Monday, August 1, 2022

My 1st Award

Suatu pagi di hari Minggu pertengahan bulan Juli 2022, saya dapat email yang menginformasikan bahwa saya menang salah satu award paling prestisius di perusahaan. Saya menang award ini bukan karena sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan, tapi karena kontribusi terhadap masyarakat. Terdengar hebat ya? hahaha. Padahal kontribusinya cuma karena saya kirim surat ke embassy untuk dapat buku gratis di perpustakaan yang dulu saya dirikan untuk anak-anak sekitar rumah, karena saya pernah ngelakuin campaign anti bullying bareng teman-teman pas awal kerja dulu, karena saya pernah ngajar probono secara online ketika pandemi. Tapi ternyata hal-hal tersebut bisa membuat saya pergi ke Swiss bareng suami! Mantap bukan, bun? 

Ketika orang-orang merasa bangga karena mendapatkan award tersebut, saya malah minder karena saya rasa yang saya lakukan ya biasa saja. Katanya saya diajukan 2 kali untuk menang award ini. Sampai akhirnya komite di Asia Pasifik menyetujui dan disetujui juga oleh komite global bahkan Chairman. Tapi, tetap saya merasa minder. Hahaha. Mental post-kolonialism syndrom emang susah move on. 

Tapi akhirnya saya berangkat ke Swiss juga bersama suami dan ini salah satu fotonya :)




Read More

Friday, October 22, 2021

Belajar Jualan

Wah, udah lama banget ya gak corat coret disini. Kangen juga. 

Sebagaimana judulnya, saya mau cerita tentang bagaimana akhirnya saya berjualan kembali. Ihiw. 

Sedari kecil, saya memang diajarkan ibu untuk berdagang. Mulai dari jualan cokelat, kerupuk, gambar fotokopian, mukena, kerudung sampai sewa komik Doraemon dan Dragon Ball. Tapi selalu bangkrut karena uangnya saya pakai dan tidak ada lagi yang beli. Sebagai orang yang pemalu #ehem saya agak sulit untuk menawarkan barang dagangan. 

Agustus 2021, saya kena Covid. Selama karantina mandiri di rumah, saya bosan. Akhirnya saya buka YouTube eh keluar video tentang import dari China. Entah kenapa daya tertarik karena adik ipar juga jualan alat masak import. 

Saya coba buat daftar produk yang mungkin masih laris manis di pasaran. Mulai dari storage dari Korsel sampai masker. Absurd memang. Haha. 

Tapi saya baru tahu ternyata kalau kita mau import masker, ya harus ada izin dari BPNB dan dari Kemenkes. Yah, males lah. Gimana kalau nanti disuruk ke Priok. Males banget. 

Setelah googling sana sini dan hitung ini itu, akhirnya saya tidak jadi impor dari China. Sebagaimana sabda suami yang mengatakan kalau mau jualan kecil-kecilan, coba tes pasar dulu.

Suatu hari, entah ada angin apa, saya ketemu channel Mas Sahlan. Dia bahas end to end dropshipping. Baru kali itu saya jualan belajar dulu. Haha. Biasanya langsung tempur. 



Dari beliau saya jadi tertarik jualan online. Buka toko di marketplace. Setting ini itu. Rutin upload barang seminggu sekali dan berusaha cepat respon kalau ada konsumen yang tanya-tanya. Alhamdulillah masih bisa kehandle walau kerjaan sedang numpuk-numpuknya. 

Awalnya olshop gak ada yang melirik. Lalu coba pakai ads. Traffic mulai berdatangan walaupun belum berbuah pesanan. Tak lama kemudian pesanan demi pesanan datang. Mayan lah. Jadi banyak belajar dan refleksi diri kalau saya terlalu rewel untuk ukuran konsumen yang beli 1-2 biji barang. Padahal konsumen saya ada yang beli 8 barang diem-diem bae. Tidak banyak ini itu.

Yeay, akhirnya jualan lagi dan yang beli bukan orang yang saya kenal sehari-hari. Bahkan, kayaknya belum ada yang tahu kecuali orang-orang terdekat saja. 

