"Tujuan kita bukan puncak, tapi pulang ke rumah dengan selamat. Puncak hanya bonus, ya."
Kata-kata itulah yang diucapkan oleh Kak Adit, ketua rombongan jalan-jalan kami. Saya setuju dengan ungkapan itu. Menurut saya, apapun yang kita lakukan di luar demi sebuah pencapaian, tentunya bertujuan agar kita teraktualisasi, merasa tenang, nyaman dan puas saat sampai di rumah. Apalah arti pencapaian bila hati tidak tenang, rumah berasa seperti neraka dan keluarga seperti orang yang tinggal serumah saja?
Tapi bukan itu yang akan saya ceritakan disini. Saya hanya ingin berbagi kisah tentang perjalanan saya dan teman-teman seperjalanan dari puncak Gunung Rakutak ke rumah kami masing-masing.
Di puncak Gunung Rakutak, kami makan bersama dan menunaikan shalat. Kemudian berfoto beberapa kali. Kami berbincang ringan tentang rute perjalanan kami. Salah seorang dari kami bertanya tentang jalur mana saja yang mungkin digunakan untuk turun ke bawah selain melewati jembatan siratul mustaqim. Ya, saya juga agak malas melewati jembatan itu untuk turun. Seram sekali rasanya.
"Lewat jalur lain aja yuk, gak apa-apa deh lima jam juga," celetuk salah seorang teman.
Kami hanya menganggap celetukannya angin lalu. Kami tahu ia sedang berkeluh kesah dan bercanda. Sudah pukul 14.00 dan kami harus turun karena tidak ingin terjebak di kegelapan malam dan cuaca mendung yang mengukung Bandung beberapa hari ini.
Kami bergegas turun dengan formasi yang berubah, Bang Aun ada diantara saya dan Teh Isna, sedangkan Deja ada di paling belakang. Jadilah saya menyampaikan prolog tentang betapa lelet dan lemasnya lutut saya melewati jembatan itu tadi. Bang Aun, seperti semua lelaki di kelompok kami, tak mempermasalahkan hal itu. Yap. Kami siap untuk pulang.
Entah apa pasal, keseimbangan saya yang kurang bagus saat perjalan pulang. Di jembatan saya hampir terperosok karena menginjak batu yang rapuh. Tak ada angin tak ada hujan, saya tiba-tiba terjerembab dan terduduk. Bang Aun mengingatkan saya untuk konsentrasi dan tetap santai. Saya berusaha tidak berimajinasi seperti biasanya dan fokus pada titian yang saya pijak. Sampai di bebatuan tempat kami harus memegang akar dan memeluk batu. Saya ragu dan ketakutan, padahal saat berangkat saya sudah tahu rintangan ini akan saya lewati. Tapi berkat bantuan semua teman-teman yang ikut perjalanan ini, saya berhasil melewatinya. Singkat cerita, kami sampai kembali di puncak dua. Berisitirahat sejenak dan melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, hujan turun. Saya tidak membawa jaket anti air karena lupa mempersiapkan barang-barang yang mau dibawa dan beranggapan perjalanan ini hanyalah jalan-jalan belaka. Dengan jaket pinjaman teman yang membawa jas hujan, saya ikut melanjutkan perjalanan.
Ternyata hujan hanya menyapa kami sejenak, tapi membuat jalanan yang kami lalui licin dan menjadi medan asyik untuk main serodotan. Beruntung kami keluar dari hutan tepat sebelum langit menggelap. Tapi tetap saja perjalanan kami masih panjang. Matahari meredup, kegelapan mengambil alih kondisi muka bumi. Keterbatasan senter dan perbedaan kecepatan langkah antar setiap orang membuat formasi diubah kembali. Kami berjalan sangat pelan mengingat licinnya jalan yang kami tempuh. Satu persatu terpeleset dan mengaku sedang berakting untuk mencairkan suasana. Berjam-jam kami berjalan perlahan dan akhirnya kami temukan satu rumah. Kami meneruskan perjalanan dengan semangat karena rumah-rumah dibawah kami terasa semakin dekat.
