Friday, July 24, 2015

Jauh

Jauh. Sebenarnya menurut siapa jauh itu? Apa ukuran mengukur jauh? Kilometer? Tak selalu. Banyak manusia yang duduk berdampingan namun mereka merasa jauh satu sama lain. Seperti para manusia yang duduk berdempetan di angkot misalnya. Tanya mereka, siapa yang merasa dekat satu sama lain? Mungkin mereka akan mengangkat tangannya bila mereka duduk bersama dengan teman dekatnya. Tapi benarkah mereka benar-benar dekat?

Nisbi. Semua ukuran rasanya nisbi. Tergantung siapa yang melihat dan dari sudut pandang apa. Keluarga mungkin manusia terdekat yang seseorang punya, tapi bisa saja menjadi manusia yang terjauh yang dimilikinya.

Sumber: disini


Kata orang, setiap manusia perlu menjauh dari lingkungan terdekatnya, zona nyamannya. Tapi benarkah demikian?

Maswadit alias Wahyu Aditya bahkan mencapai kesuksesan saat ia menggambar, kegiatan yang menurutnya ada di zona nyaman. Berbeda dengan banyak motivator yang bilang bahwa zona nyaman itu merusak. Merusak semangat dan potensi optimal manusia.

Jauh dekat, benar-benar hanya sekedar tentang persepsi. Seperti halnya spasi yang menurut beberapa orang menjadi penjelas makna sekumpulan huruf maupun tulisan. Seperti titik dan koma yang terkadang diabaikan manusia.

Bandung, 24 Juli 2015
Read More

Wednesday, July 22, 2015

Membuat Tenang

Kata orang, memilih pasangan itu salah satu kriterianya adalah bisa membuat tenang. Bukan mereka yang malah membuat hati gundah, bahkan gegana alias gelisah galau merana *goyang maaang*

Tapi bagi saya, membuat tenang juga ada di salah satu kriteria memilih teman. Mengapa teman harus dipilih? Karena menurut saya teman bisa menjadi alternatif solusi sarana perbaikan diri. Jadi, saya tak ingin sembarang berteman. Mungkin ini juga yang membuat saya cenderung kaku dan kurang membaur. Mari tinggalkan bahasan tentang saya, kita bahas tentang teman yang membuat tenang.

Begini, teman bak cerminan diri kita sendiri. Meskipun terkadang diri ini berbeda dengan mereka yang menjadi teman kita. Mereka tempat berbagi mimpi, harapan bahkan beragam topik pembicaraan baik yang jelas maupun tidak. Mereka adalah keluarga sementara saat manusia di rumah tak mengerti dan tak mau mengerti tentang kita (atau sebaliknya).

Teman memang tak bisa menggantikan posisi keluarga sebagai manusia terdekat kita. Tapi teman terkadang bisa masuk ke dalam definisi keluarga itu sendiri.

Memilih teman yang membuat tenang membantu diri kita untuk melakukan hal yang sama dengan mereka. Nasihat dan kritikan mereka tak lagi terasa menyakitkan karena disampaikan dalam candaan atau muncul ditengah-tengah obrolan tentang banyak hal. Teman yang membuat tenang tak akan enggan menegur bila otak kita tak bisa digunakan. Mereka juga yang tak segan 'menampar' kita untuk menyadari kelebihan yang kita abai terhadapnya. Mereka mungkin kepanjangan kasih sayang orangtua yang tak bisa menembus benteng pertahanan yang kita bangun sekian tahun lamanya.

Terakhir, memilih teman yang membuat tenang membantu saya mengontrol kegilaan yang sudah lama bercokol dalam jiwa dan raga.

Terimakasih Omah, telah menjadi salah satu dari mereka yang membuat saya tenang :-)

Bandung, 22 Juli 2015

Read More

Tuesday, July 21, 2015

Kesatuan

Bersatu. Itulah yang sulit dilakukan oleh manusia di daerah multietnik, termasuk Afghanistan. Etnik Pashtun, Hazara dan etnik lainnya masih menganggap diri mereka lebih baik daripada etnik lainnya. Semua manusia tak ingin direndahkan tapi dengan mudah merendahkan orang lain. Primordialisme menjadi penyebab dasar adanya perpecahan dan sulit bangkitnya manusia Afghanistan dari keterpurukan pasca perang. Tak peduli berapa negara dan organisasi asing yang membantu, mereka tak pernah bisa benar-benar bangkit dan bersatu. Etnik Pashtun menganggap dirinya menjadi manusia terbaik dan suku yang paling pantas menjadi pemimpin. Etnik lainnya muak dengan para pemimpin dari Pashtun. Etnik Tajik, Kirghiz dan etnik-etnik lainnya kesal tiada dua. Ekspresi kekecewaan ini diekspresikan melalui keengganan etnik tertentu berbicara bahasa etnik lainnya. Enggan berbahasa Dari, berbahasa Pashto dan bahasa lainnya.