Yuk yang masih ragu jualan, coba aja yuk. Siapa tahu bisa jadi alternatif aktivitas menjelang pensiun nanti. 
Read More

Tuesday, December 29, 2020

Hanya Teori

Dulu, orang hebat itu adalah orang-orang yang mengeluarkan teori. Teori psikoanalisa oleh Sigmund Freud, teori relativitas dari Einstein dan teori-teori lainnya. Makin kesini, mengutarakan teori dianggap sampah. Padahal membuat teori itu tidak mudah. Bayangkan saja proses berpikir dimana kita bisa sampai kepada kesimpulan lalu berasumsi dan membuat teori. Teori ini nantinya akan divalidasi melalui penelitian dan juga berbagai pembuktian. Belum lagi ketika teori baru itu bertolak belakang dengan teori lama yang banyak pendukungnya. Ah, membayangkannya saja sudah rumit, apalagi membuatnya. 

Sekarang, yang penting orang membuat karya nyata. Karya nyata yang biasanya berbentuk benda. Padahal teori dan membuat benda maupun karya sama-sama sulitnya. Sama-sama membutuhkan waktu yang lama. Sama-sama membutuhkan kita untuk berpikir secara mendalam dan menyusun bukti-bukti secara perlahan. 

Semakin lama orang akan semakin mudah mengungkapkan pendapatnya. Dimana salah dan benar selalu ada pendukung yang saling menyalahkan satu sama lain. Membuat perbedaan terlihat tak berarti dan harus diluruskan. Padahal, berbeda tak selalu salah. Bertolak belakang tak perlu saling menyerang.


Teori terdengar seperti bukan karya, padahal ia adalah karya pikiran yang jarang dilakukan oleh orang sembarangan. Hanya orang-orang yang berkeyakinan kuat, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan mampu untuk meluangkan waktunya untuk menyimpulkan apa yang ada dipikirannya.

Banyak dari para pemikir sekarang dianggap selalu ada diatas menara gading. Tak tersentuh. Tak berkontribusi pada masa depan yang lebih baik. Padahal banyak perubahan didasari oleh pemikiran sederhana yang mendalam.

Walau kini teori sering kali disandingkan dengan kata "hanya", tapi berteori membuat kita berpikir dan memproses fakta-fakta yang ada disekitar. Hanya teori, satu frasa yang diperuntukkan bagi orang-orang yang ngomong doang, ngerjain kagak. Membuat para cendikiawan terlihat mengambang dan tak ada di dunia nyata.

Menurutku, teori bukan kata benda yang pantas disandingkan dengan hanya karena teori adalah bentuk karya yang mungkin saja sekarang terlihat tak nyata. 


Bandung, 29 Desember 2020


Read More

Thursday, December 24, 2020

Cita-cita

Dulu saat masih kecil sangat mudah menyebutkan cita-cita. Tidak pernah ada beban apa yang diucapkan harus sesuai dengan kenyataan. Menyebutkan cita-cita seperti menyebutkan makanan kesukaan. Mudah, lugas dan seringkali lebih dari satu. Saat kecil rasanya mungkin menjadi apapun. Orang tua cenderung selalu mendukung dan mengamini apa yang diucapkan. Bisa menyebutkan "ingin menjadi dokter" saja sudah membuat orang tua bangga. 

Tak pernah ada waktu untuk memikirkan dengan matang apa yang bisa kita sebut sebagai cita-cita. Hidup berjalan begitu saja. Ada yang dipaksa untuk menjadi profesi tertentu, ada yang berjalan mengikuti alur yang membawanya, ada juga yang kebingungan dan hilang arah, entah mau jadi apa kedepannya. 



Cita-cita kita seringkali merupakan manifestasi dari cita-cita orang tua, begitupun orang tua kita, banyak dari  mereka yang hidup untuk menghidupkan cita-cita dari kakek nenek kita. Ada yang sukarela mengikuti, ada juga yang memberontak dan melawan demi mengikuti kata hati. 

