Perjalanan kami tidak menyenangkan tapi sangat sangat menyenangkan!
Bagaimana tidak, kami yang awalnya berjalan tegak, lalu berubah ke sedikit menunduk, hingga akhirnya merangkak untuk melewati jalur pendakian. Kami cukup sering berhenti karena tidak semua peserta pendakian memiliki ketahanan tubuh yang sama. Tapi seiring dengan bergulirnya waktu, jumlah waktu istirahat kami berkurang sedikit demi sedikit. Saya yang notabene adalah seorang pemula, berkali-kali bertanya apakah kami sudah sampai di kaki gunung atau belum. Seorang teman menjawab bahwa kami masih ada di perkebunan warga. Aduh mama sayange, kapan sampainya?
Semakin menanjak semakin menakutkan untuk saya. Kami berjalan diapit oleh jurang. Singkat cerita, akhirnya kami sampai di Bumi Perkemahan Tegal Alun yang kabarnya adalah puncak 3. Oh ya, gunung ini mempunyai 3 puncak. Saya tidak tahu dengan pasti letak puncak ketiga.
Setelah beristirahat sejenak, kami kembali mendaki lagi. Medan pendakian semakin membuat saya ragu melanjutkan perjalanan atau tidak. Untunglah uluran tangan dan dukungan semangat dari teman-teman yang lain membuat saya bisa melewati itu semua. Di gunung saja saya masih menye-menye. -____-
"Puncaaaak!!!" teriak Kak Adit, ketua rombongan jalan-jalan yang memang ada di paling depan.
Kami yang dibawah semakin semangat dan saling menyemangati satu sama lain. Satu persatu sampai puncak yang ternyata adalah puncak 2 dengan tinggi sekitar 1800-an. Kami sampai disana sekitar jam 12.30, artinya kami menghabiskan waktu sekitar 4 jam perjalanan karena perjalanan kami dimulai pada jam 08.30 WIB. Rasa pesimis untuk sampai ke puncak terbantahkan dengan sendirinya. Kami tidak menyangka akan sampai di puncak Gunung Rakutak karena kami merasa perjalanan yang kami lakukan terlalu siang dimulai, kalau dibahasa Inggriskan mah kami kasiangan.
"Oh, ini ya jembatan shiratul mustaqim teh?" tanya Teh Elva alias Teh Elp.
Satu persatu dari kami berdatangan ke tempat Kak Elva berdiri. Astaga, kami akan melewati itu? Serius?
Ternyata Gunung Rakutak memang terkenal dengan jembatan itu. Jalan setapak yang menghubungkan puncak 2 dengan puncak utama. Saya ragu untuk ikut melakukan perjalanan karena saya sadar dengan kemampuan saya. Tapi akhirnya saya ikut melewatinya karena kami akan makan siang dan sholat di puncak utama. Baiklah, bukan waktunya menye-menye, Ki!
Saya berada diantara Deja dan Teh Ayu. Kak Adit, Teh Elp dan Teh Isna sudah lebih dulu jalan di depan. Dibelakang Teh Ayu ada Teh Ejip, Kak Eka, A Aziz dan Bang Harun. Kami berjalan pelan dan hati-hati sekali karena ekstrimnya jalur yang kami lewati. Tapi tak dapat dipungkiri pemandangan ekstra indah tersaji dibawah jembatan siratul mustaqim.
Memeluk batu dan memegang akar harus kami lakukan. Saya sempat terjongkok karena lutut saya lemas. Tapi lama-lama tidak terasa lagi lemasnya lutut ini. Benar ya, kalau ketakutan dihadapi, nyatanya tidak semenakutkan apa yang dipikirkan sebelumnya.
Taraaa!!! Kami sampai di puncak utama! 1922 MDPL. Puncak tertinggi yang pernah saya jejak. Ah, rasanya ingin menangis. Terharu diberikan kesempatan oleh Tuhan menikmati kecilnya banyak hal yang saya rasa sudah hebat dan besar. Dari atas puncak saya kembali meyakini bahwa kita sebagai manusia hanya pantas tunduk patuh kepada Tuhan Yang Maha Segalanya. Dari jejakan pertama saya di 1922 MDPL, saya menyadari bahwa pencapaian apapun tidak akan bisa terjadi tanpa kerjasama dan orang-orang yang mau bekerjasama untuk saling memahami. Jalan-jalan ini memberikan banyak hal lebih dari espektasi saya sebelumnya. Nuhun, Gusti :-)
0 comments:
Post a Comment