Wednesday, June 22, 2016

Apa Bosan?

Beberapa minggu ini cukup menarik bagi saya. Banyak hal yang tak pernah terpikir ada terjadi dalam hidup saya. Mulai dari dipindahkan kembali ke gedung awal tempat saya bekerja, sampai harus interview kandidat program percepatan karir di Jerman sana. Kaget? Jelas. Baru? Tentu. Semangat? Sayangnya tidak. 

Enaknya jadi orang ekspresif itu, tetap bisa menutupi kegundahan hati (ceileh) dengan ketawa ketiwi. Mungkin tak ada orang kantor yang sadar. Orang terdekat saya juga mungkin tak sadar. Tapi tak apa. Memang itu urusan saya dan mereka tak perlu harus tahu, tapi kalau tahu sih seneng juga #deuuuuuuu.

Pekerjaan banyak terlantar. Malas selalu melambai-lambai. Mengantuk jangan ditanya. Apakah ini namanya putus cinta? eh maksudnya apakah ini namanya burnout? Rasanya tidak juga. Saya masih senang pekerjaan saya, walaupun sedikit kesal karena satu dan lain hal. Tapi sejauh ini, pekerjaan saya cenderung mudah dan mendapatkan banyak bantuan dari atasan saya. Entah saya yang memang bukan good follower, atau memang atasan saya benar-benar problem solver. Entahlah. 

Bosan. Iya, sepertinya saya bosan. Bosan dengan kegiatan harian yang itu-itu saja. Bosan dengan tingkah laku absurd saya setiap harinya. Bosan dengan ini itu. Bosan. Semua hal yang sebenarnya bisa jadi menyenangkan tetap terlihat membosankan. Mood saya naik turun tidak jelas, padahal siklus bulanan yang menjadi sebab hormon naik turun dan munculnya kondisi senggol bacok sudah terlewatkan. Resah dan gelisah padahal tidak ada semut merah yang memandangi saya dan bertanya, "sedang apa disana?". Tidak ada juga yang meminta jawaban,"menanti pacar jawabku."

Kalau minta diri sendiri menjelaskan tentang resah dan gelisah di hati, satu-satunya jawaban paling masuk akal adalah iman saya mungkin sedang turun. Kalau bahasa gaulnya mah, futur. Mungkin kurang dzikir, mungkin kurang ikhlas dalam beribadah, mungkin terlalu banyak bergantung kepada manusia. Atau mungkin saya sudah terlalu lama tidak bermonolog. Berbincang sendirian. Berbicara dengan diri sendiri. Mengomentari diri sendiri. Mungkin. 

Sebetulnya saya bukan orang yang mudah bosan. Tingkat toleransi saya terhadap rasa bosan cenderung baik. Saya bisa mengerjakan hal yang sama dengan waktu cukup lama, apalagi tidur dan leyeh-leyeh, itu bisa lama pisan. Haha. 

Ah ya, mungkin ini bisa menjadi salah satu penyebabnya. Akhir-akhir ini saya suka mendengarkan lagu Maudy Ayunda, Jakarta Ramai. Hampir mirip dengan kondisi saya sekarang. *gak ada yang nanya, ki*
...Apa kabar mimpi-mimpi mu
Apa kau tinggal begitu saja
Apa kabar angan-angan mu
Hari ini...
...Langitnya abu hati ku biru
Banyak hal baru tapi ku lesu...

Malam ini saya jadi berpikir ulang, sebenarnya apa mimpi saya? Apa rencana saya untuk mimpi-mimpi saya? Apa usaha saya untuk mencapai mimpi-mimpi itu? Apa sebenarnya hal baru yang saya inginkan? Apa benar saya bosan? Apa saya kecewa? Apa saya mulai bergantung pada orang lain? Apa saya jadi tidak bisa mengendalikan diri saya? Apa begini? Apa begitu? Apa ini? Apa itu? Apa?

Kenapa saya masih lesu padahal biasanya bersemangat dengan mudahnya? Kenapa tak melakukan apa-apa padahal punya mimpi begitu banyaknya? Kenapa malah dengan urusan lain yang sebelumnya tak pernah dipusingkan, bahkan dipikirkan? Kenapa perasaan macam ini bercokol cukup lama? Kenapa tidak menjalani hari seperti biasanya saja? Kenapa?


Apa saya benar-benar merasa bosan? Apa benar bosan? Entahlah.


