Setelah mengunjungi Basillica
Cistern, kami diajak untuk kembali ke restoran dan makan siang. Nah, kali ini
ini kami diminta memilih antara menu ayam atau sapi. Saya dan Pak Zul pilih
sapi, Pak Ari ‘terpaksa’ pilih menu ayam karena mengira kami makan ayam.
Hidangan pembuka sudah tersaji di meja kami. Ada salad wortel, mentimun dan
entah sayuran apa lagi di mangkok kami. Kecombrang gitu ya? Tapi masa ada
kecombrang di Turki? Hahaha. Saya mencoba sesuap dan kapok. Tak cocok dengan
lidah katrok saya.
Ceritanya appetizer lunch pertama di Turki |
Tak lama setelah itu datanglah
hidangan utama, kebab sapi, yihuy! Porsinya sedikit tapi enaaaakk. Kurang
sambal sih menurut saya mah, maklum bu biasa makan sambal goreng kentang.
Hahaha.
Makaaan gratisaaan~ |
Setelah makan siang, Burhan
(ternyata guide kami namanya Burhan bukan Omar. Saha atuh nya si Omar teh? Maaf
pemirsa!) mengajak kami kembali ke bus. Bagi orang-orang yang masih transit
lebih dari jam 6 sore ikut bus lain sedangkan sisanya kembali ke Bandara. Saya
sempat berbincang dengan orang Korea yang punya bisnis di Iran. Beliau
terheran-heran saat tahu kami bertiga akan berkunjung ke Kamerun. Pak,
jangankan bapak, saya juga heran loh sebenernya. Haha. Di pikiran saya, keren
juga ya bapak-bapak ini bisa business trip ke Iran sebagai konsultan mesin
disana. Jalan-jalan agak jauh dari rumah memang selalu penuh kejutan ya.
Ini guide kami di Istanbultour dari Turkish Airlines, Burhan. |
Rombongan tur kami berkurang
hampir setengahnya. Kami langsung berangkat kembali ke bandara tanpa Burhan
karena Burhan melanjutkan tur dengan orang-orang yang tidak ada di bus kami.
Melihat burung-burung (entah pelikan, entah burung camar, saya tidak tahu
jenisnya) berterbangan dan membuat formasi membuat saya kembali mengucap syukur
atas nikmat Allah yang sudah diberikan kepada saya dengan cuma-cuma. Gak pernah
nyangka bisa mampir ke negara ini. Melihat saksi bisu sejarah yang dulunya
memegang peran penting sebuah negara dan sekarang hanya menjadi objek foto yang
juga pelajaran sejarah bagi umat manusia. Karena hidup selalu berputar.
Kejayaan tak bisa abadi dipegang.
Sesampainya di bandara, kami
langsung mencari Mescit untuk melakukan sholat ashar dan dzuhur. Setelah itu
sibuk melihat papan informasi gate. Ternyata gate kami belum dibuka. Kami
berjalan-jalan di bandara. Saya sibuk mengikuti Pak Zul bak anak takut
kehilangan ayahnya. Kami masuk ke ruangan terbuka yang ternyata smoking area.
Mescit alias mushola di bandara Attaturk |
“Hei, kalian nak apa kemari? Ini
tempat aku dan orang-orang seperti aku!” seru Pak Zul.
Saya dan Pak Ari tertawa karena
baru sadar bahwa itu adalah ruangan merokok di bandara. Oonnya dibawa-bawa
sampai Turki sih. Hahaha.
Kami sibuk berjalan dan mendekati
Starbuck yang tersebar dimana-mana. Saya dengar kabar bahwa di bandara Attaturk
tidak ada koneksi Wifi gratis. SALAH! Ada kok! Saya nemu. Tapi syaratnya adalah
mendekat atau bahkan nangkring di Starbuck atau Coffee Nero. Pakai Wifi bernama
Wispotter. Di awal kita harus mendaftarkan diri dengan akun Facebook dan
mengaktifkan nomor Indonesia (saat itu saya pakai provider IM3 karena kartu 3
saya tidak berfungsi disana). Setelah mendaftar menggunakan akun Facebook dan
memasukkan nomor telepon Indonesia, akan ada pesan text yang mengirimkan kode
untuk verifikasi. Kalau sudah verifikasi, kita sudah bisa berselancar di dunia
maya dengan Wifi gratis.
Selain Wifi gratis, saya juga
baca artikel bahwa troli di bandara ini berbayar. Nyatanya tidak seperti itu,
ada kok troli gratis.
Entah saya yang memang gratisan
hunter atau memang bandara ini sudah lama berbenah dan menjadi lebih baik
sehingga banyak fasilitas gratis yang bisa didapatkan oleh para penumpang, yang
jelas saat saya di bandara ini, saya menemukan banyak akses gratis.
Dekat kafe sumber Wifi gratisan berada~ |
Setengah jam sebelum penerbangan
kami, kembali kami telusuri nomor gate, ternyata sudah muncul. Kami berjalan
menuju gate yang dipenuhi oleh orang-orang Afrika. Ada sih beberapa orang
bulenya, tapi gak banyak. Menurut jadwal penerbangan yang disebarkan melalui
email ke setiap champion, kami mempunyai 1 orang champion dari Rusia yang akan
berangkat ke Douala bersama-sama dari Turki. Tapi hingga saat itu kami belum
menemukan orang Rusia tersebut.
