Tuesday, July 21, 2015

Kesatuan

Bersatu. Itulah yang sulit dilakukan oleh manusia di daerah multietnik, termasuk Afghanistan. Etnik Pashtun, Hazara dan etnik lainnya masih menganggap diri mereka lebih baik daripada etnik lainnya. Semua manusia tak ingin direndahkan tapi dengan mudah merendahkan orang lain. Primordialisme menjadi penyebab dasar adanya perpecahan dan sulit bangkitnya manusia Afghanistan dari keterpurukan pasca perang. Tak peduli berapa negara dan organisasi asing yang membantu, mereka tak pernah bisa benar-benar bangkit dan bersatu. Etnik Pashtun menganggap dirinya menjadi manusia terbaik dan suku yang paling pantas menjadi pemimpin. Etnik lainnya muak dengan para pemimpin dari Pashtun. Etnik Tajik, Kirghiz dan etnik-etnik lainnya kesal tiada dua. Ekspresi kekecewaan ini diekspresikan melalui keengganan etnik tertentu berbicara bahasa etnik lainnya. Enggan berbahasa Dari, berbahasa Pashto dan bahasa lainnya.

Sumber: deafitsa.blogspot.com


Begitulah cuplikan deskripsi Agustinus Wibowo yang saya tangkap dari novelnya Selimut Debu. 

Sungguh, apa jadinya Indonesia bila tidak ada Gadjah Mada yang bertekad menyatukan Nusantara? Apa jadinya bila semangat ke-Indonesia-an tidak diserukan oleh para pejuang dan pemikir di masa lalu? Apa jadinya bila bahasa Indonesia tidak dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa? Akankah bahasa Jawa masih mendominasi bumi nusantara ini? 

Saya teringat pada banyaknya konflik yang terjadi dikarenakan perbedaan suku maupun perbedaan lainnya. Konflik Dayak dan Madura, Jawa dan Sunda, Cina dan pribumi. Ah, banyak sekali bahan perbedaan dan perpecahan di Indonesia. Saya baru benar-benar sadar bahwa kata 'Kesatuan' dalam nama negara ini benar-benar membantu bersatunya beragam perbedaan yang ada. Saya bukan pendukung berdirinya kekhalifahan di Indonesia. Menurut saya, menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia saja sudah menunjukkan betapa Islam rohmatan lil'alamin. Islam yang sangat menghargai perbedaan. Islam yang tidak arogan. Islam yang membuat orang-orang nyaman di dalamnya. Islam yang mewadahi keragaman nusantara. Karena -menurut saya- menjadikan negara ini sebagai negara Islam bukanlah satu-satunya cara untuk mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Lain lubuk lain ilalang lain kolam lain ikannya.

Sumber: aswajamuda.com


Melumat kata demi kata dalam Selimut Debu membuat saya merasa benar-benar ada duplikat kehidupan di belahan dunia sana. Di Afghanistan sana ada warga lembah Wakhan yang mendambakan dan membanggakan Tajikistan sebagai negera impian. Ada pula yang menjadikan Peshawar, Pakistan menjadi tempat tujuan. Pun ada manusia yang ingin menjadikan Iran sebagai tanah impian. Meskipun mereka tahu,, tak pernah ada negara yang benar-benar sudi menerima warga negara asing sebagai pengungsi dengan jumlah yang begitu banyak. Walau mereka dicemooh karena menjadi seorang Afghani, mereka tetap memutuskan pergi dari negeri debu kelahirannya. 

sumber: bukupedia.com


Saya merasa melihat ada irisan Indonesia disana. Dimana tak jarang para manusia perbatasan mendambakan negara tetangga sebagai tanah impiannya. Mendambakan kemerdekaan yang diharapkan menjadi titik tolak kemajuan peradaban manusia yang ada disana. Mendambakan keterlepasan dari pemerintah pusat yang kikir dan abai tiada dua. Walaupun mereka juga tak pernah tahu, apa yang akan mereka hadapi setelah terlepas dari Indonesia. Penjajahan babak dua atau kesejahteraan tiada dua. 