Sumber: deafitsa.blogspot.com


Begitulah cuplikan deskripsi Agustinus Wibowo yang saya tangkap dari novelnya Selimut Debu. 

Sungguh, apa jadinya Indonesia bila tidak ada Gadjah Mada yang bertekad menyatukan Nusantara? Apa jadinya bila semangat ke-Indonesia-an tidak diserukan oleh para pejuang dan pemikir di masa lalu? Apa jadinya bila bahasa Indonesia tidak dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa? Akankah bahasa Jawa masih mendominasi bumi nusantara ini? 

Saya teringat pada banyaknya konflik yang terjadi dikarenakan perbedaan suku maupun perbedaan lainnya. Konflik Dayak dan Madura, Jawa dan Sunda, Cina dan pribumi. Ah, banyak sekali bahan perbedaan dan perpecahan di Indonesia. Saya baru benar-benar sadar bahwa kata 'Kesatuan' dalam nama negara ini benar-benar membantu bersatunya beragam perbedaan yang ada. Saya bukan pendukung berdirinya kekhalifahan di Indonesia. Menurut saya, menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia saja sudah menunjukkan betapa Islam rohmatan lil'alamin. Islam yang sangat menghargai perbedaan. Islam yang tidak arogan. Islam yang membuat orang-orang nyaman di dalamnya. Islam yang mewadahi keragaman nusantara. Karena -menurut saya- menjadikan negara ini sebagai negara Islam bukanlah satu-satunya cara untuk mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Lain lubuk lain ilalang lain kolam lain ikannya.

Sumber: aswajamuda.com


Melumat kata demi kata dalam Selimut Debu membuat saya merasa benar-benar ada duplikat kehidupan di belahan dunia sana. Di Afghanistan sana ada warga lembah Wakhan yang mendambakan dan membanggakan Tajikistan sebagai negera impian. Ada pula yang menjadikan Peshawar, Pakistan menjadi tempat tujuan. Pun ada manusia yang ingin menjadikan Iran sebagai tanah impian. Meskipun mereka tahu,, tak pernah ada negara yang benar-benar sudi menerima warga negara asing sebagai pengungsi dengan jumlah yang begitu banyak. Walau mereka dicemooh karena menjadi seorang Afghani, mereka tetap memutuskan pergi dari negeri debu kelahirannya. 

sumber: bukupedia.com


Saya merasa melihat ada irisan Indonesia disana. Dimana tak jarang para manusia perbatasan mendambakan negara tetangga sebagai tanah impiannya. Mendambakan kemerdekaan yang diharapkan menjadi titik tolak kemajuan peradaban manusia yang ada disana. Mendambakan keterlepasan dari pemerintah pusat yang kikir dan abai tiada dua. Walaupun mereka juga tak pernah tahu, apa yang akan mereka hadapi setelah terlepas dari Indonesia. Penjajahan babak dua atau kesejahteraan tiada dua. 

Irisan inferioritas dan superioritas pula terasa di dalam buku ini. Masyarakat Afghanistan yang dianggap rendah dan hina oleh manusia-manusia di negara tetangga ini membuat saya teringat pada para tenaga kerja Indonesia yang tak habis-habis kasusnya. Mulai dari dipancung, dilecehkan bahkan disiksa. Mereka rela merendahkan diri di negeri seberang demi sekumpulan ringgit, riyal bahkan dollar singapur.

Agustinus Wibowo membawa saya berkhayal menyeberangi lautan dan luasnya padang pasir di negara Asia Tengah sana. Tempat dimana beragam kisah kehidupan ada proyeksinya. Tempat dimana saya bisa mengerti kesatuan Indonesia adalah sesuatu yang perlu disyukuri dan dijaga sampai mati. Tak ada yang menyenangkan dari perpecahan. Tak ada yang membahagiakan dari pecahnya peperangan. Masihkah kita perlu mendebatkan dan berkumpul dalam kubu-kubu yang menjadi penyebab perpecahan?

Bandung, 21 Juli 2015
Read More

Tuesday, July 14, 2015

Batas Beda

Sore ini saya masih membaca tumpukan diksi pilihan Agustinus Wibowo dalam bukunya, Selimut Debu. Ia mengisahkan perjalanannya di Afghanistan dan Pakistan dengan apik. Begitupun dengan negeri stan-stan lainnya yang lahir setelah runtuhnya Uni Soviet. Kemelut di negeri debu Afghanistan memang tak pernah berhenti selesai. Sebagai supplier opium nomor wahid di dunia, harusnya negara ini digdaya tiada tara. Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya. 

