Begitukah rasanya cinta? Saat kau dengan mudahnya memberikan apa yang perempuan lain jaga sebaik-baiknya?
Begitukah rasanya cinta? Saat kau dengan mudahnya mempercayai serigala berbulu domba yang menggunakan istilah kekasih, padahal ia sedikitpun tak pantas untuk dikasihi?
Begitukah rasanya cinta? Saat kau tak sadar keputusan merusak dirimu sendiri itu telah menghancurkan banyak hati yang benar-benar pantas kau kasihi?
Begitukah rasanya cinta? Saat bayangan orang kurang ajar itu tak mudah diusik dan terus menerus bercokol dipikiranmu?
Benarkah itu cinta?
***
Perempuan 1
"Lo diapain sama dia?" tanyaku.
Orang yang kutanya diam tak menjawab. Menatap ke depan. Menghembuskan nafas panjang.
"Lo udah ditidurin sama dia?" tanyaku lagi.
"Em..intinya gue sama dia udah parah."
Ah kau. Benar. Lelaki bangsat itu sudah merusakmu.
"Lo sadar udah langgar aturan agama?"
"...."
Baiklah, pertanyaanku salah. Ia bergeser menjauh dari tempat duduknya. Menjauhiku.
"Gue gak tahu apa yang ada di pikiran gue. Gue juga bingung kenapa gue bisa nurut sama dia?"
Ya ya ya. Aku tahu bahwa cinta itu buta.
***
Perempuan 2
Aku menatap wajahnya. Wajah teman dekatku yang memang cantik luar biasa. Ia murung. Kami bertemu untuk berbincang. Hal yang sudah jarang kami lakukan semenjak duduk di semester akhir perkuliahan.
"Lo putus sama dia?" tanyaku.
"Iya," jawabnya.
"Haha. Tenang, tak sampai sebulan pun lo pasti dapat yang baru," candaku.
Ia hanya tertawa. Dari tawanya aku tahu, candaanku tidak lucu.
"Lo kenapa putus?"
"Gak cocok."
"Kalau gak cocok kenapa jadian?"
"Dulu cocok."
"Yaudah, kalau gak mau cerita, gak apa-apa," akhirnya aku mengalah.
"Lo janji jangan cerita siapa-siapa."
"Apa gue pernah cerita rahasia lo ke orang lain?"
Ia menggeleng, "sejauh ini sih tidak. Entah besok."
"Haha. Lo betul! You know me so well," kataku lagi-lagi bercanda untuk mencairkan suasana.
"Dia ngajak gue ML. Di rumahnya. Gue gak mau."
Aku menahan nafas. Terhenyak. Terkaget-kaget. Ah, entah bagaimana aku harus menggambarkan betapa aku terkejut dengan rahasia kecil itu.
Waktu berlalu. Seperti dugaanku, temanku itu sudah menjadi kekasih pria yang lain. Tak heran, kawan. Dia memang cantik dan baik hati. Tidak ada alasan laki-laki tidak menyukainya.
Tapi kali ini nuraniku terusik. Ia kembali mencopot kerudungnya. Menggunakan pakaian-pakaian yang lebih cocok dipakai oleh adikku yang sekarang duduk di kelas 4 SD. Ia menjadi terlalu jauh untuk kupegang tangannya. Ia mungkin lupa, kemarin ia begitu terpukul saat berusaha dijamah oleh tangan brengsek yang diakuinya sebagai kekasih. Aku tak benar-benar tahu apakah ia akan kembali terpukul saat kejadian yang sama terjadi.
Syukurlah, ia sepertinya sadar. Dulu ia melakukan kesalahan. Apakah ia kembali menjadi seorang perempuan yang aku kenali dan lebih beruntung dari perempuan pertama atau tidak? aku tidak tahu.
***
Perempuan 3
Pagi itu, aku melihat anak kecil berjalan tertatih sambil tersenyum. Rambutnya keriting-keriting kecil. Kulitnya putih bersih bak orang dari negeri Eropa sana. Tawanya lucu menggemaskan.
"Halo, ini namanya siapa?" tanyaku.
Anak kecil itu hanya tertawa dan berjalan terburu-buru menjauhiku. Gemas, aku gendong ia dan bermain dengannya sejenak. Setelah itu, ia menangis karena aku terlalu bersemangat bermain dengannya. Ia terlalu lucu, seperti boneka.
Kutanya adikku tentang anak itu. Darinya aku tahu bahwa saudara kami mengangkat seorang anak dari panti asuhan. Aku percaya.
Aku bingung dengan fakta yang aku percayai sebelumnya. Saat itu aku mendengar saudaraku yang lain menceritakan hal yang sebenarnya. Tentang anak itu. Tentang orang tuanya. Tentang segala sesuatu yang membuatku tercengang dan tak henti menggelengkan kepala.
Ia anak sepupuku. Beda usiaku dengannya hanya satu tahun. Ia mengandung saat ia duduk di kelas 3 SMA. Dengan rapi ia tutupi kondisinya. Ia paksakan dirinya mengikuti berbagai kegiatan olahraga yang sedang dilakukan. Ia alpa dengan kondisi fisiknya yang sudah berbadan dua. Ia kolaps di lapangan. Lalu dilarikan ke rumah sakit.
Keluarga besar kami geram. Jelas, meminta pertanggungjawaban lelaki yang sudah menghamilinya. Ah, kau pasti sedih mendengarnya. Lelaki itu hanya lulusan SD. Mereka melakukannya di rumah sang lelaki.
Keputusan diambil. Mereka harus menikah. Mereka harus membesarkan anaknya.
***
Inikah yang namanya cinta? saat insting hidup manusia merajai alam sadarnya, super ego mati tak berdaya, membuat manusia tak berbeda dengan hewan lainnya.
Aku tak tahu, apakah passionate love terlalu mudah untuk diamini sebagai perwujudan cinta dibandingkan dengan compassionate love? ataukah memang letupan asmara selalu harus disahkan dengan berbagai interaksi fisik yang dapat menyalurkan kebutuhan dasar manusia? Begitukah cinta? Inikah namanya cinta?
Apakah rumah sudah menjadi tempat paling aman untuk berzina? Apakah orang-orang di dalam rumah tersebut benar-benar dalam keadaan baik-baik saja saat tahu rumahnya menjadi miniatur dari rumah bordil yang tak patut ada di dunia? Ah, Tuhan...aku tak mau seperti itu.
Apakah rumah sudah menjadi tempat paling aman untuk berzina? Apakah orang-orang di dalam rumah tersebut benar-benar dalam keadaan baik-baik saja saat tahu rumahnya menjadi miniatur dari rumah bordil yang tak patut ada di dunia? Ah, Tuhan...aku tak mau seperti itu.
Aku juga tidak tahu, apakah ketiga perempuan yang kuceritakan diatas ada di posisi korban ataukah sebaliknya. Semoga aku, kau dan semua perempuan bisa menjaga cintanya dari orang-orang yang tak pantas dicintai. Amin.
0 comments:
Post a Comment