Saturday, January 28, 2017

Berakhir


Sedih. Iya, saya sedih karena berakhirnya sesuati di bulan pertama 2017 ini. Berakhirnya mata saya menatap ungkapan-ungkapan sarkasme yang lucu dari Eric Weiner di bukunya The Geography of Bliss. Weiner adalah bapak-bapak yang tidak bahagia dan mencari kebahagiaan. Kebahagiaan kok dicari? Iya, saya juga heran dengan konsepnya. Buku tahun 2012 ini cukup pas dengan selera saya yang aneh. Isinya tidak sepenuhnya pernyataan sikap setuju tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebahagiaan yang Weiner temui. Perjalanannya dari Belanda hingga Miami memberikan beberapa insight yang tidak biasa. 

Dulu saat video tentang betapa kecilnya manusia dibandingkan alam kosmik beredar di Facebook, saya merasa sangat kecil dan sadar (secara teknis) mengapa manusia memang tidak sepatutnya sombong. Lalu di buku ini, Weiner menuliskan bahwa manusia akan merasa lebih merasa berharga bila merasa menjadi bagian kelompok di alam kosmik, bukan hanya sebagai individu. Menurut saya ini menarik dan saya setuju dengan itu. 

source: link
Ada lagi pemikiran "itu bukan urusan saya" dari Moldova yang membuat orang-orang suram tiada dua. Weiner bilang kalau kepura-puraan sopan di Jepang lebih baik daripada kecuekan kejam yang orisinil dari Moldova. "Itu bukan urusan saya" adalah kalimat penyakit yang bisa membuat kita tidak bahagia. Lagi-lagi saya setuju dan saya rasa saya sejak dulu terpapar sakit jiwa jenis ini. Haha. 

Selain itu, ada satu potongan cerita yang membuat saya bilang "Oh iya" dalam hati. Yaitu saat Weiner mewawancara para pendatang di Asheville, California Utara. Kota ini cantik, dekat dengan pegunungan dan tidak terlalu banyak masalah perkotaan di dalamnya. Kota ini memiliki udara yang sejuk dengan penduduk dari berbagai negara. Kita bisa menemukan restoran asia sangat mudah disini. Daya tarik berupa perpaduan alam-budaya-udara yang sejuk yang tak bisa ditolak oleh siapapun yang datang kesana.

Weiner bertanya kepada setiap orang yang bilang kalau mereka jatuh cinta pada Asheville  yang membuat mereka pindah kesana selama bertahun-tahun, "Dimana kamu ingin mati?"

Semua orang tidak menjawab Asheville sebagai jawabannya. Artinya, mereka tidak benar-benar jatuh cinta dengan kota itu. Menurut Weiner itu berbahaya karena sama saja menaruh satu kaki di luar untuk berjaga-jaga bila ada sesuatu yang buruk terjadi dan tidak benar-benar mencintai sesuatu yang bisa berakibat selalu mencari pembanding dari yang sudah ada dan tidak benar-benar mensyukuri yang sudah dimiliki. 

Source: link

Baru kali ini saya merasa sedih membuka bab terakhir dari sebuah buku. Ini toh rasanya sedih baca buku terakhir dari serial Harry Potter yang teman saya rasakan beberapa tahun yang lalu. Dulu saya rasa hal itu lebay, tapi ternyata saya ngalamin juga. Wkwkwk. Saya tidak percaya karma. Ini mungkin cara Tuhan memberikan pengalaman lain untuk saya. 

Berdasarkan buku ini, bahagia itu tidak usah dicari tapi dirasakan dari apa yang sudah kita miliki. Selain itu, terkadang memaklumi dan menerima ketidaksempurnaan juga bisa menambah rasa bahagia yang kita miliki. Man pei lai! Ya sudahlah. 

Menurut saya, dari skala 1-10 buku ini berada di nomor 9.  Saya merasa cocok dengan gaya penulisan Weiner yang blak-blakan. Selain itu, saya suka caranya membahas beragam penemuan psikologi positif yang baru saya dengar sebelumnya. Saat baca buku ini, saya sempat berpikir mungkin ini lah alasan mengapa dulu saya sempat tertarik dengan kajian psikologi positif seperti flow, happiness, subjective well-being, dsb dsb. Jadi saat baca buku ini saya gak blah-bloh teuing. Gitu lah. 

