Lagi-lagi sore hari. Di kelas mata kuliah tersusah yang pernah aku masuki. Satu persatu psychogram dianalisa. Satu persatu kepribadian dan dinamikanya terungkap. Semua terungkap sekilas saja, hanya sebentar dan menurut "Sang Pembaca" itu hanyalah hasil menebak. Menebak yang tepat sasaran.
Kuliah diakhiri dengan hamdalah. Kami bersiap pulang. Salah satu temanku mendekat dan berkata, "Ki, maaf tadi salah satu yang dibacakan adalah punyamu."
DEZING!!!
Sudah kuduga. Sungguh, aku tak kaget. Tapi hanya terkejut. Lalu apa bedanya? :D
Entah mengapa, rasanya apa yang diucapkan dosenku itu bukan hanya menerka saja. Serius, seratus persen "tebakan" beliau benar.
"Pemberontakan" yang tak terlaksana. Topeng anak baik. Pemikiran picik yang sebenarnya sering terlintas di pikiranku juga tepat.
Dulu, karena kongsi antara aku dan dia (tokoh yang enggan kusebut namanya), yang terpikir hanya satu. Saat kubesar nanti, aku akan pergi jauh. Jauh dari sisinya. Bahkan jika bisa, aku ingin pergi ke tempat yang tak bisa ia kunjungi. Jadi, aku akan menemuinya bila kumau saja.
Ada lagi opsi lain yang lebih menyakitkan hatinya. Memasukkannya ke suatu tempat dimana orang-orang seumurannya berkumpul bersama.
Tapi opsi kedua sudah kusadari terlalu sadis bila dilakukan. Kesadaran yang datang saat tak sengaja menguping kakak tingkat sedang berdiskusi dengan pembimbing skripsinya.
Opsi pertama tetap kupegang hingga kini, walau sebenarnya aku tak sepenuhnya tega.
Kau bilang aku jahat?
Hahaha
Sebaiknya kau diam, kecuali kau benar-benar tahu rasanya menjadi aku. Sebaiknya kau gantung lidahmu, jika kau hanya ingin menasihatiku. Sebaiknya kau pendam kata-kata bijakmu karena aku tetap lebih tahu dengan apa yang kuhadapi. Sebaiknya jangan kau katakan apapun, karena aku takkan pernah mendengarmu.
Aku benar-benar hafal mati apa yang harus kulakukan padanya. Tapi apa dia juga benar-benar telah melakukan apa yang seharusnya dia lakukan untukku?
Kau tak pernah tahu. Sungguh. Topeng kami terlalu tebal untuk kau tembus. Kecuali jika kau seperti Sang Pembaca yang sudah 19 tahun berkelana di dunia dinamika kepribadian manusia. Ah, lupakan. Sang Pembaca tak ada urusan disini.
Bila harus kujabarkan bagaimanakah ia sebenarnya, mungkin hanya satu kata : Gurita. Terlalu banyak tangan untuk menyanggah. Bahkan impianku saja ia sanggah.
"Ada yang lebih penting, berguna dan bermanfaat," katanya padaku.
Penting untuk siapa? berguna untuk siapa? bermanfaat untuk siapa?
Aku benci diatur dan dibelenggu oleh gurita berwujud larangan-larangan yang dengan otak hancur saja tak mungkin kulanggar.
Ah, entahlah. Terkuaknya masalah ini sukses membombardir kelapangan hati yang kubangun dengan susah payah. Sungguh, semuanya tertekan kesana. Ke alam bawah sadar yang tak pernah aku tahu ada dimana.
Aku marah? jelas. Tapi yang kutahu hanya satu, apa yang ia putuskan tak pernah bisa berubah. Dulu aku rajin bermimpi. sekarang rasanya tak perlu lagi bermimpi. Rasanya semua mimpiku adalah mimpi-mimpinya yang harus kulaksanakan. Mimpiku itu ambisinya. Ambisinya itu mimpiku.
Apalah bedanya aku dengan robot dengan ambisi penemunya!
Baiklah, masalah ini tak akan pernah terselesaikan dengan baik, kecuali jika aku hanya mengangguk dan menurut. Tanpa banyak tingkah, tanpa banyak sanggah, tanpa banyak mnengucapkan "ah".
Sebenarnya, inti kejadian tadi sore itu hanya satu. Betapa beberapa menit "tercongkel"nya masalah ini ke permukaan membuatku sukses ingin menangis dengan suara kencang. Ya ya ya...kutahu, memang tak ada hubungannya dengan postingan panjang ini. Sudahlah, hari sudah malam. Aku juga tak tahu apa maksudnya tulisan ini kubuat. Sudahlah, yang jelas dengan menangis sambil menulisnya sudah membuat hatiku sedikit tenang. Sudahlah, kau diam saja, kau tak tahu sama sekali tentang aku. Sudah.
0 comments:
Post a Comment