Sunday, August 23, 2015

Rindu

Sungguh kurang ajar rindu itu. Datang tiba-tiba lalu mengakar dengan mudahnya. Padahal, apa balasan dari rindu? Tak ada. Bahkan kadang rindu merusak segalanya.

Meredam rindu adalah respon wajib para perindu bila yang dirindukan tak pernah diamini oleh norma dan agama. Menyimpan kerinduan adalah alternatif yang paling aman dilakukan oleh mereka yang meredam perasaan. Mengenyahkan rasa rindu adalah jawaban yang selalu dilakukan. Karena apa baiknya mengubar rindu? Apa dampaknya menyampaikan kerinduan? Apa untungnya memelihara hal yang bisa membuat kita silap hati dan rasa?

Biarkan rindu ikut menyelinap diantara hembusan angin. Biarkan rindu ikut berpencar diantar percikan hujan. Biarkan rindu ikut membahana diantara tawa manusia. Karena dasarnya, kita benar-benar tak tahu apa rasa ini sesungguhnya. Benarkah itu rindu atau sekedar hawa nafsu?

Ciparay, 23 Agustus 2015

Iya. Saya sedang rindu.

Read More

Masih tentang penghargaan

Masih tentang penghargaan. Saya tiba-tiba berangan-angan bagaimana jika saya mendapatkan penghargaan, walaupun ini cenderung mustahil untuk didapatkan. Hahaha. Tapi anggaplah khayalan ini nyata. Jika saya mendapatkan penghargaan, saya akan mengatakan ini:

Assalamu'alaikum wr wb.
Alhamdulillah, hingga detik ini Allah masih sayang kepada saya dan kita semua sehingga kita masih bisa bernafas. Terimakasih juga kepada Allah atas kejutan-kejutan yang bertubi-tubi datang di tahun ini. Ada yang menyenangkan dan ada yang tidak. Dan hari ini saya mendapat kejutan yang menyenangkan. Terimakasih kepada seluruh voter yang memilih saya. Semoga anda semua selalu disayang Tuhan dan tidak menyesal telah menetapkan pilihan ini kepada saya. Terimakasih juga kepada kalian, barisan para mantan dan semua yang pergi tanpa pernah aku miliki *malahnyanyi*.

Semoga hati ini tetap membumi dan menyadari bahwa diri ini terbuat dari saripati tanah dan akan berakhir di sebuah lubang di tanah.

Sekian.

Fenomenal gak? Enggak ya? Yasudahlah. Hahahaha

Ciparay (yg kabarnya bukan bagian dari Bandung karena saking nyungsepnya), 23 Agustus 2015.

Read More

Tuesday, August 18, 2015

Penghargaan

Kemarin, tanggal 17 Agustus 2015 adalah hari yang melelahkan bagi saya. Saya menjadi salah satu panitia acara 17 Agustus di kantor. Saat pertama kali diajak (tepatnya ditunjuk) menjadi panitia, saya cukup enggan. Cukuplah di kampus saja sibuk-sibuk gak jelas dalam beragam kegiatan mahasiswa, di tempat kerja mah udah bukan waktunya lagi, pikir saya. Namun di sisi lain, saya juga suka sibuk-sibuk gak jelas dan sok sibuk. Jadi saya terima lamaran si anu. Heeeh, apa sih. Hahaha. Singkat cerita jadilah saya panitia dan diberi amanah sebagai divisi acara. Agak canggung jadi panitia event di pabrik mah. Serasa beda drastis dengan di kampus. 

Peringatan detik-detik proklamasi Indonesia ini dijadikan satu dengan acara penghargaan Culture of Excellence di Barry Callebaut Asia Pasific. Jadi, acara kemarin itu adalah acara launching CoE se-Asia Pasific. Satu sisi merasa keren dan terhormat, namun sisi lain pasti capek dan merasa 'terbebani'. Pasca acara saya sukses tidur dari jam 4 sore hingga jam 5 pagi keesokan harinya. Mwahahaha. 

Nah, acara penghargaan ini yang membuat saya belajar. Pak Khofinal adalah pemenang CoE Award 2015. Saya kenal beliau karena sempat menjadi volunteer di kegiatan sosial kantor bernama Water for Life. Beliau sangat sederhana, tenang, bertanggungjawab dan rendah hati. Meskipun beliau pernah diperbantukan di Malaysia sebagai teknisi, tapi tak pernah terlihat sombong dan merasa paling bisa dan paling pantas dihargai. Beliau juga lucu, tapi lucunya datar-datar gitu. Aneh weh lah lucunya teh. Saat saya tahu beliau menerima penghargaan ini, saya pikir memang beliau pantas untuk itu. 

