Sunday, June 5, 2016

Ada di Bulan Juni

Ada hujan di bulan Juni. Hujan yang diabadikan dalam puisi. Membuat para bayi di bulan Juni senang, bulan dimana mereka dilahirkan bisa terkenal. Ada bunga di bulan Juni. Bunga yang tak disangka-sangka bisa mekar juga, meski suhu udara di sekitarnya biasa saja dan tak berbunga-bunga. Ada harap yang tiba-tiba meninggi di bulan Juni. Harap tentang sesuatu yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, tentang banyak hal yang bahkan tak pernah lewat di fikiran. Ada anomali di bulan Juni. Dimana semua keputusan penting diambil secara hati-hati tapi tetap terasa terlalu cepat. Dimana ketakutan-ketakutan baru muncul bersamaan dengan banyaknya cerita terungkap padahal dulu ditutup rapat-rapat. Ada kamu di bulan Juni. Apa hanya berakhir di Juni atau tak pernah berakhir sama sekali, semuanya masih jadi misteri. 

Bandung, 5 Juni 2016
Read More

Saturday, May 21, 2016

Pasca Resepsi

Beberapa waktu lalu saya membaca postingan seorang teman tentang pendapatnya atas sebuah artikel kehidupan pasca resepsi pernikahan. Artikel itu mengajak pembaca untuk tidak menghambur-hamburkan uang untuk resepsi pernikahan lalu menghabiskan waktu setelah menikah untuk tinggal di sebuah kontrakan. Kontras sekali perpindahannya. Dari pesta yang megah dan mewah berubah menjadi kontrakan kecil di sudut kota yang tak lebih dari dua juta perbulannya. Teman saya ini tidak setuju dengan artikel tersebut. Saya tahu persis bagaimana usaha ia dan calon pasangannya untuk menyelenggarakan resepsi pernikahan. Mereka perlu menunggu puluhan purnama untuk menabung agar bisa bersama. 

"Kamu jangan pernah anggap Bapak saya jahat ya, Ki. Beliau cuma ingin melihat upaya orang yang berniat menjadi pasangan anak gadisnya. Seperti yang dilakukan Bapak untuk Ibu. Upaya yang menurut Bapak setidaknya sebanding dengan upaya terbaik yang selalu ia berikan untuk anak gadisnya. Ini adalah awal waktu dimana saya dan pasangan saya bisa memberikan tempat yang pantas untuk orang tua kami menyambut tamu. Bukan untuk pamer dan bermegah-megahan. Bukan, Ki. Ah, entah bagaimana saya harus menjelaskannya kepadamu," jelas temanku itu. 

Saya terdiam cukup lama. Mengingat teman saya ini memang anak dari salah seorang pejabat di salah satu instansi pemerintah di ibu kota, rasanya wajar Bapak meminta demikian. Tapi apalah kata wajar itu? Penuh subjektivitas. 

Di waktu lain, saya melihat rekan saya mengomentari artikel yang sama. Ia setuju dengan artikel itu dan dengan menggebu-gebu merutuki orang-orang yang melakukan resepsi pernikahan besar-besaran lalu tinggal di kontrakan setelah resepsi itu dilaksanakan. Menurutnya, melakukan resepsi yang menghabiskan puluhan juta itu tidak masuk dalam daftar mimpinya. Ia hanya ingin akad nikah yang syahdu dan sakral. Tak perlu berdiri menyambut tamu, tak perlu sehari menjadi ratu. Ia hanya ingin statusnya sah secara agama maupun hukum. Tak perlu pusing memikirkan penyewaan gedung, dekorasi, catering, hiburan bahkan mungkin undangan. 

Menarik. Dua kondisi yang berbeda. Dua respon yang tak sama. Pastinya dilatar belakangi oleh alasan yang berbeda, kondisi sosial ekonomi yang berbeda serta pergaulan yang berbeda. 

Terkadang, seseorang tidak punya pilihan untuk tidak melaksanakan resepsi. Bukan hanya untuk harga diri tapi juga alasan lain yang mungkin menurut orang lain hal tersebut tidak masuk akal. Terkadang pula seseorang hanya punya pilihan untuk tidak menggelar resepsi pernikahan karena satu dan lain hal. Alasannya juga beragam. Mulai dari alasan yang membuat kita mengangguk-anggukan kepala atau bahkan mengerutkan dahi karena terheran-heran. 

Begitupun dengan tempat tinggal pasca pernikahan. Saya menjadi saksi hidup bagaimana seorang teman memutuskan untuk tinggal di rumah mertuanya hanya karena ingin menjaga mertua yang sudah menua. Saya juga punya teman yang tinggal terpisah baik ngontrak ataupun menyicil rumah setelah menikah dengan alasan ingin mandiri dan lain sebagainya. 

Menurut saya, tak ada yang salah dengan melakukan resepsi besar lalu tinggal di kontrakan. Tak ada yang salah juga dengan menikah tanpa resepsi besar lalu tinggal di rumah yang dibeli dengan uang sendiri. Tak ada yang salah dari semua keputusan yang diambil manusia, karena kita tak pernah tahu cerita lengkap dibalik keputusan yang mereka ambil. Tak perlu menjadi hakim dan mengomentari kehidupan orang lain. Kehidupan pribadimu jauh lebih penting untuk diperhatikan.



Bandung, 21 Mei 2016
Read More

Friday, May 6, 2016

TAK KASATMATA

Adanya kursi kayu yang tersebar di pusat kota Bandung sangat membuat saya senang. Saya bisa duduk bersama teman tanpa bicara dan asyik mengamati perilaku orang-orang yang ada di sekitar. Semua orang hidup dalam dunia dan pikirannya masing-masing. Ada yang sibuk berfoto di monumen bola dunia dengan nama-nama negara Asia Afrika disaat orang lain kepanasan dalam balutan kostum badut beragam rupa. Ada yang sibuk berbincang dengan mesra disaat orang lain memilih saling diam karena pertengkaran kecil semata. Semua orang sibuk dengan dirinya, membuat kami (saya dan teman) merasa bahwa kami adalah makhluk tembus pandang. Tak ada yang benar-benar sadar kami berada disana kecuali diri kami sendiri. Menarik.  

