Saturday, June 28, 2014

Sibuk Lainnya

Setiap orang yang mengetahui saya sudah lulus kuliah pasti mengeluarkan pertanyaan yang senada.

"Kuliah lagi, Ki? Dimana?" atau "kerja dimana, Ki? Sibuk apa sekarang?"

Biasanya saya hanya menjawab dengan senyuman sok manis dan penuh misteri. #pret

Jadi begini, saya memang belum bekerja dan belum melanjutkan kuliah lagi walaupun saya ingin sekali. Hari-hari saya sekarang dipenuhi oleh kegiatan yang saya sukai, online. Haha. Yap, saya sibuk mengisi hari dengan duduk di depan komputer untuk melakukan aktivitas sambilan saya, mencari uang sebagai freelancer di sebuah perusahaan telekomunikasi di Indonesia yang sedang merintis bisnis barunya. Saya melakukan desk research alias googling untuk mencari informasi yang saya butuhkan. Pekerjaan ini mengasyikkan. Fleksibel dan penuh ketidakpastian #tsaaaah.

Selain itu, saya juga sempat ikut serta dalam penelitian di kampus maupun luar kampus. Saya juga melakukan penelitian bersama 'mantan' (ceileh gaya banget gue punya mantan) dosen pembimbing skripsi saya dulu. 

Suka dukanya menjadi freelancer itu ya tanggal gajian yang tidak tetap. Membuat hati kebat-kebit karena persediaan rupiah di dompet semakin lama semakin menipis. Mau minta uang kepada orang tua malunya luar biasa. Akhirnya menikmati betapa berharganya waktu demi mendapatkan rupiah demi rupiah.

Saya juga membantu adik saya yang ahli sekali dalam bidang perniagaan. Otaknya dia mah bisnis pisan. Saya sih enak, tinggal kirim-kirim pesanan dan kecipratan untung usahanya dia. Muahehaehaeh. Kakak yang tidak tahu malu. :D

Ada kegiatan lain yang saya lakukan selain bekerja. Saya dan teman-teman angkatan mengadakan acara sosial lagi. Lalala yeyeye. Dari sekian banyak aktivitas yang saya sebutkan diatas, ini adalah kegiatan yang paling saya sukai. Melakukan kegiatan bersama sekelompok orang. Aih...senangnya!

Nah, kesibukan saya yang utama adalah kembali menjadi aktivis pesbuk. Hahaha. 

Jadi, jangan tanya apa kesibukanku sekarang, karena saya sibuk dengan banyak hal yang kadang saya kebingungan karena kata sibuk tak pantas dipadankan dengan apa yang saya lakukan. Saya sibuk bersenang-senang sebelum tumpukan rutinitas yang juga menyenangkan menyapa saya di kemudian hari. 

Ah ya, saya juga sibuk. Sibuk wawancara dan psikotes tapi enggak kerja-kerja. Hihi.


Read More

Monday, June 23, 2014

Home Run

"Tujuan kita bukan puncak, tapi pulang ke rumah dengan selamat. Puncak hanya bonus, ya."

Kata-kata itulah yang diucapkan oleh Kak Adit, ketua rombongan jalan-jalan kami. Saya setuju dengan ungkapan itu. Menurut saya, apapun yang kita lakukan di luar demi sebuah pencapaian, tentunya bertujuan agar kita teraktualisasi, merasa tenang, nyaman dan puas saat sampai di rumah. Apalah arti pencapaian bila hati tidak tenang, rumah berasa seperti neraka dan keluarga seperti orang yang tinggal serumah saja?

Tapi bukan itu yang akan saya ceritakan disini. Saya hanya ingin berbagi kisah tentang perjalanan saya dan teman-teman seperjalanan dari puncak Gunung Rakutak ke rumah kami masing-masing. 

Di puncak Gunung Rakutak, kami makan bersama dan menunaikan shalat. Kemudian berfoto beberapa kali. Kami berbincang ringan tentang rute perjalanan kami. Salah seorang dari kami bertanya tentang jalur mana saja yang mungkin digunakan untuk turun ke bawah selain melewati jembatan siratul mustaqim. Ya, saya juga agak malas melewati jembatan itu untuk turun. Seram sekali rasanya. 