Irisan inferioritas dan superioritas pula terasa di dalam buku ini. Masyarakat Afghanistan yang dianggap rendah dan hina oleh manusia-manusia di negara tetangga ini membuat saya teringat pada para tenaga kerja Indonesia yang tak habis-habis kasusnya. Mulai dari dipancung, dilecehkan bahkan disiksa. Mereka rela merendahkan diri di negeri seberang demi sekumpulan ringgit, riyal bahkan dollar singapur.

Agustinus Wibowo membawa saya berkhayal menyeberangi lautan dan luasnya padang pasir di negara Asia Tengah sana. Tempat dimana beragam kisah kehidupan ada proyeksinya. Tempat dimana saya bisa mengerti kesatuan Indonesia adalah sesuatu yang perlu disyukuri dan dijaga sampai mati. Tak ada yang menyenangkan dari perpecahan. Tak ada yang membahagiakan dari pecahnya peperangan. Masihkah kita perlu mendebatkan dan berkumpul dalam kubu-kubu yang menjadi penyebab perpecahan?

Bandung, 21 Juli 2015
Read More

Tuesday, July 14, 2015

Batas Beda

Sore ini saya masih membaca tumpukan diksi pilihan Agustinus Wibowo dalam bukunya, Selimut Debu. Ia mengisahkan perjalanannya di Afghanistan dan Pakistan dengan apik. Begitupun dengan negeri stan-stan lainnya yang lahir setelah runtuhnya Uni Soviet. Kemelut di negeri debu Afghanistan memang tak pernah berhenti selesai. Sebagai supplier opium nomor wahid di dunia, harusnya negara ini digdaya tiada tara. Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya. 

Saat banyak negara sibuk menghujat maupun mendukung legalisasi pernikahan sejenis, suku Pashtun Afghanistan sudah sejak lama menjadikan murid-murid lelaki sebagai pelepas hasrat seksual mereka yang kemudian dibasmi oleh Taliban. Saat banyak negara mengasihani wanita-wanita Afghan dibalik burqo mereka, wanita-wanita Afghan tersebut berbalik mengasihani wanita-wanita yang harus bertelanjang padahal berbaju dan ikut berjibaku mencari uang untuk sebongkah berlian. Saat celana berbahan denim sudah menjadi hal umum di luar sana, di Afghanistan pakaian itu adalah pakaian orang kafir yang tak tahu apa yang diserukan agama. Disana, di tempat dimana kepala kambing lebih mahal daripada kepala manusia. Disana, dimana jubah Nabi Muhammad SAW dipakai oleh pemimpin Taliban yang keras dan kejam dalam satu waktu. Disana, di negeri debu bernama Afghanistan. 

Ah, Afghanistan, sebegitu mengerikankah dirimu? Rasa-rasanya tak pernah ada kehidupan enak, nyaman dan tentram di Afghanistan. 

Dekat dengan Afghanistan, ada Tajikistan. Cukup menyebrangi sungai, sampailah kita pada peradaban manusia -jika berpakaian rapi dan tak berjubah penuh debu itu disebut dengan peradaban. Segala hal yang ada di Afghanistan bak membuat manusia mundur puluhan dekade ke belakang. 

Hal ini mengingatkan saya pada banyak hal. Pada perbedaan signifikan antara kabupaten dan kota Bandung. Antara pulau Jawa dengan pulau lainnya. Antara saya dengan kamu. Antara kami dengan mereka. Antara banyak hal yang ada di dunia. 



Garis batas antara Kabupaten Bandung dengan Kota Bandung adalah jembatan layang yang ada di Jalan Mohamad Toha, yang sering disebut Perbas. Garis ini yang menentukan perlakuan pimpinan tertinggi sebuah pemerintahan kecil yang dekat dengan rakyat. Garis ini juga menentukan berapa nominal minimum regional yang bisa didapatkan para buruh pabrik. Manusia Kota Bandung boleh berbangga hari memiliki pemimpin macam Ridwan Kamil. Manusia Kabupaten Bandung boleh iri karena bupatinya terasa tak punya prestasi yang melejit bak tetangganya. Saat manusia kota menikmati beragam fasilitas dan mimpi yang direalisasikan oleh walikotanya, manusia kabupaten tak mau kalah pergi berkendara menuju kota. Bandungku. Ternyata ada juga garis batasnya. 

