Thursday, September 14, 2017

14 ke-27


14 September 2017! 27 tahun lalu bayi yang unyu-unyu yang besarnya jadi super duper alay dan menyebalkan lahir ke dunia. Alhamdulillah di tahun ke-27 ada yang ngucapin tengah malem *colekayangbebeb. Alhamdulillah masih dikerjain juga sama si Chun, Teh Lanny dan banyak orang lainnya. Alhamdulillah Nana lulus dan wisuda di tahun ini. Alhamdulillah. Seneng pisan, ya Allah.

abaikan raray yang sangat ndak banget :D
Setelah Maghrib, tumben-tumbennya ibu telepon sambil nanya kabar sedang apa, dimana dan dengan siapa. Persisi lagu Kangen Band. Hahaha. Eh pas saya ambil wudhu untuk sholat Isya, Mamski dan Nana udah dateng ke kosan bawa donat dan nasi goreng. So sweet *v* (anggaplah bintang itu lope-lope). Pas pulang dari kantor tiba-tiba Zayzay yang kebetulan lagi nginep di rumah ngeluarin puding coklat dari kulkas sambil bilang, "Ki, Happy birthday ya!" Uncch. So sweet.

72 tahun! Eh 27 tahun!
Terimakasih ya Allah saya masih diberi rizki untuk berkumpul bersama orang-orang tersayang dengan mudahnya.  Terimakasih atas kesempatan hidup hingga 27 tahun ini. I am happy!



Read More

Thursday, September 7, 2017

Jadi Beban


Hampir lebih dari 10 tahun tinggal jauh dari orang tua membuat saya terbiasa untuk bertahan hidup sendiri. Meminta bantuan orang lain dan berusaha 'membayar' kebaikan itu dengan bantuan yang pantas. Tapi nyatanya tidak semua cara otodidak berhasil. Perlu mencoba, mencoba dan mencoba lagi. Perlu kecewa, kecewa dan kecewa lagi. Perlu merasa cukup.



Dari sekian banyak hal, hanya satu alasan saya menjaga jarak dengan orang lain. Tidak ingin menjadi beban. Saya tidak ingin orang-orang yang ada di dekat saya merasa terbebani dengan adanya saya di dunia. Menjadi beban bagi saya artinya menambah daftar kesedihan orang lain. Cukup saya yang sedih dan keberatan, yang lain tak usah tahu bagaimana rasanya. Saya tidak mau menjadi beban.
Read More

Wednesday, August 9, 2017

Lahir di Indonesia


Alhamdulillah lahir di Indonesia. Itu kalimat yang sering sebut selama pergi-pergi ke negara lain. Di Indonesia, cabe aja bisa jadi enak banget. Di Indonesia, mie aja bisa dimakan sama nasi dan itu ngeunah jeung wareg pisan. Di Indonesia, sholat gak ada yang ganggu atau dilarang. Di Indonesia, pakai jilbab dibebaskan. 

Dulu sempat ingin pindah dari Indonesia. Ingin tinggal di luar negeri atau di tempat yang jauh dari negeri asal. Tapi kunjungan beberapa hari ke beberapa tempat membuat saya sadar: gorengan enak cuma ada di Indonesia, apalagi di rumah sendiri dan yang bikin si mamah. Ah, ngeunah.

Pertama ke luar negeri, semua orang tanya apa sih makanan halal itu. Mungkin niatnya hanya ingin tahu dan merasa aneh. Tapi ngejelasin kriteria halal aja saya gak fasih dan sudah keburu lapar. Kalau di Indonesia tinggal makan atau kalau ragu tanya aja, "halal bang?" atau "halalin adek dong, bang" kelar. 


Disini orang gak sholat Jumat itu aneh, di luar negeri kita dibilang aneh kok sholat terus-terusan. Waktu main ke Singapura nyari makan yang murah dan halal susah sekali. Mungkin karena bukan orang sana dan budget kami saat itu terlalu pelit. Akhirnya makan kebab lagi, makan kebab lagi. 

Dulu sering banget saya maki-maki negara sendiri karena korupsinya, karena karut marutnya penataan lalu lintasnya, dan sering cemberut karena nilai mata uang yang kacrut. Tapi setelah dipikir-pikir banyak pisan yang harus disyukuri sebagai orang Indonesia. Sholat gak perlu takut. Ikut kajian jadi viral. Ya meskipun di tahun ini antar umat beragama jadi panas gara-gara kelakuan gak sopannya orang yang tidak perlu kita sebut namanya. Kayak Voldemort ya. Hahahaha. 