“Money matters but less than we think and not in the way that we think. Family is important. So are friends. Envy is toxic. So is excessive thinking. Beaches are optional. Trust is not. Neither is gratitude.” 

Ciparay, 28 Januari 2017
Read More

Sunday, January 8, 2017

Diingat Orang



Hari ini ceritanya saya datang ke undangan pernikahan lagi. Lagi. Iya. Jangan tanya kapan ngundang #ambekanmodeon Haha.

Teman yang satu ini agak unik. Dia seringkali di-bully karena fisiknya yang terlalu kurus tapi lebih tepat dikatakan kerempeng. Hahaha. Maaf, Din. Serta karena banyak alasan lainnya. Tapi hari ini, di hari bahagianya, jumlah orang yang datang ke pernikahannya cukup banyak. Ia tidak berhenti menyalami tamu dari keedatangan saya hingga kepulangan saya dari acara tersebut.

"Banyak banget yang datang ya, teh."

"Iya, Ki. Gimana weh Dindinnya. Dia kan baik ke semua orang."

Percakapan yang menarik.

source: link

Sepulang dari acara tersebut, saya seperti biasa kelayapan di dunia maya. Semua sosmed saya buka karena masih enggak membuka laptop untuk urusan lain yang sebenarnya lebih penting. Tiba-tiba saya temukan salah satu postingan teman yang bercerita tentang temannya yang lain. Seseorang yang ia ingat dan ia kenang. Orang tersebut disebutkan memiliki banyak kelebihan dan baik hati meskipun baru pertama kali kenal. Saya tau orang itu karena teman saya yang lainnya pernah menuliskan cerita yang hampir sama dengan teman saya yang ini. Bingung gak sih? Banyak banget "teman saya"nya hahahahaha.

Intinya, menarik juga mengetahui bagaimana seseorang diingat oleh orang lain. Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati meninggalkan sampah. Eh. Salah ya? Hahaha. Maksudnya manusia mati meninggalkan nama. Hanya nama dan tentunya tentang hal-hal yang pernah kita lakukan.

Pertanyaannya, saya nanti akan diingat dan dikenang orang sebagai orang yang seperti apa ya?

Orang yang cerewet? orang yang galak? orang yang alay? orang dengan tertawa membahana badai? orang yang egois dan mau menang sendiri? orang yang kayak gimana ya? Huhuhu.

Kan gak mungkin saya dikenang sebagai orang yang cantik, baik hati, lemah lembut dan rajin menabung. Itu dusta semua. It's not me. It's not me. #naonsih


Curug candung, 8 Januari 2017

Ps: terrnyata ada orang baru disebrang kosan saya. Yeay, gak serem lagi liat kamar kosong sambil pura-pura nutup sebelah mata pas mau masuk kamar. Hahaha


Read More

Thursday, January 5, 2017

Things That Will Make Me Happy


Suatu hari ada yang meminta untuk menuliskan hal-hal yang bisa membuat saya senang. Saya rada bingung sih dengan permintaan itu karena saya gampang senang. Senang saat  dapat diskon, senang saat dapat gratisan dan senang saat diberitahu gaji naik. Hahaha.

Sebenarnya enggak juga sih. Jadi ceritanya dulu saya sering terlalu mudah senang lalu terlalu sedih setelahnya. Hal-hal itu membuat saya tidak mudah memberi label apa saja yang membuat saya senang. Kalau perasaan yang sebaliknya (sedih) itu saya dapat dengan mudah menulisnya. Melankolis banget kan gue. Mungkin kalau dimirip-miripin dengan karakter di kartun Winnie The Pooh, saya adalah si Eeyore. Googling aja lah kalau mau lebih tahu  seperti apa sih si Eeyore ini. Tapi cassingnya saya rada beda sama si Eeyore karena memang sudah dilahirkan rempong seperti ini. 