"Saya tidak pernah terpikir akan mendapat penghargaan ini karena saya bekerja dengan ikhlas dan melakukan pekerjaan saya dengan sebaik-baiknya saja..." kata Pak Khofinal.

Saya jadi teringat dengan banyak teman saya yang menerima penghargaan ini dan itu. Mereka kadang tak pernah berpikir bahwa dirinya pantas menerima penghargaan, pantas dianggap unggul daripada orang lain. Mereka hanya melakukan tanggungjawabnya sebaik-baiknya. Sebaliknya, mereka yang ingin dianggap terbaik dan mampu unggul daripada yang lain biasanya malah bekerja ala kadarnya dan melakukan usaha yang biasanya rata-rata. Saat salah satu manusia mendapatkan penghargaan, biasanya orang lain yang merasa dirinya lebih pantas mendapatkan penghargaan akan menganggap penghargaan yang diberikan sebelah mata. Sibuk dalam kubangan pikiran kotor yang ia gali dan isi sendiri. Sibuk terperosok dalam pikirannya sendiri sehingga alpa bahwa aksi sebanding dengan reaksi. 

Saya jadi teringat tentang omongan nyinyir orang-orang yang sempat membantu saya dalam beberapa event baik di kantor maupun di kampus dulu. Mereka yang membantu (maaf saya mengatakan ini) sedikit, biasanya lebih nyaring meminta balasan atas bantuannya dan merasa pantas mendapatkan hal-hal yang menurutnya setimpal, hal-hal yang menurutnya dapat menghargai bantuannya. 

Saya mudah tersulut emosi bila ada hal-hal semacam ini terjadi. Kesal, marah dan seringnya langsung saya bentak. Jadilah chaos pada akhirnya. 

Penghargaan memang subjektif walau sering dibuat aturan-aturan dan poin-poin pengukuran supaya terasa lebih objektif. Namun begitulah manusia yang menurut Maslow memiliki kebutuhan untuk dihargai dan dicintai. Begitulah juga manusia yang kadang tak paham bukan hanya dirinya yang bekerja disana. Bukan hanya dirinya yang melakukan hal-hal maupun bantuan-bantuan yang berguna. Banyak orang lain yang lebih lelah, lebih banyak meluangkan waktu dan lebih lainnya yang luput dari penilainnya saat ia menilai dirinya sendiri. Begitulah manusia yang selalu butuh penghargaan dan balasan atas setiap peluh yang menetes dari tubuhnya. Karena seringnya, mereka lupa banyak orang yang pantas dihargai jauh dibandingkan dirinya dan seringnya orang-orang yang pantas dihargai itu lupa bahwa dirinya pantas mendapat penghargaan. 


Bandung, 18 Agustus 2015
Beberapa jam setelah terbangun dari tidur panjang.
Read More

Wednesday, August 12, 2015

Hari Merdeka

Umbul-umbul bertebaran dimana-mana. Penjual bendera hadir dan dapat ditemukan dengan mudahnya. Bahkan, gapura berdiri di jalan kampungku yang tak pernah kulihat sebelumnya. Kata adikku, dulu saat Peringatan Hari Kemerdekaan ke-60 diselenggarakan, gapura itu juga berdiri megah disana. Ah ya, kami larut dalam suka cita hari ulang tahun lahirnya negara Indonesia tercinta.

Sore ini Bandung diguyur hujan deras. Saya masih bekerja saat itu. Hujan membuat saya waswas. Karena daerah kantor saya adalah daerah banjir di Bandung yang terkenal dimana-mana: Dayeuhkolot.

Hujan deras itu sempat membuat jalan raya di depan kantor terendam genangan air. Tentu saja warnanya hitam pekat, bercampur dengan limbah pabrik tekstil yang ada diberbagai penjuru Dayeuhkolot, Palasari, Cisirung dan sebagainya. Tapi bukan tentang banjir yang akan saya ceritakan disini.

Saat pulang, saya melewati kawasan Ciodeng, Bojongmalaka dan Andir. Semua daerah itu adalah daerah banjir parah. Kedalaman air bisa mencapai 1-2 meter. Tapi daerah ini juga menyiratkan semangat kemerdekaan. Umbul-umbul terpasang dimana-mana. Warna warni ceria yang didominasi merah dan putih menghiasi sepanjang jalan. 70 tahun, bukan waktu yang sedikit. Bukan waktu yang sia-sia begitu saja.

