Tuesday, April 29, 2014

Seimbang

Malam itu langit berwarna hitam pekat. Suara gemuruh dan cahaya putih di langit membuat jalanan sedikit terang. Terang dan menakutkan lebih tepatnya. Malam itu langit sedang melakukan tugasnya. Menyeimbangkan alam dengan menurunkan hujan. Hujan terderas yang pernah saya rasakan. Saya tidak bisa melihat dengan jelas jalan yang ada di depan. Lampu sorot dari motor butut Ayah tak kuat menembus derasnya hujan. Kami memutuskan untuk tidak menepi. Kami ingin cepat-cepat sampai rumah. Keputusan yang salah memang. Sepengetahuanku, hujan deras biasanya hanya terjadi beberapa menit, paling lama yaaa 15 menit, selanjutnya hujan rintik-rintik yang tidak terlalu deras. Kami salah perhitungan. Sekitar satu jam kami diguyur habis-habisan oleh hujan deras yang enggan berhenti. Jangan tanya motor butut Ayah, pastinya sudah mogok berkali-kali. 

Menahan tangis khawatir di saat yang menegangkan memang menjadi tantangan tersendiri bagi saya yang terlalu melankolis. Tapi dipikir-pikir, menangis tidak akan membuat hujan menjadi reda, malah menambah langit malam ini terasa semakin pekat.

Saya pernah melihat film Life of Pi, rasanya kondisi saat itu cocok bila dipadankan dengan kondisi dimana kapal laut sedang diterjang badai. Seram. Langit mengamuk. Air sungai meninggi. Motor butut mogok berkali-kali. 

Langit hanya melakukan tugasnya untuk membuat dunia ini tetap seimbang. Sekaligus mengingatkan manusia seperti saya bahwa ia tak pantas untuk mengangkat dagu dengan sombongnya sedikitpun. Semampu apapun manusia, ia hanya bisa menjejak tanah dengan bantuan daya gravitasi yang Tuhan miliki. Keberuntungan yang didapatkan tak ubahnya satu dari sekian banyak kejadian yang berguna untuk menyeimbangkan kehidupannya. Roda pasti berputar. Dunia tak akan terus menerus hujan. Kesombongan manusia hanya membuat ketimpangan terjadi ditengah keseimbangan yang sudah digariskan Tuhan.
Read More

Dari Bumi Manusia, Hingga Mitologi Jawa

Akhir-akhir ini saya sedikit keranjingan dengan buku-buku yang berbau sejarah dan budaya suku Sunda dan Jawa. Entah karena pertama menatap rak buku di Bapusipda Jabar menemukan buku-buku itu, atau memang ini adalah ketertarikan terpendam saya. Entah. Intinya, Tuhan menggariskan saya membaca beberapa buku yang berbau sejarah lengkap dengan budaya dua suku itu. Buku yang saya baca hanya novel dari Pram "Bumi Manusia", selain itu ada "Bupati-bupati Parahyangan" dan "Mitologi Jawa". Baru tiga buku saja sudah membuat saya berspekulasi banyak hal. Hahaha.

Bumi manusia berkisah tentang Minke, pemuda Jawa yang tinggal bersama dengan anak Nyai Ontosoroh, gundik pria Belanda. Pram begitu apik menggambarkan ketimpangan-ketimpangan yang ada. Bangsa Eropa yang dengan bangga mengenalkan etika ala Eropa, nyatanya tak pernah benar-benar melakukan hal yang sama seperti yang mereka banggakan. Miris. Banyak kutipan percakapan ataupun narasi yang membuat saya tertampar berkali-kali. Walaupun saya agak kurang suka dengan keputusan Minke tinggal bersama (kohabitasi) dengan anak Nyai Ontosoroh. Mungkin moral disgusting saya terlalu tinggi. Hahaha.

Bupati-bupati Parahyangan adalah buku yang menceritakan tentang kedudukan, fungsi dan peran bupati di tanah Parahyangan dari masa ke masa. Dari kedudukan mereka sebagai Raja dari kerajaan-kerajaan Sunda, hingga menjadi bupati yang notabene adalah kepanjangan tangan Belanda kepada rakyat jelata. Orang-orang Belanda dengan cermatnya menemukan cara bagaimana agar para bupati ini dapat membantu misi eksploitasi mereka. Pintar, pengambilan keputusan yang memperhitungkan kebudayaan setempat. Berbagai kisah kebijaksanaan para bupati untuk melindungi warganya diceritakan dengan baik. Hubungan hamba dan tuan antara rakyat dengan bupati tak serta merta membuat beberapa bupati lupa bahwa rakyat mereka adalah orang-orang yang harus mereka jaga. Buku ini mengungkapkan bahwa bupati Parahyangan tak semata-mata menjadi alat pemeras Belanda. Menarik.