Bandung, 22 Juni 2016


Read More

Saturday, June 18, 2016

Saat Semua Menghilang

Ia datang ketika hujan mereda. Ia menjejak saat permukaan tanah basah. Menyentuh dedaunan yang disapa rintik air sapaan khas langit. Kedatangannya disambut oleh perginya mendung dari langit yang menjadi atap bumi. Langkahnya terus maju dan tak ada satupun yang bisa membuatnya mundur sedikitpun. Semakin depan, semakin cepat, semakin lebar langkah yang ia ambil. Membuat semesta terheran-heran karena tipisnya durasi yang dihabiskan untuk berjalan.

Manusia itu tersenyum. Menyambut tempat ia dilahirkan. Menyapa tempat ia ditinggalkan orang-orang tersayang. Tempat dimana ia pernah ingin pergi saja tanpa bilang-bilang. Rumah.

Ia menutup mata. Membayangkan ramainya bangunan yang disebut rumah dengan para penghuninya. Membayangkan  kesedihan yang tak berkesudahan sebelum pemahaman dan kerelaan datang. Ada air mata di ujung matanya. Membuat seluruh ketegaran yang ia bangun bisa runtuh seketika. Namun ia menarik nafas panjang. Ia tahu, semua pertemuan pasti berakhir. Mungkin manusia memang sengaja diciptakan untuk harus selalu menerima perpisahan. Sesakit apapun itu.

Saat semuanya telah tiada. Ia benar-benar paham bahwa dirinya tak memiliki apa-apa. Bahwa semua yang ia benci atau senangi memang selalu akan terjadi. Kerapuhan, keterpurukan, penyesalan, bahkan kebahagiaan memang harus dilaluinya. Dengan atau tanpa izinnya, semua itu akan terjadi kemudian berlalu dan menetap sebagai kenangan. 

Tak ada kenangan pahit, yang ada adalah kenangan yang belum bisa diterima. Tak ada kenangan indah, yang ada adalah kenangan yang sesuai dengan harapan kita. 

Manusia itu kembali mengambil nafas panjang. Ia melihat ke samping, dimana ada manusia lain yang sejak kedatangannya berada disisinya, menggenggam jemarinya erat. Seakan memberi berbicara, "kamu kuat dan semuanya baik-baik saja."

Ia sadar, sosok menyenangkan itupun pasti akan menghilang dari hidupnya suatu saat nanti. Atau mungkin sebaliknya. Ia yang lebih dulu menghilang. Tak pernah ada yang tahu. Tugas manusia bukan menentukan masa depan. Tak ada yang menarik lagi dari hidup jika kita tahu apa peruntungan dan kesialan kita esok hari. 

Saat masa itu datang, saat dimana orang-orang tersayang hilang, tak ada yang bisa kita lakukan selain menerima dan menyadari bahwa kita tak memiliki apa-apa. Bahwa kita hanya menikmati hidup yang diberikan Tuhan secara cuma-cuma. Bahwa semua hal di dunia ini hanya sementara. Bahwa semua orang sedang mendalami perannya dan meyakinkan diri mereka bahwa mereka akan hidup selama-lamanya. 


Bandung, 12 Juni 2015
Sambil mendengar sederet lagu indie yang kaya dengan kata indah
Read More

Sunday, June 5, 2016

Ada di Bulan Juni

Ada hujan di bulan Juni. Hujan yang diabadikan dalam puisi. Membuat para bayi di bulan Juni senang, bulan dimana mereka dilahirkan bisa terkenal. Ada bunga di bulan Juni. Bunga yang tak disangka-sangka bisa mekar juga, meski suhu udara di sekitarnya biasa saja dan tak berbunga-bunga. Ada harap yang tiba-tiba meninggi di bulan Juni. Harap tentang sesuatu yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, tentang banyak hal yang bahkan tak pernah lewat di fikiran. Ada anomali di bulan Juni. Dimana semua keputusan penting diambil secara hati-hati tapi tetap terasa terlalu cepat. Dimana ketakutan-ketakutan baru muncul bersamaan dengan banyaknya cerita terungkap padahal dulu ditutup rapat-rapat. Ada kamu di bulan Juni. Apa hanya berakhir di Juni atau tak pernah berakhir sama sekali, semuanya masih jadi misteri. 

Bandung, 5 Juni 2016
Read More

Saturday, May 21, 2016

Pasca Resepsi

Beberapa waktu lalu saya membaca postingan seorang teman tentang pendapatnya atas sebuah artikel kehidupan pasca resepsi pernikahan. Artikel itu mengajak pembaca untuk tidak menghambur-hamburkan uang untuk resepsi pernikahan lalu menghabiskan waktu setelah menikah untuk tinggal di sebuah kontrakan. Kontras sekali perpindahannya. Dari pesta yang megah dan mewah berubah menjadi kontrakan kecil di sudut kota yang tak lebih dari dua juta perbulannya. Teman saya ini tidak setuju dengan artikel tersebut. Saya tahu persis bagaimana usaha ia dan calon pasangannya untuk menyelenggarakan resepsi pernikahan. Mereka perlu menunggu puluhan purnama untuk menabung agar bisa bersama. 

