Thursday, August 18, 2016

Over-qualified

Saya pernah ditanya seorang kandidat saat wawancara. 

"Mbak, saya mau tanya alasan kenapa pelamar kerja ditolak oleh perusahaan."

Saya diam sejenak. Mengambil nafas panjang. Menjawab pertanyaan ini saya harus yakin 100% dengan apa yang saya ucapkan. Bagi saya, itu tidak mudah. 

"Banyak alasannya. Intinya karena tidak sesuai dengan kriteria untuk posisi kosong ataupun dengan perusahaannya. Bisa karena less-qualified atau over-qualified."

"Over-qualified? Bukannya perusahaan senang ya kalau calon pekerjanya melebihi kualifikasi yang dibutuhkan?" tanyanya lagi. 

Saya menarik nafas panjang. Mencoba mengingat apa yang atasan saya pernah ceritakan kepada saya saat posisi kosong tak kunjung terisi. 

"Gini, mbak. Posisi kosong di perusahaan itu seperti botol yang tidak ada tutupnya. Kita hanya perlu tutup botol yang pas dengan botol yang terbuka. Tidak lebih kecil, tidak lebih besar. Harus pas. Walaupun sulit dan tak mudah menemukan yang 100% pas, tapi kita akan mencari yang kemungkinan pasnya lebih besar daripada yang lain. Kita ibaratkan pelamar kerja seperti tutup botol. Sulit bagi perusahaan menerima orang yang memiliki kapasitas jauh dibawah kriteria dari lowongan pekerjaan yang dibuka. Resikonya terlalu besar, perlu training dan waktu yang mungkin perusahaan tidak miliki sekarang. Jadi perusahaan perlu orang-orang dengan kapasitas mumpuni untuk dapat mengoptimalkan perannya nanti. Semua orang belajar hal baru meskipun pernah memiliki pengalaman sebelumnya, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa pengetahuan dan potensi seseorang juga bisa menentukan seberapa cepat karyawan baru bisa memikul tanggungjawabnya secara penuh. Pas juga dari sisi budget, alias ada kesesuaian antara ekspektasi gaji yang diinginkan calon karyawan dengan budget yang sudah dianggarkan perusahaan untuk posisi tersebut. Apa jadinya kalau over-qualified? Budget lebih tinggi dan ada kemungkinan untuk kehilangan karyawan kembali karena beban kerjanya terlalu mudah bagi orang tersebut," jelas saya panjang lebar. 

"Jadi, mbak kalau tidak lolos seleksi kerja, jangan putus asa dan merasa rendah diri. Mungkin saja mbak salah satu dari kandidat yang over-qualified," tutup saya sok bijak. 

Orang diseberang telepon terdiam sejenak. Sepertinya ia berusaha mencerna dan mempercayai apa yang saya katakan. Atau mungkin ia sedang berpikir saya berbohong. Entahlah, yang jelas saya sudah menjelaskan apa yang saya tahu dan apa yang sebenarnya terjadi dalam dunia rekrut-merekrut karyawan baru. 

Beruntung, mbak yang bertanya ini akhirnya bergabung di perusahaan kami. Senang rasanya melihat orang lain mendapatkan pekerjaan dan kesempatan untuk menjadi bagian dari keluarga kami. Terdengar klise ya? tapi sungguh, yang menyenangkan dari menjadi rekruter itu melihat orang lain senang karena salah satu harapannya tercapai. Bekerja di perusahaan yang ia inginkan.



Curug Candung, 18 Agustus 2016
Read More

Tuesday, July 12, 2016

Tambahan

Ingin nambah, artinya yang sudah didapat belum cukup. Entah memang tidak cukup atau tidak merasa cukup. Yang jelas butuh tambahan. Titik. 

Banyaknya keinginan, membuat saya ingin menambah penghasilan. Saya masih bekerja dari jam 8-5 (bahkan beberapa kali melebihi jam kerja), tapi ternyata saya masih bisa sibuk chatting, main media sosial mulai dari FB, IG, Path, dll. Karena satu dan lain hal, rasanya saya perlu menyibukkan diri. Terutama dengan hal-hal yang bisa memberikan income tambahan untuk saya. Menjadi pekerja lepas bukan sesuatu yang baru bagi saya. "Ngamen" psikotes di beberapa sekolah atau instansi pemerintah membuat saya terbiasa bekerja sampai pantat pegal atau mata jereng karena jejeran angka alat tes Pauli. Haha. Selain ngamen psikotes, saya juga ikut-ikutan proyek menulis dari rekan seperjuangan nyari duit saya, Pradita, atau lebih sering disebut Mawar eh Belalang maksudnya. Kenapa Belalang? Karena kacamatanya mirip belalang. Besar. Hahaha. Tenang, saya tidak sedang mem-bully. Dia memanggil saya Capung karena kacamata saya juga besar. Hahaha. 

