Friday, December 25, 2015

Menu Makan Siang

"Ki, ikut gak? Kita mau makan di luar nih."
"Yok!" sahutku santai. 

Padahal sejujurnya aku merutuki teman-teman kantorku  yang terus mengajak jajan di luar padahal kantor kami menyediakan makan siang untuk para karyawannya. Tapi mereka paling tahu tempat makan enak di sekitaran kantor, jadi aku nurut-nurut saja. Toh hanya tinggal nebeng berangkat dan pulang, makan lalu selesai. 

Kami pergi ke daerah yang cukup jauh dari kantor. Kami berhenti di depan kampus salah satu teman kami yang bekerja sambil kuliah disana. Katanya ada warung ayam sambal cabe hijau yang maknyus dan pantas untuk didatangi demi memakmurkan jeritan para cacing di perut serta memulihkan konsentrasi bekerja empat jam kedepan. 

Salah satu dari kami langsung memesan. Dia hafal mati menu yang ada disana. Sedangkan aku dan dua orang cewek-cewek lainnya sibuk menerka-nerka bentuk maupun rasa makanan yang akan kami dapatkan dengan membaca menu yang menempel di tembok warung makan disana. 

"Aku mau nasi goreng ayam sambal hijau," kata temanku. 

Aku yang terbiasa mengikuti pesanan orang-orang pada umumnya (dalam bahasa kerennya tuturut munding) langsung menyahutnya, "aku juga."

Tak lama kami menunggu, tiba-tiba satu porsi nasi ayam goreng sambal hijau datang ke meja kami. Lengkap dengan lalap, tahu dan tempe. 

Kami saling bertatap satu sama lain. Agak keheranan karena ada 3 pesanan nasi goreng ayam sambal hijau tapi hanya satu porsi yang datang. 

"Bapak pesan apa?" tanyaku pada Pak Syamsin.

"Ayam sambal hijau sama tempe," katanya.

"Loh, ini sepaketnya udah sama tempe dan tahu loh," kataku sok tahu. 

"Saya dipesenin sama Ardi kok," katanya sambil menunjuk temanku yang sibuk makan. 

"Di, ini pesenannya Pak Syamsin apa pesenan kita ya?" tanyaku pada Ardi. 

"Itu mah pesenannya Pak Syamsin. Tadi saya pesen bareng," jawab Ardi.

"Ooo berarti nanti kita gak akan ada tempe dan tahunya, Cun. Soalnya kita gak pesen pake tahu dan tempe..." kataku pada Yunita, "...kupikir nasi goreng terus ada ayam sambal hijaunya loh! Ternyata nasi ayam goreng sambal hijau! Hahaha." 

"Bukan ih, nasi - goreng ayam - sambal hijau," kata Yunita menjelaskan. 
Yunita dan Sheila hanya tersenyum dan kembali membahas artis korea dan dance cover dan sejenisnya yang aku tak paham. 

Tak lama kemudian penjaga warung membawa 3 piring berisi NASI GORENG dengan AYAM SAMBAL HIJAU! 

Aku, Yunita dan Sheila cengengesan dan menahan tawa. Ternyata wujud pesanan kami berbeda dengan apa yang kami bayangkan saat membaca menunya. 

Sebetulnya prediksiku tak jauh berbeda dari kenyataannya. Tapi tak pernah terpikir kalau nasi gorengnya pun nasi goreng telur. Menunya super sekali kan. Sudah makan nasi goreng orek telur, ditambah pula ayam sambal hijau. Luar biasa. Kami makan calon anak ayam dan mantan ayam sekali makan. Kau tahu berapa harganya? Hanya Rp. 17.000,- 

Hati senang, perut kenyang dan dompetpun aman. Menu makan siang kali ini istimewa. 


Read More

Kapan ke dari #2&3

Yeaaah.. Sekarang dapet lagi ucapan kapan ke dari. A Indra beberapa bulan lalu pergi ke India. Sebagai orang yang opportunis, saya dapat ide untuk minta Kapan ke dari di India. Jadilah foto ini. Diambil dari gondola tertinggi se-asia di Gulmarg, Kashmir India. Acha acha. Nehi nehi. Hahaha.