Saat menjadi dewasa, kita mulai sadar bahwa cita-cita tak semudah itu diucapkan. Akan ada runtutan pertanyaan yang menghadang apalagi jika tidak sesuai dengan harapan. 

Mengejar cita-cita juga kadang penuh zona abu-abu. Standar ketercapaiannya tidak jelas sepenuhnya. Setiap orang bisa mendefinisikan terpenuhinya cita-cita dengan macam-macam cara. Cita-cita pun bergeser dari profesi menjadi aktivitas nyata yang mudah dicapai sekejap mata. Dari mulai jalan-jalan ke luar negeri sampai makan apa hari ini. Cita-cita yang dulu terlihat agung, sekarang mengerdil dan semakin sederhana. 

Tapi seberapa penting sih cita-cita?

Kata orang, gantungkan cita-cita setinggi langit. Jika jatuh, ia akan tersangkut di bintang-bintang. Tapi kenapa harus setinggi itu? Kenapa harus mencari ancang-ancang untuk jatuh?


Bandung, 24 Desember 2020


Read More

Saturday, August 22, 2020

Drama VISA Schengen : Telat Masuk = Telat Datang = Pengajuan VISA BATAL

Tahun 2019, saya kembali dapat kesempatan untuk ikut training di Aalst, Belgia. Disana ada kantor pusat untuk salah satu unit bisnis perusahaan tempat saya bekerja. Agar bisa ikut dalam pelatihan tersebut, saya harus mengurus VISA Schengen di kedutaan Belanda, karena tidak ada kedutaan Belgia di Indonesia. Ada banyak perbedaan dibandingkan dengan pengurusan VISA di tahun 2014.

Di tahun 2014, saya harus datang ke kedutaan besar Belanda, sedangkan di tahun 2020, saya cukup datang ke kantor VFS di mal Kuningan City. Beberapa berkas juga berbeda. Kini, saya diminta untuk mempersiapkan terjemahan kartu keluarga dan KTP dalam Bahasa Inggris. Dulu gak ada syarat itu seingat saya. Saya juga diminta untuk menyediakan fotokopi paspor full, seingat saya dulu tidak perlu. Tapi entahlah, sudah 5 tahun berlalu saya jadi kurang ingat juga bagaimana pastinya. 


Tahapan pertama, baiknya kamu mengunjungi lama VFS di link ini. Disana kamu harus mengisi formulir pengajuan visa. Jika sudah, akan ada daftar dokumen yang harus disiapkan olehmu. Jika ingin liburan, biasanya visa yang diajukan adalah visa jangka pendek, bisa single entry, bisa juga multiple entry.

Tahapan kedua, mengatur janji temu untuk pengajuan visa. Di website VFS juga dapat dilakukan pembuatan janji temu, yang mana kita harus datang ke kantor VFS untuk menyerahkan berkas-berkas, wawancara, perekaman biometrik dan pembayaran visa. 

Di tahapan kedua inilah saya melakukan kesalahan (lagi). Cerita pembuatan visa saya sepertinya penuh dengan kebodohan saya yang terungkap. Kali ini, saya tidak melihat janji temu yang saya buat dengan seksama. Janji temu yang saya buat itu jam 11.00 WIB. Sedangkan saya mengira, memiliki janji temu di 11.30 WIB. Padahal saya sudah datang dari jam 10.00 WIB. Sial banget kan fufufufu. Peraturannya menyebutkan bahwa kalau kita telat 15 menit, maka kita dianggap tidak datang dan pengajuan janji temu dibatalkan. Artinya, saya tidak bisa mengajukan visa di hari itu dan harus menunggu 2 minggu lagi. Gimana? 