Kembali ke pekerjaan lepas. Karena bosan tidur pasca lebaran, saya iseng mencari tahu situs penyedia lowongan pekerjaan lepas alias freelance. Dari sekian banyak rekomendasi, sepertinya saya cuma jatuh hati pada 2 situs, yaitu : 

1. Projects.co.id

Situs ini menarik karena cara pakainya mudah dan gratis. Hahaha. Gratis itu kriteria pertama cari kerja sih. Memang kebanyakan pekerjaan lepasnya untuk IT sih, tapi ada kok pekerjaan yang meminta pekerjanya untuk menulis, mendesain poster, dll. Lama-lama saya belajar coding juga ini mah euy. Demi sebongkah berlian. Hahaha. Berikut penampilannya : 



2. Sribulancer.com

Pilihan kedua saya jatuh ke Afgan. Hemeh. Hahaha. Maksudnya ke sribulancer.com. Kenapa saya senang dengan situs ini? karena pekerjaannya banyak yang membuat saya tertarik dan cenderung gak terlalu banyak fiturnya jadi kesannya gak ribet. Entah ini kelebihan atau kekurangan. Hahaha. Berbeda dengan situs yang pertama, situs ini tidak menyediakan fitur chat dengan owner proyek, kecuali jika owner proyek menghubungi pekerja terlebih dahulu. Jadi kalau ada proyek yang kurang jelas, antara menulis pesan dan menawarkan harga dengan sejelas-jelasnya, atau bid now, ask later. Haha. 



Semoga dari sekian banyak proposal kerja yang saya masukkan ada yang lolos, jadi bisa rada sibuk dan bisa dapat penghasilan tambahan. Yuk, cobain atuh biar sama-sama bisa beli sebongkah berlian. Haha. 

Oh iya, satu hal yang saya pelajari dari kejadian hari ini. Keterampilan melakukan sesuatu diluar latar belakang pendidikan (atau mungkin bertolak belakang dengan pendidikan yang ditempuh) bisa menghasilkan juga. Makanya, jangan banyakin jajan, banyakin kursus aja sekarang mah. Demi sebongkah berlian! #kekeuh

Bandung, 12 Juli 2016
Read More

Saturday, July 2, 2016

O Captain, My Captain

O captain, my captain. Panggilan unik guru Bahasa Inggris bernama John Keating di Welton Academy dalam film Dead Poets Society. Panggilan yang tentunya tidak lazim di negara manapun untuk seorang guru. Saya suka caranya menerima semua jawaban dari para muridnya. Tidak merendahkan walaupun mungkin ia tahu murid tersebut tidak menyukai pelajarannya. Ia mengajak para murid berdiri di atas meja untuk melihat perspektif lain walaupun saat mereka merasa pendapat atau jalan yang mereka ambil itu benar. Hal ini mengingatkan saya pada dosen saya yang luar biasa. Beliau memang terkenal killer karena standarnya yang tinggi dan caranya mengomentari tugas mahasiswa 'malas baca' di kelas yang agak bikin tegang. Suatu hari beliau duduk diatas meja. Sore hari di pelajaran Psikodiagnostika. Seingat saya beliau menyebutkan alasan yang sama dengan John Keating. 

sumber

Kembali ke cerita tentang film Dead Poets Society. 

Karena uniknya cara mengajar Keating, sekelompok murid 'gaul' Welton penasaran dengannya. Salah satu anggota menemukan wajah Keating dan sekilas tentang biodatanya di masa lalu di sebuah buku tahunan. Keating adalah anggota Dead Poets Society. Komunitas murid Welton yang suka membaca puisi di sebuah gua tak jauh dari sekolah asrama mereka. Lalu ceritapun dimulai. 

Saya senang dengan film ini. Dirilis tahun 1989 tapi tetap terasa inline dengan kejadian di masa sekarang. Masa dimana teori tentang anak adalah miniatur orang dewasa hampir dilupakan. Masa dimana artikel parenting sudah banyak ditemukan. Masa dimana family advisor dan hasil tes minat bakat anak mulai dianggap penting. 

