Belajar Psikologi itu gemes-gemes asik. Gemes saat ditanya cowok iseng, "kamu bisa ngebaca saya ya?" dan asik saat jawab pertanyaan tersebut dengan, "iya. Pikiran kamu kotor banget. Shame on you." Lalu drama dimulai. Hahaha.
Lebih seru lagi setelah lulus dan dianugerahi gelar S.Psi alias sarjana Psikologi. Banyak orang yang melihat kami sebagai cenayang yang bisa menebak kepribadian dengan satu lirikan. Saya tidak mengada-ada, ini benar adanya. Suatu hari saya pernah mendapatkan respon, "kamu nanya-nanya saya sedang analisa psikologi ya?"Rasanya mau bilang, "da aku mah apa atuh...."
Asumsi bahwa lulusan psikologi itu bisa 'segalanya' sering juga ditemukan di dunia kerja. Berikut sedikit kicauan antara harapan dan realita terhadap lulusan S1 Psikologi di dunia kerja.
Tes Psikologi
Sering kali saya temukan banyak persyaratan "mampu melakukan tes psikologi" di banyak iklan lowongan kerja yang mensyaratkan Sarjana Psikologi sebagai pelamarnya. Kalau mengadministrasikan alat tes yang berada di bawah supervisi Psikolog sih masih bisa. Tapi kalau sudah diminta untuk interpretasi alat tes, apalagi menggunakan alat tes proyeksi, waaah..melanggar kode etik psikologi sih ini namanya.
How to deal with this requirement?
- Cari posisi lain di perusahaan lain. Pasti banyak kok lowongan kerja mah. Asal mau nyari aja. Ini sih bukan deal ya tapi kabur. Hahaha.
- Buat alat tes sendiri. Pernah belajar psikometri dan pembuatan alat ukur kan? Yang jadi persoalannya adalah validitas dan reliabilitas alat ukurnya. PR kamu nih, supaya alat ukurnya valid dan reliabel.
- Ikut sertifikasi alat tes. Biaya sertifikasi alat tes semacam DISC, dll itu sekitar 2-3 juta per orang. Bisa juga ikut sertifikasi grafologi agar bisa menjadi Grafolog dan bisa menggunakan metode grafologi sebagai alat seleksi.
- Pakai interview tersruktur alias BEI atau BDI. Prinsip dari metode wawancara ini adalah menggali apa yang sudah dilakukan seseorang di masa lampau yang bisa mempengaruhi kinerjanya di masa yang akan datang. Namun jawaban dari setiap pertanyaan yang diajukan harus jelas situasinya, tugas orang tersebut, tindakan yang diambil dan hasil dari tindakan tersebut. Akan banyak anak pertanyaan yang muncul untuk menggali detail kejadian yang dialami oleh ybs.
- Jika memungkinkan, ajak perusahaan untuk bekerjasama dengan biro psikologi yang ada di kota kamu.
- Kuliah S2 profesi dulu.
Saya termasuk orang yang mengambil langkah 3 dan 4. Kebetulan saya ikut sertifikasi alat tes online bernama Talent Q dari Hay Group. Terobosan alat tes psikologi yang mengukur kepribadian seseorang dan juga kemampuannya dalam 1 jam saja. Satu jam tes untuk banyak laporan. Metode psikometriknya ciamik. Kapan-kapan saya cerita lagi tentang alat tes ini.
Intinya, sarjana psikologi dengan magister profesi psikologi sering terlihat tidak ada bedanya bagi perusahaan. Jadi eaang cabal eaaa~
Problem Solver
Nasibnya anak Psikologi itu ya jadi tempat curhat atau istilah saya mah "sawah tadah hujan". Kami harus rela dan berlapang dada dengan cerita-cerita dari orang-orang yang ada di kantor. Teman saya contohnya, hampir setiap hari dia diminta pendapat dan masukan tentang anak dari salah satu rekan kerja wanita di kantornya. Ada pula teman saya yang selalu jadi tempat curhat cerita cinta, mulai dari orang jomblo, orang PDKT, mau putus atau diputusin, mau tunangan, mau nikah sampai mau cerai. Padahal teman saya itu statusnya Jomblo Mulia tiada tara yang berprinsip tak akan pernah pacaran hingga kiamat tiba, eh hingga akhirnya menikah maksudnya.