Akhir-akhir ini banyak cerita menarik mampir di telinga saya. Banyak kejadian yang terjadi di satu ruangan yang sama dengan pelaku dan cerita yang berbeda-beda. Beberapa cerita mirip satu sama lainnya, meskipun setengahnya berakhir dengan muram durja dan setengah yang lain berakhir bahagia. Beberapa pelaku saling terkait, tanpa sadar mereka saling terkait. Setiap orang sibuk dengan diri dan urusan mereka sendiri, menganggap manusia lain sebagai tokoh pendukung dan cerita mereka tak kasatmata. 

sumber : ini

Menurut saya, menjadi pengamat rasanya lebih menyenangkan daripada pelaku. Mereka bisa melihat masalah tanpa terlibat masalah. Mereka bisa melihat walau mereka tak terlihat. Karena seringnya kita berada dalam satu ruang yang semua orang di dalamnya abai terhadap orang lain. Mereka abai pada orang-orang yang tak terlibat dalam urusan mereka. 

Jika ada 100 orang dalam satu ruangan, maka akan ada 100 pelaku dengan masing-masing cerita yang mereka bawa. Terkait atau tidaknya 100 cerita ini tak pernah bisa diprediksi dan bisa saja menjadi misteri yang terkuak di kemudian hari. 

Saya dan teman mengambil nafas panjang. Menandai ritual aneh kami selesai dilakukan. Kami saling melempar senyum dan bangkit dari duduk. Waktunya kami sibuk dengan diri dan urusan kami sendiri. Waktunya mengabaikan orang lain yang tak berurusan secara langsung dengan kami. Waktunya menggeser posisi mereka dari 'makhluk kasatmata' menjadi 'tak kasatmata'.


Bandung, 6 Mei 2016
Read More

Wednesday, April 27, 2016

(BUKAN) TIPS MENGHADAPI WAWANCARA KERJA

Gara-gara tulisan sebelumnya, salah satu teman meminta saya menceritakan tentang hal-hal yang menyebalkan saat wawancara. Dengan kata lain, saya diminta untuk menyampaikan apa sih sebenarnya yang harus dihindari pelamar saat wawancara kerja. Saya berusaha mengingat-ingat pengalaman mewawancara yang saya lakukan selama hampir 2 tahun ini. Sayangnya saya banyak gak ingatnya. Hahaha. Tubuh dan jiwa saya memang muda, tapi ingatan saya haduh mak, begitulah, tak usah dijelaskan. 



Bagi saya, mewawancarai kandidat itu kegiatan yang menarik. Kenapa menarik? karena dalam hitungan jam, bahkan menit kita bisa tahu banyak tentang seseorang yang sebelumnya belum pernah kita kenal. Seru kan? Mendengar cerita orang lain yang mungkin saja tidak pernah kita dengar sebelumnya. Tak jarang, wawancara menjadi momok yang menakutkan bagi beberapa orang karena takut salah dan takut-takut lainnya. Sebenarnya, tak perlu takut untuk mengikuti wawancara kerja. Bertindak sewajarnya dan tampilkan dirimu apa adanya. Namun, kamu bisa hindari hal-hal dibawah ini saat wawancara kerja. 

Menangis

Memang ada kandidat yang menangis saat wawancara kerja? Banyak, Bos! Banyak! ala Isyana Sarasvati. Suatu hari teman saya cerita, "tadi pagi gue shock banget, Ki. Masa ada orang gue tanya tentang riwayat pendidikannya dan alasan dia pilih jurusan tiba-tiba orangnya segukan. Dia cerita kalau dia ambil jurusan karena permintaan mamanya yang meninggal. Gue bingung, mana di ruangan gak ada tisu lagi." 

"Terus kamu ngapain?" tanya saya.

"Ya dengerin lah. Tapi orangnya minta maaf karena keceplosan curhat," kata teman saya sambil cengengesan. 



Hem, begini ya. Saya tidak ingin menghakimi seseorang, tapi peristiwa penuh muatan emosional seperti itu baiknya tidak diceritakan dengan detail kecuali kamu bisa kontrol diri kamu sendiri dan atau peristiwa itu berkaitan dengan pencapaian yang telah dicapai serta meningkatkan kompetensimu sehingga pantas untuk menempati posisi kosong yang dilamar. Terdengar kejam ya? Ya begitulah. 

Oh ya, menangis sering dipakai untuk topeng oleh beberapa kandidat. Untuk para pemula pasti akan serta merta terenyuh dan terbawa suasana dengan cerita kandidat tersebut, tapi untuk pewawancara yang menggunakan teknik wawancara terstruktur, hal itu tidak akan berhasil. Jadi, jangan nangis lah. Nangisnya pas nonton drama Korea, India atau Turki aja. Hehe. 

Enggan Bertanya

Karena satu dan lain hal, kadang-kadang pewawancara 'agak meleng' dari kaidah wawancara terstruktur. Saya pernah salah bertanya kepada kandidat dan mendapatkan jawaban yang membuat saya geli sendiri. 



"Apa target kamu setahun kedepan dan sudah mempersiapkan apa saja untuk mencapainya?" tanya saya. Ini pertanyaan yang salah ya karena terdiri dari 2 pertanyaan sekaligus. 

"Saya ingin nikah, bu. Pokoknya tahun depan saya ingin menikah," kata kandidat tersebut dengan segenap keyakinan.

Saya (kebetulan sedang melakukan wawancara dengan atasan saya) hampir mau ketawa ngakak karena mendapatkan jawaban di luar prediksi sebelumnya. Tapi kebetulan atasan saya langsung merevisi pertanyaan saya dengan santai, "maksudnya yang berkaitan dengan pekerjaan."

Saya yang hampir ketawa ngakak berusaha sok cool kembali dan berkata, "iya, maksud saya yang berkaitan dengan pekerjaan."

Kandidat itu terlihat malu lalu menjawab pertanyaan dengan benar. 

Untuk saya yang cenderung ekspresif dan kurang mampu menyortir ekspresi yang tak perlu, kandidat yang enggan bertanya untuk memastikan kembali pertanyaan yang diterima atau pertanyaan ambigu seringkali membuat saya salah tingkah. Tapi salah saya juga sih, ngasih pertanyaan kok ambigu. Hehehe. 

Jadi, kalau kamu dapat pertanyaan yang ambigu, ya minta penjelasan saja supaya tepat menjawabnya. 

Malu-malu

Nah, model yang begini cukup banyak di pasaran. Begini ya, kalau kamu lolos ke tahapan interview atau wawancara, artinya setidaknya kamu memenuhi beberapa kriteria  sebagai pengisi posisi kosong di perusahaan yang dilamar. Apalagi jika rangkaian seleksi terdiri dari beragam tes, mulai dari psikotes sampai tes fisik. Oleh karena, tidak ada salahnya lebih percaya diri saat wawancara dilakukan. Terlalu pemalu bisa saja membuat potensi dirimu tertutupi. Di jaman MEA begini, perusahaan senang dengan karyawan yang bisa menyampaikan ide dan opininya, bukan yang manggut-manggut geleng-geleng saja. 