Konflik yang dimunculkan dalam film ini juga terasa alami. Persis seperti kehidupan remaja lelaki pada umumnya: konformitas, cinta dan cita-cita. Entah cita-cita siapa, mereka atau milik orang tuanya. 

Saya pernah melihat film yang mirip dengan ini namun beda plot dan akhir cerita. Saya pernah sekolah di asrama, namun anehnya tak banyak merasakan hal-hal unik seperti di film-film itu. Mungkin karena keunggulan sekolah dalam film macam Dead Poets Society ini adalah mempersiapkan anak untuk masuk universitas terbaik di negerinya, sedangkan sekolah saya tidak bertujuan demikian. 

Secara garis besar, saya beri nilai 9,5 dari 10 untuk film ini. Saya suka akting Robin Williams, dll. Saya suka plotnya. Saya suka tidak ada darah-darah di film ini. Hahaha. Gampang ngeri soalnya anaknya. Ah ya, saya agak terheran-heran juga saat tahu klub-klub anak-anak pintar itu tidak jauh dari pelajaran. Hahahaha. Jadi bikin pengen belajar bareng #eaaaa #kode

Carpe diem, seize the day, make your lives extraordinary. 
Robin Williams sebagai John Keating di DPS
Read More

Monday, June 27, 2016

Bunga

Pagi ini salah satu rekan kantor mengingatkan saya kalau rekan kami berulang tahun di tanggal 27 di bulan ini. Ia menyiapkan diri untuk memberi buket mawar pink imitasi. Tapi saya mengusulkan untuk membeli buket bunga asli. Saya sedikit terheran-heran saat bertanya alasan mengapa ia menghadiahi rekan kami itu buket bunga.

"Saya mau ngehadiahin bunga aja deh, soalnya dia pernah bilang gak pernah dapat bunga," kata temanku ini. 

Menarik. Bunga ya? Terakhir saya dapat bunga itu saat wisuda. Saat-saat yang harusnya menggembirakan, namun jadi momen yang biasa saja. Saat itu, mendapat banyak bunga tidak membuat saya senang. Tapi seharusnya saya mampu mengendalikan diri. Saya berandai-andai bagaimana jika saat itu saya bisa mengontrol diri saya sendiri. Mengontrol emosi. Mengontrol amarah. Mengontrol kecewa. Ah, pasti hari itu menjadi hari bahagia. Dimana semua orang tersenyum mengucapkan selamat. Dimana banyak bunga di tangan saya. Barang yang menurut saya istimewa. Tapi apa daya, masa lalu tidak bisa diputar kembali. Penyesalan memang ada diakhir, kalau diawal namanya pendaftaran. Itu kelakar yang saya catut dari seorang teman yang saya lupa siapa. Hahaha. 



Kembali ke bunga. Sejak bunga hadiah itu datang, kami sibuk berfoto sambil memegang bunga. Menarik ya, semua wanita suka bunga. Asal jangan bunga melati yang ada di pinggir kuburan. Hiiiiiiiiih. 

Sulit juga ya menjadi bunga. Dirawat dari bibit atau steak oleh si empunya. Diberi pupuk bahkan pestisida. Setelah muncul kuncup, bunga-bunga mekar kemudian bermunculan. Singkat cerita, bunga yang sudah mekar dipotong, terpisah dari batang induknya lalu dijual ke penjual bunga. Bunga-bunga itu dirangkai oleh penjual bunga dan dibeli oleh orang-orang yang ingin membeli bunga. Rangkaian bunga itu kemudian berpindah tangan. Dibawa sang penerima ke rumahnya, lalu dimasukkan ke dalam vas. Diganti airnya beberapa kali lalu saat sudah mulai layu dibuang ke tong sampah. Bersatu dengan sampah lainnya, mulai dari struk belanja sampai pembalut wanita. 

Tapi sepertinya bunga-bunga sudah tahu dan paham bahwa segala hal yang indah dari mereka akan layu dan sirna. Setelah bau mereka tak wangi lagi, setelah helai-helai mahkota tak segar lagi, wangi bunga tak lagi menggoda. Sang penerima bunga mungkin lupa, bahwa buket bunga yang diterimanya itu juga berisi rangkaian perasaan sang pemberi. Bunga-bunga itu mungkin saja sudah menjadi sampah, tapi bisa jadi kenangan tentang kegembiraan saat menerima bunga sudah melekat dan tak mudah terhapus begitu saja. 

