Malam itu saya nonton Mata Najwa
episode Apa Kata Megawati. Narasumbernya jelas Megawati Soekarnoputri. Presiden
wanita pertama dan satu-satunya hingga sekarang di Indonesia. Presiden RI yang
kelima. Saya memang tidak tahu banyak tentang beliau. Saya juga tidak tahu
jelas apa motif beliau tetap memegang posisi Ketua Umum PDI Perjuangan. Saya
tidak tahu apapun tentang itu. Tapi melihat setiap jawaban yang mengalir dari
wawancara itu saya menyimpulkan bahwa Megawati ingin cita-cita proklamasi
Indonesia tercapai. Artinya, apa yang ayahnya (Soekarno) lakukan harus ia lanjutkan untuk diwujudkan.
“Silahkan bu, ungkapkan harapan
ibu untuk Indonesia,” kata Najwa
“Saya ingin Indonesia Raya,”
jawab Megawati dengan menangis.
Saya tidak tahu apa arti tangisan
itu, tapi dua kata terakhir yang beliau ucapkan dengan berat dan penuh
pengharapan itu seakan-akan memberi komando kepada bulu kuduk saya untuk
berdiri seketika. Merinding. Sungguh itu yang saya rasakan.
Saya teringat tentang sekolah
dimana saya menimba ilmu beberapa tahun yang lalu. Sekolah itu sekolah yang
cukup maju dengan cabang di seluruh penjuru Indonesia. Terbagi dua, putra dan
putri. Hingga kini sekolah tersebut masih dipimpin oleh cucu dari sang
pendirinya. Saya memang bertanya-tanya. Mengapa harus anak dari para pendiri
ini yang menjadi pemimpin? Apakah ingin membuat kerajaan super besar? Ataukah ingin
memberikan “warisan” kepada anak-anaknya?
Tapi kemudian saya menyadari
pemikiran ini sangat menjijikan.
Megawati dapat menyerap
nilai-nilai yang ada pada Bung Karno dengan baik karena ia bisa mengobservasi
secara langsung. Mengetahui banyak hal yang tidak orang lain ketahui tentang
sang pelopor. Menginternalisasikan nilai-nilai ayahnya ke dalam dirinya
sendiri. Mungkin saja termasuk mengamini mimpi-mimpi yang sama tentang
negerinya, Indonesia.
Begitupun dengan anak-anak para
pemimpin di sekolah saya. Mereka yang mendapat didikan langsung dari para
pendiri akan berbeda dengan mereka yang hanya terjamah sesekali. Mereka yang
merasa getaran semangat membangun untuk pengabdian pada Illahi, jelas akan
berbeda dengan mereka yang hanya mengobservasi dan terinspirasi sesekali.
Mereka yang menjadi darah daging orang-orang utama, kemungkinan besar dapat
membayangkan dengan jelas apa yang menjadi mimpi besar orang tua mereka.
Tulisan ini penuh dengan asumsi.
Tapi setidaknya kini saya mengerti, mengapa kaderisasi dibutuhkan oleh semua
pemimpin yang mimpinya ingin terealisasi. Mimpi orang besar tidak akan
terlaksana di waktu yang singkat. Maka perlu banyak orang besar yang harus
dipersiapkan untuk menjadi pelari estafet selanjutnya. Di sekolah saya itu,
merekalah yang terpilih menjadi pemegang estafet mimpi. Mereka juga harus
menyiapkan pemain selanjutnya. Bukan untuk kekuasaan semata, tapi untuk menciptakan
inovasi mencapai mimpi.
Maafkan saya yang pernah
menikmati rasa curiga itu sebelumnya.
Bani Fulan,
semoga mimpi itu masih bisa terjaga. Sampaikan rindu mendalam saya pada para leluhur yang bisa membuat sekolah itu ada. Disana, entah berapa banyak kata mutiara dan pelajaran kehidupan yang bisa dinikmati dengan cuma-cuma. Dinikmati sebagai bonus atas kesediaan tinggal beberapa tahun untuk mengecap pendidikan formal dan agama. Perlu kau tahu, saya selalu bangga menjadi bagian dari keluarga itu selama enam tahun di tempat yang sama dan satu tahun di seberang pulau sana. Terimakasih banyak atas usaha maksimal yang dilakukan selama ini.
0 comments:
Post a Comment