"Kamu jangan pernah anggap Bapak saya jahat ya, Ki. Beliau cuma ingin melihat upaya orang yang berniat menjadi pasangan anak gadisnya. Seperti yang dilakukan Bapak untuk Ibu. Upaya yang menurut Bapak setidaknya sebanding dengan upaya terbaik yang selalu ia berikan untuk anak gadisnya. Ini adalah awal waktu dimana saya dan pasangan saya bisa memberikan tempat yang pantas untuk orang tua kami menyambut tamu. Bukan untuk pamer dan bermegah-megahan. Bukan, Ki. Ah, entah bagaimana saya harus menjelaskannya kepadamu," jelas temanku itu. 

Saya terdiam cukup lama. Mengingat teman saya ini memang anak dari salah seorang pejabat di salah satu instansi pemerintah di ibu kota, rasanya wajar Bapak meminta demikian. Tapi apalah kata wajar itu? Penuh subjektivitas. 

Di waktu lain, saya melihat rekan saya mengomentari artikel yang sama. Ia setuju dengan artikel itu dan dengan menggebu-gebu merutuki orang-orang yang melakukan resepsi pernikahan besar-besaran lalu tinggal di kontrakan setelah resepsi itu dilaksanakan. Menurutnya, melakukan resepsi yang menghabiskan puluhan juta itu tidak masuk dalam daftar mimpinya. Ia hanya ingin akad nikah yang syahdu dan sakral. Tak perlu berdiri menyambut tamu, tak perlu sehari menjadi ratu. Ia hanya ingin statusnya sah secara agama maupun hukum. Tak perlu pusing memikirkan penyewaan gedung, dekorasi, catering, hiburan bahkan mungkin undangan. 

Menarik. Dua kondisi yang berbeda. Dua respon yang tak sama. Pastinya dilatar belakangi oleh alasan yang berbeda, kondisi sosial ekonomi yang berbeda serta pergaulan yang berbeda. 

Terkadang, seseorang tidak punya pilihan untuk tidak melaksanakan resepsi. Bukan hanya untuk harga diri tapi juga alasan lain yang mungkin menurut orang lain hal tersebut tidak masuk akal. Terkadang pula seseorang hanya punya pilihan untuk tidak menggelar resepsi pernikahan karena satu dan lain hal. Alasannya juga beragam. Mulai dari alasan yang membuat kita mengangguk-anggukan kepala atau bahkan mengerutkan dahi karena terheran-heran. 

Begitupun dengan tempat tinggal pasca pernikahan. Saya menjadi saksi hidup bagaimana seorang teman memutuskan untuk tinggal di rumah mertuanya hanya karena ingin menjaga mertua yang sudah menua. Saya juga punya teman yang tinggal terpisah baik ngontrak ataupun menyicil rumah setelah menikah dengan alasan ingin mandiri dan lain sebagainya. 

Menurut saya, tak ada yang salah dengan melakukan resepsi besar lalu tinggal di kontrakan. Tak ada yang salah juga dengan menikah tanpa resepsi besar lalu tinggal di rumah yang dibeli dengan uang sendiri. Tak ada yang salah dari semua keputusan yang diambil manusia, karena kita tak pernah tahu cerita lengkap dibalik keputusan yang mereka ambil. Tak perlu menjadi hakim dan mengomentari kehidupan orang lain. Kehidupan pribadimu jauh lebih penting untuk diperhatikan.



Bandung, 21 Mei 2016
Read More

Friday, May 6, 2016

TAK KASATMATA

Adanya kursi kayu yang tersebar di pusat kota Bandung sangat membuat saya senang. Saya bisa duduk bersama teman tanpa bicara dan asyik mengamati perilaku orang-orang yang ada di sekitar. Semua orang hidup dalam dunia dan pikirannya masing-masing. Ada yang sibuk berfoto di monumen bola dunia dengan nama-nama negara Asia Afrika disaat orang lain kepanasan dalam balutan kostum badut beragam rupa. Ada yang sibuk berbincang dengan mesra disaat orang lain memilih saling diam karena pertengkaran kecil semata. Semua orang sibuk dengan dirinya, membuat kami (saya dan teman) merasa bahwa kami adalah makhluk tembus pandang. Tak ada yang benar-benar sadar kami berada disana kecuali diri kami sendiri. Menarik.  