Kembali kepada hal yang membuat saya senang. Setelah dipikir-pikir, berikut 5 hal yang membuat saya senang: 

Liburan

Muka saya terdeteksi orang yang haus piknik gak? #pertanyaanabsurd 

Saya gak akan pernah nolak liburan kalau itu direncanakan jauh-jauh hari (untuk yang butuh nginep dan budget lebih dari 200k). Tapi kalau yang gak butuh nginep, budget rendah dan tidak perlu cuti mah saya siap diajak kemana juga. Dulu saking seringnya saya main diawal-awal kerja, saya sampai dijulukin "tukang ulin" sama Pak Dadang (salah satu HR di kantor). Padahal mainnya cuma ke lapangan rumput sintesis depan Masjid Agung Bandung, ke taman Balai Kota, ke Gram*dia, makan di foodcourt, dll. Intinya saya suka main, apalagi piknik. Ke Turki aja gue jabaniiin apalagi di Indonesia doaaang. Seneng lah liburan mah!

Tiba-tiba

Saya senang dengan rencana, tapi kadang-kadang juga senang dengan spontanitas. Saya senang tiba-tiba dihubungi, tiba-tiba diajak bertemu, asal jangan tiba-tiba ada masalah lalu minta putus. Hahaha. #diajakputussiapajugaki #skip. Yang tiba-tiba itu seringnya gak wah malahan. Biasa aja. Tapi gak ada di rencana sebelumnya. Hal itu bikin saya senang karena di luar kebiasaan. 

Dulu pernah ngerasa seneng banget waktu teman ngajakin ketemuan tiba-tiba di taman Balai Kota Bandung. Pernah senang juga karena ibu tiba-tiba ngajak makan di Mak Umah, warung lotek yang gak jauh dari rumah. Sempat terharu juga saat ibu atau ayah SMS tanya udah makan atau belum padahal biasanya mah boro-boro, diinget ada anak nomer 1 yang jelek kayak gini juga Alhamdulillah. Wkwkwk. Ah ya, inget juga waktu Omah tiba-tiba datang nginep di kosan sambil ngasih blazer buat saya. Misalnya lagi saat tiba-tiba cinta datang kepadakuuu~ #malahnyanyi

Tidak dipaksa

Beberapa tahun ini saya terbiasa hidup dipercaya oleh orangtua saya. Padahal dulu saya sering diatur-atur. Mau sekolah SMP dimana, kuliah dimana, jurusan apa dan lain-lain. Lalu saya berontak. Setiap melakukan hal-hal yang diminta tanpa meminta pertimbangan saya itu membuat saya merasa buruk dan sedih. Jadi, saya tidak suka dengan larangan-larangan yang tiba-tiba atau arahan-arahan yang memaksa tanpa meminta pertimbangan saya. Setelah saya menyampaikan ketidaksetujuan saya, orangtua saya mulai melunak. Saya dibebaskan pulang jam berapa saja dan menginap di kosan teman karena saat itu mereka tahu saya aktif berorganisasi. Selain itu saya bukan tipe orang yang bisa nakal pacaran, jalan-jalan, ngabisin uang, dll. Saya mageran alias males gerak dan suka merasa bersalah kalau keluar rumah tapi hanya buang-buang uang saja dan buang-buang waktu tidur saya. Buang-buang waktu mah mendingan tidur aja. Buang-buang uang mah bisa lewat online shop tanpa harus panas-panasan dan debat harga #teubeneroge.

Source: link


Dijadikan prioritas

Menjadi anak pertama artinya rela untuk terkadang tidak dilirik kebutuhannya orangtua. Melakukan banyak hal sendirian sudah jadi makanan sehari-hari. Dari kecil kalau mau main pasti disuruh ajak salah satu adik atau bahkan semua adik. Bayangkan, saya punya 5 adik dan saya harus ngajak main mereka sepanjang tahun! Andai dulu saya bisa bilang, "Yah, Bu, aku tuh butuh me time!" #yakeles #digeplakyangada

Oleh karena itulah akan sangat senang sekali kalau ada yang menjadikan saya sebagai prioritas dan diekspresikan dengan baik. Saya senang ditanya kabar, diajak mengobrol dan berdiskusi. Menjadi orang pertama yang tahu beragam kesulitan, hambatan bahkan cerita menyenangkan yang dihadapi atau sekedar kejadian sehari-hari dan kejadian lucu di hari ini. Karena menurut saya, dijadikan prioritas itu bukan sekedar terpatri dalam hati dan hal-hal yang besar, tapi juga hal-hal kecil yang seperti saya sebutkan sebelumnya. 