Saat banyak negara sibuk menghujat maupun mendukung legalisasi pernikahan sejenis, suku Pashtun Afghanistan sudah sejak lama menjadikan murid-murid lelaki sebagai pelepas hasrat seksual mereka yang kemudian dibasmi oleh Taliban. Saat banyak negara mengasihani wanita-wanita Afghan dibalik burqo mereka, wanita-wanita Afghan tersebut berbalik mengasihani wanita-wanita yang harus bertelanjang padahal berbaju dan ikut berjibaku mencari uang untuk sebongkah berlian. Saat celana berbahan denim sudah menjadi hal umum di luar sana, di Afghanistan pakaian itu adalah pakaian orang kafir yang tak tahu apa yang diserukan agama. Disana, di tempat dimana kepala kambing lebih mahal daripada kepala manusia. Disana, dimana jubah Nabi Muhammad SAW dipakai oleh pemimpin Taliban yang keras dan kejam dalam satu waktu. Disana, di negeri debu bernama Afghanistan. 

Ah, Afghanistan, sebegitu mengerikankah dirimu? Rasa-rasanya tak pernah ada kehidupan enak, nyaman dan tentram di Afghanistan. 

Dekat dengan Afghanistan, ada Tajikistan. Cukup menyebrangi sungai, sampailah kita pada peradaban manusia -jika berpakaian rapi dan tak berjubah penuh debu itu disebut dengan peradaban. Segala hal yang ada di Afghanistan bak membuat manusia mundur puluhan dekade ke belakang. 

Hal ini mengingatkan saya pada banyak hal. Pada perbedaan signifikan antara kabupaten dan kota Bandung. Antara pulau Jawa dengan pulau lainnya. Antara saya dengan kamu. Antara kami dengan mereka. Antara banyak hal yang ada di dunia. 



Garis batas antara Kabupaten Bandung dengan Kota Bandung adalah jembatan layang yang ada di Jalan Mohamad Toha, yang sering disebut Perbas. Garis ini yang menentukan perlakuan pimpinan tertinggi sebuah pemerintahan kecil yang dekat dengan rakyat. Garis ini juga menentukan berapa nominal minimum regional yang bisa didapatkan para buruh pabrik. Manusia Kota Bandung boleh berbangga hari memiliki pemimpin macam Ridwan Kamil. Manusia Kabupaten Bandung boleh iri karena bupatinya terasa tak punya prestasi yang melejit bak tetangganya. Saat manusia kota menikmati beragam fasilitas dan mimpi yang direalisasikan oleh walikotanya, manusia kabupaten tak mau kalah pergi berkendara menuju kota. Bandungku. Ternyata ada juga garis batasnya. 

Begitupun saya dengan anda. Banyak hal yang tak bisa kita sama ratakan. Banyak hal yang kita tak bisa saling mengerti satu sama lain. Lalu kenapa kita harus saling tahu dan saling mengenal? Tuhan memang selalu benar. Ia tak ciptakan manusia sama satu sama lain supaya otak setiap manusia itu bekerja. Bukankah itu kelebihannya? Manusia menggunakan otak untuk mengerti satu sama lain, tapi juga untuk memahami mereka tak pernah sama satu sama lain. 

Kami. Siapa kami? Apakah saya termasuk kedalam 'kami' itu? Siapa yang boleh menjadi bagian dari 'kami'? Mengapa harus ada 'mereka'? Apa 'mereka' dibedakan seperti itu karena mereka berbeda? Lalu apa masalahnya bila mereka berbeda? 

Ah, terlalu banyak perbedaan-perbedaan yang bertebaran di dunia ini. 

Batas beda membuktikan bahwa dunia sangat berwarna. Beragam budaya, mindset dan sikap manusianya. Membuktikan bahwa dunia tak sebesar daun kelor dan kau tak sebesar yang kau kira. Lalu, mengapa terus memaksa orang lain sama padahal kita memang sudah ditakdirkan berbatas beda? 


Bandung, 14 Juli 2015



Read More

Tuesday, June 30, 2015

Kapan ke, Dari

Saya punya kebiasaan minta oleh-oleh yang bisa dititipkan kepada siapapun yang sedang bepergian. Saya tidak minta dibelikan gantungan kunci atau postcard bahkan coklat dan apapun yang bisa menambah biaya perjalanan teman saya membengkak (setidaknya bertambah). Saya gak setega itu. Saya hanya minta doa dan foto dari tulisan ajakan yang dipotret dari tempat terindah yang mereka kunjungi.