Dulu saat baru lulus, saya sibuk konsultasi dengan rekan saya yang sudah bekerja. Teman saya ini meminta saya untuk menuliskan kelebihan dan kekurangan saya dalam kolom yang berdampingan. Selanjutnya saya diminta menceritakan kenapa saya merasa hal-hal yang saya tulis sebagai kelebihan saya dan ia meminta saya menceritakan pengalaman yang menunjukkan kelebihan saya tersebut. Begitupun dengan kekurangan saya. Disitu saya merasa sedih sadar bahwa mengenal diri sendiri juga bisa membantu kita untuk tidak malu-malu 'menjual diri' saat wawancara kerja. Jangan lupa sesuaikan 'kesadaran diri' kamu dengan kriteria yang dibutuhkan untuk pekerjaan yang dilamar.

Malu-maluin

Kalau yang sebelumnya malu-malu, kalau yang sekarang malu-maluin. Teman saya pernah kena semprot kandidat yang tidak terima karena tidak lolos seleksi. Alasan dari tidak lolos kandidat tersebut karena yang bersangkutan tidak bisa hadir di jadwal tes dan wawancara yang telah ditentukan padahal sudah dijelaskan bahwa seleksi tersebut hanya diadakan di waktu yang disebutkan dalam undangan.



"Saya kan sudah bilang saya tidak bisa datang. Lalu bagaimana dengan aplikasi saya? Saya ditolak begitu saja?Kalau saya tahu hanya ini jadwalnya kan saya akan usahakan datang," ungkap kandidat tersebut bertubi-tubi. 

Rekan-rekanku sayang, harap diingat bahwa jika anda tidak hadir pada jadwal seleksi yang ditentukan, artinya anda mengundurkan diri dari posisi yang dilamar. Kenapa malah marah-marah? Kalau kamu tidak diterima jadi salah siapa? salah gue? salah temen-temen gue? *alaAADC

Model rekrutmen dan seleksi di setiap perusahaan memang berbeda-beda. Ada yang melakukan seleksi pada satu hari saja. Ada yang menggunakan gelombang-gelombang, maksudnya seleksi dilakukan beberapa kali tergantung dengan lolos tidaknya kandidat di gelombang sebelumnya. Baiknya jika memang berhalangan hadir ya hubungi saja kantornya dan sampaikan alasannya dengan sopan. Catat ya, dengan sopan. Meskipun perusahaan memang butuh pegawai, tapi jangan lupa kandidat juga butuh pekerjaan. Kalau dari awal tidak sopan, siapa yang mau tertarik dengan anda?

PHP

Saya pernah jadi bagian kandidat seperti ini. Berjanji datang interview tapi tak datang interview. Ternyata saya mendapatkan ganjarannya karena sekarang seringkali kandidat bilang akan datang interview tapi tak terlihat batang hidungnya hingga waktu interview terlewat sudah. Akibatnya apa? Mood recruiternya memburuk dan usernya marah-marah ke recruiter. Hahahaha.


Begini, kalau merasa tidak tertarik lagi dengan pekerjaannya atau sudah mendapatkan pekerjaan atau punya alasan lainnya, bilang saja. Recruiter bukan cenayang yang bisa nebak kamu mau datang atau tidak. Sampaikan saja alasannya dan putuskan untuk menarik kembali lamaranmu. Cara ini lebih manusiawi daripada nge-PHP-in recruiter yang sudah senang menemukan kandidat kayak kamu. 

Meminta Hasil Interview

Ada beberapa rekan saya mengeluhkan tindakan kandidat yang seperti ini. Hasil wawancara memang terlihat mudah keluarnya, tapi sebenarnya tidak semudah yang terlihat. Saat wawancara, pewawancara berusaha memahami kandidat dari cara penyampaian, apa yang sampaikan, dll. Setelah wawancara para pewawancara baik dari pihak HRD maupun atasan langsung posisi yang kosong yang biasa disebut Hiring Manager atau User biasanya berdiskusi tentang kandidat yang sudah diwawancara. Tidak sampai disana saja. Untuk beberapa posisi, hasil interview dilaporkan kepada orang-orang yang akan bekerjasama dengan posisi kosong tersebut. Setelah meminta hasil atau bahkan meminta mereka melakukan wawancara lanjutan, kami berdiskusi kembali tentang kandidat yang sudah diseleksi. Lalu muncullah satu nama yang akan dikabari oleh pihak HR. 



Ada banyak kandidat yang kekeuh meminta hasil seleksi tepat setelah wawancara ditentukan. Ada juga yang secara sengaja bertanya kepada user tentang statusnya. Hal ini sah-sah saja dilakukan bila frekuensi bertanyanya masuk akal. Kalau sehari 3 kali? Kayak makan obat, ya? Hehe. 

Gini deh, kalau kamu pas untuk posisi tersebut, kamu akan diberi kabar gembira untuk kita semua dari pihak perusahaan. Jika sebaliknya, artinya rejeki kamu bukan di tempat itu atau bukan untuk posisi itu. 

Buta

Eits, saya tidak bicara kelemahan fisik. Buta yang saya maksud adalah kandidat yang datang interview tanpa persiapan apa-apa. Memangnya persiapan apa saja yang diperlukan?
  1. Buka website dan temukan informasi tentang perusahaan, produknya, strateginya, dll. 
  2. Baca deskripsi pekerjaan yang kamu lamar
Dua hal diatas adalah informasi dasar yang harus dimiliki setiap kandidat yang akan mengikuti proses wawancara. Ya mosok ora ngerti karo kerjaan seng dilamar to leee.. leee. Buktikan ketertarikanmu dengan memahami tempat bekerja idamanmu itu. 

Mari kita bandingkan
"Bapak sudah melamar pekerjaan untuk posisi Export Supervisor. Apa yang bapak ketahui tentang posisi ini?" tanya pewawancara.
"Oh saya belum tahu banyak ya karena saya juga belum terbayang pekerjaan Export Supervisor ini seperti apa." jawab Kandidat 1
"Seperti yang saya baca di iklan lowongan pekerjaan untuk posisi Export Spv, posisi ini bertanggungjawab atas pengiriman luar negeri dan juga dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pengirimannya seperti POB, CoO, CoA hasil fumigasi, dll. Selain itu, posisi ini juga akan berkaitan langsung dengan forwarder baik untuk pengiriman laut maupun udara..." jawab Kandidat 2
Bayangkan kamu menjadi pewawancara, kandidat mana yang mempunyai peluang lebih banyak untuk lolos ke tahap selanjutnya?