Diterima dan didukung

Mendapatkan perasaan diterima dan didukung adalah harapan semua orang. Kamu pasti senang saat menemukan orang yang menerima ke-absurd-an dan semua keanehanmu. Dan cenderung menghindari orang-orang yang mengomentari dirimu secara negatif. Saya punya kecenderungan memiliki kebutuhan ini agak banyak dibandingkan orang lain. Suram banget masa lalu saya mah, kalau ada orang yang gak saya suka dan dia gak suka saya, saya tinggalin cepet-cepet. Saya terlalu mengedepankan kebutuhan memiliki mental yang sehat daripada memiliki banyak teman. Daripada saya habiskan waktu dengan perasaan negatif seperti minder, sebal, kesal, bahkan benci, lebih baik saya pergi menjauh dan merasakan ketentraman lagi. Parah. Tapi pemahaman bahwa tidak semua orang menerima sikap saya yang seperti itu dan saya juga tidak bisa bersikap seperti itu terus perlahan masuk ke otak saya yang bebal ini. 

Dulu saya bercita-cita untuk tidak tinggal di satu tempat saja. Saya ingin tinggal di banyak tempat dan bertemu dengan banyak orang. Tujuannya sederhana, menghindari konflik dengan orang-orang sekitar saya jika saya memutuskan untuk menetap. Egois kan. Hahaha. 

Tapi ternyata berteman dekat dan memiliki jalinan hubungan romantis juga menyenangkan. Penerimaan dan dukungan dari orang lain seperti memberikan energi tambahan untuk saya. Dengan diterima dan didukung rasanya keegoisan saya bisa luruh sedikit demi sedikit. Karena katanya manusia akan lebih berbahagia bila ia merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar dan tidak sendirian. 

Ah ini gak nyambung banget sih isinya. Curcol semua. Bahasannya masa lalu-masa lalu aja. Gak produktif ya. Hahaha. Tapi setidaknya janji saya untuk menuliskan beberapa hal yang bisa membuat saya senang terpenuhi. Mungkin akan ada part 2 nya #kekfilmaja mungkin juga tidak. Kumaha engke weh alias gimana nanti. Saya harus bersemedi dulu untuk menuliskan kelanjutannya, mengingat mendapatkan 5 poin ini saja butuh waktu berminggu-minggu. Hahaha. 

Oh iya, ada satu hal lagi yang sangat membuat saya senang: dicintai dan mencintai. Ahiw, cinta. Bhay!



Bandung, 5 Januari 2017



Read More

Sunday, January 1, 2017

2017!


Tahun 2016 berlalu tanpa menoleh lagi padaku yang masih termanggu dan tak berbuat apapun yang signifikan demi bangsa, tanah air, agama bahkan keluarga. Berhubung resolusi saya gak pernah jauh dari beli payung, untuk tahun ini rasanya akan agak serius dari tahun sebelumnya karena payung saya belum rusak-rusak juga walaupun sering ketinggalan dimana-mana. Hahaha.

Jadi begini..