Begitupun saya dengan anda. Banyak hal yang tak bisa kita sama ratakan. Banyak hal yang kita tak bisa saling mengerti satu sama lain. Lalu kenapa kita harus saling tahu dan saling mengenal? Tuhan memang selalu benar. Ia tak ciptakan manusia sama satu sama lain supaya otak setiap manusia itu bekerja. Bukankah itu kelebihannya? Manusia menggunakan otak untuk mengerti satu sama lain, tapi juga untuk memahami mereka tak pernah sama satu sama lain. 

Kami. Siapa kami? Apakah saya termasuk kedalam 'kami' itu? Siapa yang boleh menjadi bagian dari 'kami'? Mengapa harus ada 'mereka'? Apa 'mereka' dibedakan seperti itu karena mereka berbeda? Lalu apa masalahnya bila mereka berbeda? 

Ah, terlalu banyak perbedaan-perbedaan yang bertebaran di dunia ini. 

Batas beda membuktikan bahwa dunia sangat berwarna. Beragam budaya, mindset dan sikap manusianya. Membuktikan bahwa dunia tak sebesar daun kelor dan kau tak sebesar yang kau kira. Lalu, mengapa terus memaksa orang lain sama padahal kita memang sudah ditakdirkan berbatas beda? 


Bandung, 14 Juli 2015



Read More

Tuesday, June 30, 2015

Kapan ke, Dari

Saya punya kebiasaan minta oleh-oleh yang bisa dititipkan kepada siapapun yang sedang bepergian. Saya tidak minta dibelikan gantungan kunci atau postcard bahkan coklat dan apapun yang bisa menambah biaya perjalanan teman saya membengkak (setidaknya bertambah). Saya gak setega itu. Saya hanya minta doa dan foto dari tulisan ajakan yang dipotret dari tempat terindah yang mereka kunjungi.

Proyek meminta oleh-oleh ini saya beri nama: Kapan ke, Dari.

Terimakasih a Indra, Tony dll yang sudah TIDAK LUPA ngasih oleh-oleh ini (soalnya kebanyakan malah lupa karena yang diminta bukan berupa barang. Hahaha).

Kapan ke Uzbekistan? Dari Tony.

Kapan ke Uzbekistan? Dari Tony.


Read More

Stabil

Stabil. Menurut KBBI, stabil berarti mantap, kuku, tidak goyah, tetap jalannya, tenang. Siapa sih yang tidak suka kondisi stabil? Ah ya, ada saja orang-orang yang menyukainya, mereka orang-orang yang mudah beradaptasi dengan perubahan. Bagaimana yang tidak? Itulah persoalannya. 

Beberapa waktu yang lalu ada seorang teman yang baru saja diterima bekerja secara temporal di sebuah perusahaan multinasional. Meskipun pekerjaannya sangat bertolak belakang dengan latar belakang pendidikannya, teman saya itu tetap memutuskan untuk mengambil tawaran pekerjaan tersebut. Namun baru seminggu, triger stress seolah-olah menghantuinya. 

Ia mengeluhkan minimnya arahan dari superior, rumitnya tugas dan dampaknya terhadap psikisnya. Saat itu saya baru tahu ada riwayat hyperstress yang pernah ia alami karena beberapa masalah di perkuliahan dan kehidupannya beberapa tahun yang lalu. Ia takut riwayat sakitnya akan terulang bila ia terus bergelut dengan pekerjaannya sekarang. 