"Lewat jalur lain aja yuk, gak apa-apa deh lima jam juga," celetuk salah seorang teman.

Kami hanya menganggap celetukannya angin lalu. Kami tahu ia sedang berkeluh kesah dan bercanda. Sudah pukul 14.00 dan kami harus turun karena tidak ingin terjebak di kegelapan malam dan cuaca mendung yang mengukung Bandung beberapa hari ini. 

Kami bergegas turun dengan formasi yang berubah, Bang Aun ada diantara saya dan Teh Isna, sedangkan Deja ada di paling belakang. Jadilah saya menyampaikan prolog tentang betapa lelet dan lemasnya lutut saya melewati jembatan itu tadi. Bang Aun, seperti semua lelaki di kelompok kami, tak mempermasalahkan hal itu. Yap. Kami siap untuk pulang.

Entah apa pasal, keseimbangan saya yang kurang bagus saat perjalan pulang. Di jembatan saya hampir terperosok karena menginjak batu yang rapuh. Tak ada angin tak ada hujan, saya tiba-tiba terjerembab dan terduduk. Bang Aun mengingatkan saya untuk konsentrasi dan tetap santai. Saya berusaha tidak berimajinasi seperti biasanya dan fokus pada titian yang saya pijak. Sampai di bebatuan tempat kami harus memegang akar dan memeluk batu. Saya ragu dan ketakutan, padahal saat berangkat saya sudah tahu rintangan ini akan saya lewati. Tapi berkat bantuan semua teman-teman yang ikut perjalanan ini, saya berhasil melewatinya. Singkat cerita, kami sampai kembali di puncak dua. Berisitirahat sejenak dan melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, hujan turun. Saya tidak membawa jaket anti air karena lupa mempersiapkan barang-barang yang mau dibawa dan beranggapan perjalanan ini hanyalah jalan-jalan belaka. Dengan jaket pinjaman teman yang membawa jas hujan, saya ikut melanjutkan perjalanan. 

Ternyata hujan hanya menyapa kami sejenak, tapi membuat jalanan yang kami lalui licin dan menjadi medan asyik untuk main serodotan. Beruntung kami keluar dari hutan tepat sebelum langit menggelap. Tapi tetap saja perjalanan kami masih panjang. Matahari meredup, kegelapan mengambil alih kondisi muka bumi. Keterbatasan senter dan perbedaan kecepatan langkah antar setiap orang membuat formasi diubah kembali. Kami berjalan sangat pelan mengingat licinnya jalan yang kami tempuh. Satu persatu terpeleset dan mengaku sedang berakting untuk mencairkan suasana. Berjam-jam kami berjalan perlahan dan akhirnya kami temukan satu rumah. Kami meneruskan perjalanan dengan semangat karena rumah-rumah dibawah kami terasa semakin dekat. 

Patokan kami adalah jembatan kecil yang terdiri dari 3 bambu kecil berjajar. Anehnya, saat kami keluar dari hamparan kebun, ternyata kami melewati 4 kayu besar yang dijadikan sebagai jembatan. Dari situ kami tahu kami tersasar dan menyusuri rute yang tidak sama dengan rute pemberangkatan yang kami lakukan pagi tadi. Saya tiba-tiba teringat dengan celetukan teman saya di puncak utama Gunung Rakutak. Bagaimanapun saya bersyukur kami sampai dengan selamat di perkampungan. Dari tempat kami turun (Cijagong) kami harus berjalan ke pos Himapala Rakutak untuk melapor. 

Kendaraan yang kami sewa untuk mengantar dan menjemput sialnya tidak bisa datang menjemput. Nomor sang sopir pun tidak dapat dihubungi. Saya menelepon rumah, meminta untuk dijemput di posko Himapala Rakutak. Sambil menunggu, kami membeli bakso untuk menyogok cacing-cacing di perut kami agar diam dan tak merengek lagi. Semangkok bakso menenangkan mereka dan membuat kami lebih bertenaga. 

Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya mobil jemputan datang. Kami bergegas masuk. Swiing.. aroma semeliwir tak enak yang berasal dari tubuh kami memenuhi mobil. Kaca jendela dibuka lebar-lebar agar angin malam bisa menyamarkan bebauan tak enak itu. Kami tertidur di perjalanan pendek Pacet-Ciparay.

Kami berpisah di Ciparay. Teman-teman saya naik angkot yang sudah dibooking sampai Tamansari, sedangkan saya bertolak ke rumah. Sesampainya di rumah, saya membersihkan badan dan merendam semua yang saya pakai dari atas sampai ke bawah. Si putih, sepatu lari saya, berubah menjadi coklat karena lumpur selama perjalanan tadi. 

Setelah beberapa jam, kami saling berkabar dan semua anggota rombongan sudah sampai di rumah masing-masing. Syukurlah, benar saja rumah memang tujuan utama, sedangkan puncak adalah bonusnya. Hari ini saya mendapatkan secercah pelajaran berharga selama perjalanan selama hampir 12 jam. Pencapaian bukan hanya tentang hasil, tapi proses yang dilakukan untuk mencapai itu. Juga bukan tentang bagaimana menikmati hasil, tapi jangan lupa dengan banyak pihak yang membantu terselenggaranya proses yang telah terlewati. Medan yang menanjak atau menurun pasti ada dalam hidup ini, tapi menyikapinya dengan berani dan mempercayai orang lain untuk membantu adalah salah satu cara untuk meringankan beban kita. 

Terimakasih atas semua keistimewaan yang telah memberi warna berbeda dalam kehidupan saya, teman-teman. Terimakasih sudah menjadi pimpinan rombongan yang sabar, Kak Adit. Terimakasih sudah menjadi co-komandan yang luar biasa, Teh Elp. Terimakasih atas dukungan semangat dan nyanyian ala Raisa-nya, Teh Isna. Terimakasih atas uluran tangan dan kesabaran menunggunya, Deja dan Bang Aun. Terimakasih telah menjadi penunggu cewek-cewek lelet kayak saya, A Aziz. Terimakasih atas kepedulian dan ucapan 'saranghae'nya, Teh Ayu. Terimakasih atas ungkapan-ungkapan dan tingkah lucunya, Teh Ejip. Terimakasih atas cerita tentang Gunung Gede, Burangrang dan Cikuraynya serta kata tanya 'kenapa?" dengan nada khasnya, Kak Eka. Terimakasih semuanya atas pengalaman jalan-jalan yang membuka pikiran saya tentang banyak hal. 

Saya ingat kata Teh Ayu, "Perjalanan itu seperti pertandingan baseball dimana saat paling membahagiakan adalah pulang ke rumah, home run."

Selamat pulang ke rumah dan mengingat kembali betapa menyenangkannya perjalanan di hari kemarin :-)
Read More

Jejakan Pertama di 1922 MDPL (2)

Perjalanan kami tidak menyenangkan tapi sangat sangat menyenangkan!

Bagaimana tidak, kami yang awalnya berjalan tegak, lalu berubah ke sedikit menunduk, hingga akhirnya merangkak untuk melewati jalur pendakian. Kami cukup sering berhenti karena tidak semua peserta pendakian memiliki ketahanan tubuh yang sama. Tapi seiring dengan bergulirnya waktu, jumlah waktu istirahat kami berkurang sedikit demi sedikit. Saya yang notabene adalah seorang pemula, berkali-kali bertanya apakah kami sudah sampai di kaki gunung atau belum. Seorang teman menjawab bahwa kami masih ada di perkebunan warga. Aduh mama sayange, kapan sampainya?

Semakin menanjak semakin menakutkan untuk saya. Kami berjalan diapit oleh jurang. Singkat cerita, akhirnya kami sampai di Bumi Perkemahan Tegal Alun yang kabarnya adalah puncak 3. Oh ya, gunung ini mempunyai 3 puncak. Saya tidak tahu dengan pasti letak puncak ketiga.