Tulisan ini bukan panduan baku menghadapi wawancara kerja, tapi hanya tulisan biasa dari seorang HR yang seringnya galau yang mungkin saja bisa bermanfaat untuk para jobseeker alias pencari Tuhan kerja. Isi dari tulisan ini juga sangat subjektif dan mungkin saja bertolak belakang dengan recruiter lainnya. Lain ladang lain belalang, lain orang lain pacaranya eh maksudnya lain lubuk lain ikannya. Lain recruiter, lain juga cara pandangnya terhadap kandidat maupun proses wawancara, apalagi bila lain perusahaan, bisa saja banyak yang berbeda dari tulisan ini. Akhir kata, bersatu kita teguh, bercerai jangan sampai dan semoga sukses selalu! Cheers!


Bandung, 27 April 2016



Read More

Monday, April 25, 2016

BUAT KAMU SARJANA PSIKOLOGI

Belajar Psikologi itu gemes-gemes asik. Gemes saat ditanya cowok iseng, "kamu bisa ngebaca saya ya?" dan asik saat jawab pertanyaan tersebut dengan, "iya. Pikiran kamu kotor banget. Shame on you." Lalu drama dimulai. Hahaha. 

Lebih seru lagi setelah lulus dan dianugerahi gelar S.Psi alias sarjana Psikologi. Banyak orang yang melihat kami sebagai cenayang yang bisa menebak kepribadian dengan satu lirikan. Saya tidak mengada-ada, ini benar adanya. Suatu hari saya pernah mendapatkan respon, "kamu nanya-nanya saya sedang analisa psikologi ya?"Rasanya mau bilang, "da aku mah apa atuh...."

Asumsi bahwa lulusan psikologi itu bisa 'segalanya' sering juga ditemukan di dunia kerja. Berikut sedikit kicauan antara harapan dan realita terhadap lulusan S1 Psikologi di dunia kerja. 



Tes Psikologi
Sering kali saya temukan banyak persyaratan "mampu melakukan tes psikologi" di banyak iklan lowongan kerja yang mensyaratkan Sarjana Psikologi sebagai pelamarnya. Kalau mengadministrasikan alat tes yang berada di bawah supervisi Psikolog sih masih bisa. Tapi kalau sudah diminta untuk interpretasi alat tes, apalagi menggunakan alat tes proyeksi, waaah..melanggar kode etik psikologi sih ini namanya. 

How to deal with this requirement? 
  1. Cari posisi lain di perusahaan lain. Pasti banyak kok lowongan kerja mah. Asal mau nyari aja. Ini sih bukan deal  ya tapi kabur. Hahaha. 
  2. Buat alat tes sendiri. Pernah belajar psikometri dan pembuatan alat ukur kan? Yang jadi persoalannya adalah validitas dan reliabilitas alat ukurnya. PR kamu nih, supaya alat ukurnya valid dan reliabel. 
  3. Ikut sertifikasi alat tes. Biaya sertifikasi alat tes semacam DISC, dll itu sekitar 2-3 juta per orang. Bisa juga ikut sertifikasi grafologi agar bisa menjadi Grafolog dan bisa menggunakan metode grafologi sebagai alat seleksi.
  4. Pakai interview tersruktur alias BEI atau BDI. Prinsip dari metode wawancara ini adalah menggali apa yang sudah dilakukan seseorang di masa lampau yang bisa mempengaruhi kinerjanya di masa yang akan datang. Namun jawaban dari setiap pertanyaan yang diajukan harus jelas situasinya, tugas orang tersebut, tindakan yang diambil dan hasil dari tindakan tersebut. Akan banyak anak pertanyaan yang muncul untuk menggali detail kejadian yang dialami oleh ybs. 
  5. Jika memungkinkan, ajak perusahaan untuk bekerjasama dengan biro psikologi yang ada di kota kamu.
  6. Kuliah S2 profesi dulu. 
Saya termasuk orang yang mengambil langkah 3 dan 4. Kebetulan saya ikut sertifikasi alat tes online bernama Talent Q dari Hay Group. Terobosan alat tes psikologi yang mengukur kepribadian seseorang dan juga kemampuannya dalam 1 jam saja. Satu jam tes untuk banyak laporan. Metode psikometriknya ciamik. Kapan-kapan saya cerita lagi tentang alat tes ini. 

Intinya, sarjana psikologi dengan magister profesi psikologi sering terlihat tidak ada bedanya bagi perusahaan. Jadi eaang cabal eaaa~

Problem Solver
Nasibnya anak Psikologi itu ya jadi tempat curhat atau istilah saya mah "sawah tadah hujan". Kami harus rela dan berlapang dada dengan cerita-cerita dari orang-orang yang ada di kantor. Teman saya contohnya, hampir setiap hari dia diminta pendapat dan masukan tentang anak dari salah satu rekan kerja wanita di kantornya. Ada pula teman saya yang selalu jadi tempat curhat cerita cinta, mulai dari orang jomblo, orang PDKT, mau putus atau diputusin, mau tunangan, mau nikah sampai mau cerai. Padahal teman saya itu statusnya Jomblo Mulia tiada tara yang berprinsip tak akan pernah pacaran hingga kiamat tiba, eh hingga akhirnya menikah maksudnya.

Berbeda dengan teman saya yang lainnya. Ia diminta untuk mengobservasi perilaku salah satu divisi yang menurut bos besar di kantornya selalu bermasalah. 

"Mungkin ada yang salah dengan kepribadian mereka. Jadi kamu observasi lalu laporkan hasilnya kepada saya ya!" kata sang bos. 

Syalalala lalalalala~

Belajar psikologi itu menarik karena objeknya manusia dan manusia itu tingkahnya selalu ada-ada saja. Makanya penting sekali belajar psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi industri dan organisasi, ergonomi, bahkan statistika dan turunannya seperti Konstruksi Alat Ukur, Psikometri, dll.

Bayangkan di kantor masa depan kamu nanti Bosnya minta diadakan analisa kepuasan karyawan dan kamu tidak diperkenankan untuk menyewa vendor atau konsultan dari luar. Gimana hayooh? Mau tak mau pasti harus buka buku untuk mencari teori dan membuat indikator plus turunannya yang berupa item-item survey demi terukurnya kepuasan karyawan. 

Mungkin punya karyawan sarjana psikologi seperti toserba, toko serba ada. Yang gak ada cuma jodoh, Pak. #eaaaaa

Jadi HRD
Saat saya baru lulus, setiap kali saya ditanya tentang posisi yang dilamar di perusahaan saya selalu menjawab, "jadi HRD."