Dengan pembawaan pencemas dan mudah stress itu ia merasa takut dan ragu dalam mengambil setiap langkah yang berkaitan dengan pekerjaanya. Sedihnya, selama ia bercerita entah berapa kali ia menyebutkan bahwa yang salah adalah dirinya. Masalah ini menjadi masalah karena kondisi internal dirinya tidak stabil dan rentan terhadap stress. Ia sadar itu masalah terbesarnya, dan ia sangat meyakini bahwa dirinyalah penyebab terbesar munculnya masalah. Mungkinkah kondisinya saat ini stabil? Jawabannya jelas tidak. 

Lalu, apakah kehidupan kita semua stabil? 

Saya pernah melihat meme menyebutkan, "Bila seluruh hal bisa kau kontrol, larimu tak begitu cepat."

Kutipan itu memang menantang. Mengajak setiap orang yang melihatnya optimis bahwa segala hal yang tidak terkontrol membuktikan kecepatan kita dalam melakukan sesuatu. Tapi bagi rekan saya itu mungkin akan berbeda. Kutipan itu bisa saja membuatnya mundur lalu meyakini dirinya memang tak bisa lari cepat karena lebih senang dengan keadaan yang terkontrol dan berada di zona amannya. Tujuannya untuk mengurangi pemicu stress dan perasaan tertekan yang tak terkendali. 

Sebetulnya teman saya itu hanya ingin didengarkan. Tapi saya gatal untuk tidak diam dan membuatnya merasa tersiksa karena kondisi yang menurutnya tidak stabil di area kerjanya. Menurut saya, mau tak mau ia harus beradaptasi. Bila dulu ia menyerah dan mundur lalu dibuat tak berdaya oleh kecemasan-kecemasannya, sekarang bukan waktunya lagi. Saya memberikan beberapa cara yang mungkin bisa mengurangi kecemasannya bila melakukan kesalahan. Cara yang cukup jitu di awal masa kerja saya. Karena menurut saya, perubahan akan selalu terjadi, mau atau tidak mau kita menghadapinya. Sampai kapan bisa merasa stabil kalau dunia sebenarnya tak pernah stabil? Bukankah hal yang stabil itu ketidakstabilan?

Kondisi stabil bisa dicapai dengan memodifikasi perilaku kita sendiri. Caranya seperti orang-orang yang pada umumnya lakukan: membuat list pekerjaan dan menargetkan setidaknya 1 hal kecil setiap harinya yang mendukung kepada kondisi stabil dalam bekerja yang kita inginkan. 

Saya pribadi merasa diri ini terlalu sotoy alias sok tahu. Tak apalah. Menenangkan manusia memang terkadang harus sotoy dan tidak sama pasrahnya. 

Setelah rekan saya itu selesai bercerita, lalu saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya terlihat tegar dan 'sehat' sehingga orang lain dengan mudahnya bercerita tentang keluh kesahnya yang hanya diceritakan pada orang-orang terdekat? 

Yah, begini lah nasib 'bermuka sawah tadah hujan dan bertelingan tempat sampah penampung keluh kesah."


Bandung, 30 Juni 2015


Read More

Saturday, June 13, 2015

Review: Gadis Pantai

Malam itu tiba-tiba saja saya ingin membuka akun twitter. Entah pasal apa, tiba-tiba saya sibuk membaca kicauan-kicauan dari @PramQuotes yang berisikan kutipan kata-kata bijak dari sastrawan ternama Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Tiba-tiba, saya menemukan akun @susastra_ dan ternyata akun ini menjual buku-buku Pram. Tertariklah saya pada paket buku bernuansa wanita: Gadis Pantai, Larasati dan Cerita Calon Arang. Sebetulnya, saya agak trauma dengan tulisan Pram. Sejak membaca Manusia Bumi dan satu lagi saya lupa judulnya, selalu saja ada bagian cerita tentang zina sang tokoh utama. Namun Pram dengan apik membalutnya dengan kata-kata yang menurut saya mengurangi kadar mesumnya. Berharap di buku itu tak ada hal negatif yang sama, akhirnya saya pesan paket murah-meriah tersebut. 