Setelah berdebat dengan security dan saya meyakinkan dia bahwa saya ada di depan kantor mereka selama menunggu, saya tetap tidak diperkenankan masuk kantor di hari itu. So sad :(

Sampai akhirnya saya diminta bertemu dengan salah satu pegawai VFS yang handle pengajuan VIP. Beliau menjelaskan kalau mau tetap mengajukan di hari tersebut, maka saya bisa mengambil slot setelah jam 2 siang, jika slot pembuatan visa masih ada (ya pasti ada wong saya gak jadi masuk karena telat -_-). Untuk mengambil slot tersebut, kita harus menambah biaya sekian ratus ribu. Saya lupa pastinya. Kita juga bisa mendaftar menjadi pengurusan VIP dengan lounge terpisah dan tidak ngantri, tapi harus bayar lagi sekian juta.

Saya yang bimbang langsung menelepon atasan saya minta kebijakan beliau. Beliau sarankan untuk mengambil slot diatas jam 2 siang karena kantor saya tidak jauh (di Sudirman), jadi saya bisa pulang ke kantor dulu.

Saya kembali lagi ke KunCit jam 13.30 WIB dan diminta si bapak pegawai tadi untuk foto dulu karena saya juga lupa belum menyiapkan foto. HAHAHA.

Setelah memenuhi janji temu saya dan pemeriksaan berkas sudah dilakukan, saya bisa pulang dan memantau progress visa melalui SMS dan juga website VFS. Kurang lebih sekitar 3-5 hari visa sudah bisa diambil. 

Tahapan ketiga, mengambil paspor yang sudah ditempeli visa. Saya kembali datang ke kantor VFS untuk mengambil paspor dan visa. Jika sudah diambil, artinya tahanya pembuatan visa sudah selesai!

Ada beberapa tips yang saya mau sarankan untukmu: 

  1. Periksa berkas yang diwajibkan untuk dibawa beberapa kali, baiknya kamu gunakan ceklis yang ada di formulir aplikasi visa sebagai acuan
  2. Siapkan beberapa copy dokumen, karena meskipun tidak diminta di dalam list, tapi ada beberapa dokumen yang tiba-tiba diminta rangkapannya oleh petugas. 
  3. Pastikan jam janji temu sesuai dan jangan telat lebih dari 15 menit ya!
  4. Siapkan uang cash untuk membayar visa. Mereka tidak menerima pembayaran menggunakan kartu. Biayanya bisa di cek di VFS
  5. Pastikan foto yang kamu bawa 80% muka. Kamu bisa foto di VFS, biayanya sekitar 50-60rb 
Karena Covid-19, banyak perjalanan yang terbatalkan. Negara-negara Eropa juga masih belum membuka penerbangan dan kunjungan dari wisatawan Indonesia. Walaupun demikian, semoga tulisan ini bisa membantu saat kamu bisa jalan-jalan lagi ke Eropa. Stay safe ya! 


Jakarta, 22 Agustus 2020


Read More

Saturday, July 11, 2020

Berkembang


Di awal pertama kali bekerja, saya selalu berpikir bahwa berkembang itu hanya tentang skill. Bertambahnya kemampuan, koneksi dan keterampilan dalam melakukan sesuatu. Suatu hari saya dikirim ke luar negeri untuk training. Ketika saya pulang, rasanya cukup terkejut kalau banyak orang beranggapan gaji saya akan naik drastis. Padahal, bertambahnya skill, belum tentu bisa menambah pemasukan (walaupun idealnya demikian).

Hidup semakin lama semakin sulit, adik saya bertambah lagi yang kuliah. Jadi penghasilan yang disisihkan untuk keluarga lebih banyak lagi, sedangkan pemasukan masih segitu-gitu saja. Lalu saya bertemu dengan beberapa rekan kerja yang setiap harinya selalu mengeluhkan tentang gaji. Sialnya, saya terkontaminasi. Setiap hari jadi merutuk. Setiap hari serasa semakin membusuk.

Hingga suatu saat, saya merasa tidak nyaman dengan diri saya sendiri. What's wrong with me?