Akhir-akhir ini banyak cerita menarik mampir di telinga saya. Banyak kejadian yang terjadi di satu ruangan yang sama dengan pelaku dan cerita yang berbeda-beda. Beberapa cerita mirip satu sama lainnya, meskipun setengahnya berakhir dengan muram durja dan setengah yang lain berakhir bahagia. Beberapa pelaku saling terkait, tanpa sadar mereka saling terkait. Setiap orang sibuk dengan diri dan urusan mereka sendiri, menganggap manusia lain sebagai tokoh pendukung dan cerita mereka tak kasatmata. 

sumber : ini

Menurut saya, menjadi pengamat rasanya lebih menyenangkan daripada pelaku. Mereka bisa melihat masalah tanpa terlibat masalah. Mereka bisa melihat walau mereka tak terlihat. Karena seringnya kita berada dalam satu ruang yang semua orang di dalamnya abai terhadap orang lain. Mereka abai pada orang-orang yang tak terlibat dalam urusan mereka. 

Jika ada 100 orang dalam satu ruangan, maka akan ada 100 pelaku dengan masing-masing cerita yang mereka bawa. Terkait atau tidaknya 100 cerita ini tak pernah bisa diprediksi dan bisa saja menjadi misteri yang terkuak di kemudian hari. 

Saya dan teman mengambil nafas panjang. Menandai ritual aneh kami selesai dilakukan. Kami saling melempar senyum dan bangkit dari duduk. Waktunya kami sibuk dengan diri dan urusan kami sendiri. Waktunya mengabaikan orang lain yang tak berurusan secara langsung dengan kami. Waktunya menggeser posisi mereka dari 'makhluk kasatmata' menjadi 'tak kasatmata'.


Bandung, 6 Mei 2016
Read More

Wednesday, April 27, 2016

(BUKAN) TIPS MENGHADAPI WAWANCARA KERJA

Gara-gara tulisan sebelumnya, salah satu teman meminta saya menceritakan tentang hal-hal yang menyebalkan saat wawancara. Dengan kata lain, saya diminta untuk menyampaikan apa sih sebenarnya yang harus dihindari pelamar saat wawancara kerja. Saya berusaha mengingat-ingat pengalaman mewawancara yang saya lakukan selama hampir 2 tahun ini. Sayangnya saya banyak gak ingatnya. Hahaha. Tubuh dan jiwa saya memang muda, tapi ingatan saya haduh mak, begitulah, tak usah dijelaskan. 



Bagi saya, mewawancarai kandidat itu kegiatan yang menarik. Kenapa menarik? karena dalam hitungan jam, bahkan menit kita bisa tahu banyak tentang seseorang yang sebelumnya belum pernah kita kenal. Seru kan? Mendengar cerita orang lain yang mungkin saja tidak pernah kita dengar sebelumnya. Tak jarang, wawancara menjadi momok yang menakutkan bagi beberapa orang karena takut salah dan takut-takut lainnya. Sebenarnya, tak perlu takut untuk mengikuti wawancara kerja. Bertindak sewajarnya dan tampilkan dirimu apa adanya. Namun, kamu bisa hindari hal-hal dibawah ini saat wawancara kerja. 

Menangis

Memang ada kandidat yang menangis saat wawancara kerja? Banyak, Bos! Banyak! ala Isyana Sarasvati. Suatu hari teman saya cerita, "tadi pagi gue shock banget, Ki. Masa ada orang gue tanya tentang riwayat pendidikannya dan alasan dia pilih jurusan tiba-tiba orangnya segukan. Dia cerita kalau dia ambil jurusan karena permintaan mamanya yang meninggal. Gue bingung, mana di ruangan gak ada tisu lagi." 

"Terus kamu ngapain?" tanya saya.

"Ya dengerin lah. Tapi orangnya minta maaf karena keceplosan curhat," kata teman saya sambil cengengesan. 



Hem, begini ya. Saya tidak ingin menghakimi seseorang, tapi peristiwa penuh muatan emosional seperti itu baiknya tidak diceritakan dengan detail kecuali kamu bisa kontrol diri kamu sendiri dan atau peristiwa itu berkaitan dengan pencapaian yang telah dicapai serta meningkatkan kompetensimu sehingga pantas untuk menempati posisi kosong yang dilamar. Terdengar kejam ya? Ya begitulah. 

Oh ya, menangis sering dipakai untuk topeng oleh beberapa kandidat. Untuk para pemula pasti akan serta merta terenyuh dan terbawa suasana dengan cerita kandidat tersebut, tapi untuk pewawancara yang menggunakan teknik wawancara terstruktur, hal itu tidak akan berhasil. Jadi, jangan nangis lah. Nangisnya pas nonton drama Korea, India atau Turki aja. Hehe. 