Paket datang sekitar 5 hari setelah pemesanan. Gadis Pantai adalah buku pertama yang saya baca. Cerita tentang brengseknya para priyayi yang pintar mengaji dan tak pernah absen sholat 5 kali sehari. Cerita tentang betapa dungunya para priyayi yang menjadi antek-antek Belanda lalu serta merta merasa diangkat Tuhan menjadi perwakilan-Nya di bumi Nusantara. 

Tersebut Gadis Pantai, gadis cantik yang berasal dari Desa Nelayan di Jawa Tengah sana. Ia dinikahkan bapaknya oleh sebilah keris. Benda yang mewakili salah satu priyayi untuk meminang gadis itu. Gadis itu baru 14 tahun, dan ia harus mau menjadi selir priyayi. Sialnya, gadis itu tak tahu bahwa dirinya hanya dijadikan budak seks pembesar penjilat Belanda saja. Ia tak tahu bahwa dirinya bisa saja dengan mudah ditendang dari rumah besar sang Bendoro karena pada dasarnya para priyayi belum dianggap sudah menikah bila ia menikahi gadis dari kalangan rakyat jelata. Itu hanyalah pernikahan latihan atau percobaan sebelum priyayi tersebut menikahi gadis keturunan priyayi juga.


source: bisikanbusuk.com

Plotnya apik dengan bahasa yang jarang saya temukan di buku-buku lainnya. Pram mengalirkan cerita ini dengan baik tanpa sisipan-sisipan cerita tak berguna yang ditujukan untuk menambah serunya cerita. Pram juga menggambarkan dengan gamblang betapa agama bagi banyak pejabat bak guci mahal yang diletakkan di ruang tamu. Hanya perhiasan. Hanya pelengkap. Pelengkap topeng berilmu mereka. 

Saya pernah membaca tentang tulisan yang membahas cara Belanda menaklukan Indonesia. Sayangnya saya lupa tulisan siapa dan dapat darimana. Disana dijabarkan bahwa masyarakat Nusantara yang notabene sudah terlalu terbiasa dengan sistem pengabdian dan kehidupan monarki, dimana raja dan pembesar-pembesarnya adalah segalanya. Rakyat rela mengabdikan diri mereka kepada raja secara cuma-cuma. Rakyat rela memberikan sebagian hasil panen mereka untuk kepentingan raja dan rengrengannya. Payung, baju kebesaran dan juga tahta maupun singgasana adalah simbol dari kekuasaan para raja dan pejabat-pejabatnya. Dengan cerdasnya penjajah memanfaatkan hal ini. Penjajah menggunakan kerajaan dan pemerintahan setempat sebagai pasak penjajahan mereka. Raja dijadikan boneka yang bisa memuluskan kepentingan penjajah di Nusantara. Bila para penjajah menyerang rakyat atau kerajaan, maka rakyat dengan segera akan menyerang dan tak mau takluk terhadap penjajah. Namun dengan cara menaklukan dulu kerajaan dengan memperhatikan simbol-simbol kebesaran kerajaan, rakyat akan cenderung tunduk dan takluk kepada raja mereka. 

Membaca buku Pram seperti membaca buku sejarah namun dihiasi dengan roman yang mencengangkan. Nyatanya, sifat binatang manusia sudah ada sejak lama. 


Ciparay, 13 Juni 2015
Read More

Secuil Cerita tentang Keluarga


Yeah, entah kenapa hari ini ingin bahas salah satu topik yang menurut saya termasuk privasi: keluarga. Sejujurnya, saya kurang merasa nyaman bila ditanya tentang hal-hal yang menyangkut tentang keluarga. Apalagi kalau baru kenal, eh udah nanya tentang keluarga, males deh. Tapi kali ini saya mau curcol tentang keluarga saya. Sebagai anak CEWEK pertama dari 6 bersaudara (adik saya gak ikut foto bareng karena belum balik dari tugasnya sebagai pelajar di Univ Al-Azhar, Kairo, Mesir), saya pernah merasa sangat malu dan sering berbohong saat ditanya jumlah saudara kandung. Dipikiran saya, angka 6 itu banyak sekali. Apalagi rata-rata teman-teman saya hanya 2-4 bersaudara, malah banyak juga yang jadi anak tunggal. Jadi saya sering bohong kalau ditanya jumlah saudara kandung. Saya sering jawab "punya adik perempuan dan adik laki-laki". Titik. Secara rasional sih betul ya, orang-orang yang dengar jawaban saya pasti mikir kalau saya 3 bersaudara, padahal mah 2 adik perempuan dan 3 adik laki-laki. Mwahahaha. 