Satu lagi ucapan dari teman saya Azizah yang sedang belajar di New Zealand. Pinter banget deh ijah, karena saya minta jauh-jauh hari dan ternyata dikirim pas saya ulang tahun. Jadi terharuuu ☺
Diambil di salah satu sudut kota Auckland di New Zealand.

Jadi, kapan ke Gulmarg dan Auckland, ki? Soooooonnnn!


Read More

Tuesday, November 10, 2015

Vaksinasi Demi VISA

Hari ini ceritanya saya harus ‘berkunjung’ ke Kantor Kesehatan Pelabuhan kelas II Husein Sastranegara Bandung untuk mendapatkan vaksin. Fyi, hingga saat ini, saya paling tidak suka berada di bandara ini. Lebih kumuh daripada terminal ;-(

Rencananya, saya mau daftar vaksin untuk Yellow Fever disana sebagai persyaratan visa, ternyata oh ternyata vaksin tersebut tidak tersedia. Namun setelah berkonsultasi dengan dokter yang sedang bertugas di KKP, akhirnya saya ambil vaksin Meningitis. Kalau ada yang bingung saya mau kemana, nanti saya ceritain kalau udah pulang dari sana which is 3 months later. Hahahaha.

KKP sangat penuh dengan calon jamaah haji.  Ruangan KKP yang tadinya penuh-penuh-enggak tiba-tiba penuh sesak karena hujan besar menyapa Bandung tiba-tiba. Rata-rata yang mengisi adalah orang tua ditemani oleh anak cucu mereka. Bau minyak nyong-nyong mulai merebak. Melihat wajah mereka, saya merasa sedikit gelisah. Akankah saya ikut mengantarkan ibu dan ayah untuk vaksinasi sebelum nanti diizinkan Allah pergi umroh atau bahkan haji? Semoga..

Kembali ke pengurusan vaksinasi Meningitis di KKP Husein Sastranegara. Langkah pertama adalah menyiapkan fotokopi paspor dan foto berwarna ukuran 4x6. Semua persyaratan itu masing-masing 1 lembar fotokopian. Setelah itu, kita harus mengambil formulir ICV (International Certificate of Vaccination or prophylaxis) lalu menyerahkannya kepada petugas pendaftaran di dalam ruangan KKP. Jika sudah menyerahkan formulir dan persyaratannya, kita akan mendapatkan nomor antrian dan perkiraan waktu pemberian vaksinasi. Saat itu saya dan teman datang jam 11.30 WIB dan jadwal vaksinasi kami jam 13.30 WIB. Kami memutuskan untuk makan dan istirahat terlebih dahulu.

Ada kejadian yang lucu saat kami memutuskan untuk makan di Warung Makan Padang yang dekat dengan KKP. Saya memilih rendang sapi sebagai menu makan siang. Teman saya memilih ayam goreng dan supir kami memilih ikan.

“Jadi berapa semuanya, bang?” tanya saya.
“Makan apa tadi?” tanya abang penjual.
“Saya makan rendang dan satu kerupuk,” kata saya.
“Oh, jadi 15 ribu,” katanya.
“Saya ikan,” kata supir.
“Em sama ikan jadi 30 ribu,” kata abang penjual sambil menjumlahkan dengan harga makanan saya.
“Saya ayam goreng dan satu kerupuk,” kata teman saya.
“Saya ayam goreng dan kerupuk jadi 45 ribu.”

Setelah membayar saya agak heran juga dengan harganya. Ternyata harga makanannya dipukul rata Rp. 15.000,- Ngapain si abang pura-pura mikir buat ngitung antara menu berkerupuk atau tidak ya? Hahaha.

Setelah makan, ternyata air di WC umum habis. Kami berkeliling mencari WC umum lainnya. Saat kami kembali untuk sholat di WC umum sebelumnya (hanya ditempat itu satu-satunya mushola dekat KKP) ternyata air bersih sudah mengalir. Oala jaaan..jaaann..

Waktu menunjukkan jam 12.30 WIB. Kami kembali ke KKP dan enggan duduk bergabung di depan bersama nenek-kakek yang menunggu di luar. Karena ruangan KKP di dalam cukup kosong, kami masuk dan duduk manis di dalam. Tak lama kemudian, ada wanita masuk ke dalam ruangan dan ditegur oleh keamanan karena belum jadwalnya masuk ruangan. Ternyata tidak boleh masuk sebelum waktunya. Nasib baik ada di pihak saya dan teman saya. Tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Kursi di luar sudah basah disapu air hujan. Ruangan KKP mendadak sesak.