Mitologi jawa, buku terakhir yang membuatku tercengang, ajaran jawa purba sangat filosofis. Berbagai kisah dalam berbagai bentuk karya sastra memerlukan pemahaman mendalam untuk memahaminya. Banyak nilai moral yang tersirat dari kisah-kisah tersebut. Awalnya, saya berpikir banyak cerita-cerita dewa-dewa itu sangat absurd dan tidak masuk akal. Nyatanya memang benar-benar tak masuk akal, karena perlu dipahami dengan hati. Setiap penamaan tokoh diperhitungkan dengan cermat, agar nilai moral yang disampaikan dipahami dengan tepat. Meski 'hembusan-hembusan' mistisnya juga sangat kuat terasa, namun ajaran para pendahulu tentang alam raya memang tak cukup untuk diacungi dua jempol semata. Keren.

Buku ketiga mengingatkanku pada perjalananku ke Kampung Naga di Tasikmalaya. Semua yang mereka lakukan diperhitungkan dengan cermat. Air bekas wudhu harus mengalir ke arah mata angin tertentu, tujuannya agar nantinya tidak tercampur dengan air bersih. Banyak larangan, banyak nilai yang terkandung di dalamnya. Menarik, sungguh menarik. Terkadang mitos yang membungkus ajaran baik itu terlalu kuat, sehingga orang-orang yang mempercayainya bulat-bulat seperti saya dengan mudah memberikan label "musyrik", "janggal", dan sebagainya. Ah ya, saya memang harus memahami nilai-nilai lokal dengan hati.

Dari Bumi Manusia, hingga Mitologi Jawa. Hanya tiga buku, tapi saya sudah lebih dari suka. Saya berkali-kali berasumsi, mereka-mereka yang lebih dulu tinggal sebelum kita lebih 'modern' dan bersahaja. Nilai universal yang membuat dunia ini seperti desa kecil dengan kebudayaan yang sama, lambat laun menyisihkan nilai-nilai lokal yang bisa membuat kita lebih bijaksana. Terkadang saya berpikir nilai universal baiknya tak diserap begitu saja. Tak perlu latah menganggap hal yang dinyatakan benar disana menjadi benar disini. Nilai-nilai budaya dan kearifan lokal Indonesia rasanya lebih 'pantas' menentukan kebenaran menurut versi orang Indonesia.

Semoga bisa diberikan kesempatan untuk memperdalam budaya dan sejarah suku-suku yang ada di Indonesia dari sudut pandang psikologi. Amin.
Read More

Tuesday, April 22, 2014

Tuna Segalanya

AYAHKU BISU DAN TULI ini video yang membuatku tertegun. Ayah dan Ibuku memang tidak bisu dan tuli. Mereka sehat. Mereka bisa melihat, mendengar, mencium bebauan, merasakan udara panas atau dingin dan juga menyecap berbagai rasa yang ada di dunia. 

Tapi aku merasa menjadi anak bodoh yang ada di dalam video itu. Menuntut banyak hal pada mereka berdua. Tertekan dengan berbagai kealpaan mereka yang kutemukan dengan sengaja maupun tidak sengaja. Aku.. Ah, aku merasa bodoh, tolol dan tak menolak dijuluki dengan semua julukan-julukan buruk yang ada di dunia.

Aku merasa diriku seperti anak dalam video itu. Menuntut mereka menjadi sempurna. Sesempurna apa yang dilihat orang-orang di sekitar mereka. Menuntut mereka menjadi orangtua terbaik, padahal aku jauh dari julukan anak terbaik. Menuntut mereka sadar dari kealpaan yang mereka lakukan. Bak aku adalah manusia yang tak dilengkapi dengan ketidaksempurnaan.

Aku juga heran, mengapa diriku seperti terbagi dua. Sisi yang satu bisa menampilkan sosok yang tak peduli atas semua tingkah tak sopanku pada mereka. Sisi yang lain menyesal semenyesal-menyesalnya. Mungkin aku sehat secara fisik, tapi tidak secara psikis. Apakah aku anak durhaka? 

Ayah dan ibuku bukan tuna rungu ataupun tuna wicara. Aku yang tuna segalanya.
Read More

Tuesday, April 8, 2014

Kata Perintah

Aku sempat pusing, bingung dan merasa bodoh. Saat salah satu anak di dalam kelas bertanya, "apakah kata perintah bisa digunakan untuk kata ganti orang ketiga tunggal ataupun jamak (dalam bahasa Arab disebut ghoib atau ghoibah)?