Saat itu saya belum tahu ternyata HRD pun banyak macamnya. Mulai dari Recruitment, Talent Development, Organizational Development, Training and Development, Industrial Relationship, Personalia dan sebagainya dan sebagainya. Bahkan, di beberapa tempat departemen HR itu disatukan dengan General Affair yang mana kerjaannya adalah ngurusin BPJS Kesehatan, Ketenagakerjaan, Asuransi, penyediaan makan, seragam, sampai sedot WC. Tinggal pilih sih, mau jadi HR Generalist atau Spesialist. Keduanya sama-sama capek, kan namanya juga kerja. Hehe. 

Baiknya sih cari tahu dulu dan baca benar-benar deskripsi pekerjaan yang dilamar. Jangan beli kucing dalam karung. Jangan juga coba-coba tanpa berpikir akibat yang diterima nantinya karena setelah bekerja separuh hidup kita dihabiskan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Kalau mau coba-coba, ya jangan ngeluh kalau harus menghadapi akibatnya. 
Dulu saya pernah burnout dan selalu mengeluh saat bekerja, karena lelah dengan semua keluhan saya, teman saya bertanya,
"Ki, kamu dulu pas mau kerja disini niatnya pengen apa?"
"Grow up, lah. Saya ingin bisa ini itu yang berkaitan dengan pekerjaan saya."
"Sekarang kamu merasa berkembang, gak? Pengetahuan kamu bertambah, gak?"
"Hem..iya"
"Yaudah jangan ngeluh. Ada yang harus dibayar dari bertambahnya pengetahuan dan berkembangnya kamu disini. Jangan lupa, ini risiko dari keputusan yang sudah kamu pilih diawal kamu melamar untuk posisi ini di perusahaan ini."
Dan kemudian hening :D
Begitulah sedikit cerita tentang apa yang terjadi kepada segelintir sarjana Psikologi di dunia kerja. Saat bekerja akan banyak cerita yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dimarahin dosen mah hal kecil. Belum pernah kan ngerasain dimarahin bos besar dihadapan bos-bos lainnya? Belum pernah kan disemprot kandidat karena dia tidak diterima dan tidak terima dengan penjelasan kita? Belum pernah kan? Belum pernah kan ngerasain kandidat yang sudah diseleksi sedemikian rupa ditolak user dengan mudahnya? Eh kok ini malah jadi curhat. Haha. 

Intinya, sebagai orang yang pernah mempelajari tentang manusia, idealnya kita bisa lebih terbuka dan tidak mudah terbawa suasana. Di tempat kerja drama sering terjadi, sinetron pun sering terulang berkali-kali. Jadi, jangan lupa menjadi agen pembawa kedamaian dan perubahan positif di tempat kerja dengan ilmu yang sudah diterima selama bertahun-tahun kuliah. Semangat!

Nah, siapa yang punya pengalaman yang sama?







Read More

Monday, February 8, 2016

PASPOR SI KIKI : INI DOUALA!

Perjalanan kami dimulai pada sekitar jam 7 malam. Di jam segitu dengan suhu udara mendekati minus itu membuat saya sedikit tersiksa. Kami diangkut menggunakan bus untuk sampai segera ke tangga pesawat. Rombongan kami hanya satu bus saja. Besar pesawatnya juga seperti pesawat antar negara Asia yang terkenal dengan promo serta tiket murahnya. Tiga bangku berderet di kanan dan tiga bangku berderet di kiri. Bedanya, ruang untuk kaki lebih besar di pesawat mungil Turkish ini. Saya duduk di dekat jendela. Sial, pasti bau duduk disini. Saya memakan bulat-bulat anggapan bahwa penduduk Afrika itu bau. Rasis memang. Saya mengaku salah. Saya duduk disana dan tidak mencium bau-bau yang aneh kecuali pada beberapa orang saja. Yaaah, gak semua orang keteknya bau juga kan, Kaaak!

Kursi di sebelah saya kosong sedangkan kursi di dekat lorong ditempati oleh bapak-bapak paruh baya yang sepertinya berkebangsaan Perancis. 

"Hi," sapanya.

Saya hanya menjawab dengan senyum sambil mengangguk. Saya ngantuk. Sungguh. Kalau sudah ngantuk muncul aslinya, judes kabina-bina. Saat pesawat akan terbang, ternyata sebaris kursi di depan saya kosong, bapak itu akhirnya pindah ke baris tersebut. Langkah yang tepat, pak! Hahaha. 

Oh ya, ternyata benar prediksi Pak Ari. Seluruh kabin kami sangat penuh dengan barang-barang penumpang. Saya heran, barang apa sih yang mereka bawa? Hemm. 

Pesawat mulai terbang dan saya kembali tidur. Selamat malam, Istanbul. Selamat tinggal negeri yang penuh dengan populasi manusia ganteng dan cantik. See you soon!

Tidur saya kali ini tidak nyenyak. Selain karena para penumpang sibuk wira-wiri kesana kemari sepanjang penerbangan, mereka juga tak berhenti ngobrol santai kayak di pantai dari mulai terbang hingga menjelang sampai! Turbulensi selama perjalanan juga berkali-kali terjadi. Membuat para penumpang menjerit takut juga membuat saya bangun lalu kemudian terkantuk-kantuk kembali. 

Saat saya sadar alias tidak tidur, saya melihat Pak Ari berjalan ke toilet. 

"Loh Ki sendiri?" tanyanya saat melewati bangku saya. 

"Iya nih, Pak. Tuh bapak yang sebelah saya pindah ke depan. Bapak sini lah. Saya minder jadi minoritas disini."

"Oke. Saya ke toilet dulu."

Tak lama Pak Ari kembali dan duduk di tempat duduk bapak-bapak Perancis yang kemudian pindah. 

"Ki, tahu gak? Ternyata mereka yang naik itu rata-rata orang kaya. Mereka hanya transit di Turki. Penumpang sebelah saya cerita tadi. Katanya, dia importir motor mewah dari Perancis ke Kamerun. Dia gak pernah travelling ke Asia kecuali ke Jepang. Paling sering jalan ke US dan Europe alias Eropa," kata Pak Ari. 

Buseeng. Pantesan tampilan mereka blink-blink abis!