Setelah menunggu cukup lama, saya dipanggil untuk di tensi dan diukur suhu tubuh. Anehnya, saya diajak bicara saat tensi, padahal setahu saya diusahakan tidak bicara sama sekali saat pengukuran tekanan darah dilakukan. Jidat saya ditembak alat pengukur suhu. Sepertinya alat itu persis seperti yang digunakan oleh Chef Juna untuk mengukur panas minyak di penggorengan.

Setelah itu, saya diminta untuk masuk ke ruangan pemberian vaksin bersama belasan orang lainnya. Kami diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin dan usia. Saya masuk ke kelompok wanita muda cerdas ceria. Hahaha. Bukan deng, perempuan usia produktif. Artinya, saya harus menjalani tes kehamilan. Asik, akhirnya ngerasain juga pake test pack. Hahaha.

“Neng, kenapa ya ibu gak dikasih plastik itu?” kata nenek disamping saya yang datang terakhir sambil menunjuk testpack yang sedang saya buka kemasannya.
“Oh, ini tes kehamilan bu.”
“Emm.. ibu mah  udah tua ya, 65 tahun neng. Jadi enggak usah tes segala ya,” katanya sambil tersenyum setengah tertawa.
Saya bingung memberi respon apa. Harus tertawa atau malah sedih mendengarnya. Akhirnya..
“Tapi alhamdulillah sehat ya bu..” menjadi respon yang keluar dari mulut saya.

Vaksinasi dibuka oleh dokter yang memberikan penjelasan tentang pentingnya vaksinasi, respon yang diberikan tubuh saat vaksinasi, bagaimana bila sakit setelah vaksin, masa berlaku vaksin dan sebagainya. Uniknya, dokter itu dengan santai menganggap kami semua mau umroh. Saya juga salah sih, gak bilang saya mau vaksin Yellow Fever bukan Meningitis. Saya tanya dokter yang bertugas tentang vaksin Yellow Fever untuk keperluan VISA kami. Ternyata tidak ada stok vaksin itu disana. Padahal saya sudah menelepon sehari sebelumnya dan pemberian vaksin Yellow Fever bisa dilakukan disana. Bleh bleh bleeeh...

Setelah konsultasi yang lebih tepat disebut ngobrol-ngobrol tentang penugasan saya ke negara yang saya tuju nanti selesai, mereka tetap menancapkan jarum suntik dengan vaksin mati Meningitis ke tubuh saya. Singkat cerita, mereka mengusulkan untuk datang ke KKP Tanjung Priok atau KKP Soekarno Hatta. Kalau saja tahu sejak awal akan berakhir begini, saya sudah ngacir ke Priok dari pagi tadi. Tapi sudahlah. Yang lalu biarlah berlalu. Hikmahnya saya tidak perlu beli buku atau kartu ICV dan tinggal melakukan vaksinasi Yellow Fever ke KKP lainnya di Jakarta demi mendapatkan VISA.


Setelah mendapatkan vaksinasi, kami kembali mengantri untuk mendapatkan bukti pembayaran dan buku ICV. Selesailah perjalanan vaksinasi Meningitis yang sukses masuk ke dalam tubuh ini dengan masa berlaku 2 tahun setelah hari ini. Bagaimana ya proses vaksinasi Yellow Fever nanti? Saya juga tidak sabar! Jakartaaaaaa, vaksin akuu! Hahaha.
Read More

Wednesday, October 14, 2015

Manusia Penghuni Gang

Menjadi penghuni gang di pinggiran Kota Bandung memang penuh suka duka. Suka bila kita keluar dari gang tak perlu lama-lama menunggu angkot yang hilir mudik di jalan besar sana. Angkot berbagai jurusan sudah siap nangkring di mulut gang atau diseberangnya. Mudah. Sungguh mudah. Saya terlalu sering mendapatkan kemudahan ini dan sampai sempat lupa bagaimana rasanya menjadi ‘korban ngetem angkot’.