Enggan Bertanya

Karena satu dan lain hal, kadang-kadang pewawancara 'agak meleng' dari kaidah wawancara terstruktur. Saya pernah salah bertanya kepada kandidat dan mendapatkan jawaban yang membuat saya geli sendiri. 



"Apa target kamu setahun kedepan dan sudah mempersiapkan apa saja untuk mencapainya?" tanya saya. Ini pertanyaan yang salah ya karena terdiri dari 2 pertanyaan sekaligus. 

"Saya ingin nikah, bu. Pokoknya tahun depan saya ingin menikah," kata kandidat tersebut dengan segenap keyakinan.

Saya (kebetulan sedang melakukan wawancara dengan atasan saya) hampir mau ketawa ngakak karena mendapatkan jawaban di luar prediksi sebelumnya. Tapi kebetulan atasan saya langsung merevisi pertanyaan saya dengan santai, "maksudnya yang berkaitan dengan pekerjaan."

Saya yang hampir ketawa ngakak berusaha sok cool kembali dan berkata, "iya, maksud saya yang berkaitan dengan pekerjaan."

Kandidat itu terlihat malu lalu menjawab pertanyaan dengan benar. 

Untuk saya yang cenderung ekspresif dan kurang mampu menyortir ekspresi yang tak perlu, kandidat yang enggan bertanya untuk memastikan kembali pertanyaan yang diterima atau pertanyaan ambigu seringkali membuat saya salah tingkah. Tapi salah saya juga sih, ngasih pertanyaan kok ambigu. Hehehe. 

Jadi, kalau kamu dapat pertanyaan yang ambigu, ya minta penjelasan saja supaya tepat menjawabnya. 

Malu-malu

Nah, model yang begini cukup banyak di pasaran. Begini ya, kalau kamu lolos ke tahapan interview atau wawancara, artinya setidaknya kamu memenuhi beberapa kriteria  sebagai pengisi posisi kosong di perusahaan yang dilamar. Apalagi jika rangkaian seleksi terdiri dari beragam tes, mulai dari psikotes sampai tes fisik. Oleh karena, tidak ada salahnya lebih percaya diri saat wawancara dilakukan. Terlalu pemalu bisa saja membuat potensi dirimu tertutupi. Di jaman MEA begini, perusahaan senang dengan karyawan yang bisa menyampaikan ide dan opininya, bukan yang manggut-manggut geleng-geleng saja. 



Dulu saat baru lulus, saya sibuk konsultasi dengan rekan saya yang sudah bekerja. Teman saya ini meminta saya untuk menuliskan kelebihan dan kekurangan saya dalam kolom yang berdampingan. Selanjutnya saya diminta menceritakan kenapa saya merasa hal-hal yang saya tulis sebagai kelebihan saya dan ia meminta saya menceritakan pengalaman yang menunjukkan kelebihan saya tersebut. Begitupun dengan kekurangan saya. Disitu saya merasa sedih sadar bahwa mengenal diri sendiri juga bisa membantu kita untuk tidak malu-malu 'menjual diri' saat wawancara kerja. Jangan lupa sesuaikan 'kesadaran diri' kamu dengan kriteria yang dibutuhkan untuk pekerjaan yang dilamar.

Malu-maluin

Kalau yang sebelumnya malu-malu, kalau yang sekarang malu-maluin. Teman saya pernah kena semprot kandidat yang tidak terima karena tidak lolos seleksi. Alasan dari tidak lolos kandidat tersebut karena yang bersangkutan tidak bisa hadir di jadwal tes dan wawancara yang telah ditentukan padahal sudah dijelaskan bahwa seleksi tersebut hanya diadakan di waktu yang disebutkan dalam undangan.



"Saya kan sudah bilang saya tidak bisa datang. Lalu bagaimana dengan aplikasi saya? Saya ditolak begitu saja?Kalau saya tahu hanya ini jadwalnya kan saya akan usahakan datang," ungkap kandidat tersebut bertubi-tubi. 

Rekan-rekanku sayang, harap diingat bahwa jika anda tidak hadir pada jadwal seleksi yang ditentukan, artinya anda mengundurkan diri dari posisi yang dilamar. Kenapa malah marah-marah? Kalau kamu tidak diterima jadi salah siapa? salah gue? salah temen-temen gue? *alaAADC

Model rekrutmen dan seleksi di setiap perusahaan memang berbeda-beda. Ada yang melakukan seleksi pada satu hari saja. Ada yang menggunakan gelombang-gelombang, maksudnya seleksi dilakukan beberapa kali tergantung dengan lolos tidaknya kandidat di gelombang sebelumnya. Baiknya jika memang berhalangan hadir ya hubungi saja kantornya dan sampaikan alasannya dengan sopan. Catat ya, dengan sopan. Meskipun perusahaan memang butuh pegawai, tapi jangan lupa kandidat juga butuh pekerjaan. Kalau dari awal tidak sopan, siapa yang mau tertarik dengan anda?