Karena bosan, kami bertiga
bermain tebak-tebakan.
“Yuk kita tebak yang mana yang
namanya Denis –Denis nama kolega kami-“ kataku.
“Oh, kayaknya yang itu deh,”
sahut Pak Zul.
“Yang mana?” tanya Pak Ari.
Pak Zul menyebutkan ciri-ciri
lelaki bule yang berdiri di dekat tiang. Kami hampir meyakini itu Denis sebelum
ada teteh-teteh bule yang nyamperin orang tersebut dan mereka pergi berdua.
“Yaaaaahhh...salah! Tetot!”
“Oke, tebakan kedua yang itu.
Yang pakai baju warna hijau lumut dan bawa koper kecil,” tebakku.
“Orangnya sedang pegang handphone
bukan?” tanya Pak Ari.
“Iya. Itu yang jalan ke toilet,”
jelasku.
“Coba aku datangi dan kutanya
sambil pura-pura ke toilet,” kata Pak Zul sambil berlalu ke toilet.
Pak Zul berpapasan dengan orang
itu di pintu toilet lalu masuk ke toilet sedangkan lelaki bule tersebut
mengantri di gate sebelah kami. Salah juga! Fyuh!
Kami melihat Pak Zul berakting
mencuci muka dan membasahi rambutnya. Saya dan Pak Ari cengengesan melihat
tingkah Pak Zul dan tingkah udik kami semua. Di saat yang sama, kami melihat
rombongan keluarga sedang ber-tos ria dengan gelas berisi minuman keras. Kami
menghela nafas dan mengulum senyum lalu melanjutkan tingkah udik kami itu.
“Jangan-jangan Denis itu ternyata
ketinggalan pesawat dan gak ada di bandara sekarang,” celetuk Pak Ari.
Saat kami sibuk memilih target
tebakan lainnya, tiba-tiba ada keributan di gate antara penjaga gate dengan
salah satu wanita anggota keluarga yang tadi minum di depan kami. Memang ada
pemberitahuan bahwa ada delay yang tidak dijelaskan alasannya. Wanita itu
mengomel dengan bahasa Perancis dan menjadi pusat perhatian.
“Pak, kita terakhir saja ya
masuknya,” kataku pada Pak Zul dan Pak Ari.
“Jangan, Ki. Kita harus masuk
duluan. Mereka bawa barang banyak. Kemungkinan kita gak dapat tempat di kabin
nanti,” kata Pak Ari.
“Iya, Ki. Sekarang kita ngantri
saja deh,” kata Pak Zul.
Sebagai anak bawang, saya ikut
saja apa yang diusulkan oleh bapak-bapak itu. Kami ikut mengantri karena
petugas Turkish Airlines sudah meminta kami mengantri. Wanita itu masih
mengomel tiada henti. Bahkan bapak-bapak yang awalnya komplain kepada petugas
sudah berhenti komplain tapi wanita itu tetap tak kehabisan kata-kata dan
keluhan! The power of women~
Pesawat kami delay lagi beberapa
belas menit. Petugas tidak juga menjelaskan alasan delay. Komplain makin
bertaburan.
Untuk mengatasi antrian
pemeriksaan boarding pass yang mengular, petugas wanita dari Turkish Airlines
bergerilya memeriksa paspor dan juga boarding pass para penumpang. Tibalah
giliran saya. Ia tampak keheranan karena tidak ada cap VISA Kamerun di paspor
saya.
“Punya VISA?” katanya.
“Belum, saya pakai Visa on
Arrival. Tapi ini ada surat menyuratnya,” jawab saya.
Sebelum pergi ke Kamerun, kami
diberikan surat keterangan bekerja dari SIC Cacao (cabang Barry Callebaut di
Kamerun) dan juga semacam surat pemberitahuan bahwa kami mendapatkan izin untuk Visa on Arrival dari pemerintahan Kamerun. Surat-surat inilah yang saya berikan
kepada teteh dari Turkish itu.
Surat saya dibawa, tak lama
kemudian diberikan kembali dengan senyuman, “all is OK!”
“Terimakasih,” jawab saya.
Dikarenakan saya menjadi kelinci
percobaan, maka Pak Zul dan Pak Ari tidak mendapatkan pertanyaan yang berarti
kecuali senyuman dan kata, “OK!”
Menunggu pesawat ke Kamerun sambil tebak-tebakan berhadiah |
“Kalian orang Malaysia dan
Indonesia dari Barry Callebaut bukan?” tanya seorang bule yang ujug-ujug ada di
belakang kami.
“Oalah, kamu Denis?” tanya kami
serempak.
“Iya.”
Kami langsung menceritakan
kejadian tebak-tebakan tadi setelah mengenalkan diri. Ternyata pesawat Denis
delay dan ia baru datang beberapa menit sebelum antrian dimulai. Tebakan Pak
Ari nyerempet benar juga ternyata. Kami langsung masuk ke pesawat dan benar
saja kabin sudah penuh karena para penumpang yang sudah masuk membawa barang
bejibun. Bayangkan saja, setiap orang bawa koper yang sepertinya lebih dari 9
kg! Pokoknya kalau koper jatuh ke kepala saya, saya kutuk mereka semua jadi
batu!
Perjalanan ke salah satu titik kecil di benua Afrika dimulai.
Bandung, 8 Februari 2016
0 comments:
Post a Comment