Tapi suka tak ada bila duka diabaikan saja. Seringkali saat keluar dan sudah melambaikan tangan tapi sang sopir masih memutuskan untuk menunggu, sialnya saat sampai mulut gang dan menggelengkan kepala kembali sebagai tanda untuk tidak berniat naik angkotnya, sopir angkot memaki seakan menunggu saya berjalan sudah menghilangkan potensinya untuk mendapatkan 5 penumpang lagi. Lah iki salahe sopo toh?


Saya, sebagai manusia yang sudah bertahun-tahun tinggal jauh dari jalan besar merasa senang bahkan terlalu senang dengan hal ini. Menjadi manusia penghuni gang ternyata cukup menyenangkan.  Entah saya yang terlalu mudah terkesima terhadap hal-hal sederhana ataukah memang hal ini adalah hal menyenangkan yang sederhana. 
Read More

Thursday, September 24, 2015

Sepotong Kue

Aku punya sepotong kue. Rasanya tidak terlalu enak, bahkan sebagian dari kue itu rasanya tak karuan. Tapi itu milikku. Banyak orang yang pernah aku ajak untuk mencicipi kue, tapi tak semuanya bertahan untuk makan kue itu. Alasannya karena seringnya ada kue lain atau kue mereka sendiri terlalu enak. Ada pula yang beralasan mereka lebih senang menyibukkan diri dengan memakan kue milik mereka sendiri. Ada yang tak pernah kuundang makan kueku, tapi mereka memaksa dan merongorongku. Seakan kue yang kumiliki ini sangat lezat dan pantas untuk mereka gandrungi. Mereka mencoba untuk mencari celah untuk memakan kue atau hanya melihat kueku lebih dekat. Jika usaha mereka tak berhasil, mereka dengan senang hati mengorek kejelekan dan beragam kekurangan dariku atau kueku. Mulai dari kue yang terlihat mempunyai rasa tak enak hingga aku yang katanya tak bisa memilih kue dengan baik. Semua mereka komentari. Semua mereka korek. Padahal aku yakin, mereka pasti sempat berpikir mengapa diri mereka begitu picik dan sibuk dengan pikiran mereka sendiri terhadap orang lain.

Setiap orang punya kue, tapi banyak yang ingin makan kue orang lain. Banyak juga yang ingin mengusik kedamaian makan kue orang lain. Atau bahkan, merusak kedamaian tersebut dengan cara ikut campur dalam urusan antara kue dan pemiliknya. Mereka lupa, mereka punya kue masing-masing.

Lagi-lagi kuartikan kue seperti kehidupan. Setiap orang punya kehidupan masing-masing. Kita miliki jalan cerita yang berbeda. Sedih dan senang sering berganti, bahkan tak jarang datang beriringan. Banyak manusia melihat kehidupan orang lain begitu menggoda untuk disentuh, menarik untuk dikomentari bahkan dicaci. Banyak manusia tak pernah mau tahu apa yang dilewati sang pelaku. Banyak juga yang masa bodoh dengan dampak atas apa yang telah mereka lakukan terhadap kehidupan orang lain. Tak jarang memutarbalikkan tujuan, memutarbalikkan fakta. Selalu saja, ada udang dibalik batu dan bersikap pura-pura tidak tahu.

Untukmu yang sering mengganggu dan ikut campur kehidupan orang lain, kuberitahu satu hal: selama otakmu masih berjalan sebagaimana fungsinya, silakan maksimalkan untuk mengurus urusanmu sendiri dan abaikan orang lain bila memang tujuannya ingin mengotak-atik kehidupan mereka. Apa kau tidak merasa jijik dengan sikapmu sendiri?

Mind your own bussiness, you never (and not really want to know) what we have been through!

Read More

Tuesday, September 22, 2015

Magicom

Magicom. Sebutan yang kusematkan untuk rice cooker putih yang teronggok indah di kamar kosku. Malam ini saya belajar satu hal dari benda mati yang baru saya miliki sekitar 16 hari ini, sejak saya ‘berkemah’ di salah satu kamar kecil khusus wanita beberapa ratus meter dari tempat saya bekerja. Selama 15 hari ini saya sering kesal karena banyak nasi yang menempel di permukaan magicom. Kesal karena fungsi ‘anti lengket’ yang ada di dalamnya seakan tak berguna. Kesal karena kupikir aku sudah membeli barang yang tak berfungsi ‘fitur’ tambahannya. Kesal karena nasi matang selalu menempel disana. Karena itulah saya harus merendam wadah dengan nasi yang menempel agar tak merusak permukaan anti lengketnya. Tapi malam ini berbeda *ceileh.