Terimakasih para pahlawan, tanpa perjuangan kalian kami tak akan bisa seenaknya memasang atribut kebersatuan kami sebagai bangsa Indonesia. Terimakasih para pemuda, tanpa gelora jiwa muda kalian kami tak akan bisa menikmati beragam perlombaan yang tak membedakan baik si kaya dan si miskin maupun si darah turunan dan pribumi rakyat jelata. Terimakasih Tuhan, tanpa izinmu, mungkin saya tak akan pernah bisa menulis tulisan ini. Mungkin saja, internet tak akan pernah diizinkan masuk di negeri penuh keragaman ini.

Menurut saya, Indonesia sudah merdeka.

Read More

Friday, July 24, 2015

Jauh

Jauh. Sebenarnya menurut siapa jauh itu? Apa ukuran mengukur jauh? Kilometer? Tak selalu. Banyak manusia yang duduk berdampingan namun mereka merasa jauh satu sama lain. Seperti para manusia yang duduk berdempetan di angkot misalnya. Tanya mereka, siapa yang merasa dekat satu sama lain? Mungkin mereka akan mengangkat tangannya bila mereka duduk bersama dengan teman dekatnya. Tapi benarkah mereka benar-benar dekat?

Nisbi. Semua ukuran rasanya nisbi. Tergantung siapa yang melihat dan dari sudut pandang apa. Keluarga mungkin manusia terdekat yang seseorang punya, tapi bisa saja menjadi manusia yang terjauh yang dimilikinya.

Sumber: disini


Kata orang, setiap manusia perlu menjauh dari lingkungan terdekatnya, zona nyamannya. Tapi benarkah demikian?

Maswadit alias Wahyu Aditya bahkan mencapai kesuksesan saat ia menggambar, kegiatan yang menurutnya ada di zona nyaman. Berbeda dengan banyak motivator yang bilang bahwa zona nyaman itu merusak. Merusak semangat dan potensi optimal manusia.

Jauh dekat, benar-benar hanya sekedar tentang persepsi. Seperti halnya spasi yang menurut beberapa orang menjadi penjelas makna sekumpulan huruf maupun tulisan. Seperti titik dan koma yang terkadang diabaikan manusia.

Bandung, 24 Juli 2015
Read More

Wednesday, July 22, 2015

Membuat Tenang

Kata orang, memilih pasangan itu salah satu kriterianya adalah bisa membuat tenang. Bukan mereka yang malah membuat hati gundah, bahkan gegana alias gelisah galau merana *goyang maaang*

Tapi bagi saya, membuat tenang juga ada di salah satu kriteria memilih teman. Mengapa teman harus dipilih? Karena menurut saya teman bisa menjadi alternatif solusi sarana perbaikan diri. Jadi, saya tak ingin sembarang berteman. Mungkin ini juga yang membuat saya cenderung kaku dan kurang membaur. Mari tinggalkan bahasan tentang saya, kita bahas tentang teman yang membuat tenang.

Begini, teman bak cerminan diri kita sendiri. Meskipun terkadang diri ini berbeda dengan mereka yang menjadi teman kita. Mereka tempat berbagi mimpi, harapan bahkan beragam topik pembicaraan baik yang jelas maupun tidak. Mereka adalah keluarga sementara saat manusia di rumah tak mengerti dan tak mau mengerti tentang kita (atau sebaliknya).

Teman memang tak bisa menggantikan posisi keluarga sebagai manusia terdekat kita. Tapi teman terkadang bisa masuk ke dalam definisi keluarga itu sendiri.

Memilih teman yang membuat tenang membantu diri kita untuk melakukan hal yang sama dengan mereka. Nasihat dan kritikan mereka tak lagi terasa menyakitkan karena disampaikan dalam candaan atau muncul ditengah-tengah obrolan tentang banyak hal. Teman yang membuat tenang tak akan enggan menegur bila otak kita tak bisa digunakan. Mereka juga yang tak segan 'menampar' kita untuk menyadari kelebihan yang kita abai terhadapnya. Mereka mungkin kepanjangan kasih sayang orangtua yang tak bisa menembus benteng pertahanan yang kita bangun sekian tahun lamanya.

Terakhir, memilih teman yang membuat tenang membantu saya mengontrol kegilaan yang sudah lama bercokol dalam jiwa dan raga.