Sikap aneh ini baru bisa mencair saat saya sudah merasa nyaman dan sangat dekat dengan banyak orang di angkatan saat kuliah. Itupun saat berstatus mahasiswa tingkat akhir. Mungkin karena makin dewasa, makin mendalam juga saat bercerita dengan teman. Jadilah hal-hal yang menurut saya rahasia tentang keluarga terbongkar juga. Terbongkar dengan sukarela tepatnya, alias saya suka curcol. 

Tapi masih sering ngerasa sakit hati sih saat ada orang yang komentar bercanda tentang jumlah saudara kandung saya. Mulai dari komentar, "Ortumu produktif ya" sampai "Gak kurang banyak adiknya, Ki?" Yakali, kalau saya boleh milih saya punya adik berapa, ya saya bakal pilih jadi anak tunggal keles, eh enggak juga deng. Seru juga soalnya bersaudara sama 5 orang adik-adik saya ini. 

Beberapa bulan yang lalu, saking sakit hatinya, saya masih ingat celetukan teman saya tentang hal ini dan menurut saya menyakitkan. 

"Ki, tahu gak, si X sama si Y jadian loh!"
"Oh ya? Baguslah, mereka cocok ini."
"Iya ya, si X kan anak kedua dari 2 bersaudara, sedangkan si Y anak pertama dari 2 bersaudara."
"Iya iya, pas ya.."
"Iya ya, beruntuk ya X."
"Beruntung karena?"
"Iya, sama-sama dapat yang cuma 2 bersaudara, coba sama kamu Ki. Kamu kan banyak saudaranya. Hahahaha"
"..............."

Sederhana sih, mungkin karena masalah seperti ini cukup sensitif untuk saya, mungkin juga saya yang terlalu sensitif dan gak bisa diajak bercanda. But it was hurt for me. 

Yasudah lah. Mari kita skip. 

Dulu, saya sering merutuki nasib kenapa saya harus lahir di keluarga besar. Saya sering ikut bingung saat biaya pendidikan saya dan adik-adik membengkak karena diminta secara bersamaan. Dulu saya sempat mikir putus sekolah saja dan bantu orang tua cari uang. Boro-boro dapat restu, malah kena damprat dari ayah dan ibu. 

Saya dibesarkan dengan pola asuh cenderung otoriter, meskipun akhirnya berangsur menjadi demokrasi. Saya sering dilarang untuk ini itu tapi juga sering didorong untuk melakukan ini itu yang lainnya. Percaya gak, saya sering ikut kontes fashion show, lomba menggambar, kaligrafi, mewarnai, sampai lomba menulis surat loh waktu kecil. Hahaha.



Ayah sering mengajak saya ke toko buku, perpustakaan atau tiba-tiba ngasih majalah dan buku untuk anak kecil. Saya diajarkan untuk menulis resensi, menulis cerita dan menulis puisi. Ada satu cerita yang sampai sekarang masih saya ingat. Dulu, saya sempat ikutan lomba menulis cerpen fantasi. Karena pemula dan kurang baca, tulisan saya minim komen dan sekalinya ada yang komen nyakitin hati. Pas saya cerita saya gagal ke ayah dan ibu, ayah dengan spontan bilang, "mana linknya, kasih tahu ayah gimana cara vote dan komennya, nanti ayah bantuin sebarin. Nanti bakal ada komen dari ayah sama yang lainnya." Nyooooosss, saya langsung mewek terharu. Hahaha. Sayangnya, ayah itu keras, umur 20-an saja saya masih sering kena pukul. Tapi yah begitu lah mungkin cara dia ngasih tahu yang benar dan salah. Tapi, hal itu juga yang kadang bikin saya sedih, kenapa ayah harus kasar dan sering marah-marah. Kalau kata ibu sih karena dulu didikan dari Mbah Kakung seperti itu. Saya jadi ketakutan sendiri, nanti anak saya bakalan saya galakin kayak gitu gak ya? Kan manusia kalau sedang marah selalu uncotrolled dan saya kayaknya sejak lahir udah galak. Hahaha. Ah entahlah. Kumaha engke weh lah. 

