Kagum betul aku pada matahari. Ia kuat, sumber cahaya, dan
menjadi pusat tata surya. Tapi pastilah aku lebih kagum pada
penciptanya. Tapi bukan itu yang akan kubahas disini. Seperti judulnya,
perjalanan matahari, ini ceritaku tentang perjalanan rutinku setiap
harinya yang rasanya "berkejaran" dengan matahari.
Meski
tak selalu, aku sering beranjak dari rumah menuju kampus sebelum
matahari terbit sempurna. Masuk kelas ini itu hingga matahari hampir
tenggelam disana. Sibuk mencari dan masuk kelas yang bisa menjanjikanku
pulang beberapa menit setelah sholat ashar dilakukan. Karena jika tidak
demikian, aku bisa sampai di rumah saat matahari sudah tak bersinar
lagi, saat rembulan yang selalu terlihat menawan itu muncul diantara
bintang-bintang.
Perjalanan setiap hariku kuberinama
perjalanan matahari. Bukan ekspedisi ataupun perjalanan menantang
lainnya. Ini hanya perjalanan rutin yang selalu kulalui hampir setiap
hari dari rumah ke tempat yang katanya disebut tempat kuliah.
Banyak
hal baru yang bisa kusukai dengan cepat dalam setiap potongan
perjalanan matahariku. Bila aku berangkat dipagi buta, barisan ibu-ibu
membawa alat yang dianyam dari bambu serta sehelai kain yang dibentuk
sedemikian rupa melengkapi "seragam" mereka. Barisan ibu-ibu itu
tersenyum sambil menganggukkan kepalanya padaku saat berpapasan dengan
mereka. Aih, betapa ramahnya manusia di pagi buta ini. Aku suka
keramahan pagi.
Lain
pagi lain juga siang hari. Entah berapa jumlah kendaraan yang mengantri
di jalan kecil yang rasanya tak kunjung usai pembangunannya. Siang hari
biasanya dihiasi dengan supir angkutan umum yang ugal-ugalan, atau
bahkan sebaliknya, enak sekali berhenti dimana ia suka dengan alasan
menunggu penumpang yang barang kali saja lewat. Tapi beberapa siang ada
yang sangat berbeda. Misalnya siang dimana seorang anak kecil berusaha
mati-matian menghapal surat al-kautsar saat penumpang yang lain berusaha
mati-matian mengeluh karena kemacetan yang mengular. Duhai, siang yang
indah. Apalah artinya kemacetan siang ini dibanding dengan "pelajaran"
berguna dari bocah kecil ingusan yang duduk dipangkuan ibunya. Aku suka
"keramahan" siang.
Selain siang dan pagi, aku juga suka
suasana menjelang malam. Saat itu adalah saat tersering aku sampai
dirumah dengan selamat, Alhamdulillah.
Suasana menjelang
malam selalu membuatku terpukau. Terpukau pada gerombolan perempuan tua
dan muda memakai mukena saat seruan kerinduan bercakap dengan Tuhan
diserukan. Terpukau pada wajah-wajah lelah di angkutan umum yang entah
mengapa beberapa terlihat gelisah saat sebagian yang lain tersenyum
bahagia. Terpukau pada kemacetan yang perlahan mengurai. Terpukau pada
terangnya langit yang belum sempurna hitam. Terpukau pada setiap
settingan indah yang Kau atur sedemikian rupa.
Tak jarang
aku pulang malam. Saat langit sudah tak terang lagi. Saat bulan dan
bintang benar-benar berkuasa di langit sana. Saat para tukang ojek
langganan sudah beristirahat dirumah mereka masing-masing. Saat itu, aku
dengan langkah gontai kecapekan terlalu sering merutuki nasib yang
kurang baik sehingga melupakan keindahan malam yang Kau hamparkan untuk
kusyukuri.
Sejujurnya, aku suka malam bila aku bisa
pulang ke rumah dengan atau tanpa adanya tumpangan berbayar kesana. Aku
suka malam bila heningnya malam bisa kunikmati secara sempurna tanpa
alunan lagu dangdut norak tiada dua. Aku suka malam karena memang malam
patut untuk disukai walau tanpa alasan yang jelas. Aku suka malam
meskipun tak dilengkapi syarat-syarat yang kusebutkan sebelumnya.
Bingung bukan? jangan terlalu dipikirkan, akupun sama bingungnya dengan
kau.
Perjalananku perjalanan matahari. Perjalanan yang
dimulai sebelum matahari sempurna terbit dan berakhir setelah
tenggelamnya matahari. Perjalanan matahari ini rasanya terlalu remeh
bila diisi dengan kesia-siaan.Perjalanan matahari ini rasanya terlalu
berat bila diakhiri dengan keterlambatan kelulusan. Perjalanan matahari
ini rasanya terlalu tak berarti bila hanya dihabiskan dengan ketawa
ketiwi. Semoga kebaikan dan keberkahan selalu melingkupi kita semua.
Amin.
0 comments:
Post a Comment