Terimakasih Omah, telah menjadi salah satu dari mereka yang membuat saya tenang :-)

Bandung, 22 Juli 2015

Read More

Tuesday, July 21, 2015

Kesatuan

Bersatu. Itulah yang sulit dilakukan oleh manusia di daerah multietnik, termasuk Afghanistan. Etnik Pashtun, Hazara dan etnik lainnya masih menganggap diri mereka lebih baik daripada etnik lainnya. Semua manusia tak ingin direndahkan tapi dengan mudah merendahkan orang lain. Primordialisme menjadi penyebab dasar adanya perpecahan dan sulit bangkitnya manusia Afghanistan dari keterpurukan pasca perang. Tak peduli berapa negara dan organisasi asing yang membantu, mereka tak pernah bisa benar-benar bangkit dan bersatu. Etnik Pashtun menganggap dirinya menjadi manusia terbaik dan suku yang paling pantas menjadi pemimpin. Etnik lainnya muak dengan para pemimpin dari Pashtun. Etnik Tajik, Kirghiz dan etnik-etnik lainnya kesal tiada dua. Ekspresi kekecewaan ini diekspresikan melalui keengganan etnik tertentu berbicara bahasa etnik lainnya. Enggan berbahasa Dari, berbahasa Pashto dan bahasa lainnya.

Sumber: deafitsa.blogspot.com


Begitulah cuplikan deskripsi Agustinus Wibowo yang saya tangkap dari novelnya Selimut Debu. 

Sungguh, apa jadinya Indonesia bila tidak ada Gadjah Mada yang bertekad menyatukan Nusantara? Apa jadinya bila semangat ke-Indonesia-an tidak diserukan oleh para pejuang dan pemikir di masa lalu? Apa jadinya bila bahasa Indonesia tidak dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa? Akankah bahasa Jawa masih mendominasi bumi nusantara ini? 

Saya teringat pada banyaknya konflik yang terjadi dikarenakan perbedaan suku maupun perbedaan lainnya. Konflik Dayak dan Madura, Jawa dan Sunda, Cina dan pribumi. Ah, banyak sekali bahan perbedaan dan perpecahan di Indonesia. Saya baru benar-benar sadar bahwa kata 'Kesatuan' dalam nama negara ini benar-benar membantu bersatunya beragam perbedaan yang ada. Saya bukan pendukung berdirinya kekhalifahan di Indonesia. Menurut saya, menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia saja sudah menunjukkan betapa Islam rohmatan lil'alamin. Islam yang sangat menghargai perbedaan. Islam yang tidak arogan. Islam yang membuat orang-orang nyaman di dalamnya. Islam yang mewadahi keragaman nusantara. Karena -menurut saya- menjadikan negara ini sebagai negara Islam bukanlah satu-satunya cara untuk mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Lain lubuk lain ilalang lain kolam lain ikannya.

Sumber: aswajamuda.com


Melumat kata demi kata dalam Selimut Debu membuat saya merasa benar-benar ada duplikat kehidupan di belahan dunia sana. Di Afghanistan sana ada warga lembah Wakhan yang mendambakan dan membanggakan Tajikistan sebagai negera impian. Ada pula yang menjadikan Peshawar, Pakistan menjadi tempat tujuan. Pun ada manusia yang ingin menjadikan Iran sebagai tanah impian. Meskipun mereka tahu,, tak pernah ada negara yang benar-benar sudi menerima warga negara asing sebagai pengungsi dengan jumlah yang begitu banyak. Walau mereka dicemooh karena menjadi seorang Afghani, mereka tetap memutuskan pergi dari negeri debu kelahirannya. 

sumber: bukupedia.com


Saya merasa melihat ada irisan Indonesia disana. Dimana tak jarang para manusia perbatasan mendambakan negara tetangga sebagai tanah impiannya. Mendambakan kemerdekaan yang diharapkan menjadi titik tolak kemajuan peradaban manusia yang ada disana. Mendambakan keterlepasan dari pemerintah pusat yang kikir dan abai tiada dua. Walaupun mereka juga tak pernah tahu, apa yang akan mereka hadapi setelah terlepas dari Indonesia. Penjajahan babak dua atau kesejahteraan tiada dua. 

Irisan inferioritas dan superioritas pula terasa di dalam buku ini. Masyarakat Afghanistan yang dianggap rendah dan hina oleh manusia-manusia di negara tetangga ini membuat saya teringat pada para tenaga kerja Indonesia yang tak habis-habis kasusnya. Mulai dari dipancung, dilecehkan bahkan disiksa. Mereka rela merendahkan diri di negeri seberang demi sekumpulan ringgit, riyal bahkan dollar singapur.

Agustinus Wibowo membawa saya berkhayal menyeberangi lautan dan luasnya padang pasir di negara Asia Tengah sana. Tempat dimana beragam kisah kehidupan ada proyeksinya. Tempat dimana saya bisa mengerti kesatuan Indonesia adalah sesuatu yang perlu disyukuri dan dijaga sampai mati. Tak ada yang menyenangkan dari perpecahan. Tak ada yang membahagiakan dari pecahnya peperangan. Masihkah kita perlu mendebatkan dan berkumpul dalam kubu-kubu yang menjadi penyebab perpecahan?

Bandung, 21 Juli 2015
Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)