Setelah beristirahat sejenak, kami kembali mendaki lagi. Medan pendakian semakin membuat saya ragu melanjutkan perjalanan atau tidak. Untunglah uluran tangan dan dukungan semangat dari teman-teman yang lain membuat saya bisa melewati itu semua. Di gunung saja saya masih menye-menye. -____-

"Puncaaaak!!!" teriak Kak Adit, ketua rombongan jalan-jalan yang memang ada di paling depan. 

Kami yang dibawah semakin semangat dan saling menyemangati satu sama lain. Satu persatu sampai puncak yang ternyata adalah puncak 2 dengan tinggi sekitar 1800-an. Kami sampai disana sekitar jam 12.30, artinya kami menghabiskan waktu sekitar 4 jam perjalanan karena perjalanan kami dimulai pada jam 08.30 WIB. Rasa pesimis untuk sampai ke puncak terbantahkan dengan sendirinya. Kami tidak menyangka akan sampai di puncak Gunung Rakutak karena kami merasa perjalanan yang kami lakukan terlalu siang dimulai, kalau dibahasa Inggriskan mah kami kasiangan.

"Oh, ini ya jembatan shiratul mustaqim teh?" tanya Teh Elva alias Teh Elp. 

Satu persatu dari kami berdatangan ke tempat Kak Elva berdiri. Astaga, kami akan melewati itu? Serius?

Ternyata Gunung Rakutak memang terkenal dengan jembatan itu. Jalan setapak yang menghubungkan puncak 2 dengan puncak utama. Saya ragu untuk ikut melakukan perjalanan karena saya sadar dengan kemampuan saya. Tapi akhirnya saya ikut melewatinya karena kami akan makan siang dan sholat di puncak utama. Baiklah, bukan waktunya menye-menye, Ki! 

Saya berada diantara Deja dan Teh Ayu. Kak Adit, Teh Elp dan Teh Isna sudah lebih dulu jalan di depan. Dibelakang Teh Ayu ada Teh Ejip, Kak Eka, A Aziz dan Bang Harun. Kami berjalan pelan dan hati-hati sekali karena ekstrimnya jalur yang kami lewati. Tapi tak dapat dipungkiri pemandangan ekstra indah tersaji dibawah jembatan siratul mustaqim

Memeluk batu dan memegang akar harus kami lakukan. Saya sempat terjongkok karena lutut saya lemas. Tapi lama-lama tidak terasa lagi lemasnya lutut ini. Benar ya, kalau ketakutan dihadapi, nyatanya tidak semenakutkan apa yang dipikirkan sebelumnya. 

Taraaa!!! Kami sampai di puncak utama! 1922 MDPL. Puncak tertinggi yang pernah saya jejak. Ah, rasanya ingin menangis. Terharu diberikan kesempatan oleh Tuhan menikmati kecilnya banyak hal yang saya rasa sudah hebat dan besar. Dari atas puncak saya kembali meyakini bahwa kita sebagai manusia hanya pantas tunduk patuh kepada Tuhan Yang Maha Segalanya. Dari jejakan pertama saya di 1922 MDPL, saya menyadari bahwa pencapaian apapun tidak akan bisa terjadi tanpa kerjasama dan orang-orang yang mau bekerjasama untuk saling memahami. Jalan-jalan ini memberikan banyak hal lebih dari espektasi saya sebelumnya. Nuhun, Gusti :-)
Read More

Jejakan Pertama di 1922 MDPL (1)

Naik gunung. Saya sangat terobsesi ingin melakukan hal itu. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi untuk membentuk karakter saya yang menye-menye enggak jelas ini. Rencana demi rencana sempat tersusun. Mulai dari Gunung Papandayan, Gunung Tangkubanparahu hingga Gunung Gede. Semua rencana itu batal dengan berbagai alasan yang membuat saya cukup patah hati. 