Gimana ya susah ngejelasin tingkah polah para penumpang ke Douala ini. Sekali lirik saja kamu bisa tahu kalau mereka orang kaya. Daaannn yang membuat situasi agak canggung adalah, baju mereka rata-rata rapi dan bagus, hampir semuanya bawa koper kecil untuk di kabin. Sedangkan kami (saya, Pak Ari dan Pak Zul) pakai kaos dan jeans belel plus bawa-bawa backpack. Sejak kami menunggu di gate keberangkatan, kami mengamati mereka dan mengeluarkan banyak komentar. Padahal kami tidak sadar bahwa kami adalah minoritas disana dan mungkin saja banyak dikomentari juga oleh mereka. Terimakasih Tuhan Kau menciptakan banyak bahasa, jadi saat manusia ngomentarin satu sama lain belum tentu objek komentarnya ngerti~

Perjalanan kami menuju Kamerun hanya sekitar 4-5 jam. Namun turbulensi yang semakin menjadi-jadi membuat lama perjalanan rasanya lebih dari 4-5 jam. Setelah turun naik tak karuan, saya melihat banyak titik cahaya di daratan sana. Waaah, saya sudah ada di langit Afrika! Bak melihat Indonesia, tak lama saat melihat pendar cahaya, kami kembali disuguhkan hamparan tak bercahaya. Mungkin hutan, mungkin juga pemukiman tanpa listrik. Pembangunan disana rasanya juga tak merata. 

Pilot kemudian memberitahu kami bahwa beberapa menit lagi kami akan mendarat di Yaounde, ibukota Kamerun. Para penumpang dengan tujuan Douala diminta diam di tempat dan tidak beranjak dari duduk. Semua orang prelente turun. Mereka sibuk dengan bawaan koper yang entah berapa beratnya dan entah apa saja isinya. Tak lama setelah para penumpang itu turun, flight attendance langsung menanyakan barang penumpang yang tersisa satu persatu. 

"Is this your luggage?"

Kalau jawaban orang yang ditanya "YA" maka para FA akan langsung beralih ke penumpang lainnya. Jika "BUKAN" penumpang harus menunjukkan mana saja barang bawaannya. Kau tahu, proses memastikan barang ini luar biasa heboh, sodara-sodara! Hanya sekitar 30 menit transit di Yaounde, kami terbang kembali ke Douala. Kau tahu berapa lama kami terbang? HANYA 18 MENIT!!!! Mungkin terbang Jakarta-Bandung juga akan memakan waktu yang tak jauh berbeda. Saya bertanya-tanya kepada diri saya sendiri, mengapa harus ada transit di Yaounde jika jarak Yaounde dan Douala begitu dekatnya? Boros gak sih bahan bakarnya? Ah yasudahlah~

Singkat cerita kami sampai di Douala jam 01.29 dini hari. Saat kami keluar dari garbarta, ada seorang wanita muda membawa tulisan berisi nama-nama kami lengkap dengan logo perusahaan. Kami mengikutinya dan mengisi form yang harus kami isi. Lalu menghadap ke mas-mas dan mbak-mbak imigrasi. Wanita muda itu adalah agen perjalanan yang disewa oleh perusahaan kami untuk mengatur semua proses kedatangan para champion ke Kamerun. Agak mengecewakan sih pelayanannya. Wanita muda ini seperti baru pertama kali menangani klien seperti kami. Padahal dalam email kami dijanjikan untuk mendapatkan VIP lounge dengan akses wifi, ruangan ber-AC, makanan ringan dan toilet di dalamnya. Sialnya, tak satupun yang kami dapatkan. Kami juga diminta untuk mengambil barang kami sendiri-sendiri, padahal kabarnya sebagai penerima VIP lounge kami tak perlu melakukan itu. Kami hanya perlu duduk cantik di dalam lounge. Tapi kami bukan anak manja yang sangat ketergantungan pada fasilitas VIP, jadi semua proses riweuh di bandara kami jalani dengan senang hati. 

Kami tak mendapatkan VISA dan paspor kami di tahan di imigrasi saat itu karena tak ada petugas yang berjaga. Kami diberikan fotokopi paspor dan diminta pergi ke hotel. Kami diantar ke hotel oleh mobil perusahaan dan ditemani salah satu kolega kami di Kamerun. Malam terlalu larut dan pemandangan kota Douala menurut saya mirip dengan Kota Garut. 

Mobil kami melaju dan kami tiba di bangunan berhiaskan kain bertuliskan A berwarna merah. 

Hotel Akwa Palace
"This is your hotel. Akwa Palace," kata sopir. 

Kami turun dan menenteng barang-barang kami. Saya agak shock karena di depan hotel kami ada wanita-wanita yang mejeng dan sepertinya sedang mangkal. You know what I mean lah ya~

Sesampainya ke lobi utama hotel yang berdiri sejak tahun 1956 ini, kami langsung diberikan kunci kamar. Tapi sialnya Denis tidak dapat kamar karena tidak ada namanya di dalam list. Kami meminta tambahan 1 kamar untuk dia dan meminta pihak hotel untuk menghubungi kolega kami di Kamerun siang nanti. Mereka setuju dan memberikan kunci kamar kepada kami. 

Seperti biasa saya selalu merasa ketakutan jika tinggal di kamar hotel sendirian di negara lain. Pengalaman saya di Belgia tahun 2014 juga begitu. Hal ini disebabkan hal sepele yang tak masuk akal. Sebelum keberangkatan saya ke Aalst, saya membaca postingan tentang makhluk ghaib yang ditemui para traveller saat mereka melancong ke luar negeri di sebuah grup jalan-jalan di Facebook. Di kolom komentar salah seorang anggota grup merekomendasikan film horror tentang para hantu yang merasa dihantui oleh para manusia. Bodohnya saya malah nonton film itu daaaan ketakutan sendiri~

Singkat cerita, jam 9 saya ditelepon oleh Pak Ari. Diajak makan pagi. Haduuh pas banget, saya kelaparan, vroh!

Saat turun ke bawah ternyata makanannya sudah banyak yang habis dan saat kami selesai makan kami diminta tandatangan invoice. 

"Kenapa kami harus tandatangan ini?" 

"Karena kalian sudah makan pagi."

"Siapa yang akan membayar? SIC Cacaos kan?"

"Iya, mereka yang akan bayar."

Oalaaah, saya dan Pak Ari tidak pernah diminta tandatangan setelah breakfast di hotel, jadi kami agak keheranan gitu. Plus agak katrok juga lah yaaaa. Haha. 

Selesai makan yang seadanya, saya mejeng sebentar di kolam renang yang ada di area hotel. Denis membaca buku. Pak Zul main game di handphone. Karena bosan dan gak ada kerjaan, saya memutuskan kembali ke kamar dan menonton TV. Seluruh saluran TV disana berbahasa Perancis dan saya tidak menemukan lebih dari 2 stasiun TV lokal! Sisanya adalah saluran TV Perancis dan ini terjadi di semua hotel yang saya tempati termasuk hotel di kota kecil.

Saya menonton TV dan tiba-tiba ada petugas hotel yang mengetuk pintu. 

"Cleaning service," katanya.