Semoga di tahun 2017 ini saya bisa menikah. Iya, menikah. Lucu ya, di blog ini sibuk memaki perasaan, ternyata saya juga masih punya perasaan. Di blog ini berkata sulit menjalin hubungan jangka panjang, tapi saat orangnya datang ternyata cukup mudah juga dijalani. Sudahlah. Intinya semoga saya bisa menikah tahun ini. Dengan siapa? Afgan? Bukan lah. Mana mau dia sama saya. Vino Bastian aja ogah. #naonsih

Saya ingin menikah dengan orang yang mau memilih saya sebagai teman hidupnya. Seseorang yang dengan baik hatinya rela mengesampingkan deadline dan setumpuk kerjaan karena saya terisak menangis, mengeluh bahkan saat saya bercerita banyak hal tak penting. Seseorang yang bisa diandalkan oleh keluarganya dan pernah melewati beragam cerita. Seseorang yang mau belajar, cukup terbuka dan luas wawasannya. Seseorang dengan bercandaan sarkasme yang menyebalkan. Seseorang yang hampir berkebalikan dari saya. Siapakah diaa? Eng ing eng. Bukan Afgan weh inti na mah. Hahaha. Semoga jodoh dan kesampean ya. Amin.




Yang kedua, semoga Nana lulus kuliah! Yeay! Sebagai mantan mahasiswa tingkat akhir yang tak kunjung berakhir, nambah 1 semester itu malah membuat saya tambah malas mengerjakan skripsi, walaupun alhamdulillahnya selesai juga. Jadi, lulusnya Nana (anak ketiga dari 6 bersaudara Auliya) itu merupakan titik transit 'kehidupan perekonomian' saya ke titik transit yang lain. Apakah itu? Bayar hutang! wkwkwkw. Serius.

Selanjutnya, di tahun 2017 saya ingin paham betul ilmu organizational development. Saya ingin bisa mengerti career management, competencies assessment, work load analysis, dan certified di salah satu spesialisasi HR (entah talent management, org development atau recruitment).

Kuliah S2 gimana, Ki? 

Nah, masih bingung ambo. Walaupun didukung oleh semua pihak untuk S2, tapiiii... belum siap bertransformasi dari orang yang membiayai menjadi orang yang dibiayai lagi. Hahahaha.

Beasiswa?

Iya ya. Tapi masih bisa spare buat kebutuhan sendiri gak ya? Masih bisa bayar-bayar gak ya? Muat gak ya buat beli-beli yang lain gak ya? Nanti LDR-an gak ya? Em..

Cemen banget isi otak gue. Hahaha. Tapi begitulah adanya.

Yang terakhir ini gak measurable. Ingin lebih sering merasa bahagia, lebih banyak baca buku, lebih banyak tempat yang dikunjungi, lebih sering nulis di blog, lebih banyak bersyukur, lebih banyak sedekah, dan lebih banyak amal ibadahnya.

Duh, klise banget ternyata harapan saya di tahun 2017. Hahahaha.

Bae ah, lapak saya ini! Bhaaay! Happy new year!


Ps: kamu gak mau nulis resolusi kamu juga? #kode
Read More

Wednesday, December 21, 2016

Menamai Perasaan



Beberapa minggu lalu saya melihat video ibuknya Kirana yang memperlihatkan Kirana sedang diajari apa itu sedih, marah, senang dan bagaimana ekspresi dari emosi-emosi tersebut, kapan dilakukan dan kapan tidak boleh dilakukan. Saya tertegun sejenak. Ah ya, menamai perasaan itu penting. Padahal caranya mudah sekali, tapi sering alpha dilakukan. Enggan dibiasakan.

Kesal, kecewa, marah itu berbeda warna dan tempat dalam spektrum emosi Plutchik. Berbeda emosi, berbeda cara berekspresinya. Katanya, (ini judgmental) orang-orang yang terbiasa mudah dimarahi oleh orang tuanya, mereka akan dengan mudah mengekspresikan emosi marah dan kesulitan mendeteksi emosi lain yang ada di belakang kemarahan mereka. Marah bisa karena kecewa, marah bisa karena sedih, marah bisa karena enggan, marah bisa karena tak pernah melewati kondisi tertentu sebelumnya. 



Saya pernah melihat seorang pengguna jalan yang marah-marah saat motornya mogok. Bapak itu membonceng seorang anak perempuan. Bapak itu berteriak-teriak seperti orang marah lalu meminta anaknya untuk turun dari motor karena motornya tiba-tiba berhenti. Sepertinya marah juga bisa karena panik. 