Saya juga gak ngerti sih, kenapa cerita tentang bunga jadi rumit begini di tulisan ini. Hahahahaha. Kesimpulannya tidak ada kesimpulan. 

Bandung, 27 Juni 2016

Read More

Wednesday, June 22, 2016

Apa Bosan?

Beberapa minggu ini cukup menarik bagi saya. Banyak hal yang tak pernah terpikir ada terjadi dalam hidup saya. Mulai dari dipindahkan kembali ke gedung awal tempat saya bekerja, sampai harus interview kandidat program percepatan karir di Jerman sana. Kaget? Jelas. Baru? Tentu. Semangat? Sayangnya tidak. 

Enaknya jadi orang ekspresif itu, tetap bisa menutupi kegundahan hati (ceileh) dengan ketawa ketiwi. Mungkin tak ada orang kantor yang sadar. Orang terdekat saya juga mungkin tak sadar. Tapi tak apa. Memang itu urusan saya dan mereka tak perlu harus tahu, tapi kalau tahu sih seneng juga #deuuuuuuu.

Pekerjaan banyak terlantar. Malas selalu melambai-lambai. Mengantuk jangan ditanya. Apakah ini namanya putus cinta? eh maksudnya apakah ini namanya burnout? Rasanya tidak juga. Saya masih senang pekerjaan saya, walaupun sedikit kesal karena satu dan lain hal. Tapi sejauh ini, pekerjaan saya cenderung mudah dan mendapatkan banyak bantuan dari atasan saya. Entah saya yang memang bukan good follower, atau memang atasan saya benar-benar problem solver. Entahlah. 

Bosan. Iya, sepertinya saya bosan. Bosan dengan kegiatan harian yang itu-itu saja. Bosan dengan tingkah laku absurd saya setiap harinya. Bosan dengan ini itu. Bosan. Semua hal yang sebenarnya bisa jadi menyenangkan tetap terlihat membosankan. Mood saya naik turun tidak jelas, padahal siklus bulanan yang menjadi sebab hormon naik turun dan munculnya kondisi senggol bacok sudah terlewatkan. Resah dan gelisah padahal tidak ada semut merah yang memandangi saya dan bertanya, "sedang apa disana?". Tidak ada juga yang meminta jawaban,"menanti pacar jawabku."

Kalau minta diri sendiri menjelaskan tentang resah dan gelisah di hati, satu-satunya jawaban paling masuk akal adalah iman saya mungkin sedang turun. Kalau bahasa gaulnya mah, futur. Mungkin kurang dzikir, mungkin kurang ikhlas dalam beribadah, mungkin terlalu banyak bergantung kepada manusia. Atau mungkin saya sudah terlalu lama tidak bermonolog. Berbincang sendirian. Berbicara dengan diri sendiri. Mengomentari diri sendiri. Mungkin. 

Sebetulnya saya bukan orang yang mudah bosan. Tingkat toleransi saya terhadap rasa bosan cenderung baik. Saya bisa mengerjakan hal yang sama dengan waktu cukup lama, apalagi tidur dan leyeh-leyeh, itu bisa lama pisan. Haha. 

Ah ya, mungkin ini bisa menjadi salah satu penyebabnya. Akhir-akhir ini saya suka mendengarkan lagu Maudy Ayunda, Jakarta Ramai. Hampir mirip dengan kondisi saya sekarang. *gak ada yang nanya, ki*
...Apa kabar mimpi-mimpi mu
Apa kau tinggal begitu saja
Apa kabar angan-angan mu
Hari ini...
...Langitnya abu hati ku biru
Banyak hal baru tapi ku lesu...

Malam ini saya jadi berpikir ulang, sebenarnya apa mimpi saya? Apa rencana saya untuk mimpi-mimpi saya? Apa usaha saya untuk mencapai mimpi-mimpi itu? Apa sebenarnya hal baru yang saya inginkan? Apa benar saya bosan? Apa saya kecewa? Apa saya mulai bergantung pada orang lain? Apa saya jadi tidak bisa mengendalikan diri saya? Apa begini? Apa begitu? Apa ini? Apa itu? Apa?

Kenapa saya masih lesu padahal biasanya bersemangat dengan mudahnya? Kenapa tak melakukan apa-apa padahal punya mimpi begitu banyaknya? Kenapa malah dengan urusan lain yang sebelumnya tak pernah dipusingkan, bahkan dipikirkan? Kenapa perasaan macam ini bercokol cukup lama? Kenapa tidak menjalani hari seperti biasanya saja? Kenapa?