Proyek meminta oleh-oleh ini saya beri nama: Kapan ke, Dari.

Terimakasih a Indra, Tony dll yang sudah TIDAK LUPA ngasih oleh-oleh ini (soalnya kebanyakan malah lupa karena yang diminta bukan berupa barang. Hahaha).

Kapan ke Uzbekistan? Dari Tony.

Kapan ke Uzbekistan? Dari Tony.


Read More

Stabil

Stabil. Menurut KBBI, stabil berarti mantap, kuku, tidak goyah, tetap jalannya, tenang. Siapa sih yang tidak suka kondisi stabil? Ah ya, ada saja orang-orang yang menyukainya, mereka orang-orang yang mudah beradaptasi dengan perubahan. Bagaimana yang tidak? Itulah persoalannya. 

Beberapa waktu yang lalu ada seorang teman yang baru saja diterima bekerja secara temporal di sebuah perusahaan multinasional. Meskipun pekerjaannya sangat bertolak belakang dengan latar belakang pendidikannya, teman saya itu tetap memutuskan untuk mengambil tawaran pekerjaan tersebut. Namun baru seminggu, triger stress seolah-olah menghantuinya. 

Ia mengeluhkan minimnya arahan dari superior, rumitnya tugas dan dampaknya terhadap psikisnya. Saat itu saya baru tahu ada riwayat hyperstress yang pernah ia alami karena beberapa masalah di perkuliahan dan kehidupannya beberapa tahun yang lalu. Ia takut riwayat sakitnya akan terulang bila ia terus bergelut dengan pekerjaannya sekarang. 

Dengan pembawaan pencemas dan mudah stress itu ia merasa takut dan ragu dalam mengambil setiap langkah yang berkaitan dengan pekerjaanya. Sedihnya, selama ia bercerita entah berapa kali ia menyebutkan bahwa yang salah adalah dirinya. Masalah ini menjadi masalah karena kondisi internal dirinya tidak stabil dan rentan terhadap stress. Ia sadar itu masalah terbesarnya, dan ia sangat meyakini bahwa dirinyalah penyebab terbesar munculnya masalah. Mungkinkah kondisinya saat ini stabil? Jawabannya jelas tidak. 

Lalu, apakah kehidupan kita semua stabil? 

Saya pernah melihat meme menyebutkan, "Bila seluruh hal bisa kau kontrol, larimu tak begitu cepat."

Kutipan itu memang menantang. Mengajak setiap orang yang melihatnya optimis bahwa segala hal yang tidak terkontrol membuktikan kecepatan kita dalam melakukan sesuatu. Tapi bagi rekan saya itu mungkin akan berbeda. Kutipan itu bisa saja membuatnya mundur lalu meyakini dirinya memang tak bisa lari cepat karena lebih senang dengan keadaan yang terkontrol dan berada di zona amannya. Tujuannya untuk mengurangi pemicu stress dan perasaan tertekan yang tak terkendali. 

Sebetulnya teman saya itu hanya ingin didengarkan. Tapi saya gatal untuk tidak diam dan membuatnya merasa tersiksa karena kondisi yang menurutnya tidak stabil di area kerjanya. Menurut saya, mau tak mau ia harus beradaptasi. Bila dulu ia menyerah dan mundur lalu dibuat tak berdaya oleh kecemasan-kecemasannya, sekarang bukan waktunya lagi. Saya memberikan beberapa cara yang mungkin bisa mengurangi kecemasannya bila melakukan kesalahan. Cara yang cukup jitu di awal masa kerja saya. Karena menurut saya, perubahan akan selalu terjadi, mau atau tidak mau kita menghadapinya. Sampai kapan bisa merasa stabil kalau dunia sebenarnya tak pernah stabil? Bukankah hal yang stabil itu ketidakstabilan?

Kondisi stabil bisa dicapai dengan memodifikasi perilaku kita sendiri. Caranya seperti orang-orang yang pada umumnya lakukan: membuat list pekerjaan dan menargetkan setidaknya 1 hal kecil setiap harinya yang mendukung kepada kondisi stabil dalam bekerja yang kita inginkan. 

Saya pribadi merasa diri ini terlalu sotoy alias sok tahu. Tak apalah. Menenangkan manusia memang terkadang harus sotoy dan tidak sama pasrahnya. 

Setelah rekan saya itu selesai bercerita, lalu saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya terlihat tegar dan 'sehat' sehingga orang lain dengan mudahnya bercerita tentang keluh kesahnya yang hanya diceritakan pada orang-orang terdekat? 