Ayah sama ibu sama aja sih, sama-sama keras. Tapi yaaa namanya juga ibu, gampang luluh dia mah. Ibu masih suka ngasih saya uang walaupun sedang marah ke saya. Namanya juga ibu-ibu kali ya. Saya paling sering bertengkar sama ibu karena beda pendapat. Tapi selalu lagi-lagi kembali membaik tanpa drama. Tiba-tiba ibu nyuruh saya makan padahal udah diem-dieman selama beberapa hari. Ibu itu wanita canggih millenium. Disaat saya gak bisa motor, dia mah udah kayak Valentino Rossie, ngebut sana ngebut sini. Otak bisnisnya selalu jalan. Saya diajarin jualan sama ibu, tapi emang dasar gak bakat kali ya, saya gagal mulu kalau jualan. Hahaha. Meskipun ibu jarang masak, sampai-sampai anak-anaknya protes secara kontinyu, tapi sekalinya masak, kayak orang yang selalu masak, alias enak banget. Ibu juga bisa bikin kue dan camilan-camilan lainnya. Pokoknya kalau ibu udah kambuh rajin masaknya, perut orang serumah bisa tentram pagi-siang-malam. Ibu juga pinter bikin baju walaupun jarang banget bikin baju buat anak-anaknya. Ah pokoknya mah ibu mah serba bisa. Meskipun ibu teman berantem saya, tapi ibu gak pernah nyakitin saya dengan kata-kata, "masa perempuan gak bisa masak, gak bisa ini gak bisa itu" dan kata-kata nyakitin lainnya. Waktu ibu minta saya masak, dia cuma bilang, "pengen dong makan masakan teteh." atau saat ibu ultah, "tuh ibu udah 49 tahun, tapi belum tua, soalnya belum punya cucu. Kalau udah punya cucu baru deh tua." Yekali kan, emak gue. 

Fyuuhh...nulis tentang ayah dan ibu itu butuh energi yang ekstra ya. Berat-berat gimana gitu rasanya. Tapi ya begini lah keluarga saya. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, saya merasa sangat bersyukur sudah ditakdirkan ada diantara mereka. Kami memang tidak sebaik yang terlihat, tapi juga tak seburuk cerita orang-orang yang tak suka dengan kami. Ayah dan ibu adalah salah satu sebab terbentuknya pribadi saya yang sekarang.

Terimakasih penemu internet dan pencipta blogger. Rasanya saya tidak pernah sanggup cerita langsung di depan orang lain secara lisan. Kalaupun sanggup, saya perlu siapkan tisu 1 pack. 

Ya, inilah secuil cerita tentang kotak 'unkown' saya. 

Ciparay, 13 Juni 2015
Read More

Saturday, June 6, 2015

Wanita Cantik vs Nasib Baik

Cantik. Hampir setiap wanita ingin menjadi cantik, menjadi menarik, menjadi berbeda dengan wanita lain atau sama dengan para wanita di atas rata-rata. Walau banyak juga wanita yang tak begitu ingin cantik, tapi rasanya agak mustahil rasa itu tak pernah muncul di hatinya. Supaya yakin dirinya tetap cantik, banyak wanita melengkapi bawaanya dengan make up dan cermin. Kau tahu, cermin dalam bahasa arab mir-atun. Sedangkan wanita dalam bahasa arab yaitu mar-atun. Mirip ya? Mungkin karena wanita suka bercermin dan cermin identik dengan wanita. Tapi saya tak akan bahas tentang sejarah cermin dan sejak kapan wanita suka bercermin.

