Berita yang berseliweran di depan mata saya akhir-akhir ini sangat menyeramkan. Mulai dari sexual abuse pada anak dibawah umur hingga celotehan anak ABG yang enggan bangkit dari duduknya.
Mulai dari pelecehan seksual pada anak dibawah umur. Korbannya adalah salah seorang (atau lebih) anak yang bersekolah di sekolah internasional. Wih, label 'internasional'nya saja sudah membuat saya jerih mendengar kasus itu terdengar disana. Sekolah yang kabarnya pernah menjadikan predator seksual tingkat internasional sebagai staff pengajar. Seram.
Baru-baru ini saya menandatangani petisi dari seorang ibu yang khawatir terhadap 'berkeliaran'nya para 'mantan' pelaku kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur. Menurutnya, kita bisa saja lupa orang-orang jahat yang pernah merusak kehidupan banyak anak beberapa tahun kedepan saking banyaknya. Ia mengusulkan orang-orang yang pernah terkait kasus seperti itu ditulis, dibuat daftar dan pastinya dipublikasikan. Mereka juga sebaiknya tidak dijadikan tenaga outsourching. Wiih..
"Mau kerja apa mereka nantinya?"
Itu pertanyaan yang terlintas di pikiran saya. Tapi saya juga setuju dengan usulan ibu yang resah tadi (ya iyalah, wong saya tandatangani petisi). Saya juga resah dan khawatir anak saya nantinya menjadi korban dari salah satu penjahat itu. Na'udzubillah. Tapi apa ya harus sampai segitunya ya? Mereka kerja apa nantinya? Akan tinggal dimana jika nama dan wajah mereka dikenal sebagai orang yang pernah melakukan tindakan kriminal? Tapi, saya juga tidak mau berada di dekat-dekat mereka. Ya ya ya, dilematis (?).
"Pembinaan di penjaranya seperti apa ya? Apakah kebebasan mereka nantinya menjamin bahwa proses pembinaannya selesai?"
Pertanyaan itu membuat saya bergidik sendiri membayangkan saya menjadi pembina mereka. Takut duluan saya. Payah. -_-
Selanjutnya tentang celotehan ABG berinisial D. Dodol. Hehe.
Si Dodol memang dodol. Ia pasti tahu ungkapan kekesalannya di media sosial itu dapat membangkitkan kemarahan massa. Berbagai label dengan sukarela diberikan banyak orang kepadanya. Tuna empati, gak punya hati dan lain sebagainya. Tak ketinggalan segala sindiran berformat jpeg atau jpg bertebaran di internet. Jelas saja sindiran-sindiran itu sekejap menyebar kemana-mana. Sekarang, siapa yang tak tahu D?
Malang benar nasib anak itu, kakinya sakit diminta tempat duduknya oleh ibu hamil. Sial pula nasibnya, berkeluh kesah di media sosial malah didamprat habis-habisan. Saya sangat setuju tindakan D tidak baik. Kalau saya ada di dekat dia saya dengan senang hati menjitak kepalanya. Tapi benarkah 'dampratan' yang kita layangkan padanya juga benar? Cyber bullying bukan sih? Kalau saya jadi D sudah desperado rasanya. Malu setengah mati. Dilematis (?).
Nah, tambahan. Saya terkaget-kaget saat melihat hasil penelitian dimana saya menjadi salah satu enumeratornya. Dari 200-an responden, sekitar 97% berniat untuk mengikuti pemilihan presiden tahun ini, sisanya memilih tidak ikut pilpres alias golput. Alasannya: ingin tegaknya khalifah Islamiyah di Indonesia, calon-calon yang ada dirasa tidak jujur, kompeten, dsb (padahal belum ada calon pasti ya? yaa selain jokowow, ARZ dan HTX). Berbeda dengan pileg kemarin, 71% mengikuti pileg, sisanya tidak. Alasannya didominasi oleh: waktu libur yang pendek dan merasa tidak ada sosialisasi tentang dibolehkannya para perantau untuk memilih di TPS terdekat setelah jam 12.00. Alamaaaaakkk, rasanya dunia internet sudah sangat canggih, cobalah cari info bukan nunggu dikasih info terus. Dilematis (?).
0 comments:
Post a Comment