Kemarin, tanggal 17 Agustus 2015 adalah hari yang melelahkan bagi saya. Saya menjadi salah satu panitia acara 17 Agustus di kantor. Saat pertama kali diajak (tepatnya ditunjuk) menjadi panitia, saya cukup enggan. Cukuplah di kampus saja sibuk-sibuk gak jelas dalam beragam kegiatan mahasiswa, di tempat kerja mah udah bukan waktunya lagi, pikir saya. Namun di sisi lain, saya juga suka sibuk-sibuk gak jelas dan sok sibuk. Jadi saya terima lamaran si anu. Heeeh, apa sih. Hahaha. Singkat cerita jadilah saya panitia dan diberi amanah sebagai divisi acara. Agak canggung jadi panitia event di pabrik mah. Serasa beda drastis dengan di kampus.
Peringatan detik-detik proklamasi Indonesia ini dijadikan satu dengan acara penghargaan Culture of Excellence di Barry Callebaut Asia Pasific. Jadi, acara kemarin itu adalah acara launching CoE se-Asia Pasific. Satu sisi merasa keren dan terhormat, namun sisi lain pasti capek dan merasa 'terbebani'. Pasca acara saya sukses tidur dari jam 4 sore hingga jam 5 pagi keesokan harinya. Mwahahaha.
Nah, acara penghargaan ini yang membuat saya belajar. Pak Khofinal adalah pemenang CoE Award 2015. Saya kenal beliau karena sempat menjadi volunteer di kegiatan sosial kantor bernama Water for Life. Beliau sangat sederhana, tenang, bertanggungjawab dan rendah hati. Meskipun beliau pernah diperbantukan di Malaysia sebagai teknisi, tapi tak pernah terlihat sombong dan merasa paling bisa dan paling pantas dihargai. Beliau juga lucu, tapi lucunya datar-datar gitu. Aneh weh lah lucunya teh. Saat saya tahu beliau menerima penghargaan ini, saya pikir memang beliau pantas untuk itu.
"Saya tidak pernah terpikir akan mendapat penghargaan ini karena saya bekerja dengan ikhlas dan melakukan pekerjaan saya dengan sebaik-baiknya saja..." kata Pak Khofinal.
Saya jadi teringat dengan banyak teman saya yang menerima penghargaan ini dan itu. Mereka kadang tak pernah berpikir bahwa dirinya pantas menerima penghargaan, pantas dianggap unggul daripada orang lain. Mereka hanya melakukan tanggungjawabnya sebaik-baiknya. Sebaliknya, mereka yang ingin dianggap terbaik dan mampu unggul daripada yang lain biasanya malah bekerja ala kadarnya dan melakukan usaha yang biasanya rata-rata. Saat salah satu manusia mendapatkan penghargaan, biasanya orang lain yang merasa dirinya lebih pantas mendapatkan penghargaan akan menganggap penghargaan yang diberikan sebelah mata. Sibuk dalam kubangan pikiran kotor yang ia gali dan isi sendiri. Sibuk terperosok dalam pikirannya sendiri sehingga alpa bahwa aksi sebanding dengan reaksi.
Saya jadi teringat tentang omongan nyinyir orang-orang yang sempat membantu saya dalam beberapa event baik di kantor maupun di kampus dulu. Mereka yang membantu (maaf saya mengatakan ini) sedikit, biasanya lebih nyaring meminta balasan atas bantuannya dan merasa pantas mendapatkan hal-hal yang menurutnya setimpal, hal-hal yang menurutnya dapat menghargai bantuannya.
Saya mudah tersulut emosi bila ada hal-hal semacam ini terjadi. Kesal, marah dan seringnya langsung saya bentak. Jadilah chaos pada akhirnya.
Penghargaan memang subjektif walau sering dibuat aturan-aturan dan poin-poin pengukuran supaya terasa lebih objektif. Namun begitulah manusia yang menurut Maslow memiliki kebutuhan untuk dihargai dan dicintai. Begitulah juga manusia yang kadang tak paham bukan hanya dirinya yang bekerja disana. Bukan hanya dirinya yang melakukan hal-hal maupun bantuan-bantuan yang berguna. Banyak orang lain yang lebih lelah, lebih banyak meluangkan waktu dan lebih lainnya yang luput dari penilainnya saat ia menilai dirinya sendiri. Begitulah manusia yang selalu butuh penghargaan dan balasan atas setiap peluh yang menetes dari tubuhnya. Karena seringnya, mereka lupa banyak orang yang pantas dihargai jauh dibandingkan dirinya dan seringnya orang-orang yang pantas dihargai itu lupa bahwa dirinya pantas mendapat penghargaan.
Bandung, 18 Agustus 2015
Beberapa jam setelah terbangun dari tidur panjang.
0 comments:
Post a Comment