"Sok mangga, saya disini boleh kan?" tanya saya. 

"Okay!"

Sang petugas dengan sigap mengganti seprai juga sarung bantal dan selimut lalu mengambil semua sampah. Saya minta air mineral ukuran 1,5 liter dan sang petugas memberikannya dengan gratis kepada saya karena kebijakan hotel tidak memberikan air tambahan setiap harinya. Kejam yaaa~

"Nih, saya ngasih air ini buat kamu. Gratis!" katanya. 

Saya senyum dan berkali-kali bilang terimakasih dengan mata berbinar-binar. Ternyata setelah memberikan saya air, sang petugas keluar sambil bilang, "It is finished."

"Kamu gak nyedot debu karpet dan ngelap meja gitu? Atau nyikat kamar mandi?"

"Enggak kok. Gini doang tugas saya."

Alamak jaaaaaannnnn. Pantesan penuh debu kamar hotelnya. Yoweslah kalau begitu. 

Sekitar jam 15.00, Denis menelepon saya dan mengajak kami untuk makan siang dan saya diminta memanggil Pak Ari. Kami makan siang di restoran yang berbeda dari restoran saat sarapan tadi. Kata Pak Zul, tadi beliau bertemu Marina dan bertanya mengenai makan siang, katanya kami bebas makan apa saja dan akan diklaim ke perusahaan di Kamerun. Wueenak tenaan~

Ini udang pesanan kami. Enak kaan?
Kami memilih ikan dan udang. Dua porsi untuk empat orang. Ternyata saat saya ngerem di kamar, mereka bertiga jalan-jalan demi menemukan "pantai" yang ditemukan Denis di Gmap. Ternyata tempat itu bukanlah pantai melainkan pelabuhan. Mereka juga bercerita bahwa ada oknum polisi yang meminta identitas mereka. Saat diberikan kartu kunci kamar yang dianggap sebagai identitas, si Polisi angguk-angguk saja lalu meminta uang sebesar 5000 kepada mereka. Denis mengajak Pak Ari dan Pak Zul segera pergi darisana dan menganggap polisi itu seperti angin lalu. Saat mereka kembali ke hotel dan menceritakan perjalanan singkat mereka berjalan-jalan di sekitar hotel kepada Veronique, mereka kena damprat habis-habisan dari Veronique. 

"Gimana kalau kalian semua dideportasi? VISA belum ada di tangan kalian! Jangan berani seperti itu di Kamerun!"

Tapi karena yang kena omel bapak-bapak iseng semua, dianggap angin lalu pula omelan Veronique. Omelan itu berlalu dan berganti pemberitahuan bahwa kami harus berkumpul di ruang meeting jam 6 sore.

Hai Kamerun, kami siap. Saya siap menjejak kaki disini selama satu minggu penuh!


Bandung, 8 Februari 2016





Read More

PASPOR SI KIKI : MENUJU TITIK KECIL DI AFRIKA

Setelah mengunjungi Basillica Cistern, kami diajak untuk kembali ke restoran dan makan siang. Nah, kali ini ini kami diminta memilih antara menu ayam atau sapi. Saya dan Pak Zul pilih sapi, Pak Ari ‘terpaksa’ pilih menu ayam karena mengira kami makan ayam. Hidangan pembuka sudah tersaji di meja kami. Ada salad wortel, mentimun dan entah sayuran apa lagi di mangkok kami. Kecombrang gitu ya? Tapi masa ada kecombrang di Turki? Hahaha. Saya mencoba sesuap dan kapok. Tak cocok dengan lidah katrok saya.

Ceritanya appetizer lunch pertama di Turki
Tak lama setelah itu datanglah hidangan utama, kebab sapi, yihuy! Porsinya sedikit tapi enaaaakk. Kurang sambal sih menurut saya mah, maklum bu biasa makan sambal goreng kentang. Hahaha.

Makaaan gratisaaan~
Setelah makan siang, Burhan (ternyata guide kami namanya Burhan bukan Omar. Saha atuh nya si Omar teh? Maaf pemirsa!) mengajak kami kembali ke bus. Bagi orang-orang yang masih transit lebih dari jam 6 sore ikut bus lain sedangkan sisanya kembali ke Bandara. Saya sempat berbincang dengan orang Korea yang punya bisnis di Iran. Beliau terheran-heran saat tahu kami bertiga akan berkunjung ke Kamerun. Pak, jangankan bapak, saya juga heran loh sebenernya. Haha. Di pikiran saya, keren juga ya bapak-bapak ini bisa business trip ke Iran sebagai konsultan mesin disana. Jalan-jalan agak jauh dari rumah memang selalu penuh kejutan ya.

Ini guide kami di Istanbultour dari Turkish Airlines, Burhan.

Rombongan tur kami berkurang hampir setengahnya. Kami langsung berangkat kembali ke bandara tanpa Burhan karena Burhan melanjutkan tur dengan orang-orang yang tidak ada di bus kami. Melihat burung-burung (entah pelikan, entah burung camar, saya tidak tahu jenisnya) berterbangan dan membuat formasi membuat saya kembali mengucap syukur atas nikmat Allah yang sudah diberikan kepada saya dengan cuma-cuma. Gak pernah nyangka bisa mampir ke negara ini. Melihat saksi bisu sejarah yang dulunya memegang peran penting sebuah negara dan sekarang hanya menjadi objek foto yang juga pelajaran sejarah bagi umat manusia. Karena hidup selalu berputar. Kejayaan tak bisa abadi dipegang.

Sesampainya di bandara, kami langsung mencari Mescit untuk melakukan sholat ashar dan dzuhur. Setelah itu sibuk melihat papan informasi gate. Ternyata gate kami belum dibuka. Kami berjalan-jalan di bandara. Saya sibuk mengikuti Pak Zul bak anak takut kehilangan ayahnya. Kami masuk ke ruangan terbuka yang ternyata smoking area.

Mescit alias mushola di bandara Attaturk

“Hei, kalian nak apa kemari? Ini tempat aku dan orang-orang seperti aku!” seru Pak Zul.

Saya dan Pak Ari tertawa karena baru sadar bahwa itu adalah ruangan merokok di bandara. Oonnya dibawa-bawa sampai Turki sih. Hahaha.

