Ini tentang kopi. Ya, kopi. Minuman berwarna hitam atau terkadang coklat yang membuatku rela mengenyampingkan skripsi malam ini. Aku tak habis pikir, kedai kopi berhenti berdiri disana sini?
Aku tak tahu jenis kopi apa yang pantas dan cocok diminum dalam keadaan seperti ini. Segelas Arabica, Robusta atau kopi hitam yang biasa kau minum? Entahlah, pengetahuanku tentang kopi tak lebih dari pengetahuan seorang bocah tentang harga chiki. Dangkal.
Aku dan kopi seperti langit dan bumi. Aku tak suka kopi. Kopi membuat kepalaku pusing dan hilang konsentrasi. Rasa pahit yang bersemayam selalu cepat berganti dengan kondisi mulut yang asam. Menghilangkan sensasi menyenangkan saat aroma kopi menelusup diantara cuping hidung lalu menghilang entah kemana.
Tapi tak bisa dipungkiri, kopi itu nikmat. Apalagi bila diminum disaat penat. Saat dimana aku lupa alasan mengapa aku tak menyukai minuman pekat beraroma menyengat yang terkadang lebih nikmat daripada segelas coklat.
Asap mengepul dari kopi panas tak bisa dengan mudah menggodaku. Karena aku lebih terpukau dengan gelas penuh es batu. Tak masalah makanan ringan apa yang melengkapi prosesi cemal cemil itu. Yang jelas, jika aku memutuskan untuk meminum segelas kopi, artinya terlalu banyak hal tak penting mengendap di otak kosongku.
Kedai kopi menjadi tempat yang menarik untuk mengobservasi. Andrea Hirata pernah bilang, pilihan kopi yang diminum seseorang itu menunjukkan kepribadiannya. Dewi ‘Dee’ Lestari juga menceritakan hal yang hampir mirip dalam salah satu bukunya.
Ini hanya tentang kopi. Katanya, hanya orang-orang yang mampu menikmatinya saja yang bisa mengatakan minuman ini enak. Bagi mereka yang tidak bisa, hanya rasa pahit yang terasa. Seperti hidup yang selalu pahit bila tidak dimaksimalkan untuk dinikmati.
Bandung, 7 Januari 2014
0 comments:
Post a Comment