Mendeteksi emosi, menamai perasaan. Dua hal yang susah-susah-mudah dilakukan. Saya pernah merasa down selama beberapa minggu. Minggu loh men, bukan hari! Uring-uringan tak jelas kepada semua orang yang saya temui. Berbicara dengan nada tinggi kepada siapapun yang mencoba memberikan perhatian. Menyakiti mereka yang sebenarnya ingin membantu.

"Lo anamnesis diri sendiri aja deh, Ki. Lo inget-inget lagi apa yang lo alami beberapa minggu ke belakang. Lo cari tahu kenapa lo ngeselin kayak model iklan sn*akers yang kelaparan akhir-akhir ini. Nyebelin tau!!" keluh seorang teman dekat saya. 

Sakit hati sih waktu itu. Hahaha. Tapi akhirnya saya lakukan juga. Ternyata saya baru sadar saya merasa kecewa lalu saya pendam sendirian. Saya baru sadar saya kesal pada diri saya sendiri karena tidak mencapai apa yang ingin saya capai. Saya lelah karena terlalu banyak yang sedang saya kerjakan. Saya butuh orang untuk berkeluh kesah. Singkat cerita, mood model iklan sn*akers pun hilang karena saya curhat habis-habisan kepada teman saya yang merekomendasikan untuk melakukan anamnesis terhadap diri saya sendiri. Hahaha. Salah siapa suruh anamnesa, kan jadi katempuhan :D

Menamai perasaan terdengar terlalu lebay mungkin ya. Tapi coba bayangkan seorang anak yang tidak tahu apa yang ia rasakan dan tidak bisa mengekspresikan emosinya saat ayahnya menolak untuk bermain dengannya, Ia akan berteriak, menangis, atau mungkin melempar. 

Menurut saya, manusia dewasapun begitu. Emosi untuk dikenali, emosi untuk diekspresikan. Bukan untuk dipendam dalam-dalam. Kalau semua dipendam dalam-dalam dan disimpan dalam diam, lama-lama mungkin otak dan hatimu akan meledak. Tak tahan dengan semua kebingungan yang kamu rasakan. Gak mau jadi gila, kan?


Nb: akhirnya kelar juga nulis postingan ini. Isinya gak penting sih, tapi sampai 2 bulan baru kelar. wkwk


Read More

Friday, November 18, 2016

Skandal


Di otakku hingga hari ini, ikatan pernikahan itu adalah ikatan yang sakral, kalau bisa hanya 1 kali seumur hidup. Menikah artinya siap mencintai, siap mencintai kelebihan dan kekurangan pasangan. Kalau kata seseorang, "pada akhirnya pasangan kita itu selalu menyebalkan, jadi baiknya kita cari calon pasangan yang kita benar-benar rela dibuat sebal olehnya."

Saya masih yakin, setidaknya hingga hari ini, pasangan (suami/istri) yang kita pilih itu sudah benar-benar dipikirkan matang-matang. Maka, jika ada kesalahan yang dilakukan, saya mengkhayalkan bahwa menegur, menasehati dan menjaga adalah hal yang wajar dan HARUSNYA dilakukan. Tapi seringnya keyakinan ini tidak sesuai dengan banyak kejadian dimana saya menjadi saksinya. 

Skandal terjadi dimana-mana. Pada teman dekat maupun teman yang sekedar lewat. Dari dianggap sebagai hal yang memalukan hingga dianggap wajar karena salah satu cara pelarian. Skandal, seperti warung makan di bulan Ramadhan, ada yang buka-bukaan, ada yang hanya tertutup tirai. 

Need two to tango. 

Skandal tidak akan terjadi bila salah satu menolaknya, sekeras apapun salah satu pihak menghendakinya. Skandal bisa bermula jika kedua pihak sama-sama membuka diri, entah dengan alasan apa. 

Kalau kata The Changcuters, "main serong berbahaya but it's so fun."

Fun ya? 

Hemm.