Sial, aku tak tahu jawabannya.

Tak mau terlihat bodoh, dengan jumawa aku berkata, "jadi PR ya? Cari di kamus."

Taktik bodoh yang anak-anak itupun tahu bahwa aku juga tak tahu. 

Singkat cerita, jawabannya hanya ada beberapa lembar ke depan dari lembaran dimana aku menyampaikan materi di hari dimana pertanyaan itu terlontarkan. Jawabany, tidak. Kata perintah hanya bisa digunakan untuk kata ganti orang kedua (dalam bahasa Arab disebut mukhothob atau mukhothobah). Memang dengan akal sehat saja bisa tertebak jawaban dari pertanyaan anak itu, tapi aku tak mau gegabah, siapa tahu memang ada aturan tata bahasa yang berbeda antara bahasa Indonesia dengan bahasa Arab. Nyatanya tidak. Aku saja yang jarang memperbaharui dan menguatkan materi-materi yang kukuasai dengan benar. 

Kata perintah yaitu kata yang digunakan oleh seseorang untuk meminta orang lain melakukan sesuatu. Kata ini hanya bisa dipakai bila kita berbicara langsung dengan seseorang. Jadi, masih bergunakah kita memerintah dan mengharapkan orang lain untuk melakukan apa yang kita inginkan bila tidak langsung berhadapan ataupun berkomunikasi dengannya? 

Katakan secara langsung. Kata perintah dan segala hal yang bernada sama dengannya tidak dibenarkan bila digunakan untuk para ghoib dan ghoibah.
Read More

Sunday, April 6, 2014

Mendung Lagi

Mendung lagi. Setiap tahun selalu mendung. Tahun lalu, aku berusaha menjadi dukun hujan. Mencegah mendung menurunkan hujan karena manusia dibawahnya tak semua memiliki penangkal hujan. Hujan air lebih baik daripada hujan cacian. Aku jengah, sungguh benar-benar jengah. Bagaimana tidak, setiap hari mendengar orang menghujat. Setiap hari mendengar orang menyebutkan kesalahan dan mengajak berkelahi. Andai aku tak punya otak, entah sudah berapa kepalan tangan aku layangkan. Bukan ke manusia yang menyebalkan, tapi ke tembok yang aku temui sepanjang jalan. 

Mendung itu selalu datang karena muatan-muatan uap air yang ada di dalam awan. Hembusan angin membuatnya berdiam diatas sebuah rumah. Rumah dimana sang angin pernah berucap bahwa ia takkan mengganggu siapapun dalam rumah itu. 

Angin itu datang lagi. Merusak semua konstalasi yang sudah kami usahakan ratusan hari. Mungkin mereka pikir semua keringat kami hanya ludah yang pantas dibuang begitu saja. Mereka lupa, ludah membuat mereka mudah mencerna makanan. Mereka alpa, mereka mengakui manfaat ludah itu lantas membuangnya menjauh dari tubuh mereka. 

Rumahku berwarna ungu. Angin dan mendung jelas berwarna hitam. 

Angin dan mendung tak pernah mau tahu, bahwa rintik hujan yang mereka bawa bisa melunturkan warna rumah kita, rumahku juga rumah mereka. Rumah yang kabarnya mereka ingin jaga warnanya bersama-sama. 

Semua hal memang berdinamika, sebagian orang mengaku salah, sebagian yang lain sibuk ribut menyalahkan, sebagian sisanya mudah abai pada usaha orang-orang yang tak ingin mereka ribut karena mendung yang berkali-kali terjadi setiap tahunnya. 

Aku gagal. Mendung datang setiap tahun. Angin ribut di tahun lalu, angin tornado di tahun ini. Tak ada yang baik dari angin-angin itu. 

Lalu aku memutuskan menjauh. Menenangkan diri. Mencaci diri karena abai pada solusi. Kini aku kembali. Mungkin wujudku sekarang hanya sebagai daun jatuh yang tak akan terdengar gerakannya. Tapi aku masih ingin mengulurkan tangan. Sebelum tanganku putus dan tak bisa terulur lagi. Aku tak ingin mendung kembali menghampiri. Semua lelah dengan keributan yang dilabeli dinamika. Semua muak dengan ambisi menjatuhkan sesama. Semua paham, yang dibutuhkan mencari jalan tengahnya. 
Read More

Jejaring

Banyak kelebatan bayangan yang datang hari ini. Wajah-wajah manusia lengkap dengan kisah-kisah mereka hingga cerita beberapa film yang kutonton akhir-akhir ini. Alhasil, aku begitu produktif menulis hari ini. 