Di salah satu grup LSM yang dulu pernah saya ikuti, dipaparkan rencana 'jalan-jalan' ke Gunung Rakutak. Kebetulan rencana saya pergi ke Gunung Gede batal beberapa hari yang lalu. Dengan semangat 45 saya mendaftarkan diri untuk ikut 'jalan-jalan' tersebut. Sialnya, setelah mendaftar saya baru ingat kalau ada pentas seni di sekolah di hari itu. Malu-malu saya mengabari bahwa saya tidak bisa ikut. Yah, gagal lagi ngasah mentalnya :-(

Hari Sabtu, 21 Juni 2014, saya masih ada di Sukabumi untuk melakukan penelitian. Saya semakin galau untuk ikut atau tidak ke Gunung Rakutak. Tepat di hari yang sama pada jam 21.30 WIB saya sampai di rumah. Setelah berbaring beberapa saat, saya pergi ke sekolah karena pentas seni sedang diadakan. Disanalah saya baru tahu kalau hari itu adalah hari terakhir pentas seni. Jadi, saya bisa ikut jalan-jalan ke Gunung Rakutak! Yippie!

Segera kuhubungi temanku untuk daftar kembali. Sambil harap-harap cemas menunggu kabar dari temanku itu, aku pulang ke rumah dan beristirahat. Capek juga ternyata berdiri di bus sepanjang perjalanan Sukabumi-Cianjur yang macet total karena perbaikan jalan. 

Minggu, 22 Juni 2014. Jam 05.30 WIB saya terbangun oleh dering telepon. 

"Ki, kamu udah dimana? Nunggu di Ciparaynya dimana?"

Kesadaranku yang belum sempurna mengap-mengap menjawab pertanyaan sederhana itu. Fufufu. Setelah menetapkan meeting point, saya bersiap diri dengan segera. Karena di otak saya jalan-jalan ini hanya melewati track yang biasa-biasa saja, saya hanya membawa jaket, air minum, dan snack. Ritual meminta izin dnegan bujuk rayu terlewatkan dan terganti dengan leading question yang tidak bisa dijawab dengan "tidak" oleh ayahku. 

Sebelum bertemu, saya menyempatkan diri terlebih dahulu untuk membeli nasi bungkus untuk makan siang. Saat itu saya masih berpikir kalau saya akan jalan-jalan bukan naik gunung. Hahaha.

Gunung Rakutak, gunung dengan tinggi 1922 MDPL ini adalah gunung yang terletak di Kec. Pacet Kab. Bandung. Cukup dekat dengan rumahku dibanding gunung-gunung terkenal yang ada di Jawa Barat. Sialnya, saya baru tahu ada gunung ini di dunia. Padahal teman saya berkali-kali meyakinkan saya bahwa ada gunung di Kab. Bandung yang menarik untuk dikunjungi. Keyakinannya selalu saya jawab dengan jawaban nyinyir khas orang-orang sok tahu. 

Rombongan kami berjumlah 10 orang. Kami diantar oleh Bang Sihombing yang cukup setia menemani kami berkegiatan kemana-mana. Kami berangkat dari Ciparay menuju Pacet. Desa Sukarame. Kami berasumsi pintu utama menuju Gunung Rakutak itu ada di daerah atas Pacet. Yaaa, daerah Kertasari lah. Nyatanya terlewat jauh. Setelah agenda nyasar-menyasar terlewati, akhirnya kami sampai di posko Himapala Gunung Rakutak. 

Posko yang mirip dengan sebuah warung kelontongan ini membuatku semakin under-estimate dengan kesulitan yang akan kami tempuh disana. Saya masih yakin kami hanya akan berjalan-jalan santai disini. 

Ada 3 jalur pendakian ke Gunung Rakutak, yaitu 2 jalur punggungan (Jalur Pasir Nyatuh dan Sewaan Cijahe) dan 1 jalur lembah (Jalur Panginuman) yang lebih jauh dibandingkan lewat punggungan. Kami menggunakan jalur punggungan, tapi saya lupa apakah jalur pasir nyatuh atau sewaan cijahe. Hehe. 

Setelah mendaftarkan diri, kami memulai perjalanan. Melewati rumah warga dan mengikuti arahan warga menuju Gunung Rakutak. Ternyata oh ternyata, Gunung Rakutak itu gunung tinggi yang kami puji-puji sepanjang perjalanan karena keindahannya. Bentuknya tidak seperti segitiga yang biasanya ada di gambar-gambar anak sekolah bertemakan "pemandangan". Bentuknya seperti perahu, ada puncak kanan dan kiri. Disini saya mulai mempertanyakan kata 'jalan-jalan' di pengumuman kegiatan yang saya ikuti saat itu. 

