Namanya Ardian. Tak kurang, tak lebih. Hanya Ardian. Nama aslinya lebih dari Ardian, tapi hanya nama itu yang kutahu. Bukan tak mau tahu, tapi hanya malu untuk tahu. Mendengar namanya disebut saja sudah membuat aku senyum-senyum sendiri.
Sosok manis itu lenyap ditelan bumi 11 tahun yang lalu. Saat umurku 10. Saat aku masih suka bermain loncat tali. Saat aku tak tahu apa arti dari rasa tertarik ini.
Ia tidak tinggi, tidak pendek. Mungkin sekitar 145 cm. Tak jauh berbeda denganku saat itu. Tak tampan, hanya manis “saja”. Kulitnya sawo matang. Bentuk mukanya oval. Dan satu hal yang tak pernah bisa kulupakan. Kombinasi dua bagian yang membuatnya manis bukan kepalang. Agak berlebihan memang, tapi rasanya memang itu yang membuatku selalu menghindar bila tak sengaja berpapasan. Membuatku harus menanggung malu karena ejekan-ejekan ringan teman sekelas seperti anak kecil kebanyakan.
Hanya dia, bocah laki-laki dengan mata sipit dan bentuk mulut seperti orang yang selalu tersenyum walaupun ia tak ingin tersenyum. Dan semua berawal dari mata dan bentuk mulutnya.
Saat itu, 11 tahun yang lalu. Aku bersama 3 temanku berkumpul di salah seorang pedagang di pinggir sekolah. Karena sekolah kami adalah gabungan dari 3 SDN, maka banyak murid yang tak kenal satu sama lain.
Ia datang dari kejauhan, bersama satu temannya. Berjalan santai di depan kami, 4 orang bocah perempuan yang sibuk ber-hahaha-hihihi. Tepat ketika mereka lewat di depan kami, otak jahilku seperti merasakan resonator untuk mengikuti “senyuman alami” salah satu dari mereka. Ya, “senyuman alami”nya. Senyuman Ardian.
Sialnya, ia membalikkan badan setelah merasakan hal aneh di belakanya dan melihat bocah perempuan bodoh sedang mencoba meniru “senyuman”nya yang cenderung langka.
Sontak ketiga temanku (kali ini ditambah temannya) tertawa terbahak-bahak. Membiarkanku termakan ide jahilku sendiri. Membiarkan ia tersenyum padaku dengan mata yang semakin sipit dan wajah yang semakin manis. Hem, rasanya terlalu sulit mengingat kejadian lucu itu. Hari itu berlalu tanpa kutahu nama pemilik wajah manis yang gagal kutiru raut wajahnya.
Singkat cerita, beberapa bulan kemudian 3 sekolah yang tergabung dalam satu komplek itu mengadakan program belajar tambahan untuk anak-anak dengan ranking 1-10 di setiap kelas 6 (Oh ya, saat itu aku kelas 6 SD). Kami dibagi menjadi 5 kelas.
Kau pasti bisa menebak. Aku dan dia sama-sama mengikuti program tersebut. Tapi beruntung, kami tak sekelas. Kenapa kubilang beruntung? Bagaimana aku bisa belajar bila ada sosok manis itu? Rasa malu itu masih menghantuiku hingga kini. Walaupun aku tahu, rasanya terlalu bodoh untuk memelihara malu karena kejadian yang sebenarnya tak terlalu memalukan #mukatembok
Dari program itulah kutahu sepenggal namanya. Ardian. Tak lebih tak kurang.
Pernah kutahu nama lengkapnya secara tak sengaja, di lembar absen yang kebetulan dibawa oleh temanku. Tapi sayang, terlalu mudah terlupakan.
Rasanya terlalu bodoh diri ini mengingat apa yang belum tentu diingat oleh orang yang selalu kuingat. Terlalu naïf mengharapkan seseorang masih sama seperti sebelas tahun silam. Terlalu fana mengharapkannya datang bak pangeran berkuda putih dan mengatakan bahwa kenangan itu juga masih ia simpan.
Banyak kenangan menyeruak ke permukaan hanya dengan sebuah nama. Sepenggal nama saja sudah menggunggah cerita lama. Maka, masihkah penting arti sebuah nama? Bila tidak, apalah arti sebuah nama?
0 comments:
Post a Comment