Rasanya ada yang salah dari apa yang saya pikirkan tentang berkembang dan gaji. Saya rasa saya bukan pohon yang terus menerus merutuk tapi tidak bisa mengubah apa yang saya ubah. Lalu saya mencoba mencari pekerjaan lain. Datanglah hari itu, hari dimana saya dapat offering dari perusahaan lain. Kenaikannya cukup signifikan, 40% dari gaji yang sekarang. Pastinya penawaran tersebut juga plus minus ya. Ada yang kurang, ada juga yang lebih. Saya mengajukan resign. Tapi atasan saya melakukan counter offer dan menurut saya itu menarik. Menarik karena selain gaji saya naik, saya juga akan dilibatkan dalam berbagai project di lokal maupun regional, sesuatu yang saya pernah saya dapatkan dulu namun berhenti beberapa saat.



Lalu saya pindah lokasi kerja ke Jakarta. Tidak ada rekan-rekan yang setiap hari saya dengar misuh-misuh karena merasa gajinya terlalu lusuh. Hidup saya lebih tenang. Walaupun saya tahu apa yang saya dapatkan sekarang dibawah standar Jakarta pada umumnya. Tapi saya merasa lebih bersyukur. Entah karena gaji yang menurut saya sudah cukup (walaupun tidak besar) atau karena saya sekarang seatap dengan suami atau karena saya tak mendengar keluh kesah yang membuat saya resah. Saya tidak tahu alasannya.

Pindahnya saya ke Jakarta, diiringi dengan banyaknya perubahan organisasi di kantor di Bandung di kemudian hari. Banyak orang yang di-counter offer, dipromosikan dan juga diperluas area kerjanya. Rata-rata orang-orang tersebut adalah orang yang saya kenal dan tak segan bercerita bahkan bertengkar. Sejak pergantian role dan tentunya besaran nominal gaji yang mereka dapatkan, mereka cenderung lebih menerima perusahaan dengan baik. Kasarnya, mereka jadi tidak lagi misuh-misuh karena gaji yang lusuh. Ah, mungkin gaji memang mempengaruhi sikap seseorang kepada perusahaan.

Tapi agak berbeda dengan suami saya. Ia misuh-misuh bukan karena gajinya lusuh, tapi karena ia merasa semakin bodoh. Ia merasa bahwa dirinya selalu mengerjakan hal-hal yang sama dan tidak berkembang secara keterampilan. Kami merasa bahwa uang yang ia dapatkan dari pekerjaan cukup untuk kehidupan kami, tapi pekerjaannya tidak bisa memenuhi 'kehausannya' dalam menerima tantangan, kesulitan dan perkembangan cara berpikir. Over-rewarded, mungkin itu bahasa kerennya. Suami saya mencari pekerjaan lagi dengan tujuan keterampilan dan kemahirannya bertambah. Ia takut jika dengan ketimpangan yang terjadi antara pendapatan dan keterampilan tersebut membuatnya tidak kompetitif di kemudian hari. Menarik juga.

Satu sisi saya 'besar' dalam kondisi kerja dimana orang-orang merasa skill mereka mumpuni dan berbanding negatif dengan pemasukan yang mereka terima. Di sisi lain orang terdekat saya malah merasa pemasukannya lebih besar daripada pekerjaan dan skill yang dibutuhkan untuk pekerjaan tersebut. Keduanya sama-sama tak puas. Keduanya sama-sama misuh-misuh.

Lalu saya berasumsi bahwa berkembang bukan saja dari segi keterampilan, tapi juga pendapatan. Namun bukan hanya pendapatan, tapi juga keterampilan. Saat ini saya merasa pendapatan saya setara dengan keterampilan. Tidak besar, tidak kecil. Cukup saja. Tapi apa serunya jika tidak berkembang?

Dibandingkan terus berharap gaji naik dengan skill yang tetap sama, akhirnya saya memutuskan untuk mengembangkan skill saya terlebih dahulu agar lebih laku di pasar kerja. Siapa tahu kan kapan-kapan bisa jadi karyawan dari reputable companies? Who knows!

Jakarta, 11 Juli 2020
Read More

Thursday, June 11, 2020

Siklus Rekrutmen & Seleksi


Sebagai seorang Rekruter, seringkali keluarga saya bingung dengan pekerjaan yang saya lakukan.