Dari awal memasuki perkebunan, perjalanan kami sudah mendaki. Ya...mendaki yang cetek-cetek lah. Saya menikmati perjalanan ini karena sudah jarang sekali bertemu teman-teman saya dari LSM. Selain itu, saya mulai berpikir persepsi saya tentang jalan-jalan adalah salah total. Naik gunung ini bukan sekedar jalan-jalan.

Perkebunan terlewati satu persatu. Mulai dari kebun bawang daun, tomat, cabe, hingga kacang panjang. Hawa segar dan candaan ringan mewarnai langkah kami. Ah, menyenangkan!

Sialnya, persepsi saya salah lagi. Pendakian kami nyatanya tidak menyenangkan.


(bersambung)

Read More

Wednesday, June 18, 2014

Significant

This morning I have watched a video that shows me how small earth is. It is beginning from Himalaya, where the highest point of the world. Zoom outed to Tibet, Planet Earth and its orbit, until far away from Earth. My friend writes on his Facebook status, “are we cosmically significant?” His question reflecting a message of that video. Our cosmos are very heavy, overly tidy and complicated. Our milky way galaxy actually just a dot of ray between many rays in space. How can our Planet Earth ain’t bigger than an invisible dot?  How can some scientist argue that this universe created offhand? How can some people don’t trust there is a God who created everything with excellent composition? How can they feel that God not significant in their life?

I imagine there were a human in some planet in another galaxy. Are they human like us? Are they have eyes, mouth, nose and same body with us? Are they looking like an alien that some people convenience before? Are they using a UFO to make a trip around the universe? Are they needing an oxygen for breath? My imagination is really killing me right now!

Sometimes I chew over the afterlife. Where will afterlife be held? In the Earth? I think that the world will be smashed while the end of the world and afterlife will be held in the Earth. But after watching that video I believe that Allah can hold an afterlife calculation where ever He went. Many places in the world that I don’t know before.

With His greatness, we never ever worth to heigh our self. We are smaller than a dust for Allah. Our greatness can not competes God. He creates everything in detail, from the big tidy universe until smallest microscopic organism. Can we greater than Him? Absolutely NOT!

So that, let’s keep our faith to worship the only one who worthily to be worshiped, Allah. No God, except Allah the one. Because we are not too able to claim that we are really cosmically significant.


Read More

Friday, June 13, 2014

Pecahan Hari (4)

Malam
Malam menjelang saat saya dan teman-teman beranjak dari tempat makan. Saya dengan seorang teman menggunakan angkot sedangkan teman yang lain menggunakan motor dan menempuh jalur pulang ke rumah yang berbeda. Angkot adalah salah satu moda transportasi umum yang sangat sering saya gunakan. Ada banyak kejadian menarik yang saya dapatkan selama saya menumpang di berbagai angkot yang tersebar di kota-kabupaten Bandung. Salah satunya di malam ini.

Kemacetan Tegalega memang tak bisa dielak. Saya memilih turun dari angkot berwarna ungu dengan trayek Cisitu-Tegalega beberapa meter sebelum tempat pemberhentian seharusnya. Macet sekali. Berbagai kepentingan manusia bercampur disitu. Kepentingan para pedagang yang menghabiskan ruang bagi para pejalan kaki, kepentingan para pejalan kaki yang berjalan dengan langkah panjang-panjang walau beberapa dari mereka berhenti kemudian menghampiri para penjual di pinggir jalan, hingga kepentingan para pengendara motor dan mobil, termasuk angkot dari berbagai jurusan. 

Tegalega bisa dikatakan salah satu tempat transit banyak angkot dari berbagai tujuan. Maka tak heran angkot berbagai warna mampir disini. Termasuk angkot yang ingin kutumpangi, Tegalega-Ciparay. Saya berjalan mencari angkot Ciparay yang berisi beberapa penumpang agar saya tidak kesepian. Nyatanya nihil. Semua angkot yang berbaris kosong tak berpenumpang. Saya memilih yang ada di barisan paling depan dengan harapan mobil bercat hijau-kuning-merah itu cepat berjalan.