Yah, begini lah nasib 'bermuka sawah tadah hujan dan bertelingan tempat sampah penampung keluh kesah."


Bandung, 30 Juni 2015


Read More

Saturday, June 13, 2015

Review: Gadis Pantai

Malam itu tiba-tiba saja saya ingin membuka akun twitter. Entah pasal apa, tiba-tiba saya sibuk membaca kicauan-kicauan dari @PramQuotes yang berisikan kutipan kata-kata bijak dari sastrawan ternama Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Tiba-tiba, saya menemukan akun @susastra_ dan ternyata akun ini menjual buku-buku Pram. Tertariklah saya pada paket buku bernuansa wanita: Gadis Pantai, Larasati dan Cerita Calon Arang. Sebetulnya, saya agak trauma dengan tulisan Pram. Sejak membaca Manusia Bumi dan satu lagi saya lupa judulnya, selalu saja ada bagian cerita tentang zina sang tokoh utama. Namun Pram dengan apik membalutnya dengan kata-kata yang menurut saya mengurangi kadar mesumnya. Berharap di buku itu tak ada hal negatif yang sama, akhirnya saya pesan paket murah-meriah tersebut. 

Paket datang sekitar 5 hari setelah pemesanan. Gadis Pantai adalah buku pertama yang saya baca. Cerita tentang brengseknya para priyayi yang pintar mengaji dan tak pernah absen sholat 5 kali sehari. Cerita tentang betapa dungunya para priyayi yang menjadi antek-antek Belanda lalu serta merta merasa diangkat Tuhan menjadi perwakilan-Nya di bumi Nusantara. 

Tersebut Gadis Pantai, gadis cantik yang berasal dari Desa Nelayan di Jawa Tengah sana. Ia dinikahkan bapaknya oleh sebilah keris. Benda yang mewakili salah satu priyayi untuk meminang gadis itu. Gadis itu baru 14 tahun, dan ia harus mau menjadi selir priyayi. Sialnya, gadis itu tak tahu bahwa dirinya hanya dijadikan budak seks pembesar penjilat Belanda saja. Ia tak tahu bahwa dirinya bisa saja dengan mudah ditendang dari rumah besar sang Bendoro karena pada dasarnya para priyayi belum dianggap sudah menikah bila ia menikahi gadis dari kalangan rakyat jelata. Itu hanyalah pernikahan latihan atau percobaan sebelum priyayi tersebut menikahi gadis keturunan priyayi juga.


source: bisikanbusuk.com

Plotnya apik dengan bahasa yang jarang saya temukan di buku-buku lainnya. Pram mengalirkan cerita ini dengan baik tanpa sisipan-sisipan cerita tak berguna yang ditujukan untuk menambah serunya cerita. Pram juga menggambarkan dengan gamblang betapa agama bagi banyak pejabat bak guci mahal yang diletakkan di ruang tamu. Hanya perhiasan. Hanya pelengkap. Pelengkap topeng berilmu mereka. 

Saya pernah membaca tentang tulisan yang membahas cara Belanda menaklukan Indonesia. Sayangnya saya lupa tulisan siapa dan dapat darimana. Disana dijabarkan bahwa masyarakat Nusantara yang notabene sudah terlalu terbiasa dengan sistem pengabdian dan kehidupan monarki, dimana raja dan pembesar-pembesarnya adalah segalanya. Rakyat rela mengabdikan diri mereka kepada raja secara cuma-cuma. Rakyat rela memberikan sebagian hasil panen mereka untuk kepentingan raja dan rengrengannya. Payung, baju kebesaran dan juga tahta maupun singgasana adalah simbol dari kekuasaan para raja dan pejabat-pejabatnya. Dengan cerdasnya penjajah memanfaatkan hal ini. Penjajah menggunakan kerajaan dan pemerintahan setempat sebagai pasak penjajahan mereka. Raja dijadikan boneka yang bisa memuluskan kepentingan penjajah di Nusantara. Bila para penjajah menyerang rakyat atau kerajaan, maka rakyat dengan segera akan menyerang dan tak mau takluk terhadap penjajah. Namun dengan cara menaklukan dulu kerajaan dengan memperhatikan simbol-simbol kebesaran kerajaan, rakyat akan cenderung tunduk dan takluk kepada raja mereka. 

Membaca buku Pram seperti membaca buku sejarah namun dihiasi dengan roman yang mencengangkan. Nyatanya, sifat binatang manusia sudah ada sejak lama. 


Ciparay, 13 Juni 2015
Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)