Kami sibuk berjalan dan mendekati Starbuck yang tersebar dimana-mana. Saya dengar kabar bahwa di bandara Attaturk tidak ada koneksi Wifi gratis. SALAH! Ada kok! Saya nemu. Tapi syaratnya adalah mendekat atau bahkan nangkring di Starbuck atau Coffee Nero. Pakai Wifi bernama Wispotter. Di awal kita harus mendaftarkan diri dengan akun Facebook dan mengaktifkan nomor Indonesia (saat itu saya pakai provider IM3 karena kartu 3 saya tidak berfungsi disana). Setelah mendaftar menggunakan akun Facebook dan memasukkan nomor telepon Indonesia, akan ada pesan text yang mengirimkan kode untuk verifikasi. Kalau sudah verifikasi, kita sudah bisa berselancar di dunia maya dengan Wifi gratis.

Selain Wifi gratis, saya juga baca artikel bahwa troli di bandara ini berbayar. Nyatanya tidak seperti itu, ada kok troli gratis.

Entah saya yang memang gratisan hunter atau memang bandara ini sudah lama berbenah dan menjadi lebih baik sehingga banyak fasilitas gratis yang bisa didapatkan oleh para penumpang, yang jelas saat saya di bandara ini, saya menemukan banyak akses gratis.  

Dekat kafe sumber Wifi gratisan berada~
Setengah jam sebelum penerbangan kami, kembali kami telusuri nomor gate, ternyata sudah muncul. Kami berjalan menuju gate yang dipenuhi oleh orang-orang Afrika. Ada sih beberapa orang bulenya, tapi gak banyak. Menurut jadwal penerbangan yang disebarkan melalui email ke setiap champion, kami mempunyai 1 orang champion dari Rusia yang akan berangkat ke Douala bersama-sama dari Turki. Tapi hingga saat itu kami belum menemukan orang Rusia tersebut.

Karena bosan, kami bertiga bermain tebak-tebakan.

“Yuk kita tebak yang mana yang namanya Denis –Denis nama kolega kami-“ kataku.

“Oh, kayaknya yang itu deh,” sahut Pak Zul.

“Yang mana?” tanya Pak Ari.

Pak Zul menyebutkan ciri-ciri lelaki bule yang berdiri di dekat tiang. Kami hampir meyakini itu Denis sebelum ada teteh-teteh bule yang nyamperin orang tersebut dan mereka pergi berdua.

“Yaaaaahhh...salah! Tetot!”

“Oke, tebakan kedua yang itu. Yang pakai baju warna hijau lumut dan bawa koper kecil,” tebakku.

“Orangnya sedang pegang handphone bukan?” tanya Pak Ari.

“Iya. Itu yang jalan ke toilet,” jelasku.

“Coba aku datangi dan kutanya sambil pura-pura ke toilet,” kata Pak Zul sambil berlalu ke toilet.

Pak Zul berpapasan dengan orang itu di pintu toilet lalu masuk ke toilet sedangkan lelaki bule tersebut mengantri di gate sebelah kami. Salah juga! Fyuh!

Kami melihat Pak Zul berakting mencuci muka dan membasahi rambutnya. Saya dan Pak Ari cengengesan melihat tingkah Pak Zul dan tingkah udik kami semua. Di saat yang sama, kami melihat rombongan keluarga sedang ber-tos ria dengan gelas berisi minuman keras. Kami menghela nafas dan mengulum senyum lalu melanjutkan tingkah udik kami itu.

“Jangan-jangan Denis itu ternyata ketinggalan pesawat dan gak ada di bandara sekarang,” celetuk Pak Ari.

Saat kami sibuk memilih target tebakan lainnya, tiba-tiba ada keributan di gate antara penjaga gate dengan salah satu wanita anggota keluarga yang tadi minum di depan kami. Memang ada pemberitahuan bahwa ada delay yang tidak dijelaskan alasannya. Wanita itu mengomel dengan bahasa Perancis dan menjadi pusat perhatian.

“Pak, kita terakhir saja ya masuknya,” kataku pada Pak Zul dan Pak Ari.

“Jangan, Ki. Kita harus masuk duluan. Mereka bawa barang banyak. Kemungkinan kita gak dapat tempat di kabin nanti,” kata Pak Ari.

“Iya, Ki. Sekarang kita ngantri saja deh,” kata Pak Zul.

Sebagai anak bawang, saya ikut saja apa yang diusulkan oleh bapak-bapak itu. Kami ikut mengantri karena petugas Turkish Airlines sudah meminta kami mengantri. Wanita itu masih mengomel tiada henti. Bahkan bapak-bapak yang awalnya komplain kepada petugas sudah berhenti komplain tapi wanita itu tetap tak kehabisan kata-kata dan keluhan! The power of women~

Pesawat kami delay lagi beberapa belas menit. Petugas tidak juga menjelaskan alasan delay. Komplain makin bertaburan.

Untuk mengatasi antrian pemeriksaan boarding pass yang mengular, petugas wanita dari Turkish Airlines bergerilya memeriksa paspor dan juga boarding pass para penumpang. Tibalah giliran saya. Ia tampak keheranan karena tidak ada cap VISA Kamerun di paspor saya.

“Punya VISA?” katanya.

“Belum, saya pakai Visa on Arrival. Tapi ini ada surat menyuratnya,” jawab saya.

Sebelum pergi ke Kamerun, kami diberikan surat keterangan bekerja dari SIC Cacao (cabang Barry Callebaut di Kamerun) dan juga semacam surat pemberitahuan bahwa kami mendapatkan izin untuk Visa on Arrival dari pemerintahan Kamerun. Surat-surat inilah yang saya berikan kepada teteh dari Turkish itu.

Surat saya dibawa, tak lama kemudian diberikan kembali dengan senyuman, “all is OK!”

“Terimakasih,” jawab saya.

Dikarenakan saya menjadi kelinci percobaan, maka Pak Zul dan Pak Ari tidak mendapatkan pertanyaan yang berarti kecuali senyuman dan kata, “OK!”
Menunggu pesawat ke Kamerun sambil tebak-tebakan berhadiah

“Kalian orang Malaysia dan Indonesia dari Barry Callebaut bukan?” tanya seorang bule yang ujug-ujug ada di belakang kami.

“Oalah, kamu Denis?” tanya kami serempak.

“Iya.”

Kami langsung menceritakan kejadian tebak-tebakan tadi setelah mengenalkan diri. Ternyata pesawat Denis delay dan ia baru datang beberapa menit sebelum antrian dimulai. Tebakan Pak Ari nyerempet benar juga ternyata. Kami langsung masuk ke pesawat dan benar saja kabin sudah penuh karena para penumpang yang sudah masuk membawa barang bejibun. Bayangkan saja, setiap orang bawa koper yang sepertinya lebih dari 9 kg! Pokoknya kalau koper jatuh ke kepala saya, saya kutuk mereka semua jadi batu!

Perjalanan ke salah satu titik kecil di benua Afrika dimulai.

Bandung, 8 Februari 2016
Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)