Entah pasal apa perut saya tidak terlalu lapar. Tak ada demonstrasi yang dilakukan cacing-cacing di perut dan suara kurubuk-kurubuk. Tak lapar, pun tak kenyang. Saya memutuskan menanak nasi dan melakukan aktivitas lain sampai merasa lapar. Aktivitas apa? Ya apalagi selain pesbukan, saya kan aktipis pesbuk. Hahaha.

“Tuk!”

Suara perpindahan indikator ‘cook’ ke ‘warm’ sudah terdengar, tapi perut ini belum lapar. Ini sungguh ajaib, karena selama kos, perut saya seperti kuda yang lepas dari kandangnya. Liar. Selalu lapar dan selalu ingin mengolah sesuatu. Hal ini membuat saya menjadi anak kos yang selalu melakukan perbaikan gizi. Hal ini juga yang membuat isi dompet saya tak sehat lagi. Ketar ketir di akhir bulan.
Saya masih sibuk dengan ‘aktivitas’ saya tadi. Sambil sesekali menengok beragam aplikasi chat yang ada di dalam ponsel saya yang katanya pintar. Masih belum lapar. Sampai adzan isya berkumandang.

Setelah menyelesaikan kewajiban, saya masih malas makan. Tapi suara kurubuk-kurubuk dari perut sudah samar terdengar. Tak lama kemudian rasa lapar datang, jelas saya tak menolak lagi untuk segera makan.

Saat saya membuka tutup magicom, nasi sudah matang sempurna. Saya ambil sendok nasi dan mulai mengaduknya. Aneh, nasi tidak ada yang tertempel di dinding wadah nasi. Ini menarik karena saya mengumpat tentang hal ini selama 15 hari. Nasi tak akan menempel di wadah dan tak akan membuat saya menunggu lama untuk merendamnya di air demi ‘luruhnya’ nasi-nasi yang menempel itu. Hanya butuh waktu sebentar untuk membuat lapisan anti lengket itu berfungsi dengan baik. Hanya butuh beberapa menit untuk membuat nasi yang dimasak benar-benar matang dan menempel satu sama lain. Hanya butuh sedikit aktivitas untuk menunggu semuanya berjalan sesuai dengan apa yang saya inginkan. Hanya butuh sabar dan tak terburu-buru.

Ternyata perpindahan indikator penanak nasi bukan satu-satunya indikator nasi siap disantap. Perlu waktu yang tak begitu lama untuk menikmati nasi yang tak menempel dan membuat lapisan anti lengket benar-benar berfungsi. Menunggu membuat proses matangnya nasi dengan sempurna berjalan sempurna.

Saya pikir, begitupun banyak hal dalam kehidupan. Indikator magicom ini seperti patokan-patokan yang ada dalam kehidupan kita. Seperti usia yang kabarnya menentukan kapan kita baiknya menikah. Seperti pekerjaan yang kabarnya bisa menentukan kesejahteraan seseorang. Seperti kekayaan yang kabarnya bisa menjadi ukuran keberuntungan. Indikator-indikator ini memang ada landasannya. Tapi kabar buruknya, indikator tersebut bukan satu-satunya hal yang menentukan. Perlu ada waktu yang masing-masing orang luangkan agar nasi menjadi matang benar. Perlu ada waktu agar fungsi anti lengket berguna seperti yang para ilmuwan pencipta magicom katakan.

Kita semua sama-sama tahun di usia berapa seseorang pantas menikah. Namun kita benar-benar tak pernah tahu kapan setiap orang siap dan bisa menikah. Kita semua sama-sama tahu mendapat pekerjaan yang baik itu bisa membuat seseorang sejahtera. Namun kita benar-benar tak pernah tahu apakah pekerjaan tersebut membuat orang sejahtera atau sengsara. Kita semua sama-sama tahu memiliki banyak kekayaan adalah keberuntungan. Namun kita benar-benar tak pernah tahu apakah kekayaan tersebut benar-benar menjadi keberuntungan atau malah menjadi kutukan.

