Dulu, orang hebat itu adalah orang-orang yang mengeluarkan teori. Teori psikoanalisa oleh Sigmund Freud, teori relativitas dari Einstein dan teori-teori lainnya. Makin kesini, mengutarakan teori dianggap sampah. Padahal membuat teori itu tidak mudah. Bayangkan saja proses berpikir dimana kita bisa sampai kepada kesimpulan lalu berasumsi dan membuat teori. Teori ini nantinya akan divalidasi melalui penelitian dan juga berbagai pembuktian. Belum lagi ketika teori baru itu bertolak belakang dengan teori lama yang banyak pendukungnya. Ah, membayangkannya saja sudah rumit, apalagi membuatnya.
Sekarang, yang penting orang membuat karya nyata. Karya nyata yang biasanya berbentuk benda. Padahal teori dan membuat benda maupun karya sama-sama sulitnya. Sama-sama membutuhkan waktu yang lama. Sama-sama membutuhkan kita untuk berpikir secara mendalam dan menyusun bukti-bukti secara perlahan.
Semakin lama orang akan semakin mudah mengungkapkan pendapatnya. Dimana salah dan benar selalu ada pendukung yang saling menyalahkan satu sama lain. Membuat perbedaan terlihat tak berarti dan harus diluruskan. Padahal, berbeda tak selalu salah. Bertolak belakang tak perlu saling menyerang.
Teori terdengar seperti bukan karya, padahal ia adalah karya pikiran yang jarang dilakukan oleh orang sembarangan. Hanya orang-orang yang berkeyakinan kuat, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan mampu untuk meluangkan waktunya untuk menyimpulkan apa yang ada dipikirannya.
Banyak dari para pemikir sekarang dianggap selalu ada diatas menara gading. Tak tersentuh. Tak berkontribusi pada masa depan yang lebih baik. Padahal banyak perubahan didasari oleh pemikiran sederhana yang mendalam.
Walau kini teori sering kali disandingkan dengan kata "hanya", tapi berteori membuat kita berpikir dan memproses fakta-fakta yang ada disekitar. Hanya teori, satu frasa yang diperuntukkan bagi orang-orang yang ngomong doang, ngerjain kagak. Membuat para cendikiawan terlihat mengambang dan tak ada di dunia nyata.
Menurutku, teori bukan kata benda yang pantas disandingkan dengan hanya karena teori adalah bentuk karya yang mungkin saja sekarang terlihat tak nyata.
Bandung, 29 Desember 2020
Dulu saat masih kecil sangat mudah menyebutkan cita-cita. Tidak pernah ada beban apa yang diucapkan harus sesuai dengan kenyataan. Menyebutkan cita-cita seperti menyebutkan makanan kesukaan. Mudah, lugas dan seringkali lebih dari satu. Saat kecil rasanya mungkin menjadi apapun. Orang tua cenderung selalu mendukung dan mengamini apa yang diucapkan. Bisa menyebutkan "ingin menjadi dokter" saja sudah membuat orang tua bangga.
Tak pernah ada waktu untuk memikirkan dengan matang apa yang bisa kita sebut sebagai cita-cita. Hidup berjalan begitu saja. Ada yang dipaksa untuk menjadi profesi tertentu, ada yang berjalan mengikuti alur yang membawanya, ada juga yang kebingungan dan hilang arah, entah mau jadi apa kedepannya.
Cita-cita kita seringkali merupakan manifestasi dari cita-cita orang tua, begitupun orang tua kita, banyak dari mereka yang hidup untuk menghidupkan cita-cita dari kakek nenek kita. Ada yang sukarela mengikuti, ada juga yang memberontak dan melawan demi mengikuti kata hati.
Saat menjadi dewasa, kita mulai sadar bahwa cita-cita tak semudah itu diucapkan. Akan ada runtutan pertanyaan yang menghadang apalagi jika tidak sesuai dengan harapan.
Mengejar cita-cita juga kadang penuh zona abu-abu. Standar ketercapaiannya tidak jelas sepenuhnya. Setiap orang bisa mendefinisikan terpenuhinya cita-cita dengan macam-macam cara. Cita-cita pun bergeser dari profesi menjadi aktivitas nyata yang mudah dicapai sekejap mata. Dari mulai jalan-jalan ke luar negeri sampai makan apa hari ini. Cita-cita yang dulu terlihat agung, sekarang mengerdil dan semakin sederhana.
Tapi seberapa penting sih cita-cita?