"Teh, ai kerjaan teteh teh apa?" tanya adik saya.
"Ya, banyak," jawab saya singkat.
"Iya ngapain aja itu teh?" tanyanya lagi.
"Nyeleksi orang yang mau masuk kerja salah satunya," jawab saya berharap tak ada pertanyaan lagi.
"Wah, enak dong. Kan yang mau kerja banyak. Tinggal pilih. Udah deh selesai kerjaannya," komentarnya.

Matamu enak.

Buat kamu-kamu yang tidak pernah terbayang kerjaan Rekruter, mari sini saya ceritakan sedikit. Siklus rekrutmen dimulai jika ada permintaan atau kebutuhan penambahan orang di perusahaan. Bisa saja penambahan orang, bisa juga penggantian. Tidak semua orang yang meminta penambahan pekerja itu benar-benar tahu apa yang mereka inginkan.

"Ki, cari yang pinter ya," pinta seorang atasan.
"Pinter itu definisinya gimana, bu?" tanya saya.
"Yang cerdas gitu. Ada inisiatifnya. Gak diam saja kalau ada masalah. Aktif bertanya kalau mereka gak tahu. Berani salah." jawabnya panjang lebar.
"Emm..bu, itu bukan pinter. Itu inisiatif, problem solver, communicative and willing to learn new things," celetuk saya.
"Ah, sama aja!"

Bayangkan orang seperti ini gak cuma satu dua, sayangku. Banyak yang minta klasifikasi A, dikasih yg A- gak mau, dikasih A+ ketinggian expected salarynya. Pusing akutu.

Setelah adanya permintaan dari atasan, lalu saya mempublikasikan lowongan. Dalam satu lowongan, bisa jadi ada 1000 orang yang mendaftar. Saya gak bohong, Ferguso. Ada seribu orang yang daftar. Bahkan ada yang nembus 1 lowongan 2500 aplikasi. Gak kebayang sih sama perusahaan sekelas Unilever, Google, dll. Berapa banyak aplikasi yang masuk ke mereka setiap harinya. Bisa-bisa mabok oe kalo handle sendiri. Haha.

Itu baru pelamar, belum yang shortlisted atau terpilih dari tampilan CV yang mereka miliki. Lalu belum lagi pelamar titipan dari lingkungan sekitar. Ada titipan Pak RT lah, titipan Pak Lurah lah, titipan manager PT sebelah lah, titipan Disnaker lah, titipan anu, itu dan sebagainya.

Saya pernah di SMS oleh Pak RT sekitar pabrik saat ada kandidat yang ditolak karena tidak sesuai dengan kualifikasinya.

"SALAM. SAYA KETUA RT 001 DARI DS. XXX TEMPAT DIMANA PABRIK ANDA BERDIRI. KENAPA XXX TIDAK LOLOS SELEKSI? ANDA ITU HARUS SADAR KALAU ANDA PENDATANG! HATI-HATI YA ANDA!"

Gak persis gitu sih SMSnya, tapi ya kurang lebih begitu. Lalu teman saya ada yang didatengin ke kontrakan dan ditawari besaran sejumlah uang untuk meloloskan salah satu kandidat. Tindakan yang sangat melukai sisi integritas yang kami pegang teguh-teguh. Tapi itulah yang terjadi.

Dari sekian banyak kandidat itu, saya sortir berdasarkan apa yang mereka tampilkan di CV. Itulah sebabnya CV yang baik dan jelas itu penting. Gak harus alay atau heboh desain segala rupa. Yang penting jelas isinya. Jelas apa yang dikerjakannya dan bisa ditemukan kesamaannya dengan apa yang kita butuhkan di perusahaan. Kalau gak diminta portofolio ya gak usah ngemodal banyak-banyak untuk bikin portofolio fisik. Nanti malah ngutruk udah modal gede-gede kok gak diterima. Cari cara melamar kerja yang membutuhkan sedikit modal awal seperti kertas, amplop, fotokopi, foto, dll.