Skandal. Seringnya saya menjadi pengamat dan mendapatkan bagian sebagai penampungan cerita-cerita macam ini. Biasanya diawali dengan alasan lawan skandal orang yang bercerita kepada saya. Selalu keluar alasan yang dibuat masuk akal agar skandal terdengar manusiawi, bisa diterima dan dianggap wajar. Tapi biasanya saya hanya diam, mengerenyitkan dahi lalu menangis diam-diam sebelum tidur. Iya, menangis. Saya sedih dan merasa kasian. Pada para pasangan yang ditinggalkan dan seakan ditusuk dari belakang oleh orang yang (setidaknya pernah) mereka cintai. Pada kepercayaan yang ternodai. Pada beberapa orang yang masih beralasan dan beranggapan mereka orang baik padahal menodai ikatan suci. Kenapa tak menyelesaikan satu masalah (cerai) lalu memulai kehidupan (yang penuh masalah) lagi? 

Hubungan interpersonal terutama hubungan dekat yang intim (intimate relationship) memang selalu membingungkan. Banyak buku mengupas bagaimana cara mempertahankan hubungan, tapi masih banyak kasus perselingkuhan. Banyak orang terlalu cinta pada pasangannya sehingga pasangannya tersebut terlalu berbesar kepala dan merasa pantas melukai hati orang yang mencintainya. 

"Ki, kejadian kayak gini tuh karena istrinya dia gak pernah dandan di rumah, kucel, bau, pake daster. dsb dsb."

Beliin atuh lah! Kasih duit buat beli make up, nyalon, ajakin belanja. Situ mau istrinya cantik kayak selebritis harum mewangi sepanjang hari tapi gak dimodalin? Ah elo.

"Ki, kejadian kayak gini tuh karena suaminya kurang perhatian, cuek dan kayak gak mau tau sama istrinya."

Untuk yang satu ini saya angkat tangan. Masih gak tau cara meningkatkan kepekaan dan tingkat perhatian para lelaki kepada pasangannya. Tapi apa para lelaki itu terlalu sibuk untuk memberi sedikit waktu mereka kepada orang yang (katanya) mereka cintai? Padahal kadang berbicara beberapa menit melalui telepon atau beberapa waktu bertukar cerita itu cukup untuk wanitanya. Padahal menurut saya mencintai adalah meluangkan waktu. Ada orang bilang, "tidak ada seorangpun yang sibuk, kecuali kamu tidak ada dalam urutan prioritas mereka."

Tapi respon saya terlalu "perempuan tak pernah salah" ya. Hahahaha. Maklum, akupun wanita #eaaaaaa.

Dulu saya sering bertanya-tanya kenapa ibu saya sibuk banget kalau ayah belum pulang lepas jam 7 malam. Saya juga sempat terheran-heran mengapa setiap teman kerja lelaki yang belum pulang ke rumah selalu ditelepon para istrinya jika masih ada di luar rumah diatas jam 7an. Ternyata rasa waswas dan tak percaya ataupun khawatir wanita tak pernah hilang pada pasangannya, karena dalam urusan hati kabarnya lelaki tak bisa sepenuhnya dipercaya. 

Oh ya, ini hanya pendapat pribadi saya. Kamu berbeda pikiran? Sudahlah, ini hanya berisi omong kosong belaka. 


Bandung, 18 November 2016
Read More

Wednesday, November 16, 2016

Bahasa Akar Rumput


Hari ini ada seminar singkat tentang bagaimana meningkatkan produktivitas karyawan dan profitabilitas perusahaan dalam satu waktu. Pembicaranya adalah seorang trainer yang katanya terpilih sebagai trainer terbaik dalam konferensi entrepreneurship internasional di Hongkong. Cara beliau menyampaikan materi cenderung unik karena biasanya para trainer terlalu banyak gimmick, games, dll yang membuat saya sebagai peserta terlalu lelah untuk fokus ke materi inti karena terlalu senang bermain games. Masa kecil kurang piknik kayaknya. Hahaha. 

Pemateri menjelaskan betapa pentingnya menjadikan Learning & Growth-nya karyawan sebagai akar sebuah perusahaan. Karena dengan learning & growth yang baik, maka karyawan akan memberikan performa optimal mereka kepada perusahaan yang mengakibatkan tingginya kualitas maupun profitabilitas perusahaan. 