Angkot ini tidak penuh. Hanya berisi beberapa orang dewasa saja. Mereka turun satu persatu dan meninggalkan saya duduk sendiri di dalamnya. Saya sudah biasa menjadi penumpang terakhir, tapi hati saya kebat kebit di malam ini. Saya takut. Hehe.

Sang sopir menanyakan kepada saya, apakah saya mau ikut mereka memotong jalan ke daerah pinggir sungai yang belum pernah saya ketahui sebelumnya. Saya memilih untuk diturunkan di tengah jalan. Akhirnya saya diturunkan di pinggir jembatan Sungai Citarum yang gelap gulita. Aduh mama sayange! Serem benjet!

Saya ketakutan. Saya menyetop angkot apapun yang lewat di depan saya. Adalah angkot hijau-kuni jurusan Dayeuhkolot-Kebon Kalapa yang berhenti dan bersedia mengangkut saya.

Saya masuk ke angkot yang berinterior warna merah itu. Seorang ibu yang tadi hampir naik ke angkot Ciparay yang saya tumpangi sebelumnya itu bertanya, 

"Kenapa turun disini, Neng? Memangnya mau kemana?"
"Ke Ciparay, Bu. Tadi angkotnya mau belok. Saya tidak tahu jalannya, jadi saya turun saja."
"Loh, memang angkot ini ke Ciparay ya?" Ibu itu bertanya ke sopir.
"Enggak sih bu, tadi saya ketakutan, jadi saya naik saja dulu sampai ada tempat terang. Hehe."
"Iya, Neng. Cari aman saja dulu sekarang mah," kata pak sopir.
"Oh, iya. Betul itu, Neng. Ibu saja yang sudah emak-emak begini takut kalau turun disitu. Apalagi Neng yang masih gadis. Aduh, berharga banget. Apalagi sekarang mau puasa dan lebaran. Hati-hati ya, Neng."

Alamaaak, ibu itu sukses membuat saya parno walaupun saya tidak tahu apa hubungannya antara berharganya saya sebagai perempuan dengan puasa dan lebaran. Haha.

Ibu itu turun dengan berulang kali menitipkan saya ke sopir angkot yang saya tumpangi. Syukurlah, saya ditemukan dengan orang-orang baik hati di malam itu. Saya diturunkan di perempatan tugu Baleendah dan menunggu angkot Ciparay di kawasan yang cukup ramai. Tak lama angkot yang saya tunggu-tunggu datang. 

Belasan meter setelah saya naik, ada tiga orang pemuda yang melambaikan tangan sebagai isyarat bahwa mereka adalah calon penumpang angkot berikutnya. Angkot merapat. Satu orang memilih untuk duduk di depan, satu orang yang lain memilih duduk di dekat pintu angkot dan yang terakhir duduk di dalam. Dua orang pertama memilih tempat duduk yang bisa membuat mereka leluasa untuk merokok tapi tidak mengganggu paru-paru penumpang lain yang tidak merokok. 

"Turun dimana, A?" tanya seorang ibu kepada perokok yang duduk di dekat pintu angkot.
"Di X, Bu. Aya naon, Bu?" 
"Nanti ongkos Aa dan teman-temannya saya yang bayar ya."
"Eh, kenapa? Enggak usah repot-repot, Bu."
"Ucapan terimakasih saya saja karena sudah menjadi perokok yang ngerti."

Saya yang tadinya terkantuk-kantuk mengerjapkan mata berkali-kali. Saya tidak salah dengar, kan?

Saya kira itu ungkapan basa-basi yang sangat biasa terjadi. Nyatanya tidak. Ibu itu menanggung ongkos tiga pemuda tadi. Saya cukup salut dengan ibu itu walaupun saya pikir mereka (3 orang pemuda tadi) tidak terlalu ngerti juga. Toh, tetap merokok di kendaraan umum.  Kalau ngerti, ya dimatikan dong rokoknya. Ya sudahlah, biarkan saja. Mumpung Ibu itu melakukan kebaikan. Hehe.