Kadangkala, setiap indikator perlu ruang untuk memastikan semua proses berjalan dengan sempurna. Tidak selalu A akan langsung berdampak B, tidak juga C. Nasi butuh waktu untuk benar-benar matang. Manusia (khususnya saya) butuh lama waktu yang berbeda dari manusia lainnya dalam memenuhi setiap indikator selama ada di dunia.


Jadi apa inti dari tulisan ini? Intinya saya sudah bisa masak nasi dengan bantuan magicom. Hahaha.
Read More

Monday, September 14, 2015

14 September ke-25

Wuih..ngerasain juga punya umur sampai 25 tahun. Alhamdulillah. Entah ini anugerah atau musibah. Entah keberuntungan atau malah petaka. Tapi lagi-lagi saya bersyukur kepada Allah atas izin-Nya masih bisa curcol di blog ini sampe usia ke-25. 

Jujur, saya tidak pernah terpikir bagaimana diri ini di usia seperempat abad. Lebih baikkah? Lebih ini lebih itu kah? Sudah ini sudah itu kah? Tak terpikirkan. Saya akui perencanaan kehidupan saya rada kacrut dan gak baik. Hidup saya mengalir seperti air, padahal katanya hidup itu harus seperti ikan salmon yang kuat melawan arus demi tetap hidup dan juga dapat berkembang biak. Tapi saya kok yakin hidup saya bukan hanya untuk berkembang biak ya? Jadi ya santai aja kayak di pantai, selow kayak di pulau #PLAK!

Meskipun hidup saya juga tak jauh dari kemampuan perencanaan hidup saya yang notabene sama-sama kacrut, saya bersyukur dapat mengalami banyak hal yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Pernah menjejak ke beragam tempat yang saya saja tidak berani memimpikannya. Minder dengan keterbatasan yang saya miliki. Minder karena ini dan itu. 

Tapi tahun ini juga cukup unik. Mulai dari patah hati dari jatuh hati yang entah kapan, dimarahin bos besar sampe data analyst dari Zurich sana, disuruh belajar ke Aalst, iseng-iseng jalan-jalan ke SG-MY, ikutan kegiatan sosial dan event-event kantor yang saya pikir gak bakal saya alami lagi setelah kuliah, mencapai mimpi buat makan di Atmosphere dan Sierra Cafe & Lounge gegara acara HR se-APAC, bisa beli payung yang artinya resolusi tahun ini sudah tercapai, dapet SP1 karena terlalu sering terlambat dan akhirnya ngekos. Kocak pokoknya. 

Saya juga bersyukur di hari lahir saya yang ke-25 saya ditraktir makan sama ayah dan ibu, walaupun itu sebetulnya semua adik-adik saya juga ikut. Padahal pengennya dapet kue ulang tahun, eh dapet sop buntut plus ini itu. Wareg pisan lah. Haha. 

Semua doa yang saya terima gak jauh-jauh dari pertanyaan pada orang jomblo single di usia 25 pada umumnya. Tapi ada doa yang kocak dari teman saya: 

Ki, semoga yang disemogakan cepat terealisasi dan semoga kamu kuat ditanya kapan nikah.

Sungguh, rasanya ingin ngasih hadiah coki-coki deh. Hahaha. 

Di usia ini saya masih dapat telepon dari Rumah Baca Asma Nadia yang kecewa karena RBA yang saya kelola sekarang vacum dan ini membuat saya kecewa pada diri saya sendiri. Di usia ini juga saya masih belum dapat mengontrol emosi dengan baik, belum mampu berdamai dengan masa lalu, apalagi berdamai dengan diri sendiri. Ah, apa itu sesuai dengan tigkah laku manusia di Fase Dewasa Awal? Rasanya tidak. Berarti saya masih ada di fase Remaja akhir yang tak kunjung berakhir #PLAK!

Ternyata saya sudah cukup lama tinggal di dunia dan ternyata saya belum bisa melakukan hal-hal yang lebih bermakna :'(

Selamat ulang tahun, Kiki. Semoga apa yang disemogakan tidak disemogakan lagi di tahun depan :D
Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)