Beliau memberikan banyak contoh tentang perusahaan yang sukses melakukan perubahan dari hanya sekedar Good Company menjadi Excellent Company. Maksud dari Excellent Company ini adalah situasi dimana target produksi melampaui target namun tidak ada yang stress dengan target tersebut. Para leader biasanya berfokus pada sistem dan membuat banyak standar untuk meningkatkan kualitas tanpa memperhatikan sekumpulan orang yang menjadi penggerak utama bisnis mereka, yaitu para karyawannya. Mereka juga seringnya lupa kalau kebanyakan pekerja adalah para blue collar, alias buruh pabrik. Buruh pabrik yang masih tak mengerti urgensi kolaborasi, mereka yang tak mau tahu mengapa mereka harus ikut pusing dengan kondisi perusahaan, toh gaji mereka masih UMK UMK saja, tidak seperti para atasan yang pendapatannya beberapa kali lipat dari gaji mereka.

Lalu bagaimana caranya agar para blue collar ini paham tentang pentingnya meningkatkan profibilitas perusahaan?

Menurut pemateri yang mengajar saya, caranya menyampaikan apa yang perusahaan inginkan kepada mereka dan menyederhanakannya dengan bahasa akar rumput, grassroots language. 

Di awal sesi training sang trainer menunjukkan banyak cara kreatif untuk mengkampanyekan bahasa akar rumput tersebut. Awalnya saya risih dan berpikir, "apaan sih? Perlu banget ya teriak-teriak 'kami bisa! PT.XXX nomor 1! Target 1 trilliun enteng! ENTENG!' emang ngaruh ya sama produksi?? Emang bisa meningkat dengan cara itu?"

Saya lupa modifikasi perilaku bisa dilakukan dengan cara apapun. 



Pak Trainer bercerita, salah satu pemimpin anak perusahaan sebuah grup besar di Indonesia mengatakan kalimat ini saat memberikan sambutan sebelum program ini dimulai:

"Saya tidak peduli para kompetitor mengambil mesin-mesin saya, database saya, bahkan mengambil pabrik saya. Tapi jangan lakukan satu hal kepada saya, mengambil karyawan saya. Karyawan perusahaan inilah yang bisa membuat perusahaan ini ada hingga saat ini. Mereka orang-orang yang paling berharga di perusahaan ini."

Konon, semua mbok-mbok (perusahaan ini kabarnya masih mempekerjakan lulusan SD), bahkan tukang sapu di perusahaan tersebut ikut serta dengan senang hati dalam program peningkatan kinerja dan profitabilitas tersebut.

Ada lagi cerita lain tentang bahasa akar rumput. Pak Trainer bercerita bahwa ia sampai kehabisan ide untuk mengubah kondisi pabrik cat yang luar biasa berantakannya. Tempat yang berantakan ini seringkali dijadikan sebagai transit barang-barang curian dari dalam perusahaan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Hingga akhirnya ia terpikir satu ide yang menurut saya unik-unik-lucu. 

Pak Trainer membuat spanduk besar dengan tulisan yang kurang lebih seperti ini: "Segeralah bertaubat karena tempat ini tidak bersih dan mencerminkan orang-orang didalamnya kurang beriman" pada tempat-tempat yang dianggap tidak rapi. Selang 3 hari dari pemasangan spanduk, pihak perusahaan mengirimkan surat kepada istri pekerja yang bekerja di area tidak rapi tersebut lengkap dengan foto lokasi kerja dan tulisan "Tolong bantu untuk mendorong suami anda melakukan sholat tahajjud lebih banyak lagi agar imannya lebih bertambah." Dampaknya? Kurang dari seminggu setelah peringatan unik tersebut diberikan, tempat yang tidak rapi sudah rapi jali lagi. Hahaha. Ada-ada saja idenya. Ini mungkin terdengar SARA dan kurang enak bagi saya, tapi peringatan ini beliau lakukan berdasarkan hasil observasi lapangan dan ternyata cocok dengan keadaan disana. 

Bahasa akar rumput, saat semua orang punya bahasa yang berbeda. 


Bandung, 16 November 2016
Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)