PHP

Saya pernah jadi bagian kandidat seperti ini. Berjanji datang interview tapi tak datang interview. Ternyata saya mendapatkan ganjarannya karena sekarang seringkali kandidat bilang akan datang interview tapi tak terlihat batang hidungnya hingga waktu interview terlewat sudah. Akibatnya apa? Mood recruiternya memburuk dan usernya marah-marah ke recruiter. Hahahaha.


Begini, kalau merasa tidak tertarik lagi dengan pekerjaannya atau sudah mendapatkan pekerjaan atau punya alasan lainnya, bilang saja. Recruiter bukan cenayang yang bisa nebak kamu mau datang atau tidak. Sampaikan saja alasannya dan putuskan untuk menarik kembali lamaranmu. Cara ini lebih manusiawi daripada nge-PHP-in recruiter yang sudah senang menemukan kandidat kayak kamu. 

Meminta Hasil Interview

Ada beberapa rekan saya mengeluhkan tindakan kandidat yang seperti ini. Hasil wawancara memang terlihat mudah keluarnya, tapi sebenarnya tidak semudah yang terlihat. Saat wawancara, pewawancara berusaha memahami kandidat dari cara penyampaian, apa yang sampaikan, dll. Setelah wawancara para pewawancara baik dari pihak HRD maupun atasan langsung posisi yang kosong yang biasa disebut Hiring Manager atau User biasanya berdiskusi tentang kandidat yang sudah diwawancara. Tidak sampai disana saja. Untuk beberapa posisi, hasil interview dilaporkan kepada orang-orang yang akan bekerjasama dengan posisi kosong tersebut. Setelah meminta hasil atau bahkan meminta mereka melakukan wawancara lanjutan, kami berdiskusi kembali tentang kandidat yang sudah diseleksi. Lalu muncullah satu nama yang akan dikabari oleh pihak HR. 



Ada banyak kandidat yang kekeuh meminta hasil seleksi tepat setelah wawancara ditentukan. Ada juga yang secara sengaja bertanya kepada user tentang statusnya. Hal ini sah-sah saja dilakukan bila frekuensi bertanyanya masuk akal. Kalau sehari 3 kali? Kayak makan obat, ya? Hehe. 

Gini deh, kalau kamu pas untuk posisi tersebut, kamu akan diberi kabar gembira untuk kita semua dari pihak perusahaan. Jika sebaliknya, artinya rejeki kamu bukan di tempat itu atau bukan untuk posisi itu. 

Buta

Eits, saya tidak bicara kelemahan fisik. Buta yang saya maksud adalah kandidat yang datang interview tanpa persiapan apa-apa. Memangnya persiapan apa saja yang diperlukan?
  1. Buka website dan temukan informasi tentang perusahaan, produknya, strateginya, dll. 
  2. Baca deskripsi pekerjaan yang kamu lamar
Dua hal diatas adalah informasi dasar yang harus dimiliki setiap kandidat yang akan mengikuti proses wawancara. Ya mosok ora ngerti karo kerjaan seng dilamar to leee.. leee. Buktikan ketertarikanmu dengan memahami tempat bekerja idamanmu itu. 

Mari kita bandingkan
"Bapak sudah melamar pekerjaan untuk posisi Export Supervisor. Apa yang bapak ketahui tentang posisi ini?" tanya pewawancara.
"Oh saya belum tahu banyak ya karena saya juga belum terbayang pekerjaan Export Supervisor ini seperti apa." jawab Kandidat 1
"Seperti yang saya baca di iklan lowongan pekerjaan untuk posisi Export Spv, posisi ini bertanggungjawab atas pengiriman luar negeri dan juga dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pengirimannya seperti POB, CoO, CoA hasil fumigasi, dll. Selain itu, posisi ini juga akan berkaitan langsung dengan forwarder baik untuk pengiriman laut maupun udara..." jawab Kandidat 2
Bayangkan kamu menjadi pewawancara, kandidat mana yang mempunyai peluang lebih banyak untuk lolos ke tahap selanjutnya?