Kembali ke cantik. Saya pernah membaca sebuah candaan dimana wanita selalu mengeluhkan kondisi wajah dan tubuhnya di setiap pagi saat bercermin. Sedangkan para lelaki selalu dengan PDnya meyakini 'kegantengan' mereka saat bercermin di pagi hari. Sebegitu ingin cantik kah wanita?
Namun saya selalu menemukan cantik tak saja identik dengan hal-hal yang menyenangkan. Bahkan ada yang bilang, 'beauty is pain'. Wohooo..

source: http://thumbs.dreamstime.com/


Teman saya, demi merasa rambutnya tetap cantik, ia rela pulang pergi ke salon dengan rutinnya. Ia coba ini itu. Mulai dari keriting rambut, gonta ganti warna rambut dan apapun yang disebut 'perawatan rambut'. Sialnya, terlalu sering ngotak ngatik rambutnya, rambutnya rusak dan harus rela menerima treatment khusus. Weh, tambah sering ke salon dan tambah pula pengeluaran. Beauty is pain...
Ada pula teman saya yang lain. Karena cantik, ia bak piala bergilir yang mudah berpindah dari pria satu ke pria yang lainnya. Dari mulai adik tingkat hingga kakak tingkat. Sesama angkatan sudah jangan disebut berapa orang yang sudah menjadi mantannya. Bahkan, staff fakultas pula sempat menggoda. Alamak, ngeri.

Teman saya yang lain. Senang dianggap cantik dan memang sadar dirinya cantik, tak pernah ia setia pada satu orang saja. Punya pacar satu serasa tabu. Punya pacar dua, kurang rasanya. Wajahnya penuh riasan yang pada saat itu saya masih tak habis pikir kenapa wanita harus berhias. Hahaha. Entah dia yang terlalu maju pikirannya, atau saya yang terlalu lugu dan bodoh. Ia putar banyak fakta dan kata, lalu ia buat kata dan fakta versi dirinya sendiri. Ia tebarkan kisah yang dibuatkan dengan mudah. Semudah menebar pesona kecantikannya ke banyak orang. Ruarr binasa. Haha

Ah masih banyak lagi teman saya lainnya yang terkadang membuat saya enggan menjadi cantik.

source: http://previews.123rf.com/
Entah benar atau tidak, Pramoedya Ananta Toer pun memaparkan betapa malangnya nasib wanita cantik di jaman dahulu. Dijadikan gundik, selir dan budak seks lelaki. Para priyayi masih dianggap belum menikah bila belum menikah dengan wanita dari kalangan priyayi. Pernikahan mereka dengan gadis-gadis lugu dari kampung dianggap sebagai pernikahan percobaan, berapapun banyaknya. Ah, padahal para priyayi itu pandai mengaji dan tak absen sholat 5 waktu. Buku Gadis Pantai membukakan mata saya betapa menjadi cantik tak pernah diinginkan oleh beberapa wanita. Betapa cantik menjadi hal yang bisa merendahkan wanita. Dianggap bisa mudah saja diperdaya.

Saya sering bercanda kepada Yudo, teman saya.

"Dho, gue bersyukur gak cantik. Kebayang ya kalau gue cantik. Pasti gue udah trauma pulang ngangkot jam 10 malem."

Teman saya itu seperti biasa menanggapi dengan kalimat yang kurang ajar.

"Iya, bersyukurnya cuma di momen itu aja kan? Sisanya?"

Saya hanya bisa manyun atau mengalihkan topik pembicaraan.

Ah, cantik. Mengapa pula wanita harus cantik? Harus menarik? Harus begini harus begitu.

Terimakasih Tuhan, Kau sudah paparkan dengan jelas nyatanya cantik tak begitu penting di matamu. Tapi, bagaimana caranya agar tak ingin jadi cantik? Karena nyatanya tak semua gadis cantik bernasib baik. Bilapun baik, hanya baik didepannya saja dan pahit diakhir ceritanya.



Ciparay, 06 Juni 2015

Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)