Intinya, Saya senang lahir di Indonesia. I love Indonesia!!!!
Read More

Tuesday, August 1, 2017

PRIVASI


Kabarnya, privasi pelanggan di bank itu adalah hal yang utama dan dijaga. Nyatanya, setiap orang yang punya kartu kredit pasti mereka sering ditelepon oleh pihak asuransi lah, kartu kredit bank lain lah, dan sebagainya. Jadi, apanya yang dijaga?

Privasi buat saya itu seringnya dilematis. Pengen upload atau curhat tapi serem kalau ngebayangin dampak dari postingannya. Setiap kesel sama orang lain yang fotonya pernah di-upload di akun sendiri, kok bawaannya pengen ngehapus semua foto itu. Setiap senang karena satu hal yang dulu pernah dimaki-maki di akun sendiri, kok jadi malu juga ya. Yah begitulah. 

Di satu sisi, suka iri setiap ada teman yang posting foto pasangan atau bikin caption-caption sweet buat pasangannya. Di sisi lain, emang gak semua orang suka hal-hal pribadinya diumbar kemana-mana. Sering ngerasa bego juga sih kalau sadar hal kayak gitu doang di-iri-in. Tapi da aku teh manusia ya, yang sering ngeliat rumput tetangga lebih hijau warnanya. Jadilah privasi bagi saya seperti makan junk food padahal lagi diet. Apa hubungannya ya? Hahahaha.



Dulu, waktu internet belum merajalela, kayaknya privasi terbuka hanya di forum-forum kumpul-kumpul manja. Ya semacam arisan atau curhat yang kayak arisan (teu beres-beres). Paling banter yang dipamerin barang atau foto bareng pasangan. Tapi sekarang, orang yang diam saja terdengar kata-katanya. Dari akun sosmednya. 

Dulu, sosmed tempat saya curhat gak jelas. Mulai dari galau yang gak jelas siapa objeknya, marah-marah sama customer service (seringnya spe*dy dan bank), sampai ikut-ikutan posting demi barang gratisan atau lomba-lomba yang saat itu kekinian. Sekarang karena objek galaunya udah jelas (suami gue sendiri), jadi agak keki juga kalau galau-galau gak jelas. Kalau ada yang ngira gue kekurangan kasih sayang gimana? Padahal mereka gak tau badan gue melar karena terpenuhinya kebutuhan kasih sayang #apasih

Buat saya, posting foto dengan caption lucu-lucu manja itu gak terlalu ngeganggu privasi. Tapi menurut suami, hal kayak gitu kurang melindungi.

"Kalau posting kayak gitu, gimana kalau Aa ada masalah dan kamu yang kena batunya juga?" kata doi.

"Tapi kan ini..."
"Tapi kan itu..."
"Tapi kan anu..."

Namanya juga perempuan, defensif. Hahaha. Ingat pasal 1: Perempuan selalu benar #halah

Mau digimanain juga perempuan sama laki-laki memang beda. Yang satu dari Mars, yang satu dari Venus. Cara pandang mengenai privasi pun beda-beda. Dan sialnya, masing-masing masih berharap direspon dengan standarnya sendiri-sendiri. Kalau kayak gitu, mau gimana? Entahlah. Selagi yang diposting ke sosial media tidak mencoreng nama baik pasangan dan atau keluarga, sepertinya oke-oke saja.


Read More

Saturday, May 6, 2017

I AM MARRIED!


Iya, gue udah jadi istri orang. Tepat di tanggal 6 Mei 2017. Hari Sabtu dan acara dilaksanakan di halaman rumah gue yang jauh dari mana-mana. Now where. Lol. Seru juga ya ternyata nikah tuh. Hahaha. Saat akad, gue gak ada di masjid, dimana orang itu ngucapin ijab kabul. Gue tetap pecicilan dan senyum selebar-lebarnya karena kalo mingkem lebih jelek lagi. Semua saudara sampai bilang, "Ka, kok sumringah banget?" Ya nikah, sumringah lah. Bukan lagiiii~~~~

I am so surprised with a lot of love I got on the day. Walaupun blowernya kagak datang, banyak tamu yang nyasar dan banyak hal yang gengges selama acara berlangsung. Gue juga baru tau ternyata nikah se-melelahkan itu. Gue baru tau ternyata nikah semenyenangkan itu. Gue baru tau ternyata gue punya banyak teman dan saudara yang rela jauh-jauh datang untuk mendoakan. 