Beberapa waktu lalu aku penasaran dengan film India yang sempat menjadi perbincangan dunia. Slumdog Millionare. Kisah tentang seorang laki-laki bernama Jamal. Ia yatim piatu dan hanya mempunyai kakak yang menjadi anak buah penjahat kelas kakap di India. 

Bukan kisah cintanya dengan Latika ataupun banyaknya  luka yang tergores di hati Jamal yang akan kuceritakan disini. Tapi, tentang kejadian yang terjadi dalam hidupnya yang berkaitan satu sama lain. Hal ini sudah berkali-kali kuulangi. Pertama kali kudengar dari Tere Liye, penulis idolaku. Betapa setiap scene kehidupan kita berkaitan dengan scene selanjutnya. Apakah dampaknya positif ataupun negatif, tak pernah ada yang tahu. 

Disaat yang sama aku mengikuti streaming #MengadiliAnies. 

"Ada yang bertanya, apakah benar Pak Anies tidak pernah pacaran?" tanya Indra Bekti.

Anies tak langsung menjawab. Ia tersenyum dan bercanda sebelum menjawabnya. 

"Untungnya saya tidak memiliki pacar sebelumnya, sehingga saya tidak perlu waswas dan repot saat ini. Bayangkan, berapa banyak yang akan datang jauh-jauh dari Jogja dan mengadili saya disini bila saya pernah berpacaran sebelum menikah?" jawab Anies.

Terdengar lucu dan menggelikan namun sarat makna bagiku.

Benar, tak akan ada sedikitpun tindakan yang tak dimintai pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat. Aku tak pernah tahu bagaimana "jejaring" kehidupanku dengan orang lain. 
Read More

Berdiri

Ada yang salah dengan berdiri?

Ya, ada. Jika yang berdiri adalah seorang nenek, kakek, ibu hamil ataupun anak kecil dan mereka yang duduk adalah anak muda yang masih gagah sehat sentosa. 

Aku pengguna angkutan umum. Trans Metro Bandung (TMB), bus Damri, Kotrima (yang ini aku tak tahu kepanjangannya) hingga Angkutan Kota (Angkot) pernah kutumpangi. Beragam bau ketiak dan manusia pernah menjadi teman perjalananku. Diantara banyak angkutan umum yang kusebutkan sebelumnya, TMB dan Damri adalah yang paling kusukai. Ongkos yang murah dan minimnya aktivitas berhenti di tengah jalan untuk mencari penumpang menjadi alasannya. Dua angkutan ini mungkin memang menyediakan ruang untuk berdiri bagi para penumpang yang tidak kebagian duduk. Jadi, kau bisa membayangkan bagaimana terbatasnya oksigen saat penumpang kedua angkutan ini membludak. Para manusia didalamnya persis sarden di dalam kaleng.

Siang itu, bus Damri yang kunaiki tidak terlalu penuh. Hanya beberapa orang yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Tiba-tiba ada seorang nenek tua naik. Nenek itu menebar pandangan, mencari tempat kosong. Sayang, ia tak akan mendapatkannya karena memang semua kursi sudah terisi. Saat itu aku asyik dengan gadget yang kupegang. Ber-hahaha hihihi dengan teman-teman yang ada di berbagai penjuru negeri. 

Terlalu lama berkutat dengan alat elektronik itu membuat mataku lelah dan tanganku pegal. Kuangkat kepalaku yang sedari tadi terus menunduk. Nenek itu ada didepanku. Segera aku bangun dari dudukku. Kucolek bahu nenek itu, mempersilakannya duduk. Ia menolak dan berkata, "wios neng, calik weh neng na" (sudah tak apa, Neng. Kamu duduk saja). Dengan sesumbar kujawab, "saya masih muda, bu. Masih kuat berdiri." Ia tersenyum kemudian duduk sambil mengucapkan terimakasih berkali-kali. 

Andai aku tak berkutat dengan duniaku sendiri saat ia datang, mungkin nenek itu tak usah berdiri terlalu lama. Selalu saja terlambat :(

Tapi aku tak selalu melakukan hal yang kuceritakan tadi. Hatiku seperti teriris saat ibu hamil yang hendak masuk TMB keluar lagi karena tidak ada orang yang mau berdiri termasuk aku. Jahat ya? Semoga tidak pernah terulang kembali. 

Aku tak tahu bagaimana nanti kondisiku saat tua nanti. Apakah aku mempunyai kendaraan pribadi dan menggunakannya kemana-mana ataukah harus rela menjadi penumpang setia kendaraan umum? Jika nanti aku harus menjadi penumpang kendaraan umum, apakah akan ada yang membantu meringankan keringkihanku? Aku tak tahu.
Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)