Tulisan ini bukan panduan baku menghadapi wawancara kerja, tapi hanya tulisan biasa dari seorang HR yang seringnya galau yang mungkin saja bisa bermanfaat untuk para jobseeker alias pencari Tuhan kerja. Isi dari tulisan ini juga sangat subjektif dan mungkin saja bertolak belakang dengan recruiter lainnya. Lain ladang lain belalang, lain orang lain pacaranya eh maksudnya lain lubuk lain ikannya. Lain recruiter, lain juga cara pandangnya terhadap kandidat maupun proses wawancara, apalagi bila lain perusahaan, bisa saja banyak yang berbeda dari tulisan ini. Akhir kata, bersatu kita teguh, bercerai jangan sampai dan semoga sukses selalu! Cheers!


Bandung, 27 April 2016



Read More

Monday, April 25, 2016

BUAT KAMU SARJANA PSIKOLOGI

Belajar Psikologi itu gemes-gemes asik. Gemes saat ditanya cowok iseng, "kamu bisa ngebaca saya ya?" dan asik saat jawab pertanyaan tersebut dengan, "iya. Pikiran kamu kotor banget. Shame on you." Lalu drama dimulai. Hahaha. 

Lebih seru lagi setelah lulus dan dianugerahi gelar S.Psi alias sarjana Psikologi. Banyak orang yang melihat kami sebagai cenayang yang bisa menebak kepribadian dengan satu lirikan. Saya tidak mengada-ada, ini benar adanya. Suatu hari saya pernah mendapatkan respon, "kamu nanya-nanya saya sedang analisa psikologi ya?"Rasanya mau bilang, "da aku mah apa atuh...."

Asumsi bahwa lulusan psikologi itu bisa 'segalanya' sering juga ditemukan di dunia kerja. Berikut sedikit kicauan antara harapan dan realita terhadap lulusan S1 Psikologi di dunia kerja. 



Tes Psikologi
Sering kali saya temukan banyak persyaratan "mampu melakukan tes psikologi" di banyak iklan lowongan kerja yang mensyaratkan Sarjana Psikologi sebagai pelamarnya. Kalau mengadministrasikan alat tes yang berada di bawah supervisi Psikolog sih masih bisa. Tapi kalau sudah diminta untuk interpretasi alat tes, apalagi menggunakan alat tes proyeksi, waaah..melanggar kode etik psikologi sih ini namanya. 

How to deal with this requirement? 
  1. Cari posisi lain di perusahaan lain. Pasti banyak kok lowongan kerja mah. Asal mau nyari aja. Ini sih bukan deal  ya tapi kabur. Hahaha. 
  2. Buat alat tes sendiri. Pernah belajar psikometri dan pembuatan alat ukur kan? Yang jadi persoalannya adalah validitas dan reliabilitas alat ukurnya. PR kamu nih, supaya alat ukurnya valid dan reliabel. 
  3. Ikut sertifikasi alat tes. Biaya sertifikasi alat tes semacam DISC, dll itu sekitar 2-3 juta per orang. Bisa juga ikut sertifikasi grafologi agar bisa menjadi Grafolog dan bisa menggunakan metode grafologi sebagai alat seleksi.
  4. Pakai interview tersruktur alias BEI atau BDI. Prinsip dari metode wawancara ini adalah menggali apa yang sudah dilakukan seseorang di masa lampau yang bisa mempengaruhi kinerjanya di masa yang akan datang. Namun jawaban dari setiap pertanyaan yang diajukan harus jelas situasinya, tugas orang tersebut, tindakan yang diambil dan hasil dari tindakan tersebut. Akan banyak anak pertanyaan yang muncul untuk menggali detail kejadian yang dialami oleh ybs. 
  5. Jika memungkinkan, ajak perusahaan untuk bekerjasama dengan biro psikologi yang ada di kota kamu.
  6. Kuliah S2 profesi dulu. 
Saya termasuk orang yang mengambil langkah 3 dan 4. Kebetulan saya ikut sertifikasi alat tes online bernama Talent Q dari Hay Group. Terobosan alat tes psikologi yang mengukur kepribadian seseorang dan juga kemampuannya dalam 1 jam saja. Satu jam tes untuk banyak laporan. Metode psikometriknya ciamik. Kapan-kapan saya cerita lagi tentang alat tes ini. 

Intinya, sarjana psikologi dengan magister profesi psikologi sering terlihat tidak ada bedanya bagi perusahaan. Jadi eaang cabal eaaa~

Problem Solver
Nasibnya anak Psikologi itu ya jadi tempat curhat atau istilah saya mah "sawah tadah hujan". Kami harus rela dan berlapang dada dengan cerita-cerita dari orang-orang yang ada di kantor. Teman saya contohnya, hampir setiap hari dia diminta pendapat dan masukan tentang anak dari salah satu rekan kerja wanita di kantornya. Ada pula teman saya yang selalu jadi tempat curhat cerita cinta, mulai dari orang jomblo, orang PDKT, mau putus atau diputusin, mau tunangan, mau nikah sampai mau cerai. Padahal teman saya itu statusnya Jomblo Mulia tiada tara yang berprinsip tak akan pernah pacaran hingga kiamat tiba, eh hingga akhirnya menikah maksudnya.