Apa saya benar-benar merasa bosan? Apa benar bosan? Entahlah.


Bandung, 22 Juni 2016


Read More

Saturday, June 18, 2016

Saat Semua Menghilang

Ia datang ketika hujan mereda. Ia menjejak saat permukaan tanah basah. Menyentuh dedaunan yang disapa rintik air sapaan khas langit. Kedatangannya disambut oleh perginya mendung dari langit yang menjadi atap bumi. Langkahnya terus maju dan tak ada satupun yang bisa membuatnya mundur sedikitpun. Semakin depan, semakin cepat, semakin lebar langkah yang ia ambil. Membuat semesta terheran-heran karena tipisnya durasi yang dihabiskan untuk berjalan.

Manusia itu tersenyum. Menyambut tempat ia dilahirkan. Menyapa tempat ia ditinggalkan orang-orang tersayang. Tempat dimana ia pernah ingin pergi saja tanpa bilang-bilang. Rumah.

Ia menutup mata. Membayangkan ramainya bangunan yang disebut rumah dengan para penghuninya. Membayangkan  kesedihan yang tak berkesudahan sebelum pemahaman dan kerelaan datang. Ada air mata di ujung matanya. Membuat seluruh ketegaran yang ia bangun bisa runtuh seketika. Namun ia menarik nafas panjang. Ia tahu, semua pertemuan pasti berakhir. Mungkin manusia memang sengaja diciptakan untuk harus selalu menerima perpisahan. Sesakit apapun itu.

Saat semuanya telah tiada. Ia benar-benar paham bahwa dirinya tak memiliki apa-apa. Bahwa semua yang ia benci atau senangi memang selalu akan terjadi. Kerapuhan, keterpurukan, penyesalan, bahkan kebahagiaan memang harus dilaluinya. Dengan atau tanpa izinnya, semua itu akan terjadi kemudian berlalu dan menetap sebagai kenangan. 

Tak ada kenangan pahit, yang ada adalah kenangan yang belum bisa diterima. Tak ada kenangan indah, yang ada adalah kenangan yang sesuai dengan harapan kita. 

Manusia itu kembali mengambil nafas panjang. Ia melihat ke samping, dimana ada manusia lain yang sejak kedatangannya berada disisinya, menggenggam jemarinya erat. Seakan memberi berbicara, "kamu kuat dan semuanya baik-baik saja."

Ia sadar, sosok menyenangkan itupun pasti akan menghilang dari hidupnya suatu saat nanti. Atau mungkin sebaliknya. Ia yang lebih dulu menghilang. Tak pernah ada yang tahu. Tugas manusia bukan menentukan masa depan. Tak ada yang menarik lagi dari hidup jika kita tahu apa peruntungan dan kesialan kita esok hari. 

Saat masa itu datang, saat dimana orang-orang tersayang hilang, tak ada yang bisa kita lakukan selain menerima dan menyadari bahwa kita tak memiliki apa-apa. Bahwa kita hanya menikmati hidup yang diberikan Tuhan secara cuma-cuma. Bahwa semua hal di dunia ini hanya sementara. Bahwa semua orang sedang mendalami perannya dan meyakinkan diri mereka bahwa mereka akan hidup selama-lamanya. 


Bandung, 12 Juni 2015
Sambil mendengar sederet lagu indie yang kaya dengan kata indah
Read More

Sunday, June 5, 2016

Ada di Bulan Juni

Ada hujan di bulan Juni. Hujan yang diabadikan dalam puisi. Membuat para bayi di bulan Juni senang, bulan dimana mereka dilahirkan bisa terkenal. Ada bunga di bulan Juni. Bunga yang tak disangka-sangka bisa mekar juga, meski suhu udara di sekitarnya biasa saja dan tak berbunga-bunga. Ada harap yang tiba-tiba meninggi di bulan Juni. Harap tentang sesuatu yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, tentang banyak hal yang bahkan tak pernah lewat di fikiran. Ada anomali di bulan Juni. Dimana semua keputusan penting diambil secara hati-hati tapi tetap terasa terlalu cepat. Dimana ketakutan-ketakutan baru muncul bersamaan dengan banyaknya cerita terungkap padahal dulu ditutup rapat-rapat. Ada kamu di bulan Juni. Apa hanya berakhir di Juni atau tak pernah berakhir sama sekali, semuanya masih jadi misteri. 

Bandung, 5 Juni 2016
Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)