Berbeda dengan teman saya yang lainnya. Ia diminta untuk mengobservasi perilaku salah satu divisi yang menurut bos besar di kantornya selalu bermasalah.
"Mungkin ada yang salah dengan kepribadian mereka. Jadi kamu observasi lalu laporkan hasilnya kepada saya ya!" kata sang bos.
Syalalala lalalalala~
Belajar psikologi itu menarik karena objeknya manusia dan manusia itu tingkahnya selalu ada-ada saja. Makanya penting sekali belajar psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi industri dan organisasi, ergonomi, bahkan statistika dan turunannya seperti Konstruksi Alat Ukur, Psikometri, dll.
Bayangkan di kantor masa depan kamu nanti Bosnya minta diadakan analisa kepuasan karyawan dan kamu tidak diperkenankan untuk menyewa vendor atau konsultan dari luar. Gimana hayooh? Mau tak mau pasti harus buka buku untuk mencari teori dan membuat indikator plus turunannya yang berupa item-item survey demi terukurnya kepuasan karyawan.
Mungkin punya karyawan sarjana psikologi seperti toserba, toko serba ada. Yang gak ada cuma jodoh, Pak. #eaaaaa
Jadi HRD
Saat saya baru lulus, setiap kali saya ditanya tentang posisi yang dilamar di perusahaan saya selalu menjawab, "jadi HRD."
Saat itu saya belum tahu ternyata HRD pun banyak macamnya. Mulai dari Recruitment, Talent Development, Organizational Development, Training and Development, Industrial Relationship, Personalia dan sebagainya dan sebagainya. Bahkan, di beberapa tempat departemen HR itu disatukan dengan General Affair yang mana kerjaannya adalah ngurusin BPJS Kesehatan, Ketenagakerjaan, Asuransi, penyediaan makan, seragam, sampai sedot WC. Tinggal pilih sih, mau jadi HR Generalist atau Spesialist. Keduanya sama-sama capek, kan namanya juga kerja. Hehe.
Baiknya sih cari tahu dulu dan baca benar-benar deskripsi pekerjaan yang dilamar. Jangan beli kucing dalam karung. Jangan juga coba-coba tanpa berpikir akibat yang diterima nantinya karena setelah bekerja separuh hidup kita dihabiskan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Kalau mau coba-coba, ya jangan ngeluh kalau harus menghadapi akibatnya.
Dulu saya pernah burnout dan selalu mengeluh saat bekerja, karena lelah dengan semua keluhan saya, teman saya bertanya,
"Ki, kamu dulu pas mau kerja disini niatnya pengen apa?"
"Grow up, lah. Saya ingin bisa ini itu yang berkaitan dengan pekerjaan saya."
"Sekarang kamu merasa berkembang, gak? Pengetahuan kamu bertambah, gak?"
"Hem..iya"
"Yaudah jangan ngeluh. Ada yang harus dibayar dari bertambahnya pengetahuan dan berkembangnya kamu disini. Jangan lupa, ini risiko dari keputusan yang sudah kamu pilih diawal kamu melamar untuk posisi ini di perusahaan ini."
Dan kemudian hening :D
Begitulah sedikit cerita tentang apa yang terjadi kepada segelintir sarjana Psikologi di dunia kerja. Saat bekerja akan banyak cerita yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dimarahin dosen mah hal kecil. Belum pernah kan ngerasain dimarahin bos besar dihadapan bos-bos lainnya? Belum pernah kan disemprot kandidat karena dia tidak diterima dan tidak terima dengan penjelasan kita? Belum pernah kan? Belum pernah kan ngerasain kandidat yang sudah diseleksi sedemikian rupa ditolak user dengan mudahnya? Eh kok ini malah jadi curhat. Haha.
Intinya, sebagai orang yang pernah mempelajari tentang manusia, idealnya kita bisa lebih terbuka dan tidak mudah terbawa suasana. Di tempat kerja drama sering terjadi, sinetron pun sering terulang berkali-kali. Jadi, jangan lupa menjadi agen pembawa kedamaian dan perubahan positif di tempat kerja dengan ilmu yang sudah diterima selama bertahun-tahun kuliah. Semangat!
Nah, siapa yang punya pengalaman yang sama?
1 comments:
Geurae. Arata ;)
Post a Comment