Berbeda dengan teman saya yang lainnya. Ia diminta untuk mengobservasi perilaku salah satu divisi yang menurut bos besar di kantornya selalu bermasalah. 

"Mungkin ada yang salah dengan kepribadian mereka. Jadi kamu observasi lalu laporkan hasilnya kepada saya ya!" kata sang bos. 

Syalalala lalalalala~

Belajar psikologi itu menarik karena objeknya manusia dan manusia itu tingkahnya selalu ada-ada saja. Makanya penting sekali belajar psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi industri dan organisasi, ergonomi, bahkan statistika dan turunannya seperti Konstruksi Alat Ukur, Psikometri, dll.

Bayangkan di kantor masa depan kamu nanti Bosnya minta diadakan analisa kepuasan karyawan dan kamu tidak diperkenankan untuk menyewa vendor atau konsultan dari luar. Gimana hayooh? Mau tak mau pasti harus buka buku untuk mencari teori dan membuat indikator plus turunannya yang berupa item-item survey demi terukurnya kepuasan karyawan. 

Mungkin punya karyawan sarjana psikologi seperti toserba, toko serba ada. Yang gak ada cuma jodoh, Pak. #eaaaaa

Jadi HRD
Saat saya baru lulus, setiap kali saya ditanya tentang posisi yang dilamar di perusahaan saya selalu menjawab, "jadi HRD."

Saat itu saya belum tahu ternyata HRD pun banyak macamnya. Mulai dari Recruitment, Talent Development, Organizational Development, Training and Development, Industrial Relationship, Personalia dan sebagainya dan sebagainya. Bahkan, di beberapa tempat departemen HR itu disatukan dengan General Affair yang mana kerjaannya adalah ngurusin BPJS Kesehatan, Ketenagakerjaan, Asuransi, penyediaan makan, seragam, sampai sedot WC. Tinggal pilih sih, mau jadi HR Generalist atau Spesialist. Keduanya sama-sama capek, kan namanya juga kerja. Hehe. 

Baiknya sih cari tahu dulu dan baca benar-benar deskripsi pekerjaan yang dilamar. Jangan beli kucing dalam karung. Jangan juga coba-coba tanpa berpikir akibat yang diterima nantinya karena setelah bekerja separuh hidup kita dihabiskan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Kalau mau coba-coba, ya jangan ngeluh kalau harus menghadapi akibatnya. 
Dulu saya pernah burnout dan selalu mengeluh saat bekerja, karena lelah dengan semua keluhan saya, teman saya bertanya,
"Ki, kamu dulu pas mau kerja disini niatnya pengen apa?"
"Grow up, lah. Saya ingin bisa ini itu yang berkaitan dengan pekerjaan saya."
"Sekarang kamu merasa berkembang, gak? Pengetahuan kamu bertambah, gak?"
"Hem..iya"
"Yaudah jangan ngeluh. Ada yang harus dibayar dari bertambahnya pengetahuan dan berkembangnya kamu disini. Jangan lupa, ini risiko dari keputusan yang sudah kamu pilih diawal kamu melamar untuk posisi ini di perusahaan ini."
Dan kemudian hening :D
Begitulah sedikit cerita tentang apa yang terjadi kepada segelintir sarjana Psikologi di dunia kerja. Saat bekerja akan banyak cerita yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dimarahin dosen mah hal kecil. Belum pernah kan ngerasain dimarahin bos besar dihadapan bos-bos lainnya? Belum pernah kan disemprot kandidat karena dia tidak diterima dan tidak terima dengan penjelasan kita? Belum pernah kan? Belum pernah kan ngerasain kandidat yang sudah diseleksi sedemikian rupa ditolak user dengan mudahnya? Eh kok ini malah jadi curhat. Haha. 

Intinya, sebagai orang yang pernah mempelajari tentang manusia, idealnya kita bisa lebih terbuka dan tidak mudah terbawa suasana. Di tempat kerja drama sering terjadi, sinetron pun sering terulang berkali-kali. Jadi, jangan lupa menjadi agen pembawa kedamaian dan perubahan positif di tempat kerja dengan ilmu yang sudah diterima selama bertahun-tahun kuliah. Semangat!

Nah, siapa yang punya pengalaman yang sama?







Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)