIN? Gak ada perguruan lain ya?” saat teman saya mengatakan bahwa ia sangat ingin kuliah di UIN. Bagai senjata makan tuan, saya hanya bisa pasrah saat orang tua saya memaksa saya untuk melanjutkan sekolah di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Tak tanggung-tanggung, orang tua saya mengancam untuk tidak menyekolahkan saya lagi bila saya tidak menuruti kemauan mereka. Dan benar saja, untungnya nasib baik masih ada dipihak saya, saya diterima menjadi salah satu mahasiswi Fakultas Psikologi di Universitas tersebut.

Saat itu saya merasa dunia seakan memusuhi saya. Untuk apa saya sekolah kalau saya hanya berkembang sedikit saja?! Selalu keluhan itu yang berkeliaran di kepala saya. Tapi ternyata takdir berkata lain. “Jangan berkomentar jika kau belum merasakan” benar-benar terbukti. Sekarang semua tuduhan tak beralasan saya terhadap UIN perlahan terbantahkan dengan sendirinya. UIN hanya sebuah batu loncatan seperti perguruan tinggi lainnya. Kita akan berkembang jika kita mau dan berusaha untuk berkembang karena kesempatan sangat terbuka lebar disana.

Singkatnya, pendapat dan asumsi kita pada suatu hal dapat mempengaruhi pendapat dan asumsi orang lain tentang hal tersebut. Bisa jadi UIN dianggap rendah oleh sebagian kalangan karena orang-orang dalamnya sendiri yang menganggap rendah diri mereka sehingga banyak potensi terpendam mereka yang tak mau muncul akibat perasaan rendah diri yang senantiasa menggerogoti diri mereka sendiri.

Gedung-gedung yang terlihat kurang mengundang decak kagum juga mungkin menjadi salah satu faktor yang tidak bisa terbantahkan. Pandangan pertama bisa menjadi tolak ukur sesuatu secara keseluruhan. Gedung-gedung yang sudah cukup tua dan butuh perawatan lebih memang mengganggu setiap mata yang memandang. Berbeda dengan beberapa universitas lain yang bangunannya sangat bersih, unik dan bergaya modern. Tapi permasalahan ini sudah mendapatkan solusi yang cukup, yaitu dengan pembangunan kembali gedung-gedung yang sudah cukup udzur secepatnya.

Jadi, apalagi alasan memandang UIN sebelah mata?

Jika masih ada, ayo kita lebih serius lagi dalam studi kita sampai kita bisa menggantikan mereka dan bisa memperbaiki apa yang menurut kita kurang baik. Tapi jika kita hanya mengkritik tanpa ada usaha dari diri kita sendiri, untuk apa kita mempunyai mata, mulut dan tangan selain untuk membuat suatu perubahan ke arah yang lebih baik? Belum cukupkah perbuatan buruk kita mendominasi kehidupan yang hanya sekejap mata ini?



Untuk semua orang yang “pernah” menganggap enteng UIN (atau ada yang masih?)
Maaf jika bahasa yang dipakai cenderung mencirikan komunikasi yang agresif daripada komunikasi yang asertif :-D
Thanks a lot untuk para pembaca. Ditunggu kritik dan sarannya ^_^
Read More

Sunday, January 9, 2011

hem..

hanya helaan nafas panjang..

yg bisa mewakilkan semua kekecewaan..

atas apa yg menghancurkan semua harapan..

atas apa yang membobrokkan kembali semua bayangan tentang kebaikan..

well, semoga ini yg terakhir dan tak pernah terulang!
Read More

Monday, November 8, 2010

Terimakasih


Kau tahu? Malam ini aku berterimakasih atas rasa sakit dalam hati ini yang sempat mengalihkan segala konsentrasi dan menon-aktifkan hati juga otakku. Karena setelah kupikir-pikir lagi, rasa sakit itu sebelumnya di dahului oleh rasa senang dan bahagia yang terlalu melebihi batas wajarnya. Dan kau tahu semua itu karena siapa? Karenamu.

Jadi, terimakasih telah membuatku sakit hati, karena jika tidak demikian mungkin aku takkan pernah sadar bahwa sebelumnya aku pernah merasa terlalu senang dan bahagia. Bukankah Tuhan tak suka dengan segala yang berlebihan?

Kau tahu? Malam ini aku sangat bersyukur kau kini menghindar dan pergi dariku karena beberapa hal. Sebelumnya tak pernah terfikir (berharap pun tidak) oleh ku, kau akan datang padaku dan membuat sedikit coretan dalam kehidupanku. Yaa…walaupun tak seindah pelangi, toh coretanmu tetap memberikan sumbangsih yang cukup merubah gaya hidupku sekarang.

So, thank you very much for being an important piece in my life.
Kau tahu? Malam ini aku sangat menyadari kepergianmu bukan tanpa alasan remeh dan murah. Dan kesalahan yang telah kau (dan aku) lakukan bukanlah suatu kebetulan semata. Ketidakcocokan kita juga bukan hal utama penyebab berakhirnya kisah ini, tapi dalam guratan takdirku (dan takdirmu), mungkin kita bukanlah pasangan yang tepat.

Jeongmal gomawo, sudah pergi dariku, karena dengan kepergianmu mungkin aku akan bertemu dengan orang yang memang benar-benar “dipaksa” oleh Tuhan menjadi pasanganku selamanya.

Nah sekarang, apa masih ada alasan untuk saling melupakan?

Terserah padamu, keputusan itu sepenuhnya milikmu.

Menurut orang bijak, kenangan adalah potongan kejadian dalam kehidupan yang kita pilih untuk masuk dalam ingatan jangka panjang kita dan bisa kita kenang kembali.

Boleh kan aku memilih potongan kejadian ini menjadi bagian dari long term memory yang akan kuingat jika aku menginginkan untuk mengingatnya nanti?

Karena menurutku, manis pahitnya setiap kejadian adalah daya tarik yang khas yang tak pernah bisa digantikan oleh kenangan apapun meskipun ceritanya hampir sama seperti cerita sebelum atau sesudahnya..

Intinya, terimakasih sempat memenuhi hati ini dengan kebahagiaan yang terlalu berlebihan. Terimakasih atas kesempatan “aneh” yang sempat membuat kita dekat. Terimakasih atas senyuman yang hingga kini masih ingin ku lihat. Terimakasih atas perdebatan yang sering kali membuatku mengerinyatkan dahi setelahnya. Terimakasih atas semua pemikiran yang tak pernah sama sekali

terpikir olehku.
Hanya tiga kalimat dengan makna yang sama yang bisa kuucapkan atas semua kebaikanmu; Terimakasih banyak. Jeongmal gomawo. Thank you very much….
See you next time..

Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)