Setelah ditemukan calon-calon yang berpotensi, maka dilakukan beberapa verifikasi dengan interview, tes, dll. Kalau benar-benar cocok dan sesuai dengan budaya perusahaan, keterampilan yang dimiliki dan SELERA DARI HIRING MANAGER (posisi yang menjadi atasan orang yang akan bekerja), maka lanjut ke tahapan offering.



Sebagai gambaran, tahapan interview itu bisa saja lebih dari 2x. Oleh karena itu waktu rekrutmen untuk 1 posisi kisarannya sekitar 1 bulan-3 bulan dan tak terhingga (kalau gak nemu-nemu kandidat). Dari 1000 pelamar tadi, hanya 2-5 orang yang bisa lanjut sampai ke interview final. Dan hanya 1 orang saja yang diterima oleh perusahaan.

Persaingan lolos rekrutmen dan seleksi di perusahaan itu memang seperti persaingan para sperma menuju indung telur. Banyak yang berguguran. Banyak yang tidak bisa menembus dinding indung telur dengan sempurna. Bahkan, sebagaimana jabang bayi, ada juga yang keguguran atau gugur di masa percobaan atau kontrak pertama karena satu dan lain hal.

Itu baru 1 posisi ya, bayangkan kalau ada 10 posisi yang muncul secara bersamaan. Tiada hari tanpa interview dan tiada hari tanpa diteror kandidat maupun atasan. Sialnya, walaupun sudah sekuat tenaga mencari kandidat yang cocok, atasan seringkali dengan mudah bilang, "those candidates are rubbish." dan kandidat dengan mudah bilang, "Apaan sih HR perusahaan ini, pas butuhnya aja gercep. Giliran gak diterima kok gak ada kabar." Padahal di awal interview sudah disampaikan kalau 14 hari tidak ada undangan ke tahapan selanjutnya artinya tidak lanjut proses seleksinya alias tidak terpilih.

Ah, rupa-rupa lah cerita rekrutmen dan seleksi mah. Tapi dari sekian banyak interview, ada juga interview yang menurut saya menyenangkan. Yaitu saat bertemu dengan kandidat-kandidat yang mudah beradaptasi, punya ide inovasi dan perubahan yang unik dan cerita-cerita mereka tentang bagaimana mereka menyelesaikan sebuah masalah. Banyak sekali kandidat yang sangat rendah hati walaupun sudah memiliki pengalaman puluhan tahun lamanya. Banyak juga yang dengan lembutnya menolak undangan untuk melamar dengan bahasa yang sopan walaupun beliau-beliau sudah ada di level senior manager. Mengingatkan saya tentang cara untuk menerapkan ilmu padi dimana tetap merendah ketika berisi.

Singkat cerita, siklus rekrutmen dan seleksi itu unik untuk setiap posisi. Ada posisi yang cepat sekali terisinya. Ada juga yang puluhan purnama gak keisi-keisi juga. Silkus rekrutmen itu dimulai dengan siklus saling memohon: kandidat memohon untuk dipanggil seleksi, rekruter memohon pada hiring manager untuk memilih salah satu dari sekian banyak kandidat yang diajukan, hiring manager memohon pada rekruter untuk meminta kandidat lain sebagai pembanding. Lalu diakhiri dengan siklus kelegaan: kandidat lega karena akhirnya lolos seleksi dan pindah kerja, rekruter lega karena akhirnya satu posisi bisa terisi, dan hiring manager lega karena beban kerjanya akan berkurang dan dibantu lagi oleh seseorang.

Tapi sialnya akhir rekrutmen tidak selalu menyenangkan. Ada kandidat yang menolak masuk kerja di hari pertama. Ada juga perubahan organisasi secara tiba-tiba. Ada kandidat yang bertahan tapi ternyata kinerjanya tidak memuaskan. Ada kandidat yang hanya bertahan beberapa bulan lalu cabut lagi untuk kerjaan lainnya.

Intinya, rekrutmen & seleksi itu ibarat cerita tanpa ending story. Kita tidak bisa tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Jadi, apa enak jadi rekruter? Emmm...Mayan lah~




Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)