Perjalanan melelahkan itu hampir berakhir. Tahap terakhir dari perjalanan panjang pulang adalah naik ojeg untuk sampai ke rumah.Tukang ojek langganan saya langsung tersenyum ketika saya datang. Saya sebut ulang tujuan saya walaupun mereka ingat. Perjalanan berjalan lancar pada awalnya, tapi ditengah jalan, rinai hujan mulai membasahi bumi. Semakin lama semakin deras dan saya kehujanan. Rasanya kehujanan hingga basah sekujur tubuh di menit-menit terakhir untuk sampai rumah itu seperti mau karaokean di happy hours tapi happy hours tidak berlaku di menit-menit akhir habisnya paket. Haha.

Tapi hari ini sungguh menarik. Menarik dengan kisah unik yang tak habis-habisnya membuatku geleng-geleng kepala. Sungguh, dunia bukan hanya terdiri dari daratan dan lautan, namun juga rangkaian kisah yang seringnya selalu cocok dijadikan bahan untuk tebak-tebakan. 

-Selesai-
Read More

Pecahan Hari (3)

Sore
Tak terasa urusan di IDP selesai. Kami menuju salah satu tempat makan untuk memadamkan kelaparan yang terjadi di dunia percacingan di perut kami. Selain itu, saya juga menunggu beberapa teman lainnya untuk makan bersama dan juga berdiskusi tentang rencana kegiatan sosial komunitas kami di bulan ini. Kami datang ke tempat tersebut dan langsung memesan makanan dan minuman kemudian bergantian untuk shalat. Sayang disayang, temanku tak bisa bepergian terlalu lama. Anaknya menunggu di rumah. Sebelum bertemu temanku yang lainnya, temanku satu itu pergi meninggalkanku sendiri menyepi kekenyangan. Karena merasa tak nyaman ditinggal sendiri dengan hot plate dan gelas yang kosong melompong di atas meja, akhirnya saya memesan minuman lagi.

Saya mulai resah. Resah karena banyak hal, salah satunya karena kekenyangan. Entah mengapa saya selalu merasa tidak nyaman saat merasa terlalu kenyang. Yaaa, persis seperti ungkapan Pak Ahok, Wagub DKI Jakarta, "kalau lapar galak, kalau kenyang bego."

Saya telepon berkali-kali teman yang saya tunggu itu, tapi tak diangkat juga. Mungkin ponsel miliknya ia simpan di tas sehingga tidak bisa mengangkat teleponku. Kucoba menghilangkan bosan dengan berkirim pesan dan menelepon teman, nyatanya baterai ponselku tak mendukung rencanaku itu. Dayanya tinggal 13% lagi.

Mungkin ini rasanya bagaimana teman-temanku menungguku yang seringnya telat datang dalam berbagai perkumpulan. Maafkan temanmu ini, Teman. Haha.

Waktu berlalu, ternyata teman yang kutunggu-tunggu datang lebih lama dari waktu yang kuprediksi sebelumnya. Mereka datang dengan wajah bersalah. Mereka mengganti waktuku menunggu dengan sepiring kentang goreng. Wehehehe, I love gratisan :D

Sambil menyantap makanan, teman-temanku menceritakan banyak hal. Tentunya membahas pula tentang rencana penyelenggaraan kegiatan komunitas di bulan ini. Saya menyantap kentang goreng dengan penuh semangat, seakan lupa beberapa menit yang lalu saya hampir mati gaya karena bosan dan kekenyangan. Singkat cerita, makanan mereka sudah lenyap dari pandangan mata. Pembahasan kami sore itupun sudah selesai dibahas juga. 

Terkadang kita harus menunggu satu jam untuk membahas hal penting selama setengah jam. Yang jelas, membahas hal penting secara tatap muka terasa lebih jelas dan tuntas daripada berjam-jam menelepon untuk bertukar pendapat tentang rencana yang akan direalisasikan. Urusan kegiatan komunitas selesai. Waktunya untuk pulang ke rumah.

to be continued...
Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)