Seperti biasa, malam itu Alfa, adikku, menjemputku di depan sebuah minimarket. Jarak rumahku dengan jalan raya memang cukup jauh. Maka fungsi Alfa sebagai adik laki-laki secara otomatis bertambah. Menjemput kakaknya hingga sampai ke rumah dengan selamat sentosa.
Malam itu tak biasanya kami berbincang tentang bulan. Ia menceritakan tentang gerhana bulan yang baru-baru ini terjadi. Ia terheran-heran dengan bulan yang selalu ada.
"Bulan itu selalu ada ya, teh. Tidak ada masa terbit dan tenggelamnya," katanya.
Benar, bulan sepertinya memang makhluk Tuhan yang diciptakan untuk setia. Padahal ia hanya bisa terlihat karena pantulan sinar sang mentari yang dengan asyiknya terbit dan tenggelam. Ia terkadang tetap muncul di kala siang menjelang. Walaupun ia tahu bahwa hadirnya akan tertutupi oleh terangnya sinar matahari.
Saat malam, bulan menemani manusia dengan bintang-bintang yang hanya berbentuk seperti titik cahaya. Bulan menjadi primadona kala wujudnya bulat sempurna atau sabit yang cantik tiada dua. Bulan benda langit yang wujudnya penuh cela namun tetap bersinar putih bersih bak tak bernoda.
Aku pernah melihat bulan di siang hari. Bentuknya memang samar seperti awan putih berbentuk bulat. Kupandangi bulan itu lalu bertanya,
"Bulan, apa kabar?"
Bandung, (lagi-lagi) 18 Oktober 2014
0 comments:
Post a Comment