Patokan kami adalah jembatan kecil yang terdiri dari 3 bambu kecil berjajar. Anehnya, saat kami keluar dari hamparan kebun, ternyata kami melewati 4 kayu besar yang dijadikan sebagai jembatan. Dari situ kami tahu kami tersasar dan menyusuri rute yang tidak sama dengan rute pemberangkatan yang kami lakukan pagi tadi. Saya tiba-tiba teringat dengan celetukan teman saya di puncak utama Gunung Rakutak. Bagaimanapun saya bersyukur kami sampai dengan selamat di perkampungan. Dari tempat kami turun (Cijagong) kami harus berjalan ke pos Himapala Rakutak untuk melapor.
Kendaraan yang kami sewa untuk mengantar dan menjemput sialnya tidak bisa datang menjemput. Nomor sang sopir pun tidak dapat dihubungi. Saya menelepon rumah, meminta untuk dijemput di posko Himapala Rakutak. Sambil menunggu, kami membeli bakso untuk menyogok cacing-cacing di perut kami agar diam dan tak merengek lagi. Semangkok bakso menenangkan mereka dan membuat kami lebih bertenaga.
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya mobil jemputan datang. Kami bergegas masuk. Swiing.. aroma semeliwir tak enak yang berasal dari tubuh kami memenuhi mobil. Kaca jendela dibuka lebar-lebar agar angin malam bisa menyamarkan bebauan tak enak itu. Kami tertidur di perjalanan pendek Pacet-Ciparay.
Kami berpisah di Ciparay. Teman-teman saya naik angkot yang sudah dibooking sampai Tamansari, sedangkan saya bertolak ke rumah. Sesampainya di rumah, saya membersihkan badan dan merendam semua yang saya pakai dari atas sampai ke bawah. Si putih, sepatu lari saya, berubah menjadi coklat karena lumpur selama perjalanan tadi.
Setelah beberapa jam, kami saling berkabar dan semua anggota rombongan sudah sampai di rumah masing-masing. Syukurlah, benar saja rumah memang tujuan utama, sedangkan puncak adalah bonusnya. Hari ini saya mendapatkan secercah pelajaran berharga selama perjalanan selama hampir 12 jam. Pencapaian bukan hanya tentang hasil, tapi proses yang dilakukan untuk mencapai itu. Juga bukan tentang bagaimana menikmati hasil, tapi jangan lupa dengan banyak pihak yang membantu terselenggaranya proses yang telah terlewati. Medan yang menanjak atau menurun pasti ada dalam hidup ini, tapi menyikapinya dengan berani dan mempercayai orang lain untuk membantu adalah salah satu cara untuk meringankan beban kita.
Terimakasih atas semua keistimewaan yang telah memberi warna berbeda dalam kehidupan saya, teman-teman. Terimakasih sudah menjadi pimpinan rombongan yang sabar, Kak Adit. Terimakasih sudah menjadi co-komandan yang luar biasa, Teh Elp. Terimakasih atas dukungan semangat dan nyanyian ala Raisa-nya, Teh Isna. Terimakasih atas uluran tangan dan kesabaran menunggunya, Deja dan Bang Aun. Terimakasih telah menjadi penunggu cewek-cewek lelet kayak saya, A Aziz. Terimakasih atas kepedulian dan ucapan 'saranghae'nya, Teh Ayu. Terimakasih atas ungkapan-ungkapan dan tingkah lucunya, Teh Ejip. Terimakasih atas cerita tentang Gunung Gede, Burangrang dan Cikuraynya serta kata tanya 'kenapa?" dengan nada khasnya, Kak Eka. Terimakasih semuanya atas pengalaman jalan-jalan yang membuka pikiran saya tentang banyak hal.
Saya ingat kata Teh Ayu, "Perjalanan itu seperti pertandingan baseball dimana saat paling membahagiakan adalah pulang ke rumah, home run."
Selamat pulang ke rumah dan mengingat kembali betapa menyenangkannya perjalanan di hari kemarin :-)
Selamat pulang ke rumah dan mengingat kembali betapa menyenangkannya perjalanan di hari kemarin :-)
2 comments:
Haaaa.....next time gue haruus ikuuut...
mauuuu :'(
Hahaha, gue gak bisa janji "next time"nya itu kapan, put :D
Post a Comment