Kata orang, gantungkan cita-cita setinggi langit. Jika jatuh, ia akan tersangkut di bintang-bintang. Tapi kenapa harus setinggi itu? Kenapa harus mencari ancang-ancang untuk jatuh?
Bandung, 24 Desember 2020
Tahun 2019, saya kembali dapat kesempatan untuk ikut training di Aalst, Belgia. Disana ada kantor pusat untuk salah satu unit bisnis perusahaan tempat saya bekerja. Agar bisa ikut dalam pelatihan tersebut, saya harus mengurus VISA Schengen di kedutaan Belanda, karena tidak ada kedutaan Belgia di Indonesia. Ada banyak perbedaan dibandingkan dengan pengurusan VISA di tahun 2014.
Di tahun 2014, saya harus datang ke kedutaan besar Belanda, sedangkan di tahun 2020, saya cukup datang ke kantor VFS di mal Kuningan City. Beberapa berkas juga berbeda. Kini, saya diminta untuk mempersiapkan terjemahan kartu keluarga dan KTP dalam Bahasa Inggris. Dulu gak ada syarat itu seingat saya. Saya juga diminta untuk menyediakan fotokopi paspor full, seingat saya dulu tidak perlu. Tapi entahlah, sudah 5 tahun berlalu saya jadi kurang ingat juga bagaimana pastinya.
Tahapan pertama, baiknya kamu mengunjungi lama VFS di link ini. Disana kamu harus mengisi formulir pengajuan visa. Jika sudah, akan ada daftar dokumen yang harus disiapkan olehmu. Jika ingin liburan, biasanya visa yang diajukan adalah visa jangka pendek, bisa single entry, bisa juga multiple entry.
Tahapan kedua, mengatur janji temu untuk pengajuan visa. Di website VFS juga dapat dilakukan pembuatan janji temu, yang mana kita harus datang ke kantor VFS untuk menyerahkan berkas-berkas, wawancara, perekaman biometrik dan pembayaran visa.
Di tahapan kedua inilah saya melakukan kesalahan (lagi). Cerita pembuatan visa saya sepertinya penuh dengan kebodohan saya yang terungkap. Kali ini, saya tidak melihat janji temu yang saya buat dengan seksama. Janji temu yang saya buat itu jam 11.00 WIB. Sedangkan saya mengira, memiliki janji temu di 11.30 WIB. Padahal saya sudah datang dari jam 10.00 WIB. Sial banget kan fufufufu. Peraturannya menyebutkan bahwa kalau kita telat 15 menit, maka kita dianggap tidak datang dan pengajuan janji temu dibatalkan. Artinya, saya tidak bisa mengajukan visa di hari itu dan harus menunggu 2 minggu lagi. Gimana?
Setelah berdebat dengan security dan saya meyakinkan dia bahwa saya ada di depan kantor mereka selama menunggu, saya tetap tidak diperkenankan masuk kantor di hari itu. So sad :(
Sampai akhirnya saya diminta bertemu dengan salah satu pegawai VFS yang handle pengajuan VIP. Beliau menjelaskan kalau mau tetap mengajukan di hari tersebut, maka saya bisa mengambil slot setelah jam 2 siang, jika slot pembuatan visa masih ada (ya pasti ada wong saya gak jadi masuk karena telat -_-). Untuk mengambil slot tersebut, kita harus menambah biaya sekian ratus ribu. Saya lupa pastinya. Kita juga bisa mendaftar menjadi pengurusan VIP dengan lounge terpisah dan tidak ngantri, tapi harus bayar lagi sekian juta.
Saya yang bimbang langsung menelepon atasan saya minta kebijakan beliau. Beliau sarankan untuk mengambil slot diatas jam 2 siang karena kantor saya tidak jauh (di Sudirman), jadi saya bisa pulang ke kantor dulu.
Saya kembali lagi ke KunCit jam 13.30 WIB dan diminta si bapak pegawai tadi untuk foto dulu karena saya juga lupa belum menyiapkan foto. HAHAHA.
Setelah memenuhi janji temu saya dan pemeriksaan berkas sudah dilakukan, saya bisa pulang dan memantau progress visa melalui SMS dan juga website VFS. Kurang lebih sekitar 3-5 hari visa sudah bisa diambil.
Tahapan ketiga, mengambil paspor yang sudah ditempeli visa. Saya kembali datang ke kantor VFS untuk mengambil paspor dan visa. Jika sudah diambil, artinya tahanya pembuatan visa sudah selesai!
Ada beberapa tips yang saya mau sarankan untukmu:
Jakarta, 22 Agustus 2020
Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)