Alhamdulillah acaranya berjalan lancar. Gak ada yang interupt di tengah-tengah akad (you wish). Banyak banget tamu yang datang. Alhamdulillah sekarang halal. Punya tambahan orang tua (plus nenek) dan adik, punya tambahan rumah tempat mudik, punya pundak orang yang bisa dijadiin sandaran. #halah.

Semoga semua doa yang para tamu dan keluarga ucapkan terkabul untuk kita semua. Semoga keluarga gue sakinah, mawaddah dan penuh rahmah alias kasih sayang serta berkah. Semoga gue dan suami bisa datang ke undangan yang dialamatkan kepada kami. 

Buat Ayang Iqbal (alay yak, bae ah kali kali), terimakasih sudah hadir di kehidupanku dan membuat semuanya penuh warna. Semoga hubungan kita sampai ke surga. Amin. 


Read More

Sunday, February 12, 2017

Langkah yang Sejajar



Dulu, saya sering kali merasa putus asa dalam berorganisasi. Saya rasa langkah saya sudah jelas dan semua orang bisa mengikutinya. Saya pikir semua tahapan rencana saya sudah dapat dimengerti sehingga tidak ada konflik tak penting yang mungkin terjadi. Saya kira semua orang disana punya tujuan dan pemikiran yang sama dengan saya. Namun hasilnya selalu sama. Saya kecewa.

Lebih dari 12 bulan merasakan tekanan (bagi saya itu tekanan) seperti itu di beberapa organisasi dalam kurun waktu yang bersamaan membuat prinsip dan targetan saya yang kaku berubah. Saya baru sadar bahwa tidak semua yang saya percaya bisa dengan mudah percaya pada saya. Saya baru tahu beberapa tindakan saya seringnya membuat mereka tak nyaman dan cenderung ogah-ogahan. Saya baru merasa bahwa saya terlalu banyak menuntut. Lalu singkat cerita sejak itu saya berusaha tak menuntut atau terkesan tidak menuntut kepada orang lain. Ini membuat kemampuan mendelegasikan tugas saya kacau. Emosi saya lebih banyak ikut campur dalam mengambil keputusan. Saya tidak puas dengan tindakan saya karena kelakuan konyol saya sendiri. Kemudian saya kecewa. Pada akhirnya selalu saya yang kecewa karena terlalu banyak menginginkan banyak hal yang melibatkan orang lain dalam mencapainya.

"Sejajarkan langkah kalian, Ki."

Nasihat sederhana yang masih terngiang sampai sekarang. Tapi lagi-lagi tak bisa saya aplikasikan. Entah karena saya yang bodoh atau saya terlalu cepat dan berjalan tak beraturan.

Membuat langkah sejajar mungkin mudah bagi mereka yang biasa berbicara dengan lancar apa yang mereka inginkan. Tapi tidak bagi saya. Walaupun terlihat terbuka dan cenderung blak-blak-an, untuk urusan keinginan saya terbiasa memendam dalam-dalam. Seringnya menerima penolakan adalah alasannya. Sialnya, pada akhirnya lagi-lagi saya yang kecewa.

Tapi ternyata upaya menyejajarkan langkah tidak selalu buruk. Pengurus di organisasi itu cukup kompak (subjektifnya saya) dan saling terikat satu sama lain. Kedekatan kami sudah lintas angkatan bahkan bila bercanda cenderung kurang ajar. Meski dengan sejajarnya langkah banyak hal yang harus saya tekan dan itu membuat tidak nyaman.

Menyejajarkan langkah untuk orang yang baru kenal atau hanya dekat sepintas cenderung mudah. Tapi bagi mereka yang akan bersinggungan cukup lama dalam kehidupan saya itu agak menakutkan. Menakutkan karena pada akhirnya saya takut ditolak, diabaikan atau bahkan ditinggalkan.

Langkah yang sejajar bagi saya adalah hal yang benar-benar perlu diupayakan dengan penuh kesungguhan.
Read More

Saturday, January 28, 2017

Berakhir


Sedih. Iya, saya sedih karena berakhirnya sesuati di bulan pertama 2017 ini. Berakhirnya mata saya menatap ungkapan-ungkapan sarkasme yang lucu dari Eric Weiner di bukunya The Geography of Bliss. Weiner adalah bapak-bapak yang tidak bahagia dan mencari kebahagiaan. Kebahagiaan kok dicari? Iya, saya juga heran dengan konsepnya. Buku tahun 2012 ini cukup pas dengan selera saya yang aneh. Isinya tidak sepenuhnya pernyataan sikap setuju tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebahagiaan yang Weiner temui. Perjalanannya dari Belanda hingga Miami memberikan beberapa insight yang tidak biasa. 

Dulu saat video tentang betapa kecilnya manusia dibandingkan alam kosmik beredar di Facebook, saya merasa sangat kecil dan sadar (secara teknis) mengapa manusia memang tidak sepatutnya sombong. Lalu di buku ini, Weiner menuliskan bahwa manusia akan merasa lebih merasa berharga bila merasa menjadi bagian kelompok di alam kosmik, bukan hanya sebagai individu. Menurut saya ini menarik dan saya setuju dengan itu. 

source: link
Ada lagi pemikiran "itu bukan urusan saya" dari Moldova yang membuat orang-orang suram tiada dua. Weiner bilang kalau kepura-puraan sopan di Jepang lebih baik daripada kecuekan kejam yang orisinil dari Moldova. "Itu bukan urusan saya" adalah kalimat penyakit yang bisa membuat kita tidak bahagia. Lagi-lagi saya setuju dan saya rasa saya sejak dulu terpapar sakit jiwa jenis ini. Haha. 

Selain itu, ada satu potongan cerita yang membuat saya bilang "Oh iya" dalam hati. Yaitu saat Weiner mewawancara para pendatang di Asheville, California Utara. Kota ini cantik, dekat dengan pegunungan dan tidak terlalu banyak masalah perkotaan di dalamnya. Kota ini memiliki udara yang sejuk dengan penduduk dari berbagai negara. Kita bisa menemukan restoran asia sangat mudah disini. Daya tarik berupa perpaduan alam-budaya-udara yang sejuk yang tak bisa ditolak oleh siapapun yang datang kesana.

Weiner bertanya kepada setiap orang yang bilang kalau mereka jatuh cinta pada Asheville  yang membuat mereka pindah kesana selama bertahun-tahun, "Dimana kamu ingin mati?"

Semua orang tidak menjawab Asheville sebagai jawabannya. Artinya, mereka tidak benar-benar jatuh cinta dengan kota itu. Menurut Weiner itu berbahaya karena sama saja menaruh satu kaki di luar untuk berjaga-jaga bila ada sesuatu yang buruk terjadi dan tidak benar-benar mencintai sesuatu yang bisa berakibat selalu mencari pembanding dari yang sudah ada dan tidak benar-benar mensyukuri yang sudah dimiliki. 

Source: link

Baru kali ini saya merasa sedih membuka bab terakhir dari sebuah buku. Ini toh rasanya sedih baca buku terakhir dari serial Harry Potter yang teman saya rasakan beberapa tahun yang lalu. Dulu saya rasa hal itu lebay, tapi ternyata saya ngalamin juga. Wkwkwk. Saya tidak percaya karma. Ini mungkin cara Tuhan memberikan pengalaman lain untuk saya. 

Berdasarkan buku ini, bahagia itu tidak usah dicari tapi dirasakan dari apa yang sudah kita miliki. Selain itu, terkadang memaklumi dan menerima ketidaksempurnaan juga bisa menambah rasa bahagia yang kita miliki. Man pei lai! Ya sudahlah. 

Menurut saya, dari skala 1-10 buku ini berada di nomor 9.  Saya merasa cocok dengan gaya penulisan Weiner yang blak-blakan. Selain itu, saya suka caranya membahas beragam penemuan psikologi positif yang baru saya dengar sebelumnya. Saat baca buku ini, saya sempat berpikir mungkin ini lah alasan mengapa dulu saya sempat tertarik dengan kajian psikologi positif seperti flow, happiness, subjective well-being, dsb dsb. Jadi saat baca buku ini saya gak blah-bloh teuing. Gitu lah. 

“Money matters but less than we think and not in the way that we think. Family is important. So are friends. Envy is toxic. So is excessive thinking. Beaches are optional. Trust is not. Neither is gratitude.” 